Read More >>"> After Rain [Sudah Terbit] (DUA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - After Rain [Sudah Terbit]
MENU
About Us  

DUA

“Menikmati gundah yang menyesakkan dada, usaha pelan-pelan untuk melupakan.”

 

            Pelajaran kali ini membahas tentang masalah tulang-belulang di dalam tubuh manusia. Tidak ada yang tertarik untuk mengikuti pelajaran Biologi kali ini. Bukan karena pelajarannya. Akan tetapi, gurunya yang tidak bergairah untuk memimpin kelas pagi ini. Bu Nunung, dia hanya duduk di depan kelas sambil membaca buku dan sesekali mengangkat kepala menatap siswa-siswinya. Hanya beberapa yang memperhatikan. Setidaknya barisan sebelah kiri Riska yang terdiri dari para siswi saja sama halnya dengan yang dilakukan Bu Nunung–menatap buku masing-masing dan sesekali melihat Bu Nunung di depan.

            Merasa bosan, Riska mengeluarkan ponsel yang dia simpan di dalam laci mejanya. Dia menggulir layar ponselnya ke atas dan ke bawah secara acak, tak menangkap betul semua pemberitahuan dari status-status temannya di facebook. Tiba-tiba Riska teringat sesuatu. Kedua jempolnya bergerak mengetikkan sesuatu pada keyboard.

            Jari jempol Riska segera berhenti pada satu kiriman terbaru dari nama seseorang yang baru saja ia cari. Beberapa detik mata Riska terpaku pada layar ponselnya. Detik berikutnya Riska menelan ludah dengan susah payah.

            Rani menyikut lengan Riska, gadis itu menoleh dan melihat Rani mengarahkan dagunya menunjuk ke depan kelas. Riska mengikuti gerakan kepala Rani dan melihat Bu Nunung sedang berkacak pinggang melihat ke arahnya–Ah, sejak kapan Bu Nunung sudah pandai berdiri ketika mengajar.

            “Apa perlu Ibu ambil handphone kamu Riska?” tanya Bu Nunung dengan nada mengancam–menatap Riska menyipit.

            Riska terkesiap. Dia berdeham kecil, lalu menyimpan benda persegi panjang itu ke dalam laci meja. “E-engga, Bu,” jawabnya tergagap.

            “Kamu sudah bikin tugas?” tanya Bu Nunung mendekati meja Riska. Perempuan itu dengan cekatan mengambil buku tugasnya yang terletak di sudut kanan meja–menunjukkannya pada Bu Nunung. “Sudah, Bu.” Riska memasang senyum lebar dan memberikan buku bersampul warna biru itu ke tangan Bu Nunung.

            Wanita berumur kepala lima itu mengulurkan tangan dan menerima buku tugas Riska dengan wajah datar. Wanita yang terkenal dengan suara lembut itu membacanya sebentar, lalu menutupnya kembali dengan kepala yang diangguk-anggukan. Bu Nunung mengedarkan pandangannya ke seluruh siswa-siswinya. Dengan buku Riska masih di tangannya, dia maju ke depan kelas sambil berkata, “Kumpulkan latihan minggu lalu.”

            Suasana kelas memang sudah terdengar bisik-bisik kecemasan saat Bu Nunung melihat buku Riska, sekarang mereka kebat-kebit di bangku masing-masing.

            “Kalau minggu depan dikumpul gimana, Bu? Buku saya tinggal di rumah,” pinta Mifta berdiri dari duduknya. Sementara yang lain sudah satu persatu maju ke depan mengumpulkan tugas mereka di meja guru.

            “Boleh,” kata Bu Nunung sambil merapikan bahan ajarnya tanpa menoleh. “Nilainya nol,” tambahnya lagi. Dia mengambil tumpukkan buku latihan Biologi kelas XI IPA 3 yang berwarna-warni tersebut. “Minggu depan kita ulangan materi hari ini,” katanya tenang sambil menatap siswa-siswinya bergantian. Bersamaan dengan itu, bel tanda istirahat berdering.

            Tidak ada sahutan. Mereka hanya memberi anggukan kecil atau respon berupa keluhan yang hanya dibawa lalu ketika Bu Nunung sudah berjalan keluar kelas. Tanpa banyak cingcong mereka pun ikut melesat keluar kelas menuju tujuan masing-masing. Tentu saja, sebagian besar akan segera menghambur ke kantin. Tempat yang dicintai semua siswa-siswi di sekolah, apa pun waktunya dan bagaimanapun keadaannya.

            “Cabut!” kata Rani memberi aba-aba. Dia berdiri diikuti Kya dan Fadila yang duduk di depan.

            “Riska?” panggil Rani melihat Riska diam menatap kosong ke papan tulis.

            “Eh?” Riska tersentak. Cepat-cepat dia berdiri dan mengikuti langkah ketiga temannya menuju ke kantin. Riska tak banyak bicara menanggapi perkataan teman-temannya. Ia memenuhi mulutnya dengan makanan agara punya alasan untuk tidak membalas candaan mereka.

            “Banyak alasan kita memiliki sebuah raga atas nama cinta. Berbagai alasan pula kita harus melepasnya atas nama cinta yang sama.” Waldy Satria 4 jam yang lalu.

***

            Jika waktu tidak lagi berpihak pada kedua rasa yang sudah terbelah. Lalu kenapa kita masih saja mempertahankan lagi rasa sakit yang sama?

            Ada masanya, di mana kita berada di suatu tempat untuk hal berguna. Ada pula masanya kita pergi dengan alasan yang sama juga.

            Entah itu berita sedih atau Riska harus senang dengan cerita Viska saat mereka bertemu di depan kelas Riska tadi siang.

            “Dia masih nyimpan hadiah dari lo waktu itu. Dia bilang ini kenang-kenangan terindah yang dia punya.” Begitu tutur Viska. Riska hanya tersenyum tipis menanggapi. Dia tidak tahu apakah dia seharusnya bahagia atau tertawa sakit saat itu juga.

            “Ya, walaupun gue punya cewek lain. Yang penting gue masih nyimpen perasaan gue buat Riska rapi-rapi di sini. Di hati gue,” tambah Viska lagi mengulang kata-kata Waldy yang disebutkan padanya.

            Riska berjalan malas sambil menendang-nendang kerikil yang ada di jalan. Ada rasa yang lain di hatinya. Haruskah ia kembali pada rasa itu? Mungkin jika ia berlari meraihnya, perjuangannya akan diterima kembali. Mungkin juga diabaikan. Setidaknya Riska mencobanya.

            Sudahlah. Keterlambatan tetap harus dihukum karena kelalaian begitupun dengan perasaan. Ia harus rela mengorbankan yang sudah terlepas dari genggaman.

            “Tit... Tit... Tit...”

Suara klakson yang beruntun membuat kaki Riska terhenti. Kali ini Riska lebih cepat menyadari keberadaannya dan segera mengambil langkah menjauh dari tepi jalan.

            “Lo lagi, ah!” decak laki-laki yang duduk di atas motornya, menatap Riska kesal di balik kaca helmnya.

            “Sorry,” guman Riska setelah menyadari suara yang sama dari yang Riska dengar waktu itu. Dan orang yang sama, dengan motor dan helm yang sama dia gunakan. Tanpa banyak bicara Riska langsung menyebrangi jalan dan melesat cepat tidak ingin berlama-lama di sana. Takut-takut dia kembali kehilangan kesadaran untuk beberapa detik–itu sangat menganggu.

            Kerikil-kerikil kecil berterbangan rendah di atas aspal, berpindah tempat mengikuti arah angin membawanya. Rambut kecoklatan Riska dia biarkan terurai dan diterbangkan angin menyentuh pipinya. Riska tersenyum kecut, menyipitkan mata menantang matahari yang sudah merentang ke barat, searah dengan langkah kakinya.

***

           

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • DekaLika

    Iya hiks. Dia yang mutusin, dia yang nangis wkwk

    Comment on chapter SATU
  • wizardfz

    Cewek mah gitu, minta putus eh pas pacarnya udah punya cewek lain dia kesel wkwk

    Comment on chapter SATU
Similar Tags
Aldi: Suara Hati untuk Aldi
2      2     0     
Short Story
Suara hati Raina untuk pembaca yang lebih ditujukan untuk Aldi, cowok yang telah lama pergi dari kehidupannya
My X Idol
101      26     0     
Romance
Bagaimana ya rasanya punya mantan yang ternyata seorang artis terkenal? Merasa bangga, atau harus menutupi masa lalu itu mati-matian. Seterkenal apapun Rangga, di mata Nila ia hanya mantan yang menghilang ketika lagi sayang-sayangnya. Meski bagi Rangga, Nila membuat hidupnya berwarna. Namun bagi Nila, Rangga hanya menghitam putihkan hatinya. Lalu, apa yang akan mereka ceritakan di kemudian hari d...
TRIANGLE
2      2     0     
Romance
Semua berawal dari rasa dendam yang menyebabkan cella ingin menjadi pacarnya. Rasa muak dengan semua kata-katanya. Rasa penasaran dengan seseorang yang bernama Jordan Alexandria. "Apakah sesuatu yang berawal karena paksaan akan berakhir dengan sebuah kekecewaan? Bisakah sella membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan?" - Marcella Lintang Aureliantika T R I A N G L E a s t o r ...
HEARTBURN
4      4     0     
Romance
Mencintai seseorang dengan rentang usia tiga belas tahun, tidak menyurutkan Rania untuk tetap pada pilihannya. Di tengah keramaian, dia berdiri di paling belakang, menundukkan kepala dari wajah-wajah penuh penghakiman. Dada bergemuruh dan tangan bergetar. Rawa menggenang di pelupuk mata. Tapi, tidak, cinta tetap aman di sudut paling dalam. Dia meyakini itu. Cinta tidak mungkin salah. Ini hanya...
Before You Go
4      4     0     
Short Story
Kisah seorang Gadis yang mencoba memperjuangkan sebelum akhirnya merelakan
Dia & Cokelat
356      273     3     
Short Story
Masa-masa masuk kuliah akan menjadi hal yang menyenangkan bagi gue. Gue akan terbebas dari segala peraturan semasa SMA dulu dan cerita gue dimulai dengan masa-masa awal gue di MOS, lalu berbagai pertemuan aneh gue dengan seorang pria berkulit cokelat itu sampai insiden jari kelingking gue yang selalu membutuhkan cokelat. Memang aneh!
5 Years 5 Hours 5 Minutes and 5 Seconds
2      2     0     
Short Story
Seseorang butuh waktu sekian tahun, sekian jam, sekian menit dan sekian detik untuk menyadari kehadiran cinta yang sesungguhnya
Memoria
1      1     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
Gebetan Krisan
284      218     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Ken'ichirou & Sisca
241      43     0     
Mystery
Ken'ichirou Aizawa seorang polisi dengan keahlian dan analisanya bertemu dengan Fransisca Maria Stephanie Helena, yang berasal dari Indonesia ketika pertama kali berada di sebuah kafe. Mereka harus bersatu melawan ancaman dari luar. Bersama dengan pihak yang terkait. Mereka memiliki perbedaan kewarganegaraan yang bertemu satu sama lain. Mampukah mereka bertemu kembali ?