Sedari tadi jemarinya menari lincah di atas tuts-tuts piano, seolah-olah berusaha mengejar dan menangkap kembali apa yang selama ini adalah miliknya. Alunan musiknya lebat seperti hujan dan tergesa-gesa macam orang yang takut terlambat menuju ke suatu tempat.
Namun, hingga lagu itu habis dimainkan, sampai semua ujung jemarinya memerah dan terasa sakit, Raydan tetap saja tak berhasil mendapatkan lagi segalanya.
Cowok itu mengepalkan tangan, meninjukannya dengan keras ke atas barisan tuts hitam-putih, menimbulkan bunyi sumbang yang senada dengan hari-harinya kini, setelah keluarganya di ambang kehancuran. Tanpa menghiraukan memar dan rasa nyeri di tangannya, Raydan beranjak dari kursi piano menuju balkon kamarnya. Lebih tepatnya, kamar barunya.
Senja ini tampak asing. Pepohonan, lalu-lalang orang, dan setiap hal yang menghampar di jalanan sana sama sekali tidak dia kenali. Dia menginginkan senja yang dia kenal baik, hidupnya yang lama, sebelum semua ini terjadi.
Ketukan di pintu kamarnya terdengar. Suara Mami mengikuti setelahnya.
"Raydan..., Mami boleh masuk, Nak?"
Cowok itu memejamkan mata sebentar sebelum menyahut, "Masuk aja, Mi."
"Kamu udah siap-siap buat besok?" Raydan tetap memakukan pandang ke depan ketika maminya mengusap-usap puncak kepalanya. "Mami abis nelepon kepala sekolah di sekolah baru kamu itu loh, katanya kamu udah bisa mulai masuk besok. Nanti Mami anter juga."
"Iya."
"Kamu mau beli sepatu baru? Atau tas baru? Mungkin kita bisa ke mall abis makan malam nanti...."
"Nggak, punya Raydan yang lama masih bisa dipake." Tak satu kalipun Raydan membalas tatapan maminya selagi berbicara. Dan itu telah terjadi selama berhari-hari pasca kedua orangtuanya bertengkar hebat di rumah lama mereka dulu.
"Dan," panggil Mami lembut, "kalau ada yang bisa Mami buat supaya kamu balik lagi seperti dulu, pasti akan Mami—"
"Ada," sela Raydan, untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu dia akhirnya menantang mata yang selalu disukainya sejak kecil itu dengan rasa jengah yang berkecamuk, "Mami sama Papi nggak usah pisah, Raydan juga nggak perlu pisah sama Reyhan, kita tinggal lagi di Bandung kayak dulu. Mami bisa ngelakuin itu?"
"Dan, bukan begini yang Mami sama Papi mau, tapi—"
"Udah, Mi," lagi-lagi cowok itu menyela, "Raydan mau istirahat buat besok. Mami boleh keluar." Dia langsung masuk ke kamarnya, melemparkan diri ke kasur dengan selimut yang menutupi sekujur tubuh.
Raydan mengatur napasnya yang sekejap saja jadi memburu, sudah ditahannya emosi ini agar tak meluap, tapi rupanya dia gagal. Dari balik selimut, didengarnya langkah pelan seseorang berjalan menjauh, diakhiri derit pintu yang menutup.
Hidupnya yang lama telah punah, kini Raydan berusaha membuat dirinya sendiri menyadari fakta itu. Walaupun berat.
•••