Waktu akan terasa jauh apabila kita tidak pandai untuk memanfaatkan dengan baik. Waktu akan berjalan terus sesuai dengan perputaran dari detik ke menit, dari hari ke minggu, dari minggu ke bulan, dari bulan ke tahun. Apabila sudah berlalu tidak akan mungkin kembali lagi.
-Imam Ghozali-
***
Di RQ, peraturan pertama yang harus ditaati adalah DILARANG PULANG SELAMA 40 HARI PERTAMA. Mungkin itu terlihat hal yang sepele untuk ditaati, tapi tidak sedikit santri yang melanggarnya. Sebagai contoh, Aku.
Baru beberapa hari aku di sini, aku merasa tidak nyaman. Keramahan dan kebersamaan yang aku impikan belum merambah hati. Aku belum merasakan kenyamanan yang dulu aku dambakan sebelum mondok. Aku dan mereka, para santri, masih merasakan perbedaan. Belum menyatu. Entah bagaimana dengan Indi. Di beberapa waktu, aku sering menyendiri di kamar. Setiap menjelang tidur, berangkat sekolah, makan, aku selalu ingat suasana di rumah.
Memang rumahku tak seindah dan semegah istana, tapi keadaan yang membuatnya menjadi tempat paling nyaman bagiku di dunia. Suasana pedesaan yang pasti mengundang rindu bagi yang merantau jauh di sana. Aku sangat setuju dengan lagu nasional ‘Desaku Yang Kucinta’ ciptaan L. Manik.
Desaku yang kucinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan
Desaku yang permai
Hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang. Di manapun aku berada, yang terngiang adalah suasana kampung sendiri. Tak ada yang lebih nyaman selain kampung sendiri. Tanah kelahiran dimana aku mengenal alam semesta yang indah ini.
“Indi, pokoknya aku besok mau pulang. Kalo kamu nggak mau ikut nggak apa-apa..” cetusku ketika mencuci baju malam hari.
“Tapi kan kita baru seminggu di sini. Kalo ketahuan pengurus, gimana?” kata Indi menyahutku.
“Udah seminggu aku bertahan, tapi ini udah klimaks In.. pokoknya besok, kalo kamu nggak mau ikut.. aku bisa pulang sendiri kok..”
***
Kebetulan sekali, sekolah pulang lebih awal. Ini kesempatan bagus untuk minggat dari pondok. Aku dan Indi masuk angkot menuju toko buku. Ini bukan karena aku butuh buku, tapi pemanasan sebelum pulang. Aku hanya mengulur waktu agar tidak ketahuan santri lain, apalagi pengurus yang juga masih berstatus siswa. Kudapati mereka sedang berlalu lalang di depan sekolah. Alhasil, aku pun berhasil pulang.
“Assalamu’alaikum...” Kubuka pintu perlahan, lalu terdengar sahutan Mimam dari dalam rumah mungilku.. “Wa’alaikumussalaam..”
Tak terasa minggu lalu aku meninggalkannya di rumah, kini aku menangis dalam pelukannya. Pelukan hangat yang kurindukan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya airmata ini tumpah dengan hebatnya mewakili perasaanku. Indi yang juga bersamaku hanya berdiri dan ikut menangis.
“Loh, kok kamu sama Indi pulang? Kan baru seminggu.. ada apa?” Mimam bertanya dalam tangisku. Volume tangisku semakin menderu. Entah apa yang harus aku katakan, tapi memang aku benar-benar ingin sekali pulang.
Tak lama kemudian, Abi datang bersama ayah Indi yang membuat Indi meluapkan rindu ke pelukan ayahnya.
“Sudahlah! Kalian tidak usah mondok. Buat apa!?” Ayah Indi menggertak kami. Deru tangisku dan Indi belum reda, ditambah bungkamnya kami ketika ditanya alasan minggat.
“Sudah ya.. nanti sore sekalian pamit saja keluar.” Ayah Indi mengecam kami. Beliau memang yang lebih berpengalaman mondok daripada Abi.
Aku menerawang ke dalam lingkaran waktu saat aku baru mau masuk pondok. Pikiranku yang pertama adalah aku akan menyesal jika seumur hidupku tidak pernah merasakan susah senangnya mondok. Merasakan indahnya menuntut ilmu agama bersama orang-orang pilihan yang digiring masuk penjara suci. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mencobanya saat ini.
“Tidak.. kami masih mau mondok,” cetusku di tengah gemuruhnya keadaan.
***
Aku mengikuti seleksi pengurus OSIS, tapi gagal. Bukan karena aku benar-benar gagal, lebih tepatnya aku mengundurkan diri. Sebenarnya aku sangat ingin jadi pengurus OSIS, tapi aku takut tidak bisa membagi waktu antara sekolah dan pondok yang pasti membuatku pusing tujuh keliling.
“Permisi, Kak.. Maaf sebelumnya,” cetusku pada Ketua OSIS yang kudapati di lorong sekolah.
“Iya, ada apa?” Kak Imron membalasku. “Emm.. saya mau mengundurkan diri dari seleksi calon pengurus OSIS, Kak..”
Lama Kak Imron terdiam menimang-nimang ajuanku. Rautnya bisa kubaca kalau sebenarnya dia berkata, “Jangan!” tapi aku tahu dia tidak bisa memaksakan sebuah tanggungjawab.
“Baiklah, tapi apa alasannya?” Kak Imron tak segan bertanya padaku.
“Saya belum bisa, Kak.” Dia memahami.
Aku harus merelakan satu mahkota yang bertengger di kepalaku pergi sebelum terpasang. Keputusan yang sungguh berat. Aku belum bisa merelakan sesuatu yang sangat aku inginkan, tapi ini harus kulakukan demi diriku sendiri. Aku harus melepasnya daripada menyesali keputusan itu di akhir.
***
“Ya anak-anak, minggu depan ulangan bab logaritma. Belajar ya..!!” seru Pak Arifin sebelum menutup pelajaran.
“Ampuun.. mati deh,” Aku menepuk jidat tak bisa menerima kondisi bahwa aku belum paham pelajaran ini. Difa yang duduk di sampingku memberiku masukan, tapi sama saja efeknya.
“Aku udah belajar tiap malam, Fa. Tapi selalu ketiduran.. aku nggak tahu kenapa..” keluhku pada Difa. “Nah, itu juga yang aku rasain di pondokku. Emang cobaan anak pondok itu banyak banget Fi.. yang sabar ya..”
Aku menulis surat untuk Mimam, kutumpahkan keluh kesahku selama ini. Sejak aku di pondok, waktu belajarku berkurang. Aku seperti dikekang keadaan yang tak bisa dikendalikan. Mimam menghendakiku untuk keluar saja dari pondok jika memang tidak bisa belajar. Aku memutar pandangan, mencoba memikirkan sebuah keputusan. Aku pun menuruti Mimam.
“Indi, aku udah bilang Mimam.. kita dijemput hari Ahad.”
“Iya.. tadi aku juga udah telfon ayah,”
“Aku nggak kuat, In.. kalau tiap hari disiksa seperti ini, aku tidak mondok dari awal..”
“Iya.. tapi jangan sampai ada yang tau kalo kita mau keluar..”
“Iya, kita harus jaga rahasia ini,”
Hari Ahad aku dan Indi dijemput Abi dan orangtua Indi. Mungkin keputusan ini tergesa-gesa, aku pun masih bimbang. Antara yakin jika aku di rumah aku akan lebih bisa fokus belajar atau justru aku akan lebih malas. Semalaman aku memikirkan keputusan ini bersama Indi.
Apa semua ini karena ego dan keras kepalaku? Terkadang aku merasa sangat membutuhkan RQ, tapi di sisi lain aku tidak suka dikekang oleh apapun.
***
Aku menuruni tangga dengan raut malu menatap teman-teman yang baru pulang dari pesarean[1]. Sebelum benar-benar pulang, aku menghadap Bu Nyai. Di ndalem[2] sudah ada Abi dan orangtua Indi yang sedang berbincang. Aku dan Indi duduk di dekat pintu, menunggu sekelumit pertanyaan dari Bu Nyai. Hatiku tak menentu, aku menunduk tak memandang sekitar.
“Apa alasannya kalian keluar?”
Tebakanku tidak salah lagi, alasan yang paling utama. Aku menatap Indi yang tak punya isyarat apa-apa. Bu Nyai menunggu jawaban kami, tapi kami masih bungkam. Hanya decakan jam dinding tua yang bersuara. Aku dan Indi salah tingkah.
“Kalau kamu berdua tidak saya izinkan keluar, mau bagaimana?”
Deg. Aku semakin bingung untuk menjawabnya. Orangtuaku dan Indi juga hanya diam. Sorot matanya tajam menatap kami. Lama menunggu jawaban dariku dan Indi, akhirnya Bu Nyai membuat keputusan sendiri.
“Kalian tidak saya izinkan keluar, hanya pulang saja.. nanti kembali lagi ke sini setelah satu minggu di rumah.”
Petir bak menyambarku. Aku tersentak mendengar keputusan itu. Aku harus kembali lagi ke sini. Aku bimbang, tak tahu harus bagaimana.
Lantas aku kembali memikirkan keadaan, kewajiban, dan perasaan yang singgah ke dalam pikiran. Apa yang akan kudapat di sini, dan apa yang kudapat di rumah. Di sini aku menimba ilmu agama, sekolah terjangkau dekat, banyak teman untuk berbagi, berlatih menopang hidup mandiri, berlatih bekerja keras, dan mengatur waktu sebaik mungkin. Di rumah, sulit bagiku mengaji, apalagi tidak ada kekangan dari siapapun. Tidak ada teman yang sebaya denganku kecuali Indi. Aku bisa saja menggantungkan tugas rumahku kepada Mimam. Ditambah lagi, pergaulan yang mungkin tak terkendali. Dunia luar sudah semakin menghanyutkan. Aku bisa saja ikut hanyut dalam gemerlapnya dunia remaja.
“Nggih, Bu. Saya menerima,” jawabku takzim[3]. Indi tersentak mendengar jawabanku. Mungkin ia berpikir bagaimana bisa aku mengubah arah untuk kembali ke sini lagi.
“Indi, bagaimana keputusanmu? Mau tetap keluar atau kembali lagi sama Ufi?” tanya ayah Indi.
Indi terlihat bingung. Gerak-geriknya sangat jelas menunjukkan bahwa ia tak tahu harus menjawab apa. Ia kemudian memandangku yang setengah tertunduk menghormati Bu Nyai. Aku mengulas senyum padanya, mengisyaratkan agar ia mau kembali lagi denganku.
“Eee.. iya, Yah.. Indi mau kembali lagi sama Ufi..”
***
Satu minggu waktu yang lama, tapi cukup singkat. Kugunakan untuk mendalami pelajaran yang belum aku pahami. Aku dan Indi belajar di rumah Mas Ihza, tetangga sekaligus kakak kelas yang punya segudang prestasi di sekolah. Mas Ihza masih berstatus saudara denganku, rumahnya hanya berjarak 13 meter dari rumahku. Dia juga yang sering aku titipi surat atau dititipi uang jajan oleh Mimam.
Ulangan tiba. Aku telah menyiapkan materi dengan matang. Aku tidak akan menyia-nyiakan gold paket dari Bu Nyai. Aku sudah belajar berhari-hari menyiapkan ulangan matematika. Bukannya aku terlalu berlebihan, tapi aku memang cinta matematika, makanya aku tidak akan rela jika nilai matematika-ku merah.
“Bismillahirrohmaanirrahiim..”
Kusobek kertas dan kubaca doa. Kukerjakan soal dengan teliti, jangan sampai ada kesalahan sedikitpun. Selesai. Sebelum aku mengumpulkan kertas ulangan, kukoreksi hingga tiga kali agar tidak ada yang keliru. Minggu depan aku baru akan mengetahui hasilnya.
[1] Pemakaman
[2] Rumah Bu Nyai
[3] Hormat dalam bahasa keseharian pesantren
#twm18
@DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).
Comment on chapter Rasa 24Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe