Sepanjang hari ini Akina sering menghela napas panjang. Dia hanya duduk di kursinya dan menyangga dagu. Sesekali mendesah dan terlihat jelas jika dia punya masalah. Meyuki duduk di bangku belakangnya dan Nao duduk di bangku sampingnya. Mereka memperhatikan Akina selama jam istirahat pertama.
“Hah..” Akina kembali menghela napas panjang. Rupanya dia sedang memikirkan Haruki.
“Akina apa kau baik-baik saja?” tanya Meyuki.
“Apa terjadi sesuatu malam itu?” tanya Nao langsung. Meyuki melihat ke arahnya dan memberi tanda untuk tidak langsung membahas masalah itu. Nao bodoh! Teriak Meyuki dalam hati sembari memegangi dahinya sendiri.
Sejak malam festival waktu itu Akina mulai lebih banyak diam. Malam itu, Meyuki dan Nao mencemaskan Akina karena tidak kunjung kembali dari membeli minuman. Saat mereka akan menyusulnya, Akina tiba-tiba kembali dengan napas terengah-engah.
“Akina ada apa?” Meyuki dan Nao menghampirinya. Akina membawa 3 kaleng minuman di tangannya. Dia mencoba mengatur napasnya sebelum menjawab pertanyaan mereka.
“Tidak. Tidak ada apa-apa,” kata Akina. Tapi, dia tidak bisa menyembunyikannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia melihat kedua temannya itu memasang wajah khawatir. “Maaf,” kata Akina pelan. Dia ingat perkataan Haruki tadi. Semua berubah. Aku juga berubah. Gawat, aku tidak tau apa yang harus aku katakan pada mereka, pikirnya.
“Akina?” Meyuki memegangi bahunya.
“Aku tidak tau. Sekarang ini, entah aku sedang senang atau sedih,” air matanya terus menetes, tapi wajahnya menunjukkan senyum lebar.
Akina belum menceritakan apa-apa pada mereka berdua. Dia masih bingung dengan semua ini. Perasaannya campur aduk. Setelah semua jawaban Haruki berikan hati Akina masih belum bisa menerimanya. Terlebih lagi perkataan terakhir Haruki jika dia mencintainya. Itu terlalu mendadak untuknya.
Sekarang ini giliran Akina untuk memberikan jawaban pada Haruki. Dia mencoba menguatkan hati kecilnya. Begitu banyak yang terjadi, diri Akina bergejolak rasa tidak menentu. Apa yang dirasakannya saat ini dia tidak tau. Apakah perasaanku ini masih sama padamu yang 4 tahun lalu? gelisah Akina dalam hati.
***
“Hah..” lagi, Akina menghela napas panjang sembari menyangga dagu. Meyuki dan Nao masih memperhatikannya.
Akina tidak tau jika akan sangat sulit seperti ini. Memberi jawaban ternyata tidak semudah yang dia pikirkan. Selama beberapa hari ini dia mencoba untuk menemui Haruki. Memastikan apakah jawaban yang akan dia katakan itu merupakan jawaban yang benar.
“Aku tidak tau jika akan seperti ini,” gumam Akina.
“Hei Akina!” Nao duduk di kursi depan Akina. Matanya menatap tajam.
“Nao, ada apa?” tanya Akina polos.
“Aa, aku sudah tidak tahan dengan sikapmu akhir-akhir ini. Padahal baru beberapa waktu yang lalu kau bisa berbagi cerita dengan kami, tapi sekarang kau mulai kembali pada duniamu sendiri,” kesal Nao.
“Nao, tenanglah,” kata Meyuki.
“Kita harus bicara,” Nao menarik tangan Akina dan menuju atap gedung.
Kini hanya mereka bertiga yang berada di sana. Saling duduk dan memandang satu sama lain. Akina masih diam dan belum mau berbicara.
“Aku tau kau terbiasa menyimpan masalahmu sendiri. Tapi, kami jadi mengkhawatirkanmu lho. Apa kau tidak percaya pada kami?” lanjut Nao.
“Maaf. Aku tau jika selama ini aku hanya membuat kalian merasa khawatir. Bukan maksudku tidak mempercayai kalian. Aku sungguh senang, senang sekali bisa bertemu dengan teman seperti kalian. Nao, Meyuki,” jawab Akina.
Setelah menceritakan apa yang terjadi. Begitu terkejutnya mereka berdua. Siapa yang menyangkan jika Akina dan Haruki punya hubungan seperti itu di masa lalu. Kini mereka juga mengetahui kenapa sikap Akina seperti itu.
“Akina maaf, aku tidak tau bagaimana rasanya menjadi dirimu. Mungkin selama ini aku hanya membutmu merasa tidak nyaman. Tapi, aku senang. Itu berarti sekarang ini kau sudah mulai mempercayai kami. Terima kasih,” Nao berdiri dan mengulurkan tangannya.
“Aku yang harus berterima kasih pada kalian,” Akina meraih tangan Nao.
“Akina,” peluk Meyuki. “Kami akan membantumu.”
“Itu benar. Kami akan membantu sebisa kami,” tatapan Meyuki dan Nao penuh percaya diri.
“Terima kasih,” Akina tersenyum kecil.
Akina menceritakan pada mereka jika beberapa hari ini dia juga mencoba untuk menemui Haruki. Setiap kali dia ingin menyapanya selalu ada orang lain yang mendahuluinya. Nao juga bercerita jika anak perempuan akan selalu menempel padanya. Haruki yang populer cukup merepotkan.
“Kelihatannya Akina hanya harus lebih berani lagi,” Nao berdiri di dekat besi pembatas atap sekolah. Dia melihat ke bawah dan menujukkan sesuatu pada Akina. “Lihatlah,” kata Nao sembari menujukkan dua orang yang sedang berada di belakang gedung sekolah.
“Itukan,” kata Meyuki yang juga terkejut. Nao menunjuk Haruki yang sedang berbicara berdua dengan seorang gadis. Dari yang mereka lihat sudah pasti jika itu sebuah pengakuan. Gadis itu terlihat sekali jika dia menyukai Haruki dan menyatakan perasaannya.
“Lagi,” kata Akina. Aku tau dia populer. Ini sudah ketiga kalinya sejak aku mencoba menemuinya. Padahal baru beberapa hari, tapi begitu banyaknya gadis yang menyatakan cinta padanya.
“Lagi? Kau sudah tau ya rupanya.” Akina memegangi dadanya, benar seperti yang dikatakan Nao. Akina hanya harus berani untuk mengatakan apa yang dia rasakan pada Haruki. Dia hanya harus membuat semua ini menjadi pasti.
“Aku harus mengatakannya. Jika tidak, semua ini tidak akan jadi pasti untuk kami berdua,” kata Akina yakin.
***
“Sudah berapa kali?” tanya Koji yang berdiri di depan pintu.
“Entahlah. Aku tidak ingat,” jawab Haruki.
“Kau sudah menolak semua anak perempuan yang menembakmu sejak kelas 1. Apa kau sudah punya seseorang yang kau sukai?”
“Aku juga tidak tau. Tapi, mungkin saja.”
“Anak baru itu?” tebaknya. Haruki hanya tersenyum kecil. Saat dia mengambil buku pelajaran di laci mejanya, tiba-tiba sepucuk surat jatuh. “Lagi?” kaget Koji.
“Dia ingin menemuiku besok sepulang sekolah,” kata Haruki setelah membaca surat itu. Mereka berdua berjalan pulang bersama.
“Apa yang kau rasakan saat mereka menyatakan perasaannya padamu? Apa kau juga memikirkan bagaimana perasaan mereka saat kau menolaknya?”
“Aku menghargai mereka semua. Aku hanya tidak ingin menyakiti mereka lebih lama lagi karena aku tidak merasakan apa yang mereka rasakan padaku. Jika kami bersama lebih lama, mereka hanya akan merasakan kepalsuan dariku,” kata Haruki.
”Kau itu kadang menyebalkan juga ya.”
“Terima kasih.”
Keesokannya Haruki datang menemui gadis yang memberinya surat di laci mejanya. Dia adalah murid kelas 2 adik kelasnya. Dari isi surat itu dia meminta Haruki untuk menemuinya di pintu gerbang setelah pulang sekolah. Tapi, Haruki tidak menyangka jika dia memintanya untuk bertemu di keramaan seperti ini.
Murid yang lain juga sedang pulang, apalagi ini jalan utama sekolah. Tidak heran jika banyak yang berhenti dan melihat mereka berdua. Gadis itu terlihat sangat gugup setelah berhadapan dengan Haruki. Bahkan sudah hampir 5 menit lebih mereka hanya saling diam.
“Apa ada yang ingin kau katakan padaku?” Haruki memulai pembicaraan.
“Kau sepertinya sudah tau apa yang akan aku katakan padamu. Jadi langsung saja. Aku menyukaimu. Tolong jadilah pacarku,” pengakuan langsung dari gadis itu. Semua orang terkejut.
“Maaf. Aku tidak bisa menerima perasaanmu. Aku benar-benar minta maaf,” jawaban Haruki pada gadis yang telah mengerahkan semua keberaniannya itu.
Semua orang mulai berbisik-bisik. Haruki tau apa yang dilakukannya akan menyakiti perasaan gadis itu. Dia juga tau jika semua orang pasti akan menganggapnya laki-laki yang jahat, tapi apa boleh buat.
“Aku tau. Aku tau jika aku nanti pasti akan ditolak. Walau sudah menyiapkan hatiku rasanya tetap saja sakit,” gadis itu menunduk dan tubuhnya mulai gemetar. Dia mulai menangis. “Jahat. Kau jahat sekali. Apa kau tau bagaimana perasanku saat kau menolakku? Apa kau juga tau bagaimana perasaan semua orang yang sudah menyatakan perasaanya padamu dan kau tolak?” kata gadis itu sembari menangis tersedu-sedu. Semua menatap dengan tatapan tidak enak pada Haruki.
Haruki melirik ke orang-orang itu. Jadi ini tujuannya mengatakan perasaanya di tempat seperti ini. Dia mencoba membuatku menjadi orang jahat di sini. Haruki mulai paham kenapa gadis itu menembaknya di keramaian.
“Jadi apa kau ingin aku lebih berbuat jahat lagi padamu? Apa kau ingin saat ini aku menerima perasaanmu itu? Agar kau merasakan kebahagiaan saat ini? Lalu kita berpacaran, menghabiskan waktu bersama dan bersenang-senang bersama. Hanya kau, hanya kau yang akan merasakan kebahagiaan seperti itu,” jelas Haruki.
Gadis itu perlahan melangkah mundur. Wajahnya terkejut saat mendengar kata-kata Haruki. “Kau akan terus memberikan cintamu padaku, tapi aku tidak bisa memberikan cinta yang sama padamu. Apa kau ingin aku lebih menyakitimu dari ini?” lanjut Haruki.
“Itu,” gadis itu tidak bisa berkata-kata.
“Jika kau sudah mengerti. Aku harus pergi sekarang.”
“Apa kau sudah pernah merasakan bagaimana rasanya ditolak? Apa kau sudah pernah mengatakan bagaimana perasaanmu pada orang yang kau sayangi? Kau pasti belum pernah bukan? Setidaknya coba kau rasakan bagaimana perasaan semua orang yang sudah kau tolak sampai sekarang.” Gadis itu benar-benar membuatnya terlihat seperti orang yang jahat.
“Baiklah,” Haruki mengambil napas dan berbalik meninggalkan gadis itu. Dia terus berjalan menuju gedung sekolah. Semua orang yang tadinya mengerumpul di belakang mulai membuka jalan. Saat itulah dia terlihat. Akina yang berdiri di ujung jalan itu. Ditemani Nao dan Meyuki di belakangnya. Mata mereka saling menatap.
Haruki dengan pasti melangkahkan kakinya. Tangan kanannya mengambil sesuatu di saku celana. Berdiri tepat di depan Akina yang masih menatapnya.
“Ulurkan tanganmu,” pinta Haruki pada Akina.
“Heh?” Akina bingung. Perlahan tangannya dia angkat dan dalam posisi menerima.
“Akan aku katakan sekali lagi,” kata Haruki dengan keras agar semua orang mendengarnya. Tangannya yang menggenggam mulai terbuka dan menjatuhkan sesuatu di tangan Akina. “Akina! Aku menyukaimu. Pergilah kencan denganku!” tegas Haruki bersamaan dengan diterimanya benda itu oleh Akina.
Sebuah origami berbentuk bunga sakura berwarna merah muda. Alamat email dan nomor ponsel milik Haruki tertulis di situ.
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog