Read More >>"> Meja Makan dan Piring Kaca (2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Meja Makan dan Piring Kaca
MENU
About Us  

2

 

Dan di sinilah Cendi berada. Tenggelam dalam sofa super besar dan empuk yang berada di tengah lobi Miracle Hotel, tempat ia dan teman-temannya akan menginap untuk menghabiskan liburan akhir tahun di Pulau Dewata. Sementara Tiara sedang mengurus keperluan menginap mereka di meja resepsionis.

Mona dan Lidya? Entah mereka sedang melancong ke mana.

Cendi menyapukan pandangan ke seluruh penjuru lobi hotel yang penuh dengan manusia. Setiap akhir tahun selalu seperti ini. Bali menjadi tempat tujuan banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk merayakan malam pergantian tahun.

Maka dari itu, biasanya Cendi malas datang ke Bali saat akhir tahun. Dan ini tak ada hubungannya dengan Hans. Sejak dulu Cendi memang tak terlalu suka dengan keramaian. Baginya, berada di tempat yang terlalu banyak orang, terutama yang masih asing, terasa menakutkan. Kalau saja bukan karena teman-temannya, ia lebih memilih menghabiskan akhir tahun di rumah saja. Menonton koleksi DVD film horror miliknya, mungkin. Atau membaca timbunan buku yang ia beli entah berapa juta tahun lalu dan belum sempat terjamah.

Oke, terdengar membosankan memang. Menghabiskan malam tahun baru sendiri seperti orang kesepian. Baiklah, mungkin memgikuti ketiga temannya ke Bali merupakan keputusan terbaik. Setidaknya ia bisa bermain di pantai dan melihat matahari terbenam favoritnya. Dan yang jelas tak menghabiskan sisa tahun sendirian.

“Tiara belum balik juga?” tanya Mona yang tiba-tiba muncul.

Cendi berpaling ke arah meja resepsionis. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Tiara di antara barisan orang yang mengantre. “Mungkin masih ada yang harus diurus.”

Mona mengenyakkan tubuh di samping Cendi. “Urusan apa lagi, sih? Bukannya tinggal minta kunci aja, ya? Kita kan sudah pesan kamar sebelumnya.”

Cendi hanya bisa mengangkat bahu. Mana ia tahu soal urusan pesan kamar hotel. Ia kan hanya tinggal terima beres. Perkara tiket pesawat dan hotel, sepenuhnya Tiara yang mengurus. “Memangnya Tiara pesan kamar hotel langsung, gitu?”

“Ya, nggak, lah,” sahut Mona. “Pastinya booking kamar lewat Nicho.”

Cendi mengangguk mengerti. Hotel berbintang lima yang berada di kawasan Kuta ini memang milik Nicho, tunangan Tiara, meskipun pria itu lebih sering menyerahkan kepengurusan hotel pada manajernya karena lebih sering berada di luar negeri daripada di Indonesia.

Setiap kali ke Bali, mereka selalu menginap di hotel yang sama. Kadang Cendi juga ingin tahu rasanya menginap di hotel lain. Tapi tentu saja Nicho tak mengizinkan.

“Ngapain bayar mahal-mahal buat nginep di hotel lain yang belum tentu pelayanannya lebih bagus, kalau bisa nginep gratis di sini sepuasnya?” Begitu kilah Nicho saat Cendi mengutarakan keinginannya mencoba hotel lain kapan lalu.

Masuk akal, sih alasannya. Tapi namanya juga orang penasaran.

Tetapi sebenarnya itu hanya salah satu alasan Nicho saja. Alasan sebenarnya, pria itu tak rela Cendi mengeluarkan banyak uang untuk memperkaya pengusaha hotel lain.

“Tiara booking kamar suite atau…”

Mona menggeleng tanpa menunggu Cendi menyelesaikan pertanyaannya. “Maunya Nicho gitu, tapi Tiara nggak mau.”

“Kenapa?”

“Terlalu mahal. Kasihan Nicho katanya. Mending disewain ke orang lain aja,” jawab Mona. “Lagian, percuma kalau kita ambil di kamar suite, ntar juga kamu bakal ngotot cari kamar lain. Padahal kalau akhir tahun gini kan kamar penuh semua.”

Cendi tertawa kecil. Dia ingat sekitar dua tahun lalu, mereka menginap di hotel ini dan menempati kamar suite. Niatnya, sih biar tidak repot dan mereka bisa terus sama-sama. Tapi Cendi malah tidak betah dan berkeras pindah ke kamar single dengan alasan menginginkan privasi. Untung saat itu bukan akhir tahun, sehingga masih ada kamar kosong untuk ia tempati.

“Eh, Lidya mana?” Cendi baru menyadari kalau satu temannya belum muncul. “Tadi pergi sama kamu, kan?”

“Mau cari minum katanya,” jawab Mona cuek. “Ugh… lama amat, sih Tiara. Aku capek banget, nih. Aku nggak sabar pengin cepet-cepet berendam di bath tub,” keluhnya sambil mengikat rambut cokelat panjangnya. Muka indonya kusut berkeringat, meski tetap terlihat cantik.

Cendi tersenyum kecil. “Santai saja kenapa, sih? Tinggal terima beres, juga.”

Girls… coba tebak siapa yang bakal nginep di sini juga!” Lidya tiba-tiba muncul dengan seruan histerisnya. Tingkahnya benar-benar mirip ABG kalau seperti itu.

Cendi dan Mona hanya bisa menatap bingung. Kenapa nih anak? Datang-datang langsung histeris kayak orang kesambet apaaa… gitu. Memangnya siapa, sih yang datang? Brad Pitt? Orlando Bloom? Taylor Lautner? Atau idola Cendi sejak masih bayi, Elijah Wood?

Atau jangan-jangan personel boyband Korea—entah siapa pun itu.

“Rocky Herlangga!” Gadis cantik berambut pendek itu kembali berseru histeris tanpa menunggu reaksi teman-temannya.

“Serius? Rocky Herlangga pembalap GP2 itu?!” Mona ikut-ikutan histeris. Padahal dia tak terlalu menggemari olahraga balap mobil. Tapi karena sering menemani Cendi nonton  GP2 dan tahu kalau Rocky Herlangga sangat tampan, dia jadi suka juga melihatnya. Alasan yang sama juga berlaku bagi Lidya.

“Iya, iya. Pembalap yang ganteng banget itu!”

“Mana? Mana?” Mona langsung beranjak dari duduknya dan celingukan ke segala arah. Tampak begitu excited menemukan si berondong tampan.

Belum sempat Lidya menjawab, Rocky Herlangga beserta rombongan muncul bersama para penggemar—sebagian besar wanita muda—yang masih sibuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Pemuda tampan berwajah oriental, berkulit putih, dan berambut pendek agak jabrik itu memasuki lobi bersama tiga laki-laki lain. Salah satunya Cendi kenal bernama Reno, kakak kandung Rocky yang juga berprofesi sebagai pembalap—setidaknya sampai tahun lalu. Sementara dua lainnya belum pernah ia lihat.

Kedua wanita itu kembali histeris bersamaan dan langsung melesat mendekati rombongan si pembalap muda. Benar-benar tak ingat umur.

Cendi hanya melihat pemandangan itu tanpa beranjak dari tempatnya. Sama sekali tak tertarik mengikuti jejak kedua temannya. Meski sangat menyukai pembalap hebat itu melebihi Mona dan Lidya, ia tidak mau berdesak-desakan dengan wanita lain demi mendapat tanda tangan atau foto bersama Rocky. Ia tahu Rocky tidak akan menyadari keberadaannya dengan cara seperti itu. Lagi pula, astaga… ia sudah 25 tahun. Sudah tidak pantas ber-fangirling berlebihan seperti itu.

Dari kejauhan Cendi bisa melihat wajah Rocky Herlangga yang tampak sangat lelah, tapi masih berusaha tetap tersenyum dan melayani permintaan para penggemarnya. Meskipun letih, wajah calon pembalap F1 itu tetap terlihat sangat tampan.

***

Tiara melangkah meninggalkan meja resepsionis menuju sofa besar di tengah lobi, di mana teman-temannya menunggu sedari tadi. Cendi sedang sibuk dengan buku bacaannya, sementara Mona dan Lidya saling pamer foto-foto bersama Rocky Herlangga.

“Ada sedikit masalah nih, teman-teman,” katanya langsung.

Ketiga wanita yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing itu langsung menoleh.

“Pantesan lama,” komentar Cendi. “Ada apa?”

“Kamar kita nggak hilang, kan?” Lidya ikut bertanya.

“Nggak, lah,” sahut Tiara seraya menyempil di antara teman-temannya. “Kalau itu terjadi, Nicho bakal aku bunuh.”

“Aku setuju. Bunuh aja,” dukung Cendi, yang hanya dibalas dengan tawa kecil oleh Tiara. “Tapi kalau bukan itu masalahnya, lalu apa?”

“Aku kan sudah booking empat kamar single…

“Terus, nggak dapat empat gitu?” sela Mona. “Nggak masalah. Kita bisa tidur bareng.”

Tiara mendelik menatap temannya. “Jangan motong dulu, dong!”

“Sori,” sahut Mona. “Lanjutin deh!”

“Kita tetap dapat empat kamar, tapi ada satu kamar yang berada di lantai berbeda,” Tiara menjelaskan. “Padahal aku kan minta kamar di lantai dua dengan pemandangan langsung ke pantai, biar nggak jauh-jauh kalau mau turun. Tapi yang ada di lantai dua cuma tiga kamar. Kamar satu lagi di lantai tiga. Waktu aku tanya Nicho, katanya kamar yang satu sudah ada yang booking. Padahal aku sudah booking sejak beberapa bulan lalu, tapi Nicho lupa bilang ke manajernya.” 

“Masih untung kita dapat kamar. Gratisan, juga.” Lidya berkomentar. Tak terlalu ambil pusing dengan terpisahnya satu kamar di lantai tiga. Asal bukan dia saja yang harus menempati kamar di lantai tiga. Dia tidak suka dan tidak terbiasa sendirian.

“Jadi, maksudnya satu kamar terpisah, gitu?” tanya Cendi.

Tiara mengangguk.

“Cuma itu doang?” Cendi mendengus. “Kirain apaan. Sama sekali bukan masalah, kali.”

“Ya, sedikit bermasalah, dong,” balas Tiara. “Salah satu dari kita kan nggak bisa punya kamar berdekatan.”

Tapi menurut Cendi hal itu justru bagus. “Pemandangannya tetap langsung menghadap pantai, kan?”

Tiara mengangguk lagi.

“Kalau gitu, aku saja yang di lantai tiga.”

“Yakin?” tanya Tiara sangsi. “Nggak apa-apa sendirian di lantai tiga?”

“Nggak usah berlebihan deh,” sergah Cendi sebal. “Kayak kamar lain nggak ada yang nempatin aja.”

“Bukan gitu maksudnya,” balas Tiara. “Tapi—”

“Nggak apa-apa,” potong Cendi. “Aku lebih suka sendirian. Aku kan juga perlu menenangkan diri dari gangguan kalian.”

“Maksudnya?” Mona memelotot.

Cendi nyengir, lalu berpaling pada Tiara. “Sudah ah, mana kuncinya?” pintanya sembari mengulurkan tangan. “Aku mau langsung ke kamar. Aku capek banget.”

“Yakin, kamu mau di lantai tiga? Apa nggak sebaiknya aku saja?” Tiara masih merasa sangsi. Dia masih takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan, mengingat keadaan Cendi yang menurutnya masih labil.

“Kan sudah aku bilang, aku ingin menenangkan diri,” kata Cendi gemas. “Siniin deh, kuncinya! Cepet.”

Tiara mengangkat bahu pasrah dan menyerahkan kunci kamar untuk Cendi.

Thank you!” ucap Cendi setelah menerima kunci kamarnya. “Aku ke kamar duluan, ya! Bye, girls!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (29)
  • Zeee

    Menurutku tokoh Shandy terlalu perfect. (chptr 3). Seperti ... nggak ada cacatnya. Saran saja deh, ganteng, tajir, okelah. Coba masukin beberapa kekurangan. Biar agak manusiawi. Maaf komentarnya pedas. Ini cuma saran saja.

    Comment on chapter Kartu Keluarga
  • lanacobalt

    Siap @Yell akan saya perbaiki berikutnya.

    Comment on chapter Prolog
  • Yell

    Cuma saran saja. Coba perhatikan pemadatan kalimatnya. Kurangi kata yg nggak perlu. Terlalu banyak menggunakan kata hubung jadi kurang bagus. Malah bisa jatuh klise.

    Comment on chapter Prolog
  • CandraSakti

    Sukaaaaaa

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    Terima kasih @radenbumerang saya akan lebih giat lagi atas pujian yang kamu berikan,

    Comment on chapter Prolog
  • radenbumerang

    Novelnya keren, diksinya sangat bagus dan mudah dicerna pembaca, baik yang awam maupun sudah pro. Yang jadi nilai plus dari novel ini adalah prolognya yang langsung menyajikan konflik (seperti tips yang disarankan oleh beberapa penulis terkenal), jadi pembaca akan langsung dibuat penasaran dengan apa yg akan terjadi berikutnya. Untuk sekarang masih saya cicil bacanya, lumayan untuk hiburan positif di sela-sela padatnya pekerjaan. Jangan lupa mampir juga di cerita saya ya, hihi.

    Comment on chapter Prolog
  • cicicantika

    Like.

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    okok, kadang suka sor sendiri kalau lagi ngetik :D

    Comment on chapter Prolog
  • HasanN

    Ke mana, ke sana, ke sini, ke mari, ke arah, ke depan, ke belakang, ke samping, ke kanan, ke kiri. Kata depan ke ditulis terpisah Kak. Ceritanya keren. Saya suka. Cuma EBInya tolong dipelajari lagi. Good luck, Kak.

    Comment on chapter Prolog
  • lanacobalt

    oke terima kasih sarannya, saya akan pelajari dan perbaiki.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Sherwin
6      5     1     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Shinta
70      31     0     
Fantasy
Shinta pergi kota untuk hidup bersama manusia lainnya. ia mencoba mengenyam bangku sekolah, berbicara dengan manusia lain. sampai ikut merasakan perasaan orang lain.
Kompilasi Frustasi
74      40     0     
Inspirational
Sebuah kompilasi frustasi.
My Daily Activities
7      7     0     
Short Story
Aku yakin bahwa setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan asal ia berdo\'a dan berusaha.
The Reason
159      62     0     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Nadine
83      34     0     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...
Akhi Idaman
6      6     0     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
IMPIAN KELIMA
261      225     3     
Short Story
Fiksi, cerpen
Satu Koma Satu
185      54     0     
Romance
Harusnya kamu sudah memudar dalam hatiku Sudah satu dasawarsa aku menunggu Namun setiap namaku disebut Aku membisu,kecewa membelenggu Berharap itu keluar dari mulutmu Terlalu banyak yang kusesali jika itu tentangmu Tentangmu yang membuatku kelu Tentangmu yang membirukan masa lalu Tentangmu yang membuatku rindu
Unforgettable
7      7     0     
Short Story
Do you believe in love destiny? That separates yet unites. Though it is reunited in the different conditions, which is not same as before. However, they finally meet.