PROLOG
Riska tidak bisa tidur walaupun tubuhnya begitu lelah malam ini. Diperhatikannya kedua telapak tangannya yang bersih. Berkali-kali ia mencoba tidur, sebanyak itu pula kejadian beberapa hari yang lalu mengganggu pikirannya. Ia menutup mata, tubuhnya merinding mengingat Diki yang dipenuhi goresan luka dan darah yang mengalir dari sela-sela lukanya.
Beberapa detik kemudian dia memukul dadanya yang sakit. Suara tangisnya tertahan di balik bantal. Meski napasnya sudah memburu, ia tidak berniat keluar dari sana. Riska benci menjadi lemah. Kejadian masa lalu bertubi-tubi menyerang ingatannya kembali.
Saat itu, Riska bersama Dian–sahabatnya–sedang berjalan sehabis pulang sekolah. Mereka berjanji akan pergi ke toko buku tapi tidak jadi karena Dian mengeluhkan sakit perut. Mereka lahir di tahun yang sama dan Riska lebih tua 1 bulan dari Dian. Orang-orang akan bilang mereka bersaudara. Selain dari mereka yang sama-sama memakai kaca mata, hidung dan bibir mereka pun mirip. Yang melihat selalu salah menerka bila mereka hanya sebatas sahabat dan tidak memiliki hubungan saudara jauh sekalipun.
"Eh, makan bakso, yuk. Biasa di warung Pak Darko," ajak Dian.
Riska berdecak malas. "Giliran makan aja, hilang sakit lo langsung," protes Riska cepat-cepat. Padahal ia sudah berharap sekali akan membeli novel yang sudah ia taksir dari minggu lalu. Tiba-tiba saja Dian mengatakan dia sakit perut dan rencananya batal. Walau agak kesal, terpaksa Riska menurut.
Dian terbahak. Ia merasa menang. Sebenarnya dia tidak sakit perut. Tapi Dian sangat malas pergi ke toko buku sekarang. Matahari bisa membakar kulit mereka berdua.
Dian dan Riska bergandengan tangan di trotoar. Mereka sedang melihat ke kanan dan ke kiri. Setelah merasa aman barulah mereka menyebrang. Belum sampai beberapa langkah, dari arah kanan datang sebuah motor melaju tak karuan mendekati mereka. Riska kaget dan menghentikan langkahnya bermaksud ingin kembali ke trotoar, namun Dian malah menariknya untuk segera berlari menyebrangi jalan.
Tubuh Riska menolak dan genggaman tangannya terlepas dengan satu sentakan kuat yang berhasil membuatnya tersungkur ke aspal. Ia meringis merasakan panas di sikunya. Riska duduk dan melihat siku kiri serta mata kakinya yang tergores oleh aspal. Dia melihat beberapa orang berlari dan mengerumi sesuatu di seberangnya.
"Dian!!" teriaknya. Riska bersusah payah berdiri dan berlari tertatih menuju kerumunan tersebut. Air matanya sudah tumpah. Detaknya jantungnya terus meraung sedari tadi seperti akan meledakan dadanya.
"Beri saya jalan!" teriaknya lemah. Ia tidak peduli meski beberapa orang melarangnya untuk menggapai Dian di balik kerumunan itu. Sesegera mungkin ia mengambil kesempatan dari mereka yang memberinya jalan.
Kaki Riska lemas dan tubuhnya terkulai di samping tubuh Dian yang kini tergolek tak sadarkan diri. Air mata kembali tumpah dan tangisnya semakin kencang saat di peluknya tubuh Dian yang berlumuran darah dari kepala dan bahunya yang terluka parah.
"Dian bangun!" isaknya.
Ditatapnya Dian dengan dada penuh rasa bersalah. Seandainya Riska tidak berhenti berjalan. Seandainya Riska berlari bersam Dian menyebrangi jalan. Detik ini, Riska tidak akan pernah melihat Dian dengan mata tertutup tak menjawab panggilannya. Detik ini, Riska tidak akan pernah kehilangan Dian di dalan hidupnya. Atau seharusnya, mereka mati bersama.
Iya hiks. Dia yang mutusin, dia yang nangis wkwk
Comment on chapter SATU