Read More >>"> Phsycopath vs Indigo (Interdimentional) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Phsycopath vs Indigo
MENU
About Us  

Hari ini, Fyan telah masuk sekolah. Kembali duduk disampingku. Karena semua perpindahan sekolahnya dibatalkan. Semua anak menatapnya, Fyan pun membalas tatapan mereka dengan asing. “Apa aku salah satu murid yang tidak disukai?” tanya Fyan.

“Begitulah.” Jawabku singkat.

                “Kenapa aku tidak disukai?”

“Nanti kau juga tau.”

                “Kapan?! Apa harus setiap hari aku tersiksa seperti ini? Berjalan ditengah kerumunan orang yang kuanggap asing?” ucap Fyan. Nadanya meninggi, sepertinya dia tengah berusaha mengingat semuanya. Namun bagaimana aku bisa memberitahunya jika aku belum menemukan kebenarannya. Aku hanya bisa menunjukkan sebuah buku harian Fyan yang sebelumnya ia berikan.

“Riana..” ucap Fyan lirih, dia memejamkan matanya. Dia mengingatnya?

                “Kau.. ingat Riana?” Fyan menggeleng. Dia masih memasang muka lesu dan lemahnya.

“Kenapa dalam pikiranku, hanya Alice yang selalu terlintas?”

                “Alice?” tanyaku heran. Apa mungkin Alice punya kenangan yang dapat memutar ingatan Fyan kembali? Tapi apa itu? bukankah selama ini Alice hanya menjadi penonton saja, yang menonton kisah Fyan, Riana, dan A.F.

Kring!!! Dering handphone ku berbunyi.

“Halo?”

                “Selamat pagi. Apa benar ini dengan saudari Feyandra?” tanya orang yang ditelepon itu.

“Iya, benar. Ini siapa?” tanyaku.

                “Kami dari Rumah Sakit Alveeda, seseorang membawa seorang jenazah yang ia temukan dipinggir kota. Dengan identitas bernama Karina Azarine, dan ka…” petugas rumah sakit itu belum selesai bicara, namun handphone-ku sudah jatuh terpelanting tertabrak Alice yang lari. Tentu saja semua terasa gelap. Duniaku? Seperti neraka.

“Alice..” ucapku lirih. Aku memeluk Alice yang berdiri didepanku. “Alice, ka Karin me… meninggal” ucapku. Alice menepuk-nepuk bahuku. Dia turut berduka atas musibahku. Sergap, aku berlari menuju rumah. Semua orang berpakaian hitam telah berkerumun diantara jenazah itu. Aku banting tasku, emosiku menjulak. Seorang wanita ditutup kain putih itu berbaring didepanku. Aku buka perlahan tidung putih itu, ternyata benar. Kakakku.

                Brak!!! Tiba-tiba Fyan jatuh diantara pelayat itu. Semua ramai-ramai menggotongnya ke kamarku. Sementara aku masih terpaku dengan mayat itu. Setelah sebelumnya ayah pergi, dan sekarang ka Karin. Semuanya secepat itu?

                Ka Karin adalah seorang yang kuanggap pantas menuntunku hingga aku sukses nanti. Namun dia pergi. Meski hatiku tak mudah berganti. Seperti ikhlasnya kuning senja pada hitam larut malam. Semua mengiringi jenazahnya. Aku tau, ka Karin pun ikut serta mengiri jasadnya sendiri. Itulah yang paling menyiksa, ketika raga nya sudah terbujur kaku. Namun, senyumnya masih terpatri disini. Pucat pasi. Perlahan, paras cantiknya ditimbun tanah. Semuanya serasa mimpi. Rasanya baru kemarin aku melihatnya tertawa bersamaku. Dimeja makan. Dia adalah satu-satunya orang yang menghidupkan suasana dengan candaannya. Kunamakan apa keluarga ini? Jika hanya ada aku dan ibu didalamnya.

                Aku melihat ibu yang menangis memeluk papan bertuliskan nama anaknya itu. Anak yang ia lahirkan dari rahimnya tepat 21 tahun silam. Itulah rencana-Nya. Tidak pernah disangka dan tidak pernah diduga.

                Sekeliling rumahku terlihat hening. Bahkan memang hening. Ayah? Ka Karin? Satu persatu meninggalkan aku dan ibu. Hanya kami.

                                                                                ******

                Aku berjalan dilorong-lorong sekolah. Sepi sekali. Anak itu! Adik Riana! Menyayup-sayupkan tangannya, seolah dia ingin aku mengikutinya. Anak kecil itu berlari kearah laboratorium, dan semua darah berceceran disana. Aku masuk kedalamnya. Namun sayangnya, pintu itu langsung terkunci. Entah siapa yang menguncinya. Pintu tertutup. Lampu sekejap mati dan sekejap hidup. Disana, dipojok sana, seorang wanita menangis dengan memeluk lututnya. Aku tidak tau siapa dia, dia hanya membelakangiku. Menangis, merintih, dan menjerit. Tentu aku dekati, aku pegang pundaknya. Dia menghadapku. Seorang gadis dengan berwajah hancur, memiringkan kepalanya mendekatiku. Namun naas, tiba-tiba lampu mati. Aku tidak dapat melihatnya. Yang kutau, aku hanya mendengar tawa anak-anak kecil di laboratorium ini. Perlahan aku mundurkan kakiku melangkah kebelakang, dan..

                Aku menabrak sesuatu!

Sesuatu yang berbau amis. Bertubuh tinggi berada dibelakangku. Aku menghadapkan tubuhku itu kearah sesuatu itu. Aku raba-raba. Benda itu bergerak! Meminta-minta tolong kepadaku. Untung saja lampu menyala!

                 Pak Araka!

Tubuhnya terbelek, sampai-sampai separuh organ-organ tubuhnya terlihat. Aku menjerit menutupi apa yang terlihat dengan mataku. Darah yang tadi sempat aku raba, sekarang telah ternoda diwajahku. Mengapa secepat itu? Hanya sekitar 15 detik lampu itu mati.

                Pembunuh itu telah terlatih. Telah terbiasa.

Siapa?

                “Feyandra.. saya tau kamu mampu! Ungkaplah!” ucap pak Araka sambil merintih.

“Tapi siapa? Saya ga tau!” aku masih menutup kuping.

Portal masalalu!

                Itu satu-satunya harapanku. Aku memejamkan mata. Konsentrasi.

Disana, aku melihat diriku sendiri. Adik nya Riana menggenggam tanganku, dia takut dengan pembunuh itu! Pembunuh itu cepat sekali, masih dengan pisau yang sama. Dia melukai pak Araka yang hendak menyalakan lampu itu. Wajahnya tidak jelas, tapi dikit sedikit aku dapat melihat wajahnya dengan jelas! Dia itu…

                Mengecewakan!!!

Aku kembali dalam kesadaranku. Aku ingin cepat-cepat mengungkap semuanya. Aku sadar. Tapi mengapa aku terpisah dengan ragaku? Ragaku masih memejamkan matanya. Lalu mengapa aku disini? Berdiri didepan ragaku sendiri. Semuanya tampak gelap, hanya ada ragaku ditempat yang serba hitam ini.

                “Ka.. kau harus menolongku!” panggil suara anak kecil dari belakangku. Aku tidak melihat siapapun disini. Namun bergilir suara meminta tolong itu selalu saja bersahut-sahutan. Aku hanya melihat satu jendela. Yang didalamnya nampak satu wanita duduk dikursi goyang. Demi sebuah kebenaran, aku harus berani memasukinya.

                                                                                ******

“Maaf, boleh aku bertanya?” ucapku pelan-pelan.

                Menganggut.

“Dunia apa ini? Semuanya gelap.”

                Dia mengadahkan wajahnya. Betapa mengerikannya. Mungkin sampai saat ini aku tak akan bisa melupakannya. Lehernya terbelah hampir copot, darah mengalir dari pelupuk matanya, bibirnya pun tidak ada. Hanya tinggal rahang-rahang yang berbaris. Suara karat dari gerakkan kursi goyang itu menambah magis suasana.

                “Dimensi biru.”

Aku mengernyitkan dahiku. Rasanya Ayah pernah menceritakan itu.

Flashback

“Kenapa si semuanya ini aneh, menakutkan.” Ucapku.

                “Itu belum seberapa. Masih banyak yang lebih menakutkan. Contohnya ketika kamu menjelajahi mimpi.” Ucap ayah menatapku. Tatapan yang selalu membuatku nyaman ketika didekatnya.

“Itu asikkan yah? Bisa menjelajahi mimpi siapa saja semaaaaaaaau kita.” Ucapku dan berputar dihadapan ayah.

                “Duduk nak. Bukan itu yang ayah maksud. Tidak semenarik itu, ketika kamu menjelajahi mimpi. Kamu akan masuk kedalam dimensi biru, mungkin itu cukup menakutkan.”

“Dimensi biru itu apa yah?”

                “Dimensi ketika kamu berjalan dilantai yang tidak sebenarnya ada, dibawah atap yang sebenarnya hanya bayangan, dan disana, kamu melihat jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaanmu. Disana juga, kamu dapat bertemu ayah dan leluhurmu. Juga teman batinmu, dalam ruangan kematian. Semuanya memang gelap, namun disana ada tujuh lampion biru. Dan lampion biru itu adalah perwujudan teman-teman batinmu. ”

                Ayah pernah mengatakan itu. Lalu mengapa aku sampai bisa menjelajahi mimpi? Padahal aku tidak berniat untuk tidur. Mungkin ini salah satu kesempatanku untuk mengungkap semuanya. Dimana wanita itu? Dia menghilang? Sekarang tempat itu menjadi tempat yang amat gelap. Memang, aku melihat 7 lampion disana, namun dibawahnya masing-masing terdapat pintu berwarna biru juga.

                Aku memulai dari pintu yang paling kanan. Aku masuki itu. Nampak seorang gadis memain-mainkan bonekanya. Kaki nya terpisah. Buntung. Dia orang yang pernah aku temui! Adiknya Riana. Dia memberiku sepucuk kertas. Aku ambil dan kubuka itu.

Aku ingin hidup kembali. Namun bagaimana bisa? Jika sejuta tanda tanya pun masih bergelayutan dipikiranmu. Aku ingin mati saja. Namun bagaimana bisa? Jika aku masih terkurung ditempat ini. Bebaskan.

Aku menarik anak itu. Namun dia mendorongku hingga aku terlempar keluar dari ruangan itu. Lampion itupun padam. Aku memasuki pintu kedua. Rambutnya tergerai panjang menutupi sebelah matanya. Riana! Juru kunci dari semua masalah ini.

                “Riana! Kenapa kamu buat masalah ini! Hidupku menjadi tidak tenang karna kamu!” ucapku.

“Akupun begitu. Matiku tidak tenang karna mu.”

                “Aku?!”

“KARNA KAMU YANG TIDAK MAU MEMBALASKAN DENDAMKU!!!!” ucapnya. Tubuhnya terbang mencekikku. Ternyata ini nyata! Tubuhku terpentok dinding, nafasku sesak. Ternyata ini sifat Riana yang asli. Pendendam.

                “Riana! Aku akan menolongmu untuk mengungkap… uhuk.. mengungkap semuanya. Bukan untuk membalas dendammu! Uhuk.. hentikan Riana.. hentikan!!!” ucapku, tanganku mengarah kedepan. Tiba-tiba Riana terdorong dan terlempar tubuhnya terdorong jauh hingga menempel di dinding. Aku baru ingat. Ternyata telekinesisku dapat berfungsi saat ini. Dengan cepat aku keluar dari ruangan itu. Lampionnya padam.

Kedua ruangan itu. Mengerikan.

Kenapa perasaanku berbeda, saat memegang gagang pintu yang hendak aku buka. Bintang gemintang terlintas sekejap. Meninggalkan kabut-kabut biru pada kisah yang haru. Entah apa itu. Rasanya setiap tarikan nafasku terasa lega, dan setiap kedipan mata ini mengeluarkan airmata.

                Siapa yang ada didalam?
Krekk!!! Kubuka pintu itu. Ayah. Seorang laki-laki yang selama ini aku nanti kehadirannya. Agar kembali mendekap, dalam malam yang semakit pekat. Rindu. Dua ruangan yang kulewati sebelumnya terasa sangat mengerikan dan gelap. Namun ayah, dengan sosok yang teramat sempurna dengan berpakaian serba putih menatapku hangat. Tatapan seperti biasanya. Kami bertatapan, namun airmataku yang beku telah mencair karena tatapan hangatnya. Mencair dan mengalir begitu saja.

“Ayah.” Ucapku singkat mengulum senyum. Semua seperti biasa, ayah disana. Tersenyum ketika putrinya memanggil sebutan yang membuatnya terhormat itu.

“Kau tau? Semburat cinta itu t’lah hilang. Cinta yang terpancar dari matamu yang berbinar disetiap pagi saat aku hendak sekolah. Senyum yang selalu kau berikan saat aku pulang sekolah. Semuanya seketika dingin. Semua cerita kita menjadi beku, ayah.” Aku menahan airmataku. Yang entah telah hitungan keberapa.

                Ayah diam.

“Kenapa kau menaruh harapan ini? Aku bukan anak yang patut kau banggakan. Aku bukan anak yang pantas kau beri ilmu keturunan ini. Aku hanya ingin ayah hidup lagi. Apa kemampuan ini tak dapat memutar waktu? Aku hanya ingin mempunyai keluarga kecil yang utuh sempurna. Bukan yang hancur berantakan. Bukan karna perpisahan. Tapi karena kematian.” Ucapku. Aku memejamkan mataku. Rasanya nyeri mata ini menahan airmata terus menerus.

                “Ayah hidup. Namun ayah hidup setelah mati. Dan kau tau? Semburat cinta dan senyum itu tidak akan pernah hilang. Karena ayah masih melakukannya. Namun ditempat yang berbeda. Bukan di penjara bernamakan dunia itu. Tapi disini. Di alam baru ayah. Tersenyumlah untuk seluruh alam. Maka alam akan membuatmu tersenyum. Yakinlah. Ada saatnya seorang putri menjadi ratu…” suara ayah tiba-tiba hilang. Aku membuka mataku. Tidak ada lagi sosoknya disana. Lampion itu padam. Setidaknya sekarang aku lebih tenang.

                Kini, hanya tinggal empat bingkai pintu lagi. Aku masuki pintu keempat itu. Sunyi. Tubuh tegap itu berdiri dihadapanku. Lelaki itu…

                Guruku.

Pak Erlan adalah korban pembunuhan beberapa bulan yang lalu. Amat menyakitkan ketika aku melihatnya. Pembunuh itu kuakui hebat. Aku hanya diam menatapnya. Tatapan yang penuh arti itu. “Saya tidak punya pengalaman hebat mengenaimu. Namun tekadmu, meyakinkan semuanya. Bahwa kamu lebih dari sekedar kata hebat. Cepat pergilah dari sini! Sebelum semuanya terlambat!” teriak pak Erlan. Aku hanya tersenyum getir dan keluar dari ruangan itu.

“Terlambat? Jadi, aku harus melanjutkan membuka satu demi satu pintu ini atau kembali?” gumamku. Aku menghentak-hentakkan kakiku dalam waktu yang cukup lama. Dan pada akhirnya. Aku memilih melanjutkan membuka pintu itu. Aku lanjutkan dengan membuka pintu kelima. Temanku! Di pintu kelima itu adalah dia teman sekelasku. Harmton. Tubuhnya tak lagi sempurna, darah bercucuran dari kedua mata, hidung, dan telinganya. Dia menangis.

                “Siapa yang membunuhmu?” tanyaku menahan buliran airmata itu.

“Maaf.. maaf.. maaf” kalimat itu desir-desir mengalir ditelingaku. Tangannya terus saja menggaruk-garuk dinding itu.

Aku tidak menemukan informasi apapun darinya, dan keluar dari ruangan itu. Kumasuki ruangan selanjutnya. Yaitu ruangan yang ke enam.

                Aku menutup mataku. Aku tidak cukup berani melihat apa yang didepanku. Ka Karin. Aku tergugu didepannya, tubuhku mematung. Semua ingatan itu kembali berputar, ketika aku menangis . Bahkan aku ingat ketika berebut mainan bersamanya, ketika aku berselisih, bercanda, terjatuh, bahkan ketika aku sakit wajahnya yang lelap, wajahnya yang tertawa riang bercanda. Saling menggelitiki. Wajahnya yang lelah menunggu bermalam-malaman. Tertidur mengepal tangan adik yang begitu disayanginya. Aku masih tertunduk. Dadaku benar-benar bagai digores seribu sembilu. Semua kenangan ini menyakitkan. Namun mengapa takdir memisahkan kami yang sedang berjuang merangkai tiang yang kokoh untuk ibu. Apa tiang itu bisa berdiri sendiri?

                “Maaf aku meninggalkanmu. Kau tau? Yang paling dekat dengan kita bukan keluarga, teman, ataupun kerabat. Tapi yang paling dekat dengan kita, adalah kematian. Aku telah dilamar oleh malaikat maut, semua cerita tentang kita sudah terkenang menjadi nostalgia. Hiduplah dengan mimpi-mimpi mu. Kamu sudah cukup dewasa.” Tangisku terisak. Satu persatu keluargaku berkumpul di alam baru. Semua cerita tentang keluarga yang indah hanya fana.

                Lampu lampion itu redup, aku menutup pintu ruangan itu. Dan inilah pintu terakhir yang aku buka. Ini akhir dari penjelajahanku di dimensi biru. Namun mengapa dia yang ada didalam!?

                “Fyan…!”

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 1 1
Submit A Comment
Comments (66)
  • Ararinjani67

    Fyan kalah auranya sama P araka,, ps baca chpter singkt p araka langsung gigit bibir gimanaaah gitu:p p araka nya jngn2 asli neh hehehe.

    Comment on chapter Between Us
  • AshwaAnnara_

    Pa Araka:((( Muncul lagi dong di season slnjtny!

    Comment on chapter Between Us
  • AshwaAnnara_

    Aku suka season pak Arakanya kak. Bijak. 4 jempol buat pak Araka. Aku jadi pgn punya guru kaya pa araka <3

    Comment on chapter Between Us
  • zufniviandhany24

    Wah mungkin ya kurang pede, awalnya aku jg gitu. Tapi aku bersikap "bodoamat"😂 suka syukur, ngga yaudah. Alhasil banyak juga yang suka:' btw cerita kamu judulnya apa?

    Comment on chapter Dream Come True
  • idarahmayanti

    Aku nulis juga kayak kakak, tapi kenapa cerita aku gak sebagus punya kakak, ya. Apa aku kurang pede?:(((

    Comment on chapter Dream Come True
  • zufniviandhany24

    Ahhh jadi baper ngebacain komenan kalian😂 *lebay moment* ..
    Insyaallah secepatnya aku post lagi, tergantung sinyalnya nih😁

    C u in my next chapter😂

    Comment on chapter When I Hate You, But I Need You
  • KanyaNurRaina08

    Mau mendeskripsikan perasaan aku ya min, pas aku baca tuh, sedih, deg-deg an, baper. semuanya bersatu padu

    Comment on chapter When I Hate You, But I Need You
  • KhaidirAssegaf29_

    Saya pernah merasakannya. kata-katamu itu loh yang ngacak-ngacak ingatan saya. jadi flashback lagi..
    Hehehe, flashback saya...

    Comment on chapter My Ability
  • Fitria_Syahfina

    Saya sangat puas dengan setiap chapternya, tapi saya gx puas kl lama-lama... lebih cepat lebih baik, semoga menang!

    Comment on chapter My Ability
  • Fatimahimah

    Ditunggu lanjutannya! jangan lama2 ya

    Comment on chapter Dream Come True
Similar Tags
Kesempatan
241      111     0     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Irene (Bahasa Indonesia)
1921      876     7     
Humor
Dibaca aja langsung :) Enjoy!
Flashdisk
6      5     0     
Short Story
Ada yang aneh dengan flashdiskku. Semuanya terjadi begitu saja. Aneh. Lalat itu tiba-tiba muncul dan bergerak liar pada layar laptopku, semuanya terasa cepat. Hingga kuku pada semua jariku lepas dengan sendirinya, seperti terpotong namun dengan bentuk yang tak beraturan. Ah, wajahku! Astaga apalagi ini?
Puisi, Untuk...
12010      2266     10     
Romance
Ini untuk siapa saja yang merasakan hal serupa. Merasakan hal yang tidak bisa diucapkan hanya bisa ditulis.
Sakura di Bulan Juni (Complete)
112      66     0     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
Kesya
122      49     0     
Fan Fiction
Namaku Devan Ardiansyah. Anak kelas 12 di SMA Harapan Nasional. Karena tantangan konyol dari kedua temanku, akhirnya aku terpaksa harus mendekati gadis 'dingin' bernama Kesya. Awalnya pendekatan memang agak kaku dan terkesan membosankan, tapi lama-kelamaan aku mulai menyadari ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Kesya. Awal dari ancaman terror dikelas hingga hal mengerikan yang mulai ...
Perlawanan Suku Pedalaman
1497      1121     6     
Short Story
Seorang tentara bayaran yang terjebak ditengah kehidupan ksatria suku pedalaman. Akankah dia akan menemukan jiwa ksatria layaknya suku tersebut???
Orang Ladang
625      417     5     
Short Story
Aku khawatir bukan main, Mak Nah tak kunjung terlihat juga. Segera kudatangi pintu belakang rumahnya. Semua nampak normal, hingga akhirnya kutemukan Mak Nah dengan sesuatu yang mengerikan.
Neverends Story
53      27     0     
Fantasy
Waktu, Takdir, Masa depan apa yang dapat di ubah Tidak ada Melainkan hanya kepedihan yang di rasakan Tapi Harapan selalu menemani perjalananmu
Beyond the Eyes
6      6     0     
Short Story
"Not every wound can be seen, or maybe she was just too blind." The short life story of a doctor, a lover, and a mother.