Pernahkah kamu merasa sangat beruntung karena dijatuh-cintakan pada satu orang? Jika pernah, maka harus kukatakan lagi bahwa kita sama. Lelaki itu, seperti yang sudah pernah kukenalkan pada lembar pengantar, adalah lelaki yang membuatku beruntung karena diizinkan untuk jatuh cinta padanya berkali-kali, setiap hari.
Kalau belum kenal, maka izinkan aku mengenalkannya sekali lagi. Tapi ingat, dia milikku. Tidak masalah kalau kamu mulai menyukainya jika sudah membaca ceritaku tentangnya; tetapi dia tetap milikku. Tolong kamu catat itu di sticky notes milikmu.
Namanya Dazel Dearrel Augustaf. Dia bule? Oh, bukan. Namanya saja yang mirip bule, tetapi percayalah bahwa Dazelku adalah seorang yang biasa saja. Maksudku, oke dia memang berkulit putih, tetapi dia bukan bule. Dia tampan; perlu kamu tahu bahwa sebelum bersamaku, dia dikagumi banyak perempuan di sekolah ini. Dan tentu saja, kamu tidak perlu iri jika pada akhirnya Dazel hanya ingin memilikiku. Sudah kubilang, tolong catat dengan benar bahwa kamu boleh menyukai Dazelku, tapi dia tetap milikku. Kita sepakat kan pada peraturanku yang satu ini?
“Allura!”
Apa yang menyenangkan dari sekolah di hari Senin? Pelajarannya? Guru-gurunya? Upacara bendera yang amanat pembinanya lebih panjang dari narasi soal Bahasa Indonesia dari LKS halaman sebelas? Atau teman-teman sekelas yang jahilnya bisa membuatmu sampai meledak-ledak saking marahnya? Bagiku, semua itu tidak semenyenangkan setiap kali aku mendengar dia memanggil namaku dengan suaranya yang terdengar sangat empuk di telinga. Setiap kali Dazel menyapa dan aku menolehkan kepala untuk membalas sapaannya, aku selalu dibuat jatuh cinta dengan senyumnya.
“Bareng, yuk!” seperti biasa, setelah memakirkan sepeda motornya di deretan sepeda motor yang ada di tempat parkir, lelaki itu selalu menyempatkan untuk berjalan bersisian denganku. Menyapa, menanyakan kabar dan cuplikan-cuplikan topik yang kami bahas di SMS semalaman, tentang ulangan harian dadakan, atau banyak hal yang bisa membuat hatiku merekah cantik di pagi hari sebelum berlarian ke lapangan dan mengikuti upacara bendera.
“Allura, tunggu dulu!” sebelum dia berjalan ke kelasnya, lelaki itu selalu menyempatkan berhenti di depan kelasku. Dan momen-momen dimana hatiku berdebar dan meletup-letup saking bahagianya, adalah ketika dia tersenyum menatapku.
“Just a minute.” pintanya. Kemudian dia tersenyum menatapku lekat-lekat, seperti tidak ingin melihat ke arah manapun lagi selain membidik kedua manik mataku. Ya, hanya menatap, tanpa mengatakan apa-apa. Kamu tahu? Ada semacam dialog tak kasat mata setiap mata kami beradu pandang. Suatu hal yang ingin diungkapkan semacam,”Aku sayang kamu.” atau bahkan lebih? Sesuatu semacam bagaimana dia sangat mencintaiku meski hanya bisa disampaikan lewat senyumannya yang beradu dengan binar matanya yang selalu berkedip-kedip itu. Ah, aku sangat tidak peduli dengan teori-teori itu, aku hanya peduli bahwa aku benar-benar sudah jatuh cinta.
Aku jatuh cinta padanya; pada dia yang menyisihkan dua puluh detik untuk melakukan rutinitas itu setiap pagi, dan berakhir dengan usapan tangan di ujung kepalaku sambil mengatakan,“Sampai nanti, ya!”
“Daah!” aku melambaikan tangan. Dia menoleh, berjalan mundur ke belakang sambil membalas lambaian tanganku. Dan tentu saja, lengkap dengan senyumnya yang selalu menghipnotisku untuk jatuh cinta berkali-kali padanya.
Aku jatuh cinta padanya; pada dia yang sangat sederhana tetapi luar biasa cintanya. Aku jatuh cinta padanya; pada dia yang begitu acuh pada perempuan yang lain, tetapi sangat peduli padaku. Aku jatuh cinta padanya; pada dia yang meskipun tinggi badannya hanya sejengkal lebih tinggi dari tinggi badanku, tetapi selalu percaya diri untuk mengatakan,”Aku pasti akan tumbuh lebih tinggi, biar kamu nggak malu punya pacar pendek.” Aku jatuh cinta padanya; pada dia yang meski badannya tidak berisi, bahkan kerempeng, tetapi dia selalu punya tekad kuat dengan mengatakan,”Aku ingin sedikit lebih berisi. Pokoknya aku harus bisa, biar kamu nggak malu punya pacar yang kerempeng.”
Dazel, sungguh, bahkan jika kamu tidak tinggi dan masih kerempeng seperti sekarang, aku sudah jatuh cinta. Jika tadi aku bertanya, pernahkah kamu merasa sangat beruntung karena dijatuh-cintakan pada satu orang? Maka dengan sangat tulus aku mengatakan bahwa aku bersyukur telah dijatuh-cintakan pada lelaki yang tingginya hanya sejengkal dari tinggi badanku, pada dia yang tubuhnya kerempeng dan selalu ingin lebih berisi, pada dia yang tidak bisa mengatakan,”Aku sayang kamu.” secara langsung, tetapi selalu menunjukkannya lewat manik mata yang selalu tersenyum tanpa disertai dengan kata-kata.
Maka, aku bersyukur jika harus dijatuh-cintakan berkali-kali pada dia yang bernama Dazel. Barangkali, aku adalah satu-satunya gadis yang bersyukur karena telah jatuh cinta pada lelaki yang bahkan tidak pandai merangkai kata, tetapi sangat ahli dalam mengungkapkan kecintaannya hanya dengan caranya menatapku.
Dazel, aku sepertinya telah jatuh cinta. Maka, maukah kamu menjadi seorang yang padanya kujatuh-cintakan segala perasaan yang telah dirangkaikan oleh semesta?
***
Hal yang paling kubenci di hari Senin, selain harus mengikuti upacara bendera di tengah-tengah teriknya matahari pagi, adalah ketika setiap jam pelajaran pertama aku harus mendengar pernyataan ini dari guru Bahasa Indonesiaku,”Kamu masih pacaran dengan Dazel? Saya rasa nggak perlu ya pacar-pacaran, nanti saja kalau sudah dewasa. Kalian harus fokus dengan sekolah.”
Baiklah jika beliau ingin mengatakannya langsung di depanku, tetapi ini selalu dilakukannya di depan kelas; di hadapan semua teman-temanku yang juga akan selalu bilang ini padaku,”Cuek aja, La. Bu Ratmini emang kayak gitu kan orangnya?”
Dazel, tolong bilang kepadanya, aku tidak mau. Bahkan jika aku harus fokus dengan sekolahku, aku tetap ingin ada kamu di dalamnya. Bahkan jika aku tumbuh dewasa kelak, aku ingin selalu bersamamu. Biar Bu Ratmini marah, keputusanku untuk mencintaimu memang seegois itu. Bisakah kamu mengatakan itu padanya, Dazel?
“La, Dazel!” Lania menyikut lenganku sambil berbisik-bisik. Aku mengikuti arah pandang Lania ke arah koridor depan kelasku. Dazel ada disana, melambai-lambaikan tangannya dan membuat isyarat lucu untuk tidak mendengarkan kata-kata Bu Ratmini. Sepertinya ia tahu bahwa jam pelajaran pertamaku adalah Bahasa Indonesia, dengan Bu Ratmini sebagai guru pengampunya. Aku tersenyum mengangguk. Ia juga. Kemudian, dia melambaikan tangan untuk yang terakhir kalinya sebelum ditarik paksa oleh teman sekelasnya. Ada percikan rasa hangat yang menjalar di seluruh percabangan hatiku selepas kepergiannya. Selama Dazel masih bisa kutemukan di dunia ini, segalanya akan baik-baik saja. Ya kan, Dazel?
Itulah Dazel, kekasihku. Begitulah caranya membuatku merasa lebih baik. Dia tahu aku menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi dia lebih tahu bahwa aku tidak nyaman dengan Bu Ratmini yang selalu menyempatkan diri untuk membahas perihal hubunganku dengan Dazel. Dazel tahu, karena di kelasnya, Bu Ratmini juga akan mengatakan hal yang sama, meski lebih mengenaskan. Dan aku bisa menirukan ekspresi kesal miliknya setiap kali menirukan kata-kata Bu Ratmini,”Kenapa kalian nggak putus aja?”
Setelah bersungut-sungut seperti itu, aku akan mencubit-cubit pipinya yang sebenarnya tidak bisa dicubit saking tirusnya. Lalu, dia akan lupa perihal rasa kesal yang sempat membuat mood-nya berantakan, dan membidikkan fokusnya hanya kepadaku. Dia akan tertawa dan membuatku menghentikan aksi mencubit pipinya. Lihatlah, tidak sulit membuatnya bahagia. Dazel begitu mudah merasa harus tertawa setiap kali bersamaku.
“Apanya sih yang dicubit? Padahal nggak ada yang bisa dicubit. Ini nih yang enak buat ditowel-towel.” Dia balas mencubit gemas kedua pipiku yang chubby. Aku pura-pura kesal setiap kali dia melakukannya, tetapi aku senang. Aku senang melihat tawa dan ekspresi gemasnya setiap kali balas mencubit pipiku.
“Dazel?”
“Ya?” balasnya ketika kami sudah lelah saling mencubiti pipi masing-masing. Aku menatapnya lekat.
“Kamu nggak akan menuruti kata-kata Bu Ratmini, kan?”
“Kamu bener-bener butuh jawaban dari pertanyaan itu, La?” Dazel kembali memasang wajah masam. Aku tertawa, itu karena aku sudah tahu jawabannya. “Ya enggaklah, La. Ngapain? Nggak. Aku nggak mau.”
Aku menyukai sifat keras kepalanya yang satu itu, setiap kali ingin mempertahankanku. Aku menyukai Dazel dengan segala apa yang dia punya dalam dirinya. Dan aku ingin mengatakan sekali lagi, atau berkali-kali pada setiap lembar yang akan kuhabiskan ketika menceritakan tentangnya, bahwa aku mencintainya.
“Udah ya, jangan dibahas lagi. Mood-ku bener-bener hancur karena orang itu.” sungut Dazel. Aku tertawa. Ia menolehkan kepalanya dan bersiap mencubit pipiku lagi sebelum mendengarku mengatakan:
“Kalau sama aku, masih badmood, nggak?” godaku sambil berlarian dari koridor kelas. Aku tidak pernah membayangkan bahwa hari Seninku akan seindah hari ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa ada yang membuatku hari Seninku lebih baik setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia milik Bu Ratmini habis. Dan aku lebih tidak menyangka lagi, bahwa memutuskan untuk menerima Dazel sebagai kekasihku akan menjadi sebaik ini.
“Sini kamu!” Dazel tertawa sambil mengejarku. Ya, Dazel, lagi-lagi dialah alasanku harus merasa bahagia setiap hari Senin dan hari-hari yang datang berikutnya. Seninku tak buruk, selama ada Dazel di dalamnya.
Selama ada Dazel, aku percaya semua akan baik-baik saja. Sampai disini, apakah kamu sudah merasa sangat cemburu bahwa Dazel dan aku adalah pasangan yang manis? Tunggu, kamu harus terus membacanya hingga akhir. Kupastikan kamu akan kesal kepadaku karena terus-terusan mengatakan bahwa aku mencintai Dazel.
Sebagai penutup yang manis di lembar ini, aku ingin kembali mengatakan bahwa: aku mencintai Dazel.
Keinget jaman muda sma anak 2000an
Comment on chapter Prolog