Read More >>"> The Dumb Love (05: Another Side) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Dumb Love
MENU
About Us  

            Aku melenggang santai memasuki gerbang kampusku pagi itu. Jangan bertanya lagi soal rutinitas hari Senin-ku, sebab aku tak ingin disuruh bertanggung jawab karena kalian yang bosan mendengarnya.

            Kabel earphone hitam berayun perlahan seiring dengan langkah kecil dan ayunan rambut basahku, tak lupa diiringi dengan senandung lagu pop-jazz milik seorang musikus Indonesia ternama.

            Selalu kulihat engkau senang, yang lainnya kau simpan sendiri.

            Aku sedang berada tepat di seberang pos satpam saat aku merasakan ada sesuatu yang mendekatiku. Meski aku tengah menggunakan earphone, tapi aku masih bisa mendengar suara mesin sepeda motor yang menderu semakin kuat.

            “Kamu Kirana, ya?” tanya seseorang. Aku menoleh ke kanan untuk melihat siapa lawan bicaraku. Mataku mendelik begitu melihatnya. Dia; orang tak terduga yang rupanya mengendarai motor hitam itu.

            “Ji-han?!” seruku, lalu menggosok-gosok mataku, “Ini seriusan Jihan?”

            Astaga, apa mataku rabun? Ini masih jam tujuh pagi, dan kenapa si tukang telat kayak dia datang jam segini? Apa dia salah liat jadwal, atau emang dia udah dapet hidayah buat bantuin aku?

            “Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kelas.”

            “Yaiyalah, bego. Orang kita sekelas,” ujarku kesal sembari melepas earphone itu dari telingaku. Tapi, tunggu, untuk apa dia mengatakan humor—yang dipaksa—receh itu padaku?

            “Sok sok-an buat parodi. Nggak pantes,” sambungku. “Btw, fotokopian materi kemarin dibawa, nggak?”

            Dia hanya menunjuk dengan gerakan bola matanya. Kini giliran aku yang melihat kotak kardus berukuran sedang terpampang nyata di depan jok motornya.

            “Mau nebeng, nggak? Sekalian bawain tuh kardusnya,” ajaknya.

            Aku terdiam beberapa saat, berusaha menimang-nimang jawaban antara ya atau tidak. Akhirnya, aku memutuskan untuk memilih pilihan pertama. Orang bilang, tidak boleh menolak rezeki, kan?

            Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk tiba di depan kelas yang sama seperti Senin-Senin sebelumnya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk menunggu di kursi panjang depan kelas karena ruang kelas yang lagi-lagi belum dibuka.

            Handphone lagi-lagi menjadi barang andalan sebagai sarana untuk membunuh waktu kali ini. Entah membalas chat, atau sekedar membaca cerpen dan komik online. Sementara itu, Jihan juga ikut duduk di kursi yang sama, tepat di sebelah kananku.

            “Kir,” panggil Jihan kemudian. Aku sendiri memutuskan untuk diam karena sedang asyik berkelana dengan pikiranku sendiri—menjelajah dunia cerita yang saat ini kubaca.

            “Kok diem aja?” tanyanya.

            “Emang ada yang mau diomongin?” tanyaku balik sambil terus membaca cerpen.

            Suasana sempat lengang beberapa menit sebelum akhirnya dia kembali membuka suara,

            “Lu dulu masuk sini pake jalur rapor, ya?”

            Aku menoleh, memutuskan untuk meladeni pembicaraannya. Barang canggih yang tadi kuoperasikan kini kusimpan rapi di saku seragamku. Sebab aku mengerti, jelas dia merasa kesepian di sini; mengingat hanya ada dua orang di sini, tetapi yang satu malah sibuk dengan dunianya sendiri. Raut mukanya telah memberitahuku semua kehampaan itu.

            “Iya. Kamu sendiri?” balasku.

            “Sama.”

            Aku terhenyak, “Hah?! Kok kamu bisa lolos?”

            “Lu kok ngehina gue, sih. Asal lu tau aja, standar nilai SMA gue dulu itu tinggi-tinggi. Jadi, kalo jelek, remidi sampe sukses. Jadi nggak mungkin kalo nilai gue jelek-jelek. Makanya, gue bisa lolos pake jalur rapor,” jelasnya. “Tapi, disamping itu gue sebenernya berharap masuk sini pake beasiswa juga, selain pake rapor tadi.”

            “Beasiswa? Maksudnya beasiswa semacam beasiswa prestasi, gitu? Kalo bidikmisi kan harusnya kamu tahu.”

            “Iya, beasiswa institusi sih namanya. Ayah gue itu tentara. Nah, di tempatnya sana tuh ada beasiswa institusi buat pelajar atau mahasiswa kayak kita. Nggak seberapa, sih, emang, tapi paling nggak bisa bantu biaya hidup. Ayah gue tuh berencana ngajuin beasiswa itu ke kampus. Maksud gue, ayah gue pingin gue kuliah pake beasiswa itu, tapi nggak ngerti bisa diterima atau nggak di sini. Kalo misalkan nggak, paling nggak ada beasiswa lain, lah, yang bisa gue kejar di sini. Tapi, kok, gue sampe sekarang nggak dengar soal itu, ya?”

            “Ah, iya juga. Kalo pake beasiswa bidikmisi pasti nggak akan diterima, ya.”

            “Makanya itu, gue pingin cari beasiswa kayak gitu di sini,” keluhnya.

            “Ya kamu tanya aja ke akademik deket gedung direktorat situ, atau akademik jurusan lah setidaknya. Kamu tanya, kira-kira ada atau nggak beasiswa macam itu. Setahuku ada tapi cuma beberapa. Konfirmasi aja lagi.”

            “Kalo misalkan beasiswa dari luar? Semisal dari perusahaan, kek, atau lembaga apa gitu.”

            “Sama aja, Han. Kamu juga mesti tetep tanya ke akademik, mana aja beasiswa dari luar yang istilahnya bekerja sama dengan kampus. Beasiswa dari luar kan termasuk beasiswa dari ayah kamu tadi. Kalo nggak gitu, nanti ujung-ujungnya kamu sendiri yang rugi. Udah ngurusnya lama, ribet, eh tahu-tahu ternyata nggak bisa dipakai. Capek juga jadinya.”

            Kami berdua melanjutkan pembicaraan sambil sesekali tertawa karena guyonan sederhana yang dibuatnya. Dia selalu tahu bagaimana cara membuat perbincangan ini terus berlanjut meski hanya membahas hal-hal kecil seputar keluarga atau pengalaman masa putih abu-abunya. Tak lupa juga kami membalas sapaan teman-teman yang kebetulan lewat di depan kami.

            Dari sini, aku mengetahui sesuatu yang baru dari dirinya. Sesuatu yang hampir tidak pernah ia munculkan di depan umum. His another side. Siapa yang pernah menyangka jika sosok yang berada di sampingku sekarang adalah orang yang luas pengetahuannya, supel, dan bijaksana—setidaknya itu yang aku dapatkan dalam analisis sederhanaku. Jiwanya hangat; walau di luar ia terasa dingin. Katakanlah aku kagum sekarang; dan aku menyesal pernah menganggap dia adalah anggota kaum pengganggu dan menyebalkan—yang hanya tahu membuat ulah.

            Aku merasakan perubahan atas sesuatu dalam diriku yang aneh. Sesuatu berhasil membuat sedikit percikan dalam diriku; dan percikan itu berusaha membuatku menganggapnya lebih.

 

            Ketahuilah; takdir selalu tidak bisa ditebak.

            hari ini kau membencinya, namun bisa jadi besok kau mencintainya.

 

            Begitu juga hati; ia mudah terombang ambing oleh waktu.

 

            “Hari ini kau mesra, esok lusa kau dingin, kau buatku penasaran” – Tulus

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • ayundaauras

    Terima kasih apresiasinya :) @dede_pratiwi @YouRa_muriz

    Comment on chapter 07: One Night To Remember
  • dede_pratiwi

    i love the cover, so cute

    Comment on chapter 01: How I Met Him
  • you

    Like this. Bahasanya enak dibaca. alurnya juga bagus.

    kalau berkenan mampir diceritaku ya...

    Comment on chapter 01: How I Met Him
Similar Tags
Panggil Namaku!
208      122     0     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Hanya Untukku Seorang
26      19     0     
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin “Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,” Hyun soo - Siwon “I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”
THROUGH YOU
972      688     14     
Short Story
Sometimes beautiful things are not seen; but felt.
Gray Paper
6      6     0     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?
Love or Friendship ?
457      322     4     
Short Story
Love or Friendship? What will you choose?
Adelaide - He Will Back Soon
52      33     0     
Romance
Kisah tentang kesalah pahaman yang mengitari tiga insan manusia.
Tokoh Dalam Diary (Diary Jompi)
355      287     3     
Short Story
You have a Daily Note called Diary. This is my story of that thing
Gilan(G)ia
9      9     0     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
Temu Yang Di Tunggu (up)
413      229     0     
Romance
Yang satu Meragu dan yang lainnya Membutuhkan Waktu. Seolah belum ada kata Temu dalam kamus kedua insan yang semesta satukan itu. Membangun keluarga sejak dini bukan pilihan mereka, melainkan kewajiban karena rasa takut kepada sang pencipta. Mereka mulai membangun sebuah hubungan, berusaha agar dapat di anggap rumah oleh satu sama lain. Walaupun mereka tahu, jika rumah yang mereka bangun i...
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
317      250     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!