"Em, kamu temenin Samantha ya ibadah di gerejanya Matthew." Mama mengedipkan mata kanannya, memberi kode agar sebagai kakak ia harus menjaga adiknya.
Emily sejujurnya merasa enggan untuk ikut karena ia lebih suka untuk mengikuti ibadah pagi daripada siang. Kalau bukan karena harus menghadiri ulang tahun sepupunya yang diadakan di dekat situ setelah ini, ia pasti akan menolak. Terlebih karena ia kemungkinan besar akan menjadi lilin di antara dua sejoli yang saling memadu kasih, Samantha dan Matthew. Tetapi apa daya tangan tak sampai, perintah ibu negara harus dijalankan.
Emily dan Samantha turun dari mobil. Mereka jalan berdampingan pada awalnya, tetapi kemudian Emily mengubah posisinya menjadi di belakang adiknya. Diikutinya kemana gadis centil yang lebih tinggi 0,01 cm darinya itu berjalan masuk ke dalam ruang ibadah.
Ibadah sudah dimulai saat mereka sampai. Inilah yang tadi membuat Samantha uring-uringan menyalahkannya saat di mobil karena terlalu lama di dalam rumah. Keduanya duduk di baris kedua dari belakang yang masih kosong.
Terlihat Matthew sedang mendapat jatah bermain drum. Sekilas Emily menangkap basah Samantha dan Matthew yang sedang saling memandang. Ia menggaruk kepala dan tertawa kecil tanpa suara karenanya.
Tiga puluh menit kemudian, seorang pendeta muda maju ke depan, menandakan khotbah akan dimulai. Selesai berdoa, semua jemaat dipersilakan duduk.
Meskipun masih merasa kurang nyaman, Emily berusaha untuk menikmati ibadah karena tidak mau sampai tidak bersungguh-sungguh beribadah. Semua berjalan dengan baik sampai suatu ketika suara tawa laki-laki meledak di belakangnya. Ia merasa terkejut dan sedikit terganggu, tapi ia tidak berusaha menoleh untuk melihat siapa yang tertawa dan hanya menghiraukannya. Situasi kemudian menghangat dan tidak sesunyi sebelumnya.
Ketika ibadah selesai, Samantha langsung menghampiri Matthew dan berbincang sejenak sementara Emily masih berada di tempatnya. Tak lama, pendeta muda yang tadi berkhotbah mendatanginya.
"Halo. Kakaknya Samantha ya?" pria berambut cepak itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Emily.
"Iya."
"Nama kamu siapa, ya?"
"Emily, ko," jawabnya dengan memasang senyuman.
"Kalau koko namanya, Rudi."
"Oh iya, ko."
"Ini kok tumben dateng kesini? Biasanya Samantha sendiri sama Matthew." Pria itu masih berusaha untuk melanjutkan komunikasi.
"Sodara ada acara ultah di gereja sebelah, yang depan sekolah itu."
"Oh Gereja Baptis itu yah?"
Emily mengangguk.
Samantha dan Matthew kemudian bergabung dengan Emily dan Rudi.
"Wah, hebat tadi pelayanannya, bro." Rudi memberikan tepukan di punggung Matthew lalu keduanya berjabat tangan ala laki-laki.
"Puji Tuhan, ko." Matthew membalas diserta tawa.
Seorang laki-laki bertubuh agak gemuk dan memiliki brewok lalu bergabung, menambah jumlah dalam grup diskusi itu.
"Bro Obed. Mantap ngebassnya." Giliran Matthew memuji kawannya dan keduanya saling memberikan tos.
Emily mengenali sosok lelaki itu sebagai seseorang yang pernah menjadi perwakilan pemuda remaja dari gereja ini ketika gerejanya mengadakan acara besar di bulan November tahun lalu.
"Akhirnya ketemu lagi, ya." Obed menyapa Emily yang hanya tersenyum mengangguk.
Sejak mengetahui bahwa lelaki itu memiliki rasa padanya, Emily berusaha untuk menghindar. Memang terkesan jahat, tetapi ia tak memiliki rasa yang bisa ia berikan kembali pada lelaki itu.
"Ya udah, katanya mau kesana." Matthew berbicara tapi seolah hanya kepada Samantha karena ia menatap kekasihnya itu.
Samantha mengangguk. "Anterin ya, soalnya sakit, aku pake high heel." Ia sedikit berbisik pada Matthew tapi semuanya tetap mendengar.
"Emily gimana?" Matthew mengingatkan.
"Oh iya." Samantha seperti baru teringat ia tidak datang sendirian.
"Aku anterin aja nggak papa." Obed langsung menawarkan diri dengan sukarela.
Emily tersenyum lalu menggeleng. "Nggak usah. Nggak papa kok. Jaraknya deket banget. Paling cuman lima ratus meter. Lagian aku pake dress. Nggak bisa naik motor kan?" Ia menunjuk pada penampilannya.
"Kan bisa duduk nyamping," ucap Samantha.
Emily menatap tajam adiknya secara diam-diam, sambil berkata, "Aku nggak biasa naik motor pake rok, terus duduk nyamping. Nanti takut jatoh."
"Tapi kakiku sakit. Pake high heel." Samantha bersikeras.
Melihat dua kakak beradik ini masuk ke dalam fase serius, Rudi bercanda dengan mengatakan, "Oi, urusan rumah tangga di rumah aja." Lalu membubuhkan tawa.
Masih tenang, Emily lalu dengan santai berkata, "Oh ya nggak papa kamu bonceng Matthew. Aku bisa jalan kok. Orang deket aja."
Samantha betul-betul merasa kesal karena kakaknya itu.
"Ya udah, aku temenin kalian jalan kesana." Melihat persoalan tidak dapat terselesaikan, Matthew menawarkan.
Samantha mengangguk.
"Oke, ko Rudi, bro Obed, kita jalan dulu ya." Matthew yang berperan memberikan salam penutup.
Mereka semua saling berjabat tangan lalu berjalan keluar dari ruang ibadah.
"Egois," celetuk Samantha saat mereka sedang berjalan beriringan, masih di lingkungan gereja.
Emily melirik pada adiknya itu, menggeleng heran dengan ucapannya, lalu mempercepat langkah. Ia mendahului dua sejoli itu menuju ke tempat dimana sepupunya merayakan ulang tahun.
~t~
Tepat seminggu setelahnya, Emily pergi beribadah bersama dengan kedua orang tuanya di pagi hari seperti sediakala. Sehari sebelumnya ia ditawari untuk ikut bersama Samantha untuk beribadah di gereja Matthew. Namun beruntung, teman mamanya mengundang untuk menghadiri sebuah acara sehingga ia tak perlu mencari alasan untuk menolak.
Ia sekeluarga kembali ke rumah terlebih dahulu sebelum pergi lagi untuk berganti baju kasual menjadi dress karena itu yang akan mereka hadiri adalah acara pernikahan. Saat Emily selesai dengan riasan sederhananya, ia duduk di ruang tamu menunggu mamanya selesai berdandan ria, sementara papanya sudah menunggu di mobil.
Emily memeriksa semua akun sosialnya sembari menunggu. Tiba-tiba, sebuah notifikasi di Instagram memberitahunya ada Direct Message masuk. Ia mengenali akun tersebut karena baru saja mengikuti profilnya beberapa hari lalu. Pemiliknya adalah seorang laki-laki dan berasal dari gereja yang sama dengan Matthew.
_____
jeremy_kadek
Kok tadi nggak ikut ibadah disini?
EmilyPrimadona
Enggak kak, soalnya ada janjian sebentar lagi. Jadi pulang ke rumah lebih cepet, biar ga capek. Hehehe
jeremy_kadek
Ciyeeh... Janjian kemana, neng?
Kak manggilnya de, Em, Mily, mba atau apa nih?
EmilyPrimadona
Emily aja wkwkwkwkwk
Ada nih temen mama.
jeremy_kadek
Oh gitu..
Emily itu adiknya apa kakaknya Samantha sih?
EmilyPrimadona
Aku kakaknya. Hehehe.
jeremy_kadek
Emang Emily kelahiran tahun berapa?
Oh ya, Emily sekarang dimana?
EmilyPrimadona
Di rumah kak, lagi mau siap-siap pergi.
92
jeremy_kadek
Beda 1 th
Kak 91.
EmilyPrimadona
Oh, sama kaya kak Matthew ya?
jeremy_kadek
Iya, sama kaya Matthew.
Oh btw, kak ganggu nggak?
EmilyPrimadona
Oh hehehe.
Enggak kok, kak.
jeremy_kadek
Terus ini Emily mau jalan naik motor atau?
EmilyPrimadona
Enggak kok. Ini sama papa mama Samantha juga di mobil.
jeremy_kadek
Oh pantesan kok bisa balas chat.
Emily punya pin bbm atau WA nggak? Boleh aku minta?
EmilyPrimadona
Iya gpp
08123456789
_____
Setelah memberikannya, Emily tersadar bagaimana dengan mudahnya ia dapat membagikan nomornya kepada orang yang baru saja ia kenal. Ia terheran bagaimana itu bisa terjadi. Pasalnya selama ini ia tidak pernah melakukannya, kecuali bagi teman-teman yang dekat dengannya.
Tak sampai semenit, sebuah pesan masuk di aplikasi Whatsapp. Sebuah nomor tak dikenal memberitahu bahwa ia adalah Jeremy, yang baru saja mendapatkan nomornya. Mereka kemudian berbincang kembali sejenak tetapi setelah itu Emily minta diri karena merasa pusing jika terlalu lama melihat handphone di mobil.
Beberapa waktu setelah itu, Jeremy kembali mengirim pesan kepada Emily. Tetapi entah bagaimana, jawaban singkat saja yang selalu diberikan gadis itu pada lelaki yang berusaha lebih mengenalnya. Hanya beberapa kali berkomunikasi via chatting, setelah itu komunikasi di antara mereka terputus.
Lucu bangeeeett! Tapi jangan lupa ya, Em, jodoh itu nggak cuma dicari tapi juga dibentuk. Ihiy~
Comment on chapter Sogae