Pentingnya menetapkan alasan sebelum kesenangan diperumit oleh hati. Bermain atau serius? Pada akhirnya akan dipertanyakan, dan semoga kamu mampu menjawabnya.
****
Erga
(Pemain : Bryan Domani ????)
Namaku Ergantara Dirga. Cowok paling ngehits di SMA Karya. Yang tidak kenal aku, sudah dipastikan kalau orang itu berasal dari goa atau hutan belantara.
Aku suka cewek. Jelas dong ya. Aku merasa perlu menegaskan ini karena permasalahan maho sedang menjangkiti beberapa kalangan di luar sana.
Kepopuleranku dalam masa kejayaan tertinggi tahun ini. Aku bisa menjadikan cewek manapun di sekolah ini sebagai pacar dalam hitungan detik. Kalau ada yang meragukan itu, suruh datang padaku. Biar kutempelen kepalanya.
Pagi ini, seperti biasa aku datang bersama Arfi dengan mobilionya yang sudah penyok di bagian belakang karena tertabrak bentor (becak motor) saat kami pulang tengah malam dari perayaan ulang tahun seseorang.
Aku dan Arfi sudah sahabatan sejak Tk. Tepatnya, sejak aku merampas permen yang belum sempat ia buka pembungkusnya. Arfi, walau tampangnya sebelas dua belas denganku, sama-sama ganteng, dia berada di kutub yang berlawanan denganku. Dia berwibawa, penuh solusi, tapi terlalu sering bercanda hingga aku tidak percaya lagi dengan sifat pertama tadi.
Jika diibaratkan sesuatu, Arfi adalah antagonis utama dalam sebuah film tapi karena ia jago akting, semua orang tidak sadar akan hal itu. Arfi, kalau depan kaum hawa, sifat bangsatnya tertutupi ribuan lapisan topeng, dia pasti jadi cowok paling baik di jagad raya ini. Kata-katanya lebih manis dari madu.
Kalimat sampah, jika Arfi yang mengucapkannya, akan terdengar meyakinkan. Tidak heran, dia menjabat ketua OSIS tanpa repot melakukan kampanye sebelum pemilihan. Dia dicintai dengan alami. Layaknya pemimpin yang memang ditakdirkan sejak lama menduduki jabatan Ketua OSIS.
“Biologi, Matematika, Sejarah.” Arfi menyebut satu-satu mata pelajaran hari ini sambil melirik handphone-nya dengan tampang serius. Setelahnya, ia manggut-manggut entah karena apa.
Aku melambatkan langkahku agar sejajar dengan Arfi yang belum melepaskan tatapannya dari layar. “Kenapa?” tanyaku. Sedikit penasaran kenapa ia mengungkit tiga bencana yang harus kuhadapi di sekolah hari ini.
Arfi menoleh sambil tersenyum kecil di satu sudut bibirnya. “Gue lagi mikir, bagusnya tidur di jam pelajaran yang mana. Biologi dan Matematika agak sulit karena gurunya galak banget. Terus kalau Sejarah.” Ia tampak menerawang lalu detik selanjutnya berwajah murung sambil kembali menatap jalan. “Gurunya sudah tua, gue jadi tidak tega.”
Responku?
Biasa saja. Aku meladeni tingkah semenyebalkan ini tiap hari. Sebagian diriku pasrah, sebagiannya lagi ingin menempeleng kepalanya agar dia berhenti jadi setengah manusia setengah setan.
Inilah Arfi yang sebenarnya. Siluman jadi-jadian SMA 1 Karya. Sialnya, tidak ada yang tahu kecuali aku.
“Nggak takut ketahuan?”
“Takut. Tapi mau bagaimana lagi. Mata gue sulit diajak bekerja sama, Er. Malam, nggak bisa tidur. Pas pagi, malah ngantuk berat.”
“Ya iyyalah. Tuh mata lu pakai main game sampai subuh,” ucapku lalu menatap seorang cewek yang mengobrol dengan temannya di dekat pintu kelas 2 IPA 5. Dia makin cantik.
“Lah mending main game. Lu… punya mata cuma dipakai jelalatan ke cewek-cewek.”
Aku menoleh pada Arfi sambil nyengir lebar. “Cewek cantik, sayang kalau dianggurin, Ar. Gue sebagai manusia harus memanfaatkan semua kemungkinan yang ada. Cewek cantik harus dipacari biar cantiknya nggak sia-sia.”
Arfi mendengus ke arahku. “Lu ngomong kayak lupa akhirat.”
“Cih. Apa bedanya sama diri lu.”
Arfi menggoyang-goyangkan jarinya di depan wajahku. “Jelas beda dong. Gue ini Ketua OSIS. Lu bukan.”
Aku mendelik sambil meyakinkan diriku kalau Arfi tidak butuh jitakan di jidatnya untuk menghilangkan kesombongan yang menggerogoti jiwanya.
“Ah, dasar siluman. Makan tuh jabatan!” ucapku dengan nada bercanda. Aku dan Arfi kemudian tertawa. Menertawai betapa berengseknya kelakuan kami.
“Eh. Gue punya tantangan.” Arfi tiba-tiba bicara lagi saat kami sampai di depan kelas.
Tantangan?
Bagiku, kata tadi setingkat dengan ajakan perang. Bukan Erga, jika tidak menerima tantangan. Bukan Erga juga, jika tidak sanggup menjalaninya. Langsung saja aku menoleh pada Arfi yang sudah menatap ke arah lain.
Arfi melirikku sekilas lalu mengembalikan fokusnya pada cewek berambut panjang yang berjongkok depan kelas 2 IPA 3. Kelasnya berhadapan dengan kelasku.
Nama cewek itu Uli. Sering dipanggil seperti itu tapi nama di rapornya adalah… Aku lupa. Atau mungkin aku memang tidak pernah tahu, entahlah.
Uli salah satu cewek yang tidak masuk dalam kriteria pasangan idamanku. Memimpikan dia jadi pacar saja tidak pernah. Cueknya di atas rata-rata. Katanya, kalau mau mengobrol dengannya, harus baca basmalah puluhan kali biar tidak kena sial.
Yeah, aku tahu karena teman kelasku pernah naksir berat sama dia. Temanku itu dapat nilai lima dalam ujian matematika sehari setelah Uli menolaknya.
“Uli pernah patah hati waktu kelas satu, pacarnya ketahuan selingkuh. Gue nggak tahu pasti apa karena hal itu atau hal lain, yang jelas dia jadi cuek sama semua cowok setelahnya.”
Aku tidak mengerti kenapa Arfi harus menjelaskan kisah asmara Uli padaku. Makanya aku hanya manggut-manggut. Aku lebih penasaran siapa yang melahirkan cewek itu. Mungkin ibunya salah makan ketika mengandungnya sehingga yang lahir malah patung berjalan bernama Uli.
“Gue nantang lu bikin dia jatuh hati dalam waktu dua bulan.”
Kepalaku seolah bergerak sendiri ke arah Arfi. Mungkin telingaku yang bermasalah, mungkin banyak kotoran di dalamnya jadi pendengaranku terganggu.
“Berani, nggak?” tantang Arfi sambil menyeringai sementara aku… mungkin terlihat shock sekarang ini.
“Bisa diulang?” tanyaku dengan kecepatan lebih lambat dibanding siput.
Sebagai jawaban, Arfi memberikan tatapan datarnya padaku. Membuatku frustrasi dan sempat mengutuk kenapa aku punya ego setinggi langit. Sejak dulu atau mungkin sejak jadi embrio dalam uterus, aku tidak pernah mau kalah, apalagi soal cewek. Tantangan kuartikan sebagai pertarungan serius di mana nyawa sebagai taruhannya.
Seorang Erga pantang menolak tantangan siapapun.
“Nggak ada hadiah?” tanyaku setelah yakin seratus persen kalau telingaku masih berfungsi dengan baik.
“Karir lu sebagai cowok terkeren di sekolah perlu dibuktikan dengan tantangan biasa ini, Er”
Arfi semakin mahir bermain kata-kata, ya. Bagaimana bisa lidahnya mengatakan biasa semudah itu.
“Gue…”
“Ayolah. Seorang Erga tidak mungkin mengakui dirinya pecundang hanya karena nggak bisa naklukin satu cewek sejenis Uli.”
Arfi sialan itu pintar sekali mengompor-ngompori. Dia terlahir dengan bakat provokator dalam dirinya. Aku yakin. Sangat yakin.
“Masalahnya…”
“Masalahnya lu memang pesimis bisa, kan?” Arfi tersenyum sinis. Dan kali ini aku masuk dalam perangkapnya.
“Oke, gue terima tantangan itu,” jawabku sebelum Arfi berubah jadi setan seutuhnya demi membuatku menerima tantangan itu.
Lagipula, siapa yang mau jadi pecundang? Aku? Tidak, tidak. Tidak ada dalam sejarah manusia, Ergantara Dirga, penakluk cewek di SMA 1 Karya, menyerah sebelum berjuang.
“Yang kalah harus membotaki kepalanya,” tambahnya.
Dan untuk kesekian kalinya, Arfi terlihat berengsek di mataku pagi ini.
“Serius?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Arfi mengangguk dan jelas sekali di wajahnya tercetak senyum setan yang mengerikan.