SATU
Seorang perempuan berambut ikal berwarna hitam kecoklatan sedang berjalan dengan wajah masam di trotoar. Dia menghentakkan kakinya beberapa kali ketika kejadian di kelas siang tadi kembali terputar di kepalanya. Beberapa kali dia menggerutu dan menggumankan sesuatu yang tidak jelas dari mulutnya.
“Ngga ada yang kasih tahu gue kalau tugas itu dikumpul hari ini!” Mulutnya mengomel lagi. Tatapan mata tajam serta disempurnakan dengan kedua alisnya yang bertaut, menambah jelas raut marah di wajahnya yang oval.
“Sok pintar kalian semuanya.” Riska menarik tali ranselnya ke atas dan ke bawah secara bergantian. Kepalanya menoleh menatap pohon di persimpangan jalan di depannya. Tanpa aba-aba dia langsung melangkahkan kakinya dengan cepat.
“Tit... tit... tit...”
Suara klakson motor terdengar sangat nyaring di telinga Riska.
Sontak dia memutar kepala 90 derajat ke kanan tubuhnya dan mendapati sebuah motor berjalan semakin dekat ke arahnya. Mulut Riska melongo. Tubuhnya mendadak membeku, kedua tangan Riska menangkup wajahnya. Napasnya memburu seketika.
Tidak terdengar apa-apa. Teriakan, suara ambulan atau permintaan tolong. Hanya derum motor yang lembut mengisi pendengaran Riska.
Setelah mengumpulkan keberanian, dengan gerakkan lambat Riska menurunkan tangannya. Matanya mengerjap beberapa kali memperhatikan kepala motor di depannya dengan linglung. Riska merasa matanya menghangat. Otaknya mendadak memutar sesuatu yang tidak jelas dalam ingatannya. Deja-vu...
“Mau mati, ya?” tanya suara di depan Riska dingin.
“Hah?” Mata Riska mengerjap sekali lagi.
Dia mengangkat kepala untuk menatap sang empunya suara. Seorang laki-laki di balik helmnya. Alisnya yang tebal dan rapi bertaut samar, namun tak mengurangi tatapan peringatan dari air mukanya. Kedua lengannya dilipat di depan dada.
“Minggir!” perintahnya setelah tidak mendapat respon apa-apa dari perempuan yang menghalangi jalannya. Beberapa kendaraan melaju mulus karena mereka tidak berhenti di tengah-tengah jalan.
Riska lekas mengambil langkah mundur kembali ke trotoar dan membiarkan motor tersebut melewatinya. Riska membiarkan saja laki-laki itu pergi tanpa sempat dia mengucapkan “maaf” atas kesalahannya melibatkan perasaan di lalu lintas. Ah bukan begitu, hanya saja Riska tidak memeriksa keadaan dari segala sisi sebelum dia menyeberang.
Riska memijit pelipisnya sebentar, kepalanya berdenyut. Mendadak dia merasa ingin marah. Entah mengapa perasaanya menjadi kacau karena kejadian beberapa menit terakhir. Mata Riska menyapu jalanan panjang di depannya. Satu-satunya jalur yang ia lewati selama dua tahun terakhir ini.
Selama di perjalanan, Riska beberapa kali menghela napas. Denyut jantungnya masih berdetak dengan ritme yang sama, cepat. Riska meletakkan telapak tangan di depan dadanya, ada perasaan cemas yang berkecamuk di dalam sana. Tidak dapat Riska cegah, tidak juga berkurang.
Riska membuka pintu rumahnya, dia masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam. Kaki-kaki kurusnya melangkah cekatan menuju kamarnya di dekat ruang makan. Riska ingin meluapkan emosinya saat ini di dalam sana. Dia akan mencabik-cabik beberapa kertas dan mencoret-coret buku gambar sampai dia puas, misalnya.
“Ahh!” Riska mengacak-acak rambutnya frustasi setelah melempar tasnya ke sembarang tempat. Seragamnya dia biarkan kusut saat tubuhnya berguling-guling di atas ranjang sambil mengerang kesal.
Perempuan itu menghirup oksigen dalam-dalam hingga memenuhi paru-parunya kemudian menghembuskannya, melakukannya berkali-kali, namun tetap saja tak bisa mengusir debar-debar amarahnya. Setelah ia tak diberi tahu masalah tugas kelompok Kimia yang dikumpulkan mendadak, ditambah lagi Riska nyaris ditabrak ketika pulang sekolah karena sibuk menyerocos sendirian.
“Riska.. Kamu ngapain?” Sebuah suara membuat Riska berhenti berguling-guling di atas kasurnya. Dia bangkit dan menegakkan punggung, lalu kepalanya menoleh ke arah pintu. Melihat Mamanya menatap dengan kening berkerut, Riska yakin wanita itu sudah memperhatikannya sedari tadi.
Riska melempar senyum bodoh pada Mamanya, lalu tangannya diusap-usapkan ke ranjangnya. “Ngga ada kok, Ma. Cuma mau tiduran aja,” kekehnya. Matanya menatap ranjangnya sebentar, lalu kembali menatap Mama dan bertanya, “Kenapa, Ma?”
Elita–Mama Riska–memiringkan kepalanya, lalu mengangkat bahu dan berkata, “Makan dulu, yuk. Kamu kelihatan pucat Mama lihat pas baru masuk.” Wanita tersebut menyenderkan bahu di samping pintu, kedua lengannya dia lipat di depan dada.
Riska tertawa. “Iya, Ma.” Dia mengusap wajahnya, lalu tertawa kemudian menatap wanita itu jenaka.
“Ya, sudah. Ayo cepat makan,” kata Elita, kemudian memutar tubuh pergi dari sana. Belum beberapa langkah, Ellita berbalik berkata lagi, “Dan sebaiknya kamu ganti baju. Rapiin juga rambut kamu.” Setelah itu Elita berputar 180 derajat, lalu menjauh dari pintu tanpa menunggu jawaban dari Riska.
Bibir anak perempuan berumur 17 tahun itu mengerucut. “Iya, Mama...” erangnya panjang.
Riska menghempaskan punggungnya kembali ke ranjang. Dia menatap kosong langit-langit kamarnya yang polos. Kembali Riska teringat pada kejadian di kelas. Saat ia hanya melongo mendengar guru Kimia berkata tentang tugas kelompok mereka. Dan dengan polosnya Riska mengangkat tangan dan bertanya, “Bukannya tugas itu dikumpul Kamis depan ya, Bu? Kan Ibu bilang dikerjakan untuk 2 minggu.”
Sang guru bertubuh gendut dan alis sangarnya menatap Riska dengan kening berkerut .“Saya sudah beri tahu kalau pengumpulan tugas dipercepat minggu ini. Saya akan cuti 2 minggu sampai ujian semester akhir ini. Kamu saja yang tidak mendengarkan,” cetus Bu Hanifah, guru galak itu.
“Mana kelompok kamu? Ada Riska diberi tahu?” tanyanya sambil menyapu seisi kelas mencari siapa saja teman kelompok siswinya tersebut.
Elsa, yang duduk di barisan bangku paling depan mengangkat tangan ragu, lalu bergumam, “Ada, Bu.”
“Nah, sudah diberi tahu kan sama teman kamu, Riska. Kamu saja yang tidak menyimak!” sela Bu Hanifah cepat dengan nada membentak–menatap Elsa, lalu menatap Riska kembali.
Riska melotot ke arah Elsa yang tidak menolehkan kepalanya walau sedikit. Perempuan itu malah sibuk membolak-balik buku tulisnya sendiri. Elsa sudah mempermalukan Riska. Sejak kapan siswi berotak encer itu pernah memberi tahu Riska masalah itu. Riska memutar bola matanya, bosan. Merasa sudah kalah untuk membela diri, lalu dia menghempaskan pantatnya pada bangkunya dan berdecak keras. Mendadak, mood belajarnya menghilang, sampai sekolah usai.
“Tok, tok, tok.”
“Masuk!” teriak Riska ketika mendengar pintu kamarnya diketuk.
Gagang pintu bergerak dan ujungnya terbuka sedikit. Sebuah kepala menjulur masuk dengan sepasang mata yang mengerjap menjelajah seisi ruangan.
“Biasa aja kali lo lihatnya!” decak Riska ketika melihat Rani masuk seperti seorang maling ke dalam kamarnya. Riska memutar bola matanya, malas. Dia menyelipkan sedikit rambutnya yang terurai mengenai pipinya ke belakang daun telinganya.
Rani menyengir, lalu dia masuk dan menutup pintu. Riska mengubah posisinya telentang menjadi duduk. Rani menatap Riska. Ternyata wajah perempuan itu masih sama semenjak terakhir kali dia lihat di kelas saat pulang sekolah. Tampak tas Riska terletak di lantai begitu saja. Rani mengambilnya sebelum dia duduk di ranjang Riska, lalu meletakannya di samping perempuan itu. Rani terkekeh geli dalam hati mengingat bagaimana kesalnya sahabatnya itu saat tahu dia diabaikan oleh Elsa masalah tugas kelompok Kimia.
“Kenapa, sih?” tanya Rani tenang. Walau pertanyaannya terdengar ambigu, namun dia hanya bisa mengeluarkan dua patah kata tersebut dari mulutnya.
Riska menggeleng pelan. Tidak berniat untuk menatap Rani.
“Elsa, lagi?”
Riska mengangguk.
“Tapi gue perhatiin dari pagi lo melamun terus,” kata Rani memastikan bahwa penglihatannya tidak salah membaca raut wajah Riska jauh sebelum masalah tugas Kimia itu terjadi.
Riska menggeleng. Dia mengangkat kepala dan menatap Rani cemberut.
“Gue ngga mau bertanya tiga kali, Riska. Mending lo ngomong, ada apa sebenarnya. Jangan bikin kita bingung karena elo masang wajah masam di kelas.” Mata Rani menyipit mengamati setiap ekspresi yang ditunjukkan Riska. Walau dia tidak begitu ahli, namun setidaknya Rani sudah hapal setiap perubahan sikap Riska, sejak dia mengenal perempuan itu selama hampir satu tahun ini di kelas XI. Apalagi mereka satu bangku.
“Kalau gue kasih tahu, lo jangan ejek gue. Jangan ngatain gue lagi,” kata Riska setengah hati.
Rani menghela napas. Dia mengangguk lantas berkata, “Iya. Gue janji.”
Riska membuka tas ranselnya yang tadi Rani letakkan di sampingnya duduk dan mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Rani diam menunggu apa yang akan Riska lakukan selanjutnya. Riska mengetikkan sesuatu di benda layar datar tersebut. Beberapa detik kemudian dia memutar layar handphonenya dan memberikan Rani kesempatan untuk melihat sesuatu yang Riska janjikan tadi.
Alis Rani bertaut kala menatap sebuah foto yang baru saja Riska cari dari facebook. Itu foto Waldy, laki-laki yang baru-baru ini berstatus mantan Riska. Di foto tersebut, nampak laki-laki bermata hazel itu berpose mesra dengan seorang anak perempuan. Rani menyipitkan matanya. “Ini kan Nia. Adiknya bang Rian,” kata Rani menganggukkan kepalanya berkali-kali.
“Bang Rian mana?” tanya Riska tidak berminat.
“Bang Vitno Adrian. Kelas XII IPA 2.” Rani menatap Riska penuh keyakinan.
Riska menarik ponselnya kembali dan mengembalikan ke layar utama, lalu dia meletakkannya di atas nakas. “Oh...” guman Riska malas.
Rani mengangkat bahu. “Gara-gara itu?”
“Mungkin,” sahut Riska kemudian berdiri dari ranjang, berjalan ke arah lemarinya untuk berganti pakaian, diringi tatapan bingung Rani.
“Denger Riska. Pacar lo itu Dwira. Kenapa masih mikirin Waldy? Ini tidak akan berhasil. Sebaiknya lo mulai melihat Dwira dengan hati!” kata Rani tegas. Dilihatnya Riska tidak berbalik atau mengatakan apapun, tangannya masih sibuk membalik lipatan baju, memilih baju yang menarik untuk dia pakai hari ini.
“Siapa bilang dia pacar gue?” gumam Riska pelan.
Rani berdiri dan menghampiri Riska. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. “Maksud lo apa?” tanyanya serius.
Riska mengabaikan tatapan Rani. Dia tahu Rani mulai kesal jika Riska mengabaikan pembicaraan ini. Namun Riska juga malas membahas segala hal yang menyangkut nama laki-laki itu. “Yang nyuruh gue pacaran sama dia itu kalian,” sahut Riska acuh membelakangi Rani dan mengganti seragamnya.
“Berarti dia pacar lo, Fadila dan juga Kya. Gue jomblo,” tambahnya lagi setelah kepalanya lolos dari leher kaosnya.
Rani mengangkat kedua tangannya di depan dada tanda bingung. Dia mendengus melihat Riska mengacuhkannya dan malah menghambur ke kasurnya. “Lo tetap setuju, kan? Bukannya ini juga rencana lo.”
Riska merebahkan kepalanya ke bantal. Teringat kata-kata Rani beberapa detik lalu. Rencana Riska. Rencana teman-temannya. Memacari Dwira dan membuat Waldy sakit hati. Mungkin cara itu akan ampuh karena kedua laki-laki itu memiliki hubungan saudara. Tapi setelah Riska pikir-pikir lagi, laki-laki itu terlihat baik-baik saja, lebih bahagia.
Sejujurnya, hatinya sakit melihat foto yang diunggah Waldy dua hari yang lalu di beranda facebooknya. Diam-diam Riska masih menguntit perjalanan Waldy setelah mereka putus. Hasilnya, seperti tadi. Sepertinya, hasil yang Riska harapkan terjadi kepada Waldy malah berbalik kepadanya.
Riska menutup matanya. Walau keputusan untuk mengakhiri hubungannya bersama Waldy adalah hal yang paling baik saat itu, tetap saja Riska belum bisa menerima kenyataan bahwa dia terus merindukan laki-laki itu setiap malam. Ditambah lagi Waldy memamerkan pacar barunya. Alih-alih memojokkan Riska, seakan-akan dia bisa melakukan hal yang lebih buruk dari Riska.
Berlebihan memang, Riska terlalu meresapi rasa sepi yang menghinggapi perasaannya baru-baru ini. Seakan-akan, tidak ada perasaan apa-apa di antara mereka untuk dikenang walau hanya untuk beberapa saat saja merasakan sakit itu bersama-sama. Menikmati gundah yang menyesakkan dada, usaha pelan-pelan untuk melupakan.
“Lo denger gue ngga sih, Riska?” teriak Rani.
“Gue ngga denger.” Riska menutup wajahnya dengan bantal. Membiarkan Rani sibuk mengomel sendiri karena tidak diacuhkan.
Iya hiks. Dia yang mutusin, dia yang nangis wkwk
Comment on chapter SATU