Read More >>"> Dinding Kardus (Pergi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dinding Kardus
MENU
About Us  

Dokter Azhar menepati janjinya. Dia memberi kami rompi tukang parkir. Walaupun hanya satu. Jadi untuk memarkir di depan klinik, kami gantian. Asep dari pagi sampai tengah hari, dan aku dari tengah hari sampai sore. Malamnya tidak perlu ada tukang parkir, terlalu berbahaya, kata dokter Azhar. Waktu kuceritakan soal parkiran pada Dani, dia sangat senang. Apalagi saat tahu kalau penghasilannya melebihi hasil memulung yang selama ini menjadi sumber penghasilan kami satu-satunya.

Kami bergantian menemani Dani di rumah sakit. Hari ini bagianku menemaninya. Berarti di parkiran sedang dijaga Asep atau Ajat. Dari penghasilan menjadi tukang parkir, kami hampir tidak perlu lagi memulung. Kalau saja Asep tidak bersikeras untuk tetap memulung, aku sudah tidak mau lagi sebenarnya. Panas, melelahkan juga.

Dani masih tidak diperbolehkan makan makanan sembarangan. Bahkan buah-buahan yang kubawa pun tidak boleh dia makan. Makanannya harus selalu bersih dan sehat yang dibuat oleh petugas rumah sakit. Aku pernah mencicipinya, rasanya sangat tidak enak. Tidak seperti ketika makan di warteg.

Kadang kalau malam tiba, Asep dan Ajat tidak pulang ke rumah kardus. Mereka menyusulku, menemani Dani, padahal bukan bagian mereka. Begitu juga aku, kalau kebetulan kebagian jaga parkir, aku hanya mampir sebentar ke rumah kardus untuk sekadar mengecek barang-barang, lalu pergi ke rumah sakit menemani Dani.

Tanpa disadari, kami ternyata saling menyayangi. Walaupun berasal dari keluarga yang berbeda, perasaan senasib yang kami rasakan menjadi tali pengikat persaudaraan di antara kami. Bagiku, mereka sudah lebih dari teman atau sahabat. Mereka keluargaku. Hanya mereka yang kumiliki di jalanan. Dan Pak Wasid orang tuanya.

“Dan, kamu sudah baikan?” Tanyaku ketika melihat matanya terbuka.

“Emh, lumayan. Mana yang lain?” Dia terlihat lebih baik dari sebelumnya.

“Asep jaga parkiran, Ajat sepertinya masih memulung.”

“Maaf ya jadi merepotkan kalian. Apalagi biaya rumah sakit kan…”

“Gratis!” Aku menyahut. Dani menatapku tidak mengerti. “Perawatanmu gratis, ada dokter baik yang menanggungnya. Namanya dokter Azhar.”

Dani menteskan air matanya. Entahlah, mungkin dia terharu. Aku juga. Kalau ingat Dokter Azhar, aku selalu membayangkan sosok yang dulu meninggalkanku. Sosok yang melepaskan genggaman tanganku di keramaian. Wajahnya mirip, hanya saja Dokter Azhar terlihat lebih muda.

-----

Ajat dan Asep datang malam ini bersama Pak Wasid. Mereka datang dengan wajah yang sangat ceria. Kedatangan mereka membuat Dani lebih bersemangat lagi. Sepertinya tidak akan lama lagi Dani akan boleh pulang. Semakin hari keadaannya semakin membaik saja. Kami semua bersyukur.

“Wah sepertinya ada kabar baik,” sambutku.

“Jelas, kami membawa sesuatu untuk Dani.” Jawab Asep, Ajat tertawa kecil.

Dani terlihat sumeringah mendengarnya.

“Untuk kalian semua sebenarnya.” Sahut Pak Wasid.

“Cepat katakan, aku penasaran!” Aku mulai kesal, mereka masih tertawa-tawa melihat kami yang sudah sangat penasaran.

“Jadi begini, tadi kami bertemu Dokter Azhar sebelum ke sini. Dia bertanya, ‘apa kalian masih mau sekolah atau tidak?’, aku jawab saja ‘masih’. Lalu dia berjanji akan memasukan kita ke sekolah. Karena usia kita rata-rata dua belas tahun, kita akan masuk ke SMP kelas satu langsung, dengan syarat kita harus bisa mengerjakan beberapa soal kelas enam SD.” Ajat menjelaskan sambil memakan buah-buahan yang tadinya kubawa untuk Dani.

Aku senang mendengarnya. Dani juga. Dia sampai berteriak saking gembiranya.

“Tapi kan Asep usianya sudah tiga belas tahun!” Sahutku, semuanya tertawa gelak.

“Hey, aku tetap ikut ke kelas satu dengan kalian!” Jawab Asep ketus. “Tapi kalau kita sekolah, yang jaga parkiran pagi siapa?” Tambahnya.

“Kalian jangan khawatir.” Dokter Azhar muncul tiba-tiba. “Biaya makan dan sekolah, saya tanggung. Kalian cukup belajar dengan rajin.”

Kami terdiam. Terpaku dengan kata-kata yang Dokter Azhar ucapkan.

“Eh, kenapa semuanya menjadi patung?” Dokter Azhar kebingungan melihat kami yang mendadak diam.

“Terima kasih dokter!”

Kami semua memeluknya. Kecuali Dani, dia masih belum bisa bangun dan bergerak bebas seperti biasa. Pak Wasid terlihat menitikan air mata. Kami lantas memeluknya juga. Sebelum kedatangan Dokter Azhar, dialah yang selalu membantu kami. Aku tidak akan melupakannya.

Ini seperti keajaiban memang. Dalam kesulitan yang sedang menimpa beberapa anak jalanan, datang orang-orang baik yang dengan ramahnya mengulurkan tangan. Pada kami yang bahkan sering dianggap sebagai sampah masyarakat. Tidak tahu aku akan membalasnya dengan apa. Kebaikan mereka sudah seperti air penyejuk di tengah hari yang panas bagi kami.

-----

Kondisi Dani sudah pulih total. Dia sudah boleh pulang hari ini. Seminggu lamanya dia dirawat di rumah sakit dengan biaya ditanggung dokter. Dokter yang merawatnya. Dokter yang sekarang menjadi ayah kedua kami setelah Pak Wasid. Katanya, hari ini juga dia akan membawa kami ke tempat tinggal yang lebih layak. Kami tidak akan serumah dulu dengannya, dia masih mengontrak dengan beberapa temannya di Bandung. Jadi tempatnya tidak akan cukup.

Dokter Azhar memberi kami koper untuk berkemas. Padahal barang-barang kami tidak terlalu banyak. Hanya beberapa potong pakaian dan makanan saja. Itu pun sudah busuk. Kalau kami bawa, mungkin dia akan marah. Terpaksa kami tinggalkan saja makanan busuk ini.

“Kau yakin akan meninggalkan rumah kardus ini?” Tanya Dani padaku.

Pertanyaan itu membuat ruangan ini lengang seketika. Kami saling pandang. Sudah cukup lama kami tinggal di sini. Sejak aku ditinggalkan sendirian. Banyak cerita yang mungkin akan menjadi kenangan yang tak akan terlupakan. Aku menyayangi rumah kardus ini. Sesekali aku pasti kembali mengunjunginya.

“Aku yakin. Setiap gelandangan tidak ada yang bercita-cita menjadi gelandangan selamanya bukan?”

Mereka mengangguk. Lantas kembali mengemas barang-barangnya. Semua yang kami anggap berharga, kami bawa. Walaupun tidak ada yang benar-benar berharga dari rumah ini. Hanya saja cerita di baliknya yang membuat benda-benda ini berharga melebihi apa pun.

“Apa kita harus pamitan dulu pada Pak Wasid?” Tanya Ajat sambil menutup koper. Semua barang-barang kami sudah selesai dikemas.

“Sepertinya iya. Dia akan bertanya-tanya kalau kita tdiak pamitan.” Jawab Asep.

“Tapi, bukannya tempat kita sekolah pun dekat dengan rumahnya?” Tanyaku.

“Memang, tapi setidaknya kita menghargai orang yang sudah sangat baik merawat kita selama ini.” Jawab Dani tegas.

“Baiklah. Sebelum berangkat ke rumah baru kita, memang lebih baik kalau Pak Wasid tahu ke mana kita akan pergi setelah ini.” Ucap Asep sambil membantu Dani berdiri.

-----

“Kalian harus menjadi orang sukses! Jangan menjadi gelandangan lagi!” Pak Wasid mengelus kepala kami satu per satu.

“Kami janji akan sering main ke ruma bapak!” Ucapku sambil memeluknya erat.

“Itu harus Jang! Jangan lupa kalau dulu kalian pernah menjadi gelandangan. Rumahku akan selalu terbuka untuk kalian. Jangan bawa apa-apa ketika berkunjung ke sini. Bawa saja kesuksesan kalian, itu sudah cukup bagiku!”

Kami saling berpelukan. Air mata lagi-lagi menemani pembicaraan kami.

“Oh iya, aku sudah menyiapkannya.” Ucap Pak Wasid sambil masuk ke kamarnya sebentar.

Kami saling pandang. Entah apa yang disiapkannya.

“Ini, uang yang dulu kalian tabung di sini. Sepertinya kau sudah tidak perlu lagi cita-cita untuk berjualan gorengan. Padahal uangnya sudah cukup untuk membeli gerobak dan modalnya.” Pak Wasid memberi kami amplop berwarna cokelat.

“Jadi ini…” Aku tidak pernah melihat uang sebanyak ini.

“Iya, ini uang kalian. Uang hasil kalian memulung.”

“Tapi kami tidak membutuhkannya, kami dibiayai oleh…”

“Oleh Dokter Azhar, iya kan?” Pak Wasid memotong ucapan Asep. “Lalu kalian akan memberikannya padaku? Sudah kuduga sebelumnya, kalian memang anak-anak yang baik. Tapi aku tidak mungkin makan dari hasil memulung kalian. Kalian yang susah, kalian juga yang harus memetik hasilnya. Bawalah. Aku punya uang sendiri.”

Aku mengangguk.

“Kami akan pulang ke sini membawa kesuksesan seperti yang Bapak mau!” Ucapku penuh keyakinan.

Dia tersenyum bangga padaku.

Ayah kami di jalanan.

-----

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • AyPurnama

    @EttaGurl makasih kak :D ikutin terus yaa

    Comment on chapter Rongsokan
  • EttaGurl

    Ceritanya keren, kak. Sudut pandangnya baru. :3

    Comment on chapter Rongsokan
Similar Tags
Mahar Seribu Nadhom
44      13     0     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
F I R D A U S
10      4     0     
Fantasy
Phased
12      11     0     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
3600 Detik
24      2     0     
Romance
Namanya Tari, yang menghabiskan waktu satu jam untuk mengenang masa lalu bersama seseorang itu. Membuat janji untuk tak melupakan semua kenangan manis diantara mereka. Meskipun kini, jalan yang mereka ambil tlah berbeda.
My Sunset
51      15     0     
Romance
You are my sunset.
Tak Pernah Memiliki
4      4     0     
Short Story
Saling menunggu seseorang, dalam diam. Berakhir tak indah, berujung pisah. Kita yang tak pernah bisa untuk saling memiliki.
Special
26      10     0     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
A Ghost Diary
8      3     0     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
Trust
20      9     0     
Romance
Kunci dari sebuah hubungan adalah kepercayaan.
TRIANGLE
3      3     0     
Romance
Semua berawal dari rasa dendam yang menyebabkan cella ingin menjadi pacarnya. Rasa muak dengan semua kata-katanya. Rasa penasaran dengan seseorang yang bernama Jordan Alexandria. "Apakah sesuatu yang berawal karena paksaan akan berakhir dengan sebuah kekecewaan? Bisakah sella membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan?" - Marcella Lintang Aureliantika T R I A N G L E a s t o r ...