CANDRAMAWA
Chapter 2 : Become One
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Zazie Achalendra
2. Yudistira Yoganta
3. Rakka Rahandika
4. Alka Dahayu
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
“Zazie!” Sesosok makhluk melesat cepat ke arah mereka bertiga. Bahkan meninggalkan sekumpulan debu yang bertebaran di udara. “Rakka … maaf ngerepotin”, ujar Zazie pelan, syukurlah Rakka dapat menyeret tubuh Zazie sesaat sebelum makhluk itu menerkamnya, walau mereka berdua berakhir dengan jatuh tersungkur di tanah. Sementara Alka, ia segera melangkah ke belakang beberapa kali dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sesuai dugaan, ia dapat dengan baik menghindari kedatangan makhluk tersebut. Tak lupa, gadis itu menyempatkan diri untuk menatap kedua seniornya yang tiduran di tanah, memastikan bahwa mereka baik-baik saja. “Makhluk itu datang dari arah belakang lu, makanya hati-hati,” ujar Rakka seraya mengangkat tubuhnya untuk berdiri kembali. Zazie pun segera berdiri pula, ia juga sesekali membersihkan blazernya yang kotor terkena tanah.
Begitu menyadari keberadaan manusia biasa yang tentunya mempersulit pekerjaan mereka, Alka segera memberi instruksi, “Pak satpam pergi aja dulu, tempat ini nggak aman pak!” Sosok satpam yang nampak begitu bingung dan gelisah itu mengangguk dengan cepat, ia pun segera berlari menuju tempat yang dirasanya aman. Sementara Zazie, ia mengamati makhluk yang baru saja menyerang mereka tersebut, “Itu rohnya?” “Elang …,” ujar Rakka pelan, ia sepertinya juga mengamati makhluk itu. “Dari mana ya datangnya?” ujar Alka. Selagi ia memikirkannya, roh elang itu mendadak mengejar satpam yang masih berlari mencari tempat perlindungan. Ketiga anggota Candramawa itu menyadarinya pula, dan tentunya mereka tas bisa tinggal diam.“Tunggu!” teriak Alka, gadis itu segera melesatkan bambu runcingnya. Namun sayangnya ia meleset, bambu itu lewat tepat di sebelah kepala roh elang itu, dan berakhir menancap di tanah, nyaris mengenainya.
Roh elang itu seketika terhenti, ia berbalik arah, menghadap tiga anggota Candramawa yang kini berada di dalam jarak pandangnya. Dalam hitungan detik, roh elang itu mulai terbang ke arah mereka. “Dia kesini!” ujar Rakka dengan tegas, berusaha memberi peringatan. Zazie menatap kedua rekan di kanan kirinya itu secara bergantian, memberi kode pada mereka dengan sebuah bisikan kecil, “Gue sama Rakka bakal atasin, lu ambil bambu runcing lu balik.” Mereka pun paham dan mengangguk pelan, seraya menunggu waktu yang tepat untuk beraksi.
Roh elang itu semakin mendekat, Rakka dan Zazie bersiap dengan mengeluarkan bambu runcing mereka masing-masing. Tak lupa, mereka juga melakukan posisi kuda-kuda. Begitu roh elang telah berada cukup dekat, mereka menyilangkan kedua bambu runcing masing-masing, tepat bersamaan dengan sampainya roh itu di hadapan mereka. Aksi mereka itu sukses menahan roh elang agar tidak menerkamnya. Merasa sang roh elang telah terkunci, Alka segera berlari dengan kencang menuju bambu runcingnya. Ia ambil senjatanya itu, lalu berlari kembali menuju kedua seniornya yang masih berusaha keras menahan roh elang yang hendak menerkam mereka. Alka masih terus melangkahkan kakinya, hingga ia telah berjarak lima meter dari roh elang, baru lah ia melompat dan mengarahkan bambu runcingnya lurus ke arah roh tersebut. “Hiyaaa!” Alka yakin bambu runcingnya telah membidik sasaran yang tepat, namun dalam hitungan detik, roh itu menghilang.
“Alka!” Berakhirlah gadis itu menghantam kedua seniornya, membuat mereka bertiga terjatuh ke atas tanah. “Aduh… Apa-apaan sih lu?!” Zazie yang terpaksa harus merasakan sakitnya tersungkur ke tanah untuk kedua kalinya itu hanya bisa pasrah dan mengeluh. “Eh? Maaf, kak” Alka segera bangkit kembali, senyuman polos dan malu-malu gadis itu terlihat begitu manis. Walau begitu, ia tetap mau membantu kedua seniornya untuk bangkit kembali. “Nggak apa-apa, lu udah lakuin hal yang bagus,” ujar Rakka seraya membersihkan seragamnya yang sedikit kotor. “Sayang banget roh elangnya kabur …,” nada bicara Alka terdengar begitu pelan, ia nampak muram dan menyesal akan tindakannya.
“Kita istirahat aja dulu, ntar roh elang itu juga bakal balik ke sini,” ujar Zazie seraya beranjak mendahului kedua rekannya. Ia duduk di salah bangku taman dan menyandarkan kepalanya. Nafasnya ia tarik dengan begitu dalam, serta ia hembuskan dengan panjang pula. Sepertinya Zazie butuh waktu untuk mendinginkan kepalanya. “Ayo, Al,” Rakka menatap gadis di sebelahnya, berusaha mengajaknya untuk beristirahat pula. Alka hanya mengangguk dan mengikuti langkah Rakka. Mereka berdua pun juga duduk di kursi taman yang sama dengan Zazie.
Sementara Zazie dan Rakka menikmati waktu luang mereka di tengah Taman Kilisuci yang indah nan sejuk ini, Alka justru nampak murung dan tak bersemangat. Ia masih saja mengingat tindakannya beberapa saat yang lalu, ‘Bego banget sih gue!’ pikirnya. Mendadak sebuah sensasi sentuhan ia rasakan di pundak kirinya, sukses membuat lamunannya itu hancur berantakan dalam seketika. Setelah ia menengok ke arah pundaknya, ternyata tangan Zazie lah yang bertengger di sana. “Jaga pikiran lu jangan sampe kosong,” ujar Zazie dengan ketus dan tanpa menatap ke arah Alka sama sekali. “Saya nggak nglamun kok”, jawabnya dengan nada bicara lirih yang terdengar lesu. “Cheer up, kid. Lu nggak ngelakuin kesalahan kok,” lagi-lagi Zazie masih tak berniat untuk menatap Alka sama sekali, namun nada bicaranya kini terdengar lebih baik, lebih mirip seperti nasehat dari orang berpengalaman. Kalimat lelaki itu begitu lembut, sukses menggetarkan hati kecil Alka. Gadis itu seketika menatap sosok di yang duduk sebelahnya. Tatapan Alka begitu dalam, lebih dalam daripada tatapan yang pernah ia lemparkan sebelumnya. Wajah murung gadis itu perlahan juga menghilang, dan mulai digantikan senyuman kecil di wajahnya. Senyuman itu sukses membuat tatapan Alka pada Zazie semakin dan semakin terasa dalam. Namun Zazie sama sekali tak menyadarinya, ia terlalu sibuk menatap ke arah langit, begitu teliti memperhatikan cakrawala yang tak kunjung menampilkan roh elang incaran mereka.
“Wait …,” kalimat ber-Bahasa Inggris yang diutarakan Alka itu akhirnya sukses mengalihkan perhatian Zazie ke arahnya. “Kid? …,” Alka kini menatap lelaki itu dengan geram, entah kemana perginya tatapan penuh perasaannya barusan. “Iya, kid. Lu kan anak kecil,” ujar Zazie dengan nada meledeknya yang terdengar sangat menyebalkan. Bahkan ia juga menyenggol pipi Alka menggunakan jari telunjuknya. “Saya bukan anak kecil, kak!” teriakkan Alka sama sekali tak terdengar menyeramkan, apalagi gadis itu notabene mempunyai warna suara yang lucu. Ia mengalihkan pandangannya dari Zazie, merasa muak pada seniornya yang satu ini. Namun Zazie sama sekali tak merasa bersalah, ia justru tertawa lepas menikmati reaksi adik kelas yang ia gunakan sebagai bahan candaannya itu.
Alka mungkin terlihat geram dan tak mau memandang Zazie, namun sesekali sang gadis melirik sosok itu, dan mendapati senyuman lebar di wajah lelaki itu. Tak berselang lama, gadis itu tanpa sadar melepaskan senyuman kecil di wajahnya. Hingga tawa lepas Rakka membuatnya sadar kembali, dan segera menghilangkan wajah gembiranya itu. “Sabar aja Al kalo sama Zazie mah, suka ngatain orang emang,” ujar Rakka berniat menenangkan suasana hati gadis kecil itu. “Kalo lu dikatain sama Zazie, jangan dibales pake kata-kata juga. Balesnya tuh gini …,” Rakka meraih bambu runcingnya dan memukul Zazie tepat di kepalanya. Alka yang semula harus terpaksa menampilkan wajah murung kini bisa menunjukkan tawanya dengan bebas. Sementara Zazie, ia mendadak terdiam dan menatap Rakka dengan cukup tajam, seakan-akan siap membunuhnya. Namun Rakka sama sekali tak menggubris aura membunuh dari Zazie, ia justru menjulurkan lidahnya guna mengejek anak itu lebih jauh lagi.
Riang tawa mereka sempat mengisi suasana Taman Kilisuci yang semula sepi dan suram. Kini taman kecil itu terasa hangat dan menyenangkan, membuat nyaman siapa pun yang mampir di sana. Namun semuanya berubah seketika setelah Zazie mendadak terdiam dan menunjukkan ekspresi wajah yang begitu serius. Lelaki itu beranjak dari kursinya, ia berdiri tegap dan menatap salah satu sisi langit dengan begitu teliti. “Dia datang …,” ujarnya pelan. Rakka dan Alka pun segera beranjak pula, mereka juga menatap lurus ke arah pandang Zazie, serta memperkuat daya kepekaan mereka pada sekelilingnya.
Lagi-lagi suara bernada tinggi khas elang itu terdengar, membuat ketiga anggota Candramawa itu mendadak bersiap akan segala kemungkinan serangan. Tak berselang lama sebelum roh elang kembali menampakkan wujudnya, Rakka sudah terlebih dahulu mengeluarkan bambu runcingnya. Mata tajamnya itu mendapati sosok yang muncul dari balik pepohonan. “Dapat lu!” Dilemparkan bambu runcingnya itu, lurus ke arah roh elang. Namun lagi-lagi, roh elang dapat menghindari lemparannya. “Sialan!” teriaknya kesal, memang tak biasa melihat Rakka naik pitam seperti ini. “Santai kak … Mungkin roh elang itu salah satu alasan kenapa Pak Yudis ngebuat team, karena kita harus kerjasama buat ngalahinnya,” ujar Alka dengan begitu pelan, gadis itu menatap Rakka, yang dibalas dengan tatapan pula oleh Rakka. Lelaki itu mengangguk pelan, tanda ia paham pada ucapan Alka.
“Yoi! Kita mencar sekarang! Alka, lu bawa roh elang itu balik kemari! Gue sama Rakka bakal serang dari dua sisi!” “Siap!” Formasi pun dimulai, memang mendadak dan tanpa persiapan yang lebih matang lagi, akan tetapi Zazie sangat berharap rencananya ini berhasil tanpa halangan apapun. Alka berlari dengan begitu kencang, hanya butuh waktu beberapa detik saja baginya untuk menyusul arah terbang roh elang. Tak berhenti sampai di situ, Alka masih terus berlari hingga ia mendahului roh elang tersebut. Begitu ia telah berada beberapa meter di depan roh elang, bambu runcingnya itu segera ia lemparkan lurus ke arah roh elang. Meleset memang, tapi ia sukses membuat elang itu terbang ke arah yang berlawanan, kembali ke tempat dimana Zazie dan Rakka berada.
Rakka berdiri tepat di tengah jalan setapak, ia memilih lokasi dimana tak ada pepohonan tinggi yang menghalangi di atasnya. Sementara Zazie justru memilih lokasi yang berlawanan, lelaki itu justru bersembunyi di balik pepohonan tinggi. Suara melengking roh elang itu kembali terdengar, seketika Rakka menyiapkan dirinya, ia berkonsentrasi penuh pada roh elang yang beberapa saat lagi akan terbang melewatinya. Rakka sempat menatap Zazie, ternyata lelaki itu juga menatapnya. Mereka saling memastikan kesiapan satu sama lain. Keduanya saling mengangguk, memberi kode untuk segera beraksi.
Rakka mengangkat tangan kanannya yang memegang bambu runcing itu setinggi pundak dengan arah vertikal ke atas. Sementara tangan kirinya ia angkat lebih tinggi lagi, berusaha memastikan kemana arah lemparnya. Sesaat ia perlu menunggu agar posisinya benar-benar siap, dan menunggu pula datangnya roh elang padanya. Tak memakan waktu lama, seekor roh elang masuk dalam jangkauan pandang Rakka, segera lah ia melemparkan bambu runcingnya lurus vertikal ke atas dengan begitu kencang. Di saat yang bersamaan, bambu runcing Zazie dari arah samping roh elang itu juga melesat cepat. Sesaat roh itu terlihat gelisah, ia seperti bingung hendak pergi kemana. Namun akhirnya, roh elang itu dapat menghindari bambu runcing Rakka, akan tetapi bambu runcing milik Zazie masih dapat menyerempet sayap roh elang. “Sialan! Gagal lagi!” teriakan Zazie dari balik pepohonan itu terdengar begitu jelas, ia sudah terlalu muak.
Pergerakan roh elang itu terlihat sedikit tidak stabil. Ia masih terbang di atas sana walau pun tak pergi kemana-mana. “Belum selesai!” Sebuah bambu runcing kembali melayang di atas langit, tepat mengarah ke kepala roh elang itu. Sayangnya roh elang masih bisa menghindar, ia bergerak beberapa meter ke samping dan terbang sedikit lebih rendah. Namun tanpa ia sadari, sebuah bambu runcing jatuh dengan arah vertikal ke bawah, membidik sempurna pada tubuh roh elang.
Bambu runcing itu dapat mendarat serta menancap tepat di atas tanah. Debu di sekitarnya yang mendadak berterbangan membuat pemandangan di sekitarnya susah sekali untuk ditembus oleh mata manusia biasa. Akan tetapi secara perlahan cahaya bersinar terang, semakin terang, dan terus semakin terang. Begitu menyilaukan hingga perlu bagi Rakka dan Zazie untuk menutup kedua matanya.
Tak berselang lama, cahaya itu menghilang, menyisakan sebuah bambu runcing yang masih menancap di atas tanah dengan posisi vertikal sempurna. Rakka menatap bambu runcingnya itu seakan-akan tak percaya. Zazie buru-buru berlari ke arahnya, ia memastikan apa yang baru saja terjadi. “Bambu runcing gue ngenain roh elang …,” ujar Rakka lirih, senyuman lelaki itu mengembang perlahan tanpa ia sadari. “Pengiriman roh menuju akhirat, selesai …,” ujarnya lagi. Kalimat-kalimat Rakka yang barusan ia ucapkan itu terasa seperti mimpi, ia sungguh tak menyangka rencana Zazie yang semula gagal itu ternyata masih bisa terselamatkan. “Berhasil kan?!” teriakan itu berasal dari kejauhan, membuat kedua lelaki itu seketika menatap ke arah sumber suara. Nampak gadis kecil yang berlari dengan semangat, ia menunjukkan senyumannya yang begitu gembira.
“Yang terakhir datang itu bambu runcing lu?!” Zazie seketika menatap Alka, raut wajahnya campur aduk antara senang dan terkejut. “Iya,” jawab Alka dengan semangat. Gadis itu menatap bambu runcing milik Rakka yang masih tertancap vertikal di atas tanah. Perlahan ekspresi gadis itu berubah, ia nampak puas pada pekerjaannya kali ini. “Kita berhasil ya …,” ujarnya lirih.
“Kerja bagus!” Rakka mengangkat tangannya, memberi kode pada Alka untuk melakukan highfive dengannya. Dengan senang hati, Alka pun menepuk telapak tangannya Rakka itu menggunakan tangannya pula. “Lemparan bambu runcing gue mungkin meselet, Zazie pun juga meleset, dan elu yang ngikut ngelempar bambu runcing akhir-akhirnya meselet juga. Namun lemparan lu itu bikin roh elang agak berpindah dari posisinya, dan akhirnya ketika bambu runcing gue kembali ke bawah, bisa ngenain roh elang …,” Rakka menjeda ucapannya sejenak, ia menunjukkan sebuah senyuman kecil di wajahnya. “Makasih,” lanjutnya.
Tak mau kalah, Zazie pun ikut bicara, “Alka kan pindahan dari SMAN 1 Semarang, udah pasti lah kalo jago.” Alka nampaknya tak ingin menanggapi kalimat Zazie menggunakan kata-kata, gadis itu hanya tersenyum kecil. “Gue ngandelin lu buat misi-misi lu selanjutnya,” ujar Zazie seraya menepuk pundak Alka. “Siap, kak!” jawab gadis itu dengan penuh semangat. “Udah yuk balik” Zazie beranjak dari posisinya, berjalan mendahului kedua temannya. Tak mau ketinggalan, Rakka dan Alka segera berlari untuk menyusul langkah Zazie.
Kericuhan di Taman Kilisuci sudah tak ada lagi, mungkin hanya beberapa kerusakan di sisi-sisi taman yang tersisa, dan itu lah tugas para satpam untuk membereskannya. Misi pertama untuk Kelompok Satu selesai tanpa halangan apa-apa lagi, dan tentunya tepat waktu sesuai perintah pembina mereka, Pak Yudis.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.