Read More >>"> After Rain [Sudah Terbit] (TIGA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - After Rain [Sudah Terbit]
MENU
About Us  

TIGA

            Diki memutar-mutar mainan kunci motornya di jari telunjuknya. Dia bersiul melewati lorong koridor kelas X jurusan komputer menuju kelasnya. Tatapannya fokus pada ubin-ubin putih yang ia pinjaki. Tidak ada siapapun di sana–namun beberapa kelas yang Diki lewati tidak ada guru di dalamnya–dan ada yang bermain-main saja– karena ini adalah jam pelajaran pertama berlangsung. Dan sebentar lagi bel akan berdering menandakan pergantian jam pelajaran dan Diki akan akan masuk tepat waktu.

            “Diki?” panggilan dari suara yang sudah biasa hinggap di telinganya membuat Diki berbalik dan menatap datar seorang perempuan setinggi bahunya.

            “Ini udah jam berapa Diki. Kenapa kamu baru datang?” Tesa menunjuk-nunjuk jam di pergelangan tangannya. Dia baru saja kembali dari kamar mandi dan melihat punggung Diki melewati kelasnya–Tesa mengejarnya.

            “Aku terlambat bangun, sayang.” Diki melempar senyum pembelaan di wajahnya agar perempuan itu percaya. Tapi Tesa malah mendengus kesal dan pergi meninggalkannya.

            Diki tahu itu akan terjadi, perempuan itu selalu meninggalkan Diki di saat dia marah. Tanpa ambil pusing, Diki memutar tubuh setelah beberapa langkah dia membelok menuju kelas XI jurusan Akomodasi Perhotelan. Bel sudah berdering, jadi dia harus bergegas.

            Tesa berdecak kesal. Dia mengentakkan kakinya beberapa kali ke lantai. Matanya tertuju pada jalan yang dilewati Diki tadi. Diki tidak mengejarnya sama sekali. Laki-laki itu sudah banyak berubah. Tidak lagi mengejarnya di saat dia marah. Tidak lagi membujuknya dengan berjanji membelikan coklat untuknya. Diki yang hanya menunjukkan wajah datar padanya. Diki yang hanya diam ketika Tesa pura-pura pergi agar diraih.

            Aris yang tengah memainkan game terbaru bersama dua penonton setianya–Kevin dan Nanda–mengangkat kepala serempak menyadari kehadiran Diki.

            “Bagusnya lo pulang. Guru rapat sampai jam istirahat,” kata sambutan Aris untuk Diki langsung dibenarkan oleh Nanda dan Kevin dengan mengangguk-anggukan kepala mereka.

            “Kalau mau ikutan boleh,” kata Kevin.

            “Kalau lo ngerasa anak OSIS,” tambah Nanda.

            Mereka kembali mengangguk bersamaan.

            Diki mengangkat bahu acuh. Dia meletakkan tasnya di atas meja. Memang Diki dulu pernah berada di organisasi tersebut. Entah siapa yang mencalonkan dirinya untuk masuk ke dalam OSIS. Dengan berat hati Diki menerima setelah dipaksa oleh pembina OSIS sekolahnya karena Diki termasuk murid pemuncak kelas dan memiliki potensi di dalam dirinya.

            Baru satu bulan lamanya Diki ikut bolak-balik ke ruangan OSIS, mengikuti rapat dan segala macam hal yang menyita waktunya, Diki menyerah dan mengundurkan diri dari organisasi tersebut, walau dengan berat hati, Bu Sartika, pembina OSIS tahun ini terpaksa melepaskan salah satu siswa terbaiknya.

            “Lo kemana aja, sih? Tesa nyariin lo tadi ke kelas,” ucap Nanda.

            Diki mengedikkan bahunya lagi. “Telat bangun,” sahutnya ringkas.

            “Lo kenapa sama Tesa?” tanya Nanda lagi, belum puas dengan jawaban Diki.

            Diki menggeleng sambil mengeluarkan ponselnya. “Biasalah cewek.”

            Nanda menghela napas. Dia memilih untuk kembali menonton aksi Aris di arena balap. Sepertinya Diki sedang tidak ingin membicarakan apapun tentang Tesa. Walau sebenarnya Nanda sudah tahu setelah mendengar keluh-kesah Tesa seputar hubungannya dengan Diki akhir-akhir ini.

            “Ngga ada tugas buat kelas kita?” tanya Diki kepada ketiga sahabatnya.

            Kevin mengangkat bahu. Ngga ada guru yang masuk sejak tadi” dia menyahut.

            Diki menghela napas. Dia lihat beberapa teman kelasnya ada yang duduk tenang, tidur di mejanya, bergosip ria, atau menonton film dari ponselnya–para siswa.

            Merasa bosan, Diki beridir dari duduknya. “Cabut yuk,” ajak Diki yang langsung disetujui oleh ketiga temannya lalu mereka berjalan keluar kelas.

            “Diki?” panggil Tesa di depan kelas dengan mata menatap lurus ke arah Diki. Teman-teman Diki langsung tangkap dengan berpamitan lebih dahulu. Seperti biasa, mereka akan memberi tahu lewat pesan di mana posisi mereka nanti akan duduk-duduk sambil menghabiskan beberapa camilan.

            “Kenapa?” tanya Diki saat mereka sudah berjalan menjauh dari kelas Diki. Ia membalas tatapan Tesa.

            Tesa membalik badan. Dia mendongak menatap Diki. “Kamu yang kenapa Diki? Kenapa kamu sekarang berubah gini? Kenapa?” Tesa memborong pertanyaannya. Matanya menyipit menantang mata Diki.

            “Maksud kamu apa? Bukannya kamu yang berubah?” Diki balik bertanya.

            Tesa yang tadi menatap bola mata Diki, kini tak dapat menatap mata itu lagi. Bibirnya bergerak namun tidak mengeluarkan suara apapun. Manik hitam Diki selalu membuat Tesa gugup.

            “Kita punya kegiatan masing-masing, Sa. Aku punya teman-teman, kamu juga punya teman-teman. Bukannya kita bisa ngatasin masalah ini sebelumnya. Kenapa tiba-tiba kamu lebih posesif sama aku sekarang?” keluh Diki, mengingat sikap Tesa–merasa mengekang dirinya.

Melihat Tesa yang hanya menunduk di depannya membuat Diki tidak enak hati. Digenggamnya kedua tangan perempuan itu. “Aku ngga ada ngapa-ngapain, kok. Percaya sama aku, ya,” ucapnya melembut.

Tesa menggigit bibir, dia diam. Mendengar perkataan Diki tadi membuat hatinya sakit. Apa benar dia lebih posesif kepada laki-laki itu sekarang. Sepertinya Tesa tidak menyadari perubahan pada dirinya yang selalu menginginkan Diki di dekatnya. Dalam tundukkan kepalanya Tesa mengangguk.

Tesa mengangkat kepalanya dan menatap Diki sayu. “Silahkan nikmati me time kamu. Maaf aku menganggu,” putusnya kecewa. Tesa melepaskan genggaman tangan Diki dan berbalik meninggalkan laki-laki itu. Lagi, tanpa ujung pembicaraan yang jelas.

***

“Lo yakin, si Tesa kayak gitu? Menurut gue lo harus lebih pahami dia, deh.” Kevin menatap Diki di sampingnya, lalu mengunyah camilannya.

Diki menghela napas. “Menurut lo?”

Mereka sedang berkumpul di warung kecil di sudut lapangan basket, di samping ruangan praktek jurusan masak-memasak. Diki memutar-mutar mie baksonya. Dia tidak berselera makan. Mengingat Tesa membuat nafsu makannya mendadak hilang dibawa perasaan.

“Cewek itu banyak ragamnya, Dik. Yang warna putih, warna merah. Spesies garang, macan, atau garong sekalipun, tetap aja mereka punya hati sensitif kayak putri malu,” kata Aris sambil menggulir layar ponselnya, dia sedang memilih mobil baru untuk beradu di arena balap nanti.

Nanda mengangguk setuju. “Kali aja dia kelewat sayang sama lo. Makanya dia sering cemburu kalau lo lebih banyak ngabisin waktu sama kita.”

“Cemburu sama kita?” tanya Kevin dengan dahi berkerut. mulutnya masih tetap mengunyah camilannya cepat-cepat.

“Iya,” sahut Nanda. Dia meraup nasi goreng ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dengan cepat, lalu menelannya dengan air putih. “Lo cemburu juga kan kalau misalnya Nadia lebih sering ngomong sama temannya waktu lo telponan sama Nadia,” kata Nanda menatap Kevin.

Kevin mengangguk dan membenarkan dalam hati. Memang terkadang dia merasa diabaikan.

“Wajar aja kan, kalau cewek juga ngerasain itu. Hati mereka lebih sensitif lagi dari kita. Jadi, lo bisa mikirin itu, Dik. Ajak ngomong cewek itu ngga susah, kok. Emang awalnya cuek-cuek bebek, tapi ujung-ujungnya dia luluh sama kata-kata kita,” jelas Nanda. “Tapi jangan lo gombalin kayak si Aris,” tambah Nanda cepat.

Aris yang mendengar namanya disebut langsung mengangkat kepala. “Maksudnya apa?” tanyanya sinis. Tidak suka dengan kata terakhir Nanda “kayak si Aris”. Memangnya hanya dia yang satu-satunya melakukan itu?

“Cewek itu ampuh diajak runding sama kata-kata. Kalau lo pandai ngomong baik-baik sama Tesa, gue yakin dia bakal baik lagi. Tesa sama kayak cewek lainnya,” lanjut Nanda menghiraukan tatapan tajam Aris padanya.

“Emangnya gue kenapa?” tanya Aris pada Kevin.

“Lo perayu cewek. Maut, man.” Kevin tertawa membuat Aris gondok.

“Makanya gue ngga mau punya cewek,” sungut Aris. “Ribet, Diki!” tambahnya menatap Diki menyipit.

Diki melirik sekilas Aris lalu memiringkan kepalanya. Dia kembali fokus kepada Nanda. Menunggu laki-laki itu berceramah pasal cinta-cintaan. Kata Kevin, “Konsultasi Asmara”. Walau lelaki itu sendiri berstatus single–katanya.

Nanda memutar matanya, malas. Dia menghembuskan napas kasar.

“Ngga usah pusing. Lo ingat kan Tesa gimana. Jadi wajar ajalah dia kayak gitu ke lo. Apalagi dapet cowok baik kayak lo gini. Kemana-kemana maunya nempel sama lo terus.” Nanda mengangguk mantap.

Kevin yang ikut mendengarkan mendadak terbatuk-batuk dan menumpahkan camilannya ke ponsel Aris di atas meja.

“Sialan lo!” bentak Aris marah. Bagaimana tidak, yang Kevin keluarkan adalah makanan setengah lumat dari mulutnya.

“Ampun...” teriak Kevin. Kemudian dia mengambil langkah seribu dan kabur dari sana diikuti Aris yang mengumpat di belakangnya.

            Diki dan Nanda sama-sama melengos malas.

            Nanda menyuap nasi gorengnya kembali. Merasa sudah cukup untuk pelajaran yang dia berikan, Nanda tidak melanjutkan lagi acara “Konsultasi Asmara” Diki kali ini.

            Diki juga tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin kata Aris benar juga. Kata Nanda juga benar. Diki harus mencobanya nanti.

***

            “Kak, temen kakak nyariin tuh di luar,” panggil Zia, adik laki-laki Riska yang pertama.

            “Iya, bentar,” teriak Riska. Ia bangkit dan berlari kecil menuju pintu keluar.

            Di depan rumah Riska, Dwira tengah duduk di atas motornya. Mendengar bunyi pintu terbuka membuat Dwira menoleh dan tersenyum kepada Riska. Laki-laki itu mempunyai tahi lalat di samping batang hidungnya. Riska akui, laki-laki itu manis. Apalagi saat ia tersenyum.

            “Ngapain?” tanya Riska. Laki-laki berkulit sawo matang itu lagi-lagi tersenyum, membuat Riska agak gelisah.

            “Jalan, yuk. Langitnya lagi bagus, tuh,” ajaknya sembari menatap langit sore, lalu menatap Riska.

            Riska mengikuti pandangan mata Dwira. Benar, matahari bersinar oranye di belahan barat bumi. “Kemana?” tanya Riska ragu. Ia tidak yakin sedang good mood untuk keluar.

            “Kemana aja. Pamit dulu sama Mama kamu. Aku tunggu di sini,” jawab Dwira.

            Riska menimbang-nimbang sebentar. Detik berikutnya ia mengangguk. Sepertinya dia butuh cari angin untuk menghilangkan beban pikirannya. “Bentar, ya,” katanya–setuju.

***

            “Aku ngga nyangka bakal salah banyak ulangan Matematika kemaren. Padahal aku yakin banget udah ngisi jawabannya dengan tepat. Ya, seenggaknya aku dapet nilai setengah dari satu soal itu. Tapi makasi ya, udah minjamin aku tugas remedialnya,” kata Dwira.

            “Iya, sama-sama. Ngga masalah, kok,” kata Riska tulus. Sebenarnya Riska tidak keberatan sama sekali, karena tugas remedial itu juga bukan dia yang mengerjakan sepenuhnya.

            Bu Wita, rasanya dia adalah guru terkiller di sekolah. Ketegangan di dalam kelas, mereka pasti akan pura-pura mencari jawaban sendiri, takut ditunjuk maju ke depan mengerjakan contoh soal yang sedang dibahas. Ulangan selalu remedial, tidak pernah tuntas satupun setiap semesternya. Jika sudah begitu, aksi mencontek besar-besaran selalu menjadi tradisi siswa-siswi Bu Wita. Oper jawaban dari teman ke teman, dari kelas ke kelas lain. Sangat kompak.

            Merasa Riska tak menunjukkan tanda-tanda akan menyahut lebih, Dwira sedikit bosan. “Bentar, ya. Aku mau ke toilet dulu,” katanya sembari bangkit dari duduknya.

            Riska mengangguk dan membiarkan Dwira pergi. Mata Riska menatap pemandangan bunga-bunga di depannya. Riska masih belum bisa bersikap santai terhadap Dwira. Padahal laki-laki itu datang di saat yang tepat untuk menghiburnya, akan tetapi sama sekali tidak memberi pengaruh banyak pada perasaannya.

            Riska bangkit dari duduknya. Dia ingin berjalan-jalan sebentar. Riska perhatikan bunga-bunga yang tumbuh rapi mengelilingi taman ini. Dwira membawanya ke tempat yang cukup cocok untuk keadaannya saat ini. Walau sebenarnya dia pernah sesekali ke tempat ini untuk menenangkan perasaan, atau lari dari kenyataan.

            Pikirannya kembali mengkilas balik kata-kata Waldy di time line akun media sosial lelaki itu. Apa maksudnya dia membuat kata-kata seperti itu? Riska merasa Waldy membicarakan tentang hubungan mereka yang sudah berakhir. Ditambah lagi cara Waldy mengakui perasaannya tidak berubah pada Viska–sepupunya–membuat Riska bingung maksud lelaki itu yang sebenarnya.

            Riska menghela napas panjang. Ditatapnya langit cerah sore ini. Sebaiknya Riska kembali sekarang, sebelum Dwira benar-benar kebingungan mencarinya.

            Saat dia akan kembali ke tempat duduknya tadi dia melihat Dwira sedang berbicara dengan seseorang. Riska tak dapat dapat melihatnya karena terhalang punggung Dwira. Hanya sebentar, mereka menyudahi pembicaraan dengan adu tos ala laki-laki. Dwira menggeser tubuhnya saat temannya menyalakan motornya. Mata Riska menyipit menatap kepergian laki-laki itu yang sudah menghilang dari jangkauan pandangannya.

            “Liatin apa?”

            Suara Dwira membuat Riska tersentak kaget. Dia segera berbalik dan melihat Dwira membawa sebuah kantong plastik di tangannya.

            Riska menggelengkan kepala. “Enggak, ada,” jawabnya.

            “Kok kamu lama banget?” tanya Riska mengalihkan perhatian Dwira yang juga mencari apa yang dilihatnya tadi di balik punggung Riska.

            Dwira menoleh dan duduk di atas rerumputan yang sudah dipangkas rapi. Tentu saja, taman kota ini begitu banyak pengunjungnya karena selalu ditata sedemikian rupa, serta berbagai macam bunga di sana. Kecuali satu, bunga kesukaannya. “Tadi aku ketemu sama teman bentar. Maaf. Lama banget, ya?” ucapnya dengan nada menyesal.

            Riska duduk di samping Dwira dan menerima sebotol minuman rasa jeruk. “Ngga apa-apa, kok.” Meski di wajah Riska tergambar jelas kegugupan, ia tetap memaksakan seulas senyum agar Dwira tidak curiga.

            Dwira mengangguk. Lalu dia membuka tutup botol minumannya dan meneguk isinya sedikit. Rasa segar mengaliri tenggorokkannya.

            “Pulang, yuk,” ajak Dwira saat ia melirik jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore. Sebaiknya Dwira mengantar Riska sekarang, agar perempuan itu tidak masuk angin karena Riska mengenakan baju berlengan pendek.

            Riska mengangguk dan menerima uluran tangan Dwira. Kemudian berjalan mengekori Dwira tanpa bicara.

µµ

How do you feel about this chapter?

2 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • DekaLika

    Iya hiks. Dia yang mutusin, dia yang nangis wkwk

    Comment on chapter SATU
  • wizardfz

    Cewek mah gitu, minta putus eh pas pacarnya udah punya cewek lain dia kesel wkwk

    Comment on chapter SATU
Similar Tags
ATHALEA
11      6     0     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
For Cello
14      9     0     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Akhir yang Kau Berikan
4      4     0     
Short Story
\"Membaca Novel membuatku dapat mengekspresikan diriku, namun aku selalu diganggu oleh dia\" begitulah gumam Arum ketika sedang asyik membaca. Arum hanya ingin mendapatkan ketenangan dirinya dari gangguan teman sekelasnya yang selalu mengganggu ia. Seiring berjalan dengan waktu Arum sudah terbiasa dengan kejadian itu, dan Laki Laki yang mengganggu ini mulai tertarik apa yang diminati oleh Arum...
Surat Terakhir untuk Kapten
364      296     2     
Short Story
Kapten...sebelum tanganku berhenti menulis, sebelum mataku berhenti membayangkan ekspresi wajahmu yang datar dan sebelum napasku berhenti, ada hal yang ingin kusampaikan padamu. Kuharap semua pesanku bisa tersampaikan padamu.
WALK AMONG THE DARK
4      4     0     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
Horses For Courses
104      23     0     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
Dessert
11      7     0     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Cerita Cinta Di Sekolah
2      2     0     
Short Story
Sebuah cerita anak SMP yang sedang jatuh cinta dan berakhir menjadi sepasang kekasih. Namun, ada seseorang yang mencoba menerornya. Dan secara tidak langsung, orang tersebut bermaksud untuk mengganggu hubungan kisah asmaranya.
Roger
18      9     0     
Romance
Tentang Primadona Sial yang selalu berurusan sama Prince Charming Menyebalkan. Gue udah cantik dari lahir. Hal paling sial yang pernah gue alami adalah bertemu seorang Navin. Namun siapa sangka bertemu Navin ternyata sebuah keberuntungan. "Kita sedang dalam perjalanan" Akan ada rumor-rumor aneh yang beredar di seluruh penjuru sekolah. Kesetiaan mereka diuji. . . . 'Gu...
Once Upon A Time: Peach
4      4     0     
Romance
Deskripsi tidak memiliki hubungan apapun dengan isi cerita. Bila penasaran langsung saja cek ke bagian abstraksi dan prologue... :)) ------------ Seorang pembaca sedang berjalan di sepanjang trotoar yang dipenuhi dengan banyak toko buku di samping kanannya yang memasang cerita-cerita mereka di rak depan dengan rapi. Seorang pembaca itu tertarik untuk memasuki sebuah toko buku yang menarik p...