Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul setengah lima pagi. Tapi Sena sudah terjaga sejak pukul tiga tadi. Gadis itu telentang di kasur, menerawang ke langit-langit dengan nanar.
Apa yang baru saja dilakukannya?
Dia baru saja memberi Sakti sebuah belati untuk menikamnya. Dia baru saja memberi Sakti sebuah parang yang sama seperti yang pernah ia berikan pada Dirga. Sena baru saja bunuh diri.
"Ck!" Sena berdecak dan menutupi matanya dengan punggung tangan agar ketakutan itu segera larut.
Tapi yang ada, justru sosok Sakti hadir dalam kegelapan. Tubuh jangkung yang hanya mengenakan kaus hitam dan celana longgar selutut, rambut yang sering acak-acakan tapi tetap terlihat menarik dengan caranya sendiri, cengiran bergingsul itu, kacamata bundar,
dan cara bicaranya yang penuh ketenangan.
Ah, Sena bisa gila. Gila karena sekarang dirinya dibanjiri perasaan hangat yang membuatnya melambung, namun dibayangi oleh rasa takut hingga Sena tidak berani melepasnya tinggi-tinggi. Rasa takut yang bersembunyi di sudut tergelap hatinya, menjadi sebuah teror seperti burung pemakan bangkai yang siap melahap habis seluruh kebahagiaannya.
"Sama seperti Arga dan Ana yang tahu betul ada kemungkinan lain tentang kehamilan Ana, harusnya kita juga tahu ada bahagia selain luka. Mau sampai kapan kamu berfikir bahwa hanya luka saja yang bisa dibawa sebuah hubungan?"
Sena menghembuskan nafas, berusaha mengenyahkan rasa takut yang saat ini menderanya seperti sebuah kungkungan tak kasat mata. Sakti benar, mau sampai kapan dirinya akan ketakutan? Dirinya masih tetap bergeming hingga alarm meraung-raung, pertanda aktivitas paginya harus segera dimulai. Namun belum lagi Sena beranjak, sebuah pesan hadir di ponselnya.
"Perdana. Aku antar kamu, kita sarapan, makan siang , jemput kamu dan makan malam bersama. Hari ini."
Sena membacanya berulang kali, kemudian menggigit bibir bawahnya ketika ia merasa ingin berteriak kencang sekali. Tuhan, dia lupa bagaimana rasanya jatuh cinta.
"Oke."
Sena masih menggigit bibir bawahnya ketika mengetikkan balasan. Berusaha meredakan dentum kencang jantungnya yang sudah jumpalitan sedari tadi. Ia memejamkan mata, menjatuhkan diri kembali ke kasur dan memeluk gulingnya erat-erat demi meredakan sesuatu yang meledak di dalam tubuhnya.
Semua laki-laki selalu mempunyai beragam ekspresi ketika Sena sudah menanyakan hal-hal aneh pada mereka. Marah, tersinggung hingga pergi saat itu juga. Karena toh, Sena juga menyadari jika pertanyaannya sangat menyebalkan. Tapi dia ingin mendengar jawaban mereka untuk tahu bagaimana pandangan mereka tentang ini. Katakanlah, ketakutan tidak membuatnya luluh semudah itu. Tidak banyak orang yang mau membahas hal-hal yang merisaukan tentang sebuah hubungan. Sena berani bertaruh tidak banyak pasangan di luar sana yang bisa begitu terbuka mendiskusikan hal-hal mengerikan seperti tadi malam. Tapi Sakti berbeda. Semua pertanyaan menyudutkan darinya dijawab Sakti dengan begitu sabar, begitu apa adanya.
"Senam," celetuk Sena menghentikan pikirannya tentang Sakti. Ia bangkit dan menepuk-nepuk pipinya sendiri. "Senam, oke?"
Sungguh, Sena berusaha agar dirinya tidak terlalu terbawa perasaan yang demikian meluap. Tapi dia tetap tidak bisa mencegah dirinya senyum sendiri dan bersenandung pelan kala meraih handuk dan menuju kamar mandi.
**
Sena sedang mengunci pintu ketika Sakti keluar dari unitnya.
"Pagi," sapanya membuat Sena menoleh ke arahnya tanpa sadar, lalu terpaku pada Sakti yang sudah bersiap dengan kemeja kerjanya.
"Pagi juga," jawab Sena tersenyum meskipun saat ini hatinya sedang porak poranda.
Sesaat, keduanya hanya saling menatap di depan pintu masing-masing. Kemudian Sakti mengusap tengkuknya, terlihat sedikit gugup. Tolong, siapapun yang melihat mereka mungkin akan mengatakan jika pasangan anak SMA lebih bisa mencairkan suasana ketimbang Sena dan Sakti yang masih saja berdiri tanpa tahu harus melakukan apa.
"Berangkat?"
Sena mengangguk. Agak geli ketika dilihatnya Sakti bertingkah sedemikian canggung. Kemana perginya aura tenang tadi malam?
Melihat raut wajah Sena, Sakti berdecak dan menjentik pelan dahi Sena. "Jangan tertawa, Na."
Mendengarnya, senyum Sena justru melebar. Kegugupannya menguap entah kemana. Saat ini, dia ingin berteriak pada dunia jika Sakti Samudra adalah laki-laki paling manis yang pernah dikenalnya.
"Ayo berangkat, deh. Lapar."
Berdehem, gadis itu mulai melangkah. Namun Sakti menahan sikunya.
"Kenapa?"
Laki-laki itu tidak berkata apapun. Alih-alih bicara, ia melepaskan siku Sena, kemudian mengulurkan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke atas.
"Boleh gandengan?" pinta Sakti sembari tersenyum.
Sena menatap Sakti, kemudian ganti menatap uluran tangan kanan Sakti. Lalu Sena tergelak pelan.
"Boleh," jawab Sena menyambutnya. "Mas Sakti kayak anak SMA aja. Udah hampir 30 lho Mas."
Mendengarnya, Sakti tertawa pelan. Ia menggenggam tangan Sena beberapa saat, yang terlihat begitu terlindungi di dalam genggamannya. Laki-laki itu mengusap lembut punggung tangan Sena dengan ibu jari tanpa menyadari bahwa Sena sudah kelojotan di dalam sana. Kemudian, Sakti menariknya hingga Sena maju selangkah mendekati Sakti.
"Nggak, bukan kamu aja yang bisa kayak anak SMA," ucapnya menyentuhkan telapak tangan Sena ke dadanya. "Nggak kerasa? Kenceng banget gitu? Aku kenapa? Kebanyakan makan garam, ya?"
Sena menarik cepat tangannya agar menjauh dari dada Sakti, mengabaikan Sakti yang tertawa kala rona merah menjalar di kedua pipi Sena.
"Berhenti bertingkah manis, Na. Aku benar-benar menahan diri dari peluk kamu sekarang," kata Sakti menarik pelan Sena untuk mulai berjalan menuju carport, tanpa menyadari bahwa gadis itu tengah berusaha mencegah jantungnya keluar dari dada.
"Lhoh Na? Udah berangkat? Tumben pagi bener! Gue laper, nih!"
Keduanya menoleh kala mendengar suara Rafi. Pemuda itu sudah berada di depan unitnya, menenteng piring dan sendok sembari menatap Sena dengan memelas.
"Aku nggak masak hari ini," kata Sena merasa bersalah.
"Ha? Terus lo sarapan—" kata-katanya terhenti kala dirinya menyipit ke arah tangan Sena dan Sakti yang bertaut. "Sebentar. Apa gue ketinggalan berita?"
Sena yang tidak tahan lagi dengan hawa panas ini berusaha melepaskan tautan tangan mereka. Namun Sakti mencegahnya. Ia justru semakin erat menggenggam tangan Sena.
"Kamu yang pertama tahu. Jadi, kita berangkat dulu," celetuk Sakti membukakan pintu untuk Sena. Mengabaikan Rafi yang sudah heboh sendiri di depan kontrakan sebelum duduk di kursi kemudi. Sakti melirik ke kaca spion, terkekeh kecil kala dilihatnya Rafi mengapit piring di ketiak karena kedua tangannya sibuk dengan ponsel.
"Ck, Mas Rafi pasti heboh di grup. Lihat sa—" kata-kata Sena terhenti ketika ponselnya mengeluarkan denting notifikasi. Gadis itu mengangkat alis. "Iya, kan?"
Sena mengarahkannya pada Sakti, yang tertawa.
"Ya sudah. Kita dinner kapan-kapan, gimana? Nanti malam makan sama-sama saja," ucapnya sembari mengundurkan mobil sementara Sena mengangguk di sampingnya.
"Sampai minta traktir coba?" Kemudian Sena memekik. "Mas Rafi gila! Ini niatnya ngasih selamat atau malak, sih? Nggak tanggung-tanggung!"
"Aku nggak keberatan, Na. Anggap saja selebrasi. Karena mulai hari ini, kamu punyaku."
Dan dengan begitu, bibir Sena terkunci sempurna. Sakti yang menyadari rona merah di wajah Sena hanya tertawa sebelum meraih puncak kepala Sena dan membelainya lembut.
"Mau sarapan apa?" tanya Sakti begitu mereka sudah berada di jalan raya.
"Eh? Aku terserah Mas Sakti saja. Aku kan jarang banget sarapan di luar," ucap Sena berusaha fokus dari kenyataan bahwa saat ini dia sedang berada di tengah-tengah aroma mint yang memabukkan.
Sakti tersenyum. Ia menoleh beberapa saat pada Sena.
"Kamu cantik," ucapnya tanpa menyadari efek dua kata itu bagi Sena, yang langsung terpaku di atas tempat duduknya.
Sesuatu yang familier dan menyenangkan jelas sedang menguasai setiap sudut raganya saat ini. Namun seiring besarnya rasa itu untuk Sakti, semakin besar pula ketakutan itu melandanya. Sena memandangi Sakti yang sudah berkonsentrasi pada jalan raya, menelan ludah dan mengalihkan pandangan ke depan.
Dia hanya harus belajar untuk berani.
**
Sena melepas seatbelt-nya ketika Sakti berhenti di depan rumah sakit. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum dirinya harus mengisi presensi.
"Sampai ketemu siang nanti," ucap Sakti membuat Sena menoleh. Gadis itu tersenyum.
"Iya, nanti aku dikabari kalau mau jemput, ya?" pintanya yang diangguki Sakti. Dia sudah hendak keluar ketika tiba-tiba saja Sakti menariknya duduk kembali.
"Kenapa, Mas?" tanya Sena mengerutkan kening. Namun Sakti yang masih menahan tangannya hanya bergeming. Laki-laki itu menatap Sena dengan pandangan tidak terbaca, kemudian mendekat dan mencium dahi Sena.
"I do love you, Na." Bisiknya pelan dengan wajah yang sangat dekat dengan Sena. Membuat gadis itu membeku kala nafas hangat Sakti menerpa kulit pipinya.
Tinggal berkata bahwa dia juga merasakan hal yang sama, namun kalimat itu tertahan di ujung lidah Sena. Hingga akhirnya, Sena mengulurkan tangan dan menyentuh garis rahang Sakti dengan ringan. Meredam sebentuk kagum pada wajah ini yang entah sejak kapan semakin menjadi.
"Sampai ketemu siang nanti," ucapnya sebelum menarik diri dan keluar dari mobil. "Have a nice day, Mas Sakti."
Seolah tersadar dari sesuatu, Sakti tersenyum. "Have a nice day, Sena."
Baru tiga jam dari terbitnya matahari, namun seluruh tubuh Sena sudah melumer seperti coklat Toblerone yang dibiarkan di atas aspal pada siang hari.
"Masuk duluan, Na," pinta Sakti membuat Sena mengerutkan kening. Namun Sakti hanya mengedikkan bahu, "Aku masih kangen kamu."
Sena menggertakkan gigi kala rasa panas itu kembali menderanya dengan membabi buta, membuat Sakti kembali tertawa pelan.
"Aku duluan, Mas," pamitnya berbalik dengan langkah menghentak. Tidak, tidak, sebenarnya, Sena juga tidak mau meninggalkan Sakti secepat ini. Tapi dia takut jika tiba-tiba saja dia pingsan di tempat karena kelakuan Sakti.
Sepertinya, Sena benar-benar lupa rasanya jatuh cinta.
Sedangkan Sakti mengawasi Sena dengan senyum di bibirnya. Sungguh, perempuan bertubuh mungil itu membawa warna tersendiri dalam hidupnya. Ia berlama-lama memandangi Sena, yang masih menjauh dengan langkah menghentak. Sakti membiarkan hormon oksitosin menggila di dalam tubuhnya, menikmati setiap detik perasaan bahagia dari sesosok cupid bernama cinta. Tidak apa-apa jika ada yang mengatakan dia mirip anak remaja. Karena toh, cinta memang senorak itu, kan? Yang penting adalah, dia menyayangi perempuan ini dengan cara yang benar.
Sakti menelengkan kepala ketika tepat di depannya, langkah gadisnya berhenti karena Danar memanggil.
"Dev!"
Sena berhenti dan menemukan Danar berdiri tepat di depat pintu lobi. Laki-laki itu menatap ke arah mobil Sakti yang masih bergeming, kemudian kembali menatap Sena dengan tajam hingga Sena menelan ludah. Jangan bilang dia melihat adegan cium dahi tadi. Dia bisa malu seharian.
"Bisa kamu jelaskan apa yang baru saja terjadi di mobil tetanggamu? Agaknya akhir-akhir ini kalian sering bersama," bisik Danar bersedekap sembari menyipit pada Sena.
"Ng...ya begitulah." Sena meremasi tangannya sembari mengerling ke belakang. "Nggak ada salahnya kita berangkat bareng, kan? Terus, i-tu...sekalian bilang kalau nanti nggak bisa datang ke acara ulang tahun. Eung...saya, ada acara. Lagipula, tadi malam kan saya belum menyetujui, jadi nggak bisa disebut melanggar janji. Ucapan selamatnya sekarang saja, ya? Selamat ulang tahun Pak Danar, semoga langgeng sama Bu Jenny."
Demi apapun, wajah tulus gadis itu benar-benar melemahkannya. Namun dia tidak bisa mengabaikan ucapan Sena tadi. Laki-laki itu menyipit tajam padanya.
"Kenapa nggak bisa? Nanti kamu ada acara kemana? Biar acara saya saja yang diundur karena saya juga perlu bicara serius sama kamu."
"H-ha? Bicara apa? Kenapa nggak seka---"
"Kamu punya hubungan khusus sama tetanggamu itu?"
Danar semakin tidak bisa menahan diri kala dilihatnya Sakti mengawasi mereka dari balik kaca mobil. Tidak, laki-laki itu tidak memasang wajah mengancam dan sebagainya. Tapi tatapan tenang Sakti justru membuat Danar merasa terintimidasi.
Sena memutar bola mata. Atasannya ini ingin tahu sekali.
"Devasena Gayatri, saya menunggu jawaban kamu."
Wah, beliau sampai memanggilnya dengan nama penuh. Itu artinya Sena harus segera menjawab.
"Namanya Sakti, Pak Danar," jawab Sena. "Dia pacar saya."
**
God, please!!
Sakti benar-benar harus berkonsentasi pada pekerjaannya. Tapi bagaimana bisa dia melakukan itu sementara Sena selalu melintas di otaknya?
Bayangan manis Sena tidak pernah meninggalkan pelupuk mata Sakti hingga ia heran sendiri dirinya bisa selamat sampai ke kantor. Dengan setelan kerja yang tidak pernah luput menarik perhatian Sakti, gadis itu sungguh menjadi ujian terberatnya pagi ini. Dia ingin memeluknya, menyembunyikan tubuh mungil nan wangi itu ke dalam dekapannya erat-erat, meyakinkan diri bahwa gadis itu sudah bersedia menjadi miliknya. Tapi pada akhirnya dia menahan diri. Belum saatnya. Dia masih ingin menikmati getar menyenangkan ketika mereka bergandengan. Merasai jemari itu tenggelam dalam genggamannya, dia bisa gila hanya dengan sentuhan itu. Lagipula, dia masih bisa melihat keengganan gadis itu akan sentuhan yang berlebihan.
Ah, perasaan menggebu ketika jatuh cinta memang sebegini ribetnya. Untuk kesekian kali, laki-laki itu mengacak rambut dan menyeruput kopi sebelum menyipit ke arah diagram yang terbentang di meja.
"Wah, tumben lo pesen kopi!"
Bayu muncul di biliknya sembari membawa beberapa bendel berkas yang dikenali Sakti sebagai proyek baru. Itu artinya, pekerjaan rumah untuknya akan bertambah lagi.
"Hmm..." gumam Sakti sekenanya sembari mengusap wajah. Bayu yang melihatnya mengerutkan kening.
"Lo sakit?" tanya pemuda berkacamata tebal itu duduk di sebelah Sakti. Mendengarnya, Sakti terkekeh. Iya, dia memikirkan Sena sampai tidak bisa tidur semalaman. Sakti bertopang siku ke meja dan memijit pelipisnya.
"Kelihatan banget, ya?"
"Hm. Insomnia lo kambuh lagi? Bukannya beberapa hari belakangan udah agak mendingan?" tanya Bayu dengan cemas. "Kenapa nggak join aja kayak biasanya?"
Sakti menggeleng. "Nggak bisa konsen."
"Kenapa sih?" tanya Bayu mendekatkan tubuhnya pada Sakti. Kentara sekali laki-laki itu sangat kacau hari ini. "Kalau sakit, mending istirahat aja. Bisa gawat kalau ada launched project yang nggak sempurna cuma karena supervisor kita sakit."
Sakti menghembuskan nafas panjang. "Gue nggak papa. Siniin bawaan lo."
"Gila! Sejak kapan kita jadi super sibuk begini? Gue harus minta naik bonus sama Tirta—"
"Sakti, aku perlu bicara sama kamu."
Mereka berdua menoleh dan menemukan Nathalie berdiri di depan pintu ruangan Sakti. Perempuan yang mengenakan kemeja merah dipadu dengan rok span berwarna hitam itu menatap Sakti.
"Ya sudah. Bicara saja," jawab Sakti melanjutkan aktivitasnya memeriksa proposal yang baru saja datang.
"Di ruanganku, Mr. Samudra. Ada dokumen dari pusat untuk kamu," ucap Nathalie tegas seraya berbalik, membuat Sakti menghentikan aktivitasnya dan menatap punggung Nathalie yang menjauh.
"Tiati. Bisa diamuk Tirta lagi lo," pesan Bayu cemas mengingat kejadian beberapa hari yang lalu di ruangan ini. Ketika Tirta tiba-tiba saja membentak Sakti dan menyuruhnya untuk menjauhi Nathalie. Untung saja saat itu ruangannya hanya berisi Sakti dan Bayu, sehingga Bayu tidak akan mengadukannya pada atasan atas pelanggaran etika kerja dari Tirta kepada Sakti.
"Dia bisa ngamuk sama gue, nggak peduli gue bener atau salah, Bay. As you said, someone feels insecure," dengus Sakti bangkit dan berjalan keluar ruangan.
Bayu, seperti halnya anak buah Sakti yang lain yang masih berada di situ, menghentikan pekerjaannya sejenak ketika supervisor mereka menghilang dari ruangan.
"Sebenernya mereka balikan atau nggak, sih?"
"Nggak ingat kasus ciuman di lobi yang ketangkap CCTV itu? Gila ya Pak Sakti. Pantas aja diamuk sama Pak Tirta."
"Masa sih, bukannya Bu Nath yang nyerang duluan? Apa gue salah?"
"Maling teriak maling, eh. Yang ada Pak Tirta yang ngrebut Bu Nathalie dari Pak Sakti."
"Udah udah, itu bos sendiri lho yang digosipin. Kasian dia kan kalau matanya kedutan terus." tukas Bayu menepuk tangannya untuk menghentikan bisik-bisik yang membumbung di udara.
Tapi itu benar, pikir Bayu kembali ke mejanya. Agaknya, wanita itu tidak terima jika Sakti melepaskannya semudah itu. Lalu Sakti harus menerima kemarahan Tirta, orang yang menikung Sakti dan bermain gila dengan Nathalie.
Ah, sesuatu yang didapatkan dengan cara yang salah memang tidak pernah bertahan lama.
**
"Kenapa?"
Keheningan yang terjadi dirasa sudah cukup bagi Sakti. Semenjak mereka duduk berhadapan dengan meja kerja Nathalie berada di tengah mereka, tidak ada yang dilakukan Nathalie selain memandangi Sakti sedari tadi.
"Kamu sakit?" tanya Nathalie sembari meraih sebuah map dari dalam laci dan mendorongnya ke arah Sakti. "Evaluasi divisi gaming dari atas. Outstanding as usual," sambung Nathalie datar.
Sakti menerimanya dan menelitinya lembar demi lembar, kemudian mengangguk.
"Terima kasih," ucapnya singkat sebelum bangkit. Namun, Nathalie menahan kemejanya. Sakti melirik pada jemari Nathalie yang menggenggam kemejanya hingga membuat Nathalie melepaskannya dengan cepat. Karena baru saja, lirikan Sakti terlihat begitu dingin.
"Ada apa lagi, Nath?" tanya Sakti kemudian.
Nathalie terbungkam. Wanita itu menatap Sakti dengan gamang.
"Gimana menurut kamu kalau aku menyudahi hubunganku dengan Tirta?" tanyanya pelan.
Sakti mengetukkan ujung jarinya di meja, menatap wanita itu sejenak.
"Apa hubungannya denganku?" tanya Sakti datar.
Mendengarnya, Nathalie mengerjap cepat.
"Sakti, tolong. Jangan begini," pintanya berbisik dengan mata memerah. "Dia selingkuh. Tirta selingkuh. Semua bukti ada di tanganku. Aku harus gimana?"
"Seharusnya bukan aku yang ada di sini, tapi Tirta. Nggak ada gunanya kamu ngomong di depanku. Masalahmu dengan Tirta."
Dalam hitungan detik, air mata mengalir dari kedua mata Nathalie meskipun ia masih mempertahankan ekspresi wajahnya agar tidak terlihat menyedihkan di depan Sakti.
"Aku nggak bisa. Aku mau selesai saja," kata Nathalie menyapu pipinya dengan ujung jari telunjuk.
Sakti menatapnya sejenak, kemudian menghela nafas. Ia meraih sekotak tisu dari meja lain untuk ia letakkan di depan Nathalie.
"Apapun keputusan kamu," jawab Sakti.
"Kamu pasti tertawa di belakangku, kan?" bisiknya. "Kamu pasti berpikiran aku kena karma."
"Apa aku harus berpikir begitu? Jujur, aku nggak peduli." Sakti mengucapkannya dengan tenang.
"Sakti," panggil Nathalie pelan di antara getar suaranya. "Aku mau kita kembali bersama. Aku...berpikir bahwa Tirta bisa membuatku bahagia tapi...Sakti, dia menyakitiku."
Sakti menatap Nathalie, yang akhirnya menunduk untuk menyembunyikan air mata yang kian deras. Terakhir kali wanita itu mengatakan hal yang sama, sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi.
Setelah keheningan yang menguasai, wanita itu memberanikan diri mengangkat wajahnya. Hanya untuk mendapati Sakti memandangnya tanpa ekspresi. Dia berharap bahwa Sakti-nya yang dulu kembali. Sakti-nya yang tidak pernah bisa melihat dia menangis. Sakti-nya yang mengusap air matanya dengan sentuhan menenangkan. Sakti-nya yang selalu mengatakan kata-kata penghiburan sehingga Nathalie bisa tertawa lagi.
Melihat Sakti menatapnya dengan sebegini datar, sesuatu dalam diri Nathalie mulai merasa takut.
"Kamu bikin aku takut," bisik Nathalie terbata.
"Berhenti meminta hal seperti itu. Kata-katamu bisa membuat Tirta salah paham," ucap Sakti datar.
"Memangnya apa peduliku? Dia berkhianat! Si brengsek itu berselingkuh di belakangku!" hujam Nathalie meninggikan suaranya. "Aku nggak bisa, Sakti. Ini terlalu sakit!"
Lagi-lagi, Sakti menghembuskan nafas. Ia bangkit.
"Jangan seperti ini, Nath. Aku permisi."
Namun Nathalie menahan ujung kemeja Sakti lagi, membuat laki-laki berkacamata itu kembali menghadapinya.
"Bagaimana bisa semudah ini kamu melepasku?" tanya Nathalie dengan air mata yang kembali terbit. Pandangannya penuh dengan rasa tidak terima. "Tiga tahun dan semudah ini...semudah ini kamu membiarkanku pergi dari hidupmu...kamu jahat, Sakti."
Sakti terdiam sejenak, kemudian melepaskan cengkraman Nathalie pada kemejanya.
"Melepaskan kamu tidak pernah jadi hal yang mudah untukku, Nathalie. Tapi bukan berarti tidak bisa. Kamu memang harus pergi agar perempuanku yang sekarang tidak terganggu dengan kamu dan masa lalu."
Kata-kata Sakti membuat Nathalie terdiam beberapa saat.
"Jadi gara-gara cewek kuliahan itu?" tanyanya dengan nada tidak suka. "Yang jadi tetangga kamu dan dengan lancangnya masuk ke apartemenku?"
"Dia bukan anak kuliahan. Namanya Sena. Cukup kamu tahu bahwa sekarang, dia yang paling penting di hidupku."
Mata Nathalie melebar ketika Sakti mengatakannya dengan begitu tegas. Rasa sakit tertoreh di dadanya.
"Kamu nggak akan bisa," desisnya. "Dari dulu, hanya aku yang ada di hati kamu! Cuma aku yang boleh menguasai pikiranmu! Kamu nggak akan mampu membuangku semudah itu, Sakti Samudra!"
"Dulu, Nath. Dulu, aku memberimu semuanya," ucap Sakti mulai merasa percakapannya sangat tidak berguna. "Tapi kamu mengabaikannya. Sekarang sebaiknya kamu selesaikan masalahmu dengan Tirta. Jangan bicara hal-hal aneh lagi."
Sakti berbalik, meninggalkan Nathalie yang menatap tidak percaya pada punggung Sakti. Ketika laki-laki itu membuka pintu, sebuah tinju mendarat di wajahnya tanpa bisa diantisipasi.
" TIRTA!"
Tirta yang kalap, masuk dan menerjang Sakti dengan membabi buta, membuat laki-laki itu kehilangan keseimbangan dan nyaris menabrak meja rendah di sisi ruangan. Namun ia berhasil menghalau tinju yang lagi-lagi mengarah ke wajahnya.
"Jangan mengganggunya, Samudra! Apa telingamu tuli?!" desis Tirta dengan wajah merah padam hanya beberapa senti dari hidung Sakti yang berdarah.
"TIRTA! LEPAS, BRENGSEK!" Nathalie berusaha melepaskan cengkraman Tirta dari kerah kemeja Sakti. Namun yang ada, Tirta menoleh ke arah Nathalie dengan wajah memerah.
"Aku tidak pernah selingkuh, Nath! Jadi simpan ancamanmu untuk pergi dariku!"
"Tidak selingkuh katamu?" hujam Nathalie gemetar. "Harus aku apakan seribu bukti yang aku punya, Tirta?"
Sakti mengernyit, berusaha menghindari bau anyir yang kini memenuhi jalan nafasnya. Laki-laki itu menyingkirkan Tirta kelewat mudah dan berjalan ke pintu keluar demi menghindari drama picisan di depannya. Namun Tirta menerjang lagi, yang mampu diantisipasi Sakti dengan satu tangan karena tangan yang lain sibuk menghentikan laju darah dari hidungnya. Membuat Tirta menggeram tidak terima ketika Sakti bisa menghalau ayunan tinjunya dengan kekuatan tidak terduga.
"Berhenti," kata Sakti melepaskan tangan Tirta dan meraih beberapa tisu untuk ditempelkan di hidungnya. "Masalahmu dengan Nath, bukan denganku."
Sakti keluar ruangan, membiarkan pintu terayun di belakangnya. Nyatanya, tidak ada seorang pun yang sadar akan apa yang terjadi di ruangan Nathalie. Mereka semua hanya mengerling pada Sakti kala Sakti lewat dan menuju ruangannya sendiri.
Ah, kacau. Mana bisa ia bertemu Sena dalam keadaan tidak keren seperti ini?