Read More >>"> Paragraf Patah Hati (Dazel Menyatakan Cinta (Lagi)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paragraf Patah Hati
MENU
About Us  

Kalau bagimu hari Senin adalah hari paling menyebalkan dari rentetan hari-hari yang ada dalam seminggu, mungkin tidak bagiku. Ada hari yang paling menyebalkan; dimana seharusnya aku tidak tertidur pada jam sepuluh, tidak lupa mengecek ponsel dan berapa jumlah pesan yang masuk, dan tidak perlu kesana-kemari meninggalkan seseorang yang sudah menungguku sampai malam dari balik ponselnya.

            Jika ada hari yang paling menyebalkan sepanjang tahun 2010 ini, maka hari Minggu adalah jawabannya. Bukan, bukan karena aku tidak menyukai hari libur; sama sekali bukan itu.

            “Harusnya waktu itu kamu nggak tidur jam sepuluh,” kenang Dazel saat kami berjalan bersisian menuju tempat parkir. “Tahu gitu, aku bisa nembak kamu di tanggal dan jam yang cantik. Kamu sih...”

            Aku terkekeh. Itulah alasannya mengapa aku membenci hari Minggu; di bulan Oktober 2010. Aku membenci kenyataan bahwa saat itu Dazel tidak jadi menyatakan perasaannya pada jam yang seharusnya sudah dirancangnya, jam sepuluh, di tanggal dan bulan kesepuluh.

            “Dazel nyesel nggak, udah nembak aku waktu itu?”

            Kini, giliran Dazel yang tertawa. Dia berhenti sejenak, memandangku dalam senyuman yang masih merekah di sudut bibir. “Mau tahu jawabannya?”

            Aku mengangguk, meski dalam hati berharap Dazel tidak menyesali keputusannya waktu itu. Sambil menunggu Dazel mengambil alih posisi sepeda motornya yang terparkir rapi, diam-diam hatiku merapal doa. Jangan bilang kamu menyesal ya, Dazel? Kalau iya, aku akan...

            “Pulang, yuk!”

            “Loh, belum dijawab.” Aku merengut, tapi tetap kubuntuti Dazel yang sudah mendorong sepeda motornya keluar area parkir. “Kok, nggak dijawab?”

            Dazel tersenyum sambil mengawasiku dari balik spion motornya. “Itu mukanya jangan gitu amat deh. Hahaha.”

            Aku manyun, lalu menempelkan kedua tanganku di jok motornya. “Jadi?”

            “Sebenernya sih sedikit kesel, soalnya udah kupersiapkan baik-baik. Eh, tapi kalau kamunya nggak sesuai harapan, ya nggak apa-apa.” Dazel tersenyum sambil mendorong sepeda motornya. Baru ketika kami sampai di depan gerbang, dia menoleh ke arahku. “Yang penting tanggal, bulan, dan tahunnya cantik. Dan yang paling penting kan, sekarang kamu udah jadi milikku.”

            Harusnya Dazel tidak perlu mengatakannya di siang bolong, kan? Aku senang, tapi tidak bisa membedakan rona merah dan rasa panas di pipiku karena respon hatiku yang tersipu atau karena matahari yang sudah sangat terik. Ah, Dazel. Kenapa kamu selalu berhasil membuatku tersipu, sih?

            “Kita jadi pulang nggak, nih?” goda Dazel padaku yang masih menunduk malu-malu di sebelah motornya. Dazel sudah duduk di jok motor dan mengenakan helm-nya. Ia memandangku dengan ekspresi geli yang terlalu kentara. “Malu, ya? Ih, pipinya sampai merah gitu.”

            Aku memukul pundaknya. “Iya-iya. Kita pulang.”

            Kamu tahu, mengapa aku semakin mencintai sekolah ini? Ya, karena ada Dazel di dalamnya. Kamu tahu, mengapa aku jadi menyukai hari Senin? Benar, karena selalu ada Dazel di dalamnya. Kupikir, aku akan menyukai seluruh planet yang ada di semesta ini, kalau ada Dazel di dalamnya. Boleh kamu sebut aku terlalu berlebihan, aku tidak apa-apa. Yang paling penting, aku yang memiliki Dazel, bukan kamu. Jangan lupakan fakta itu, ya?

 

***

 

            “Aku nggak sepenuhnya nyalahin kamu, kok.” Dazel menyambung lagi obrolan kami di tempat parkir tentang proses pernyataan cintanya tempo hari, dua bulan sebelum hari Senin ini. “Ya karena waktu itu posisiku masih sebagai temenmu, kan?”

            Aku tersenyum, dia juga. Kami memutuskan untuk mengisi perut yang terlampau kosong untuk melanjutkan perjalanan pulang. Dan seperti biasa, warung mie ayam yang tak jauh dari sekolah adalah tempat tujuan kami untuk berhenti dan makan disana.

            “Terus?” tanyaku, sambil menuangkan beberapa sendok sambal yang terlalu encer. Dazel mendekatkan botol kecap ke arahku sebelum melanjutkan ceritanya.

            “Harus banget ya ini dibahas lagi?” Dazel sempat terkekeh sebelum bertanya lagi,”Aku malu. Kamu kan udah tahu ceritanya. Kenapa masih pengen tahu lagi, sih?”

            Kali ini aku yang tertawa. “Aku suka.”

            “Sukanya di bagian yang mana?”

            Aku pura-pura berpikir. “Waktu kamu pura-pura pengen curhat, padahal intinya mau nyatain cinta.”

            “Yaaaa...” Dazel mengalihkan pandangannya dalam senyum malu-malu. “Waktu itu aku nggak punya cara lain, karena plan A nggak berjalan sebagaimana mestinya.”

            Aku suka momen ini; dimana aku bisa dengan bebas mendengarnya berceloteh panjang lebar tentang kami, tentang dirinya, tentang aku dan banyak hal yang bisa kami bahas bersama. Meski hanya dengan dua porsi mie ayam di warung pinggir jalan, dua gelas penuh es jeruk lengkap dengan dua buah sedotan, serta tawa masing-masing yang sempat diudarakan di tengah-tengah kesibukan makan.

            “Kenapa kamu harus tertidur jam sepuluh, sih?” tanyanya membuatku tersenyum di tengah-tengah kesibukan melahap mie.

            “Hihi. Mana aku tahu? Aku juga lupa kenapa aku tertidur di jam-jam itu.” balasku setelah rampung menelan suapan pertama mie ayamku.

            “Selain itu, kamu juga lama banget balas SMS-ku.” setelah suapan keduanya, Dazel kembali merengek. Lucu sekali melihat ekspresi wajahnya. Ekspresi yang sangat kusukai; sekalipun ia sedang sangat sebal padaku.

            “Maaf,” aku sempat tertawa sebentar sebelum melanjutkan,”Kamu masih inget banget ya detailnya?”

            “Iya dong. Momen-momen itu selalu kuingat, karena waktu itu aku bener-bener desperate banget rasanya. Antara jadi dan nggak jadi nyatain cinta, diam-diam aku jadi ragu sama niatku sendiri.” Dazel menyeruput es jeruknya, kemudian melanjutkan kata-katanya yang terdengar manis di telingaku. “Dan pada akhirnya, aku nggak pernah menyesali keputusanku waktu itu. Aku nggak pernah menyesal karena aku menyatakan cintaku di hari itu, meskipun kamu yang ngebuat semuanya gagal total.”

            Aku tersenyum. “Nggak gagal, kok. Kita tetep jadian di tanggal cantik.”

            “Ya, seharusnya bisa lebih cantik lagi kalau jamnya pas jam sepuluh.” koreksi Dazel, yang mau tak mau membuatku kembali terkekeh. 

            “Jadi, nyesel nih?” godaku dengan ekspresi sok marah.

            “Enggak.”

            “Bener?”

            “Dikit, sih.”

            “Apanya yang dikit?”

            “Nyeselnya.”

            “Hanya karena nggak bisa nembak di jam sepuluh? Ya ampun, Dazel. Kenapa segitunya, sih?”

            “Hehe. Kalau bisa lebih cantik, kenapa enggak?”

            “Jadi, bener-bener nyesel?”

            “Ih, dibilangin enggak.”

            “Terus?” Kali ini aku benar-benar ngambek, mendadak sebal pada Dazel yang terus-terusan merasa kesal dengan kejadian tempo hari yang tidak sesuai ekspektasinya. Dazel mendongakkan wajahnya, menatapku yang sudah cemberut menahan sebal.

            “Kamu bawel banget, sih?” Dazel tertawa. “Kalau kamu terus nanya gitu, aku nggak mau jawab.”

            “Dazel Dearrel, kamu bener-bener mau berantem disini?”

            Ia tertawa mendengar pertanyaanku. Entah kenapa, aku juga. Setelah menatapku, tertawanya semakin lebar.

            “Kamu emang punya bakat bikin orang gemes, ya?”

            “Jadi, aku ngegemesin?” tanyaku sambil pasang wajah sok cute. Dazel tertawa, membuatku melupakan rasa lapar yang sudah beranjak pergi, sejak kuhabiskan mie ayam yang sudah tinggal kuahnya saja. Seporsi mie ayam dan tawa Dazel adalah perpaduan sempurna untuk hari Senin ini. Aku benar-benar kenyang; tentu saja karena seporsi mie ayam yang hampir tumpah, serta senyum dari lelaki banyak bicara di depanku ini.  

            Hei, untukmu yang masih membenci hari Senin, aku harus meminta maaf karena aku tidak lagi sependapat. Tanyakan kepadaku, tentang hari apa yang paling kubenci? Tidak ada. Tidak lagi ada, meski sempat menyesali hari Minggu di bulan Oktober lalu. Hari ini, sepertinya aku akan meyukai semua hari. Aku akan menyukai semua hari yang ada dia di dalamnya; sudah kubilang, aku akan menyukai apapun yang ada Dazel di dalamnya.    

            Aku akan menyukai apapun yang bisa membuat Dazel tertawa seperti sekarang. Dan jika alasan dari tawa Dazel adalah aku, maka aku akan lebih menyukai diriku sendiri. Aku akan menyukai diriku karena telah berhasil menerbitkan tawa Dazel yang lepas. Lalu, aku akan lebih mencintai Dazel karena telah berhasil membuatku jatuh cinta lagi dengan tawa-tawa lepasnya.

            “Tapi,” Dazel meletakkan sendok dan garpunya di dalam mangkuk mie-nya dalam keadaan telungkup. “Aku sebenernya heran waktu kamu terima cintaku.”

            “Kok heran, sih?” aku bertanya di sela-sela menyedot minuman es yang bulir jeruknya ikut masuk ke dalam sedotan.

            “Ya... karena kamu bilang butuh waktu tiga hari. Tapi ternyata, nggak kurang dari setengah jam kamu udah bilang mau nerima aku.”

            Aku tersenyum geli, meski bisa kurasakan pipiku menghangat. “Aku juga nggak yakin sama diriku sendiri waktu itu.”

            “Kok gitu?”

            “Sejak kamu nyatain cinta, aku langsung tanya-tanya ke temen-temenmu yang sekelas sama aku. Si Puguh, Rere, dan Alisa. Puguh bilang ke aku, kalau kamu orangnya baik. Dan Rere justru nyuruh aku nerima kamu langsung. Puguh sama Alisa juga sih, tapi jawaban mereka agak-agak jahil gitu deh.”

            “Terus?”

            “Terus... ya, aku mau.”

            “Hanya karena kamu tahu dari Puguh kalau aku orangnya baik?”

            “Hm, ya... maybe.”

            “Kok gitu sih jawabnya? Kamu juga nyesel, nih, nerima aku?”

            “Ih, enggak!” ralatku buru-buru. “Ya karena sebelumnya aku juga kenal kamu kan di OSIS. Dan... ya, aku pengen kenal lebih jauh sama kamu.”

            “Dan kamu berhasil.”

            “Huh?” tanyaku tak paham.

            “Ya, kamu berhasil. Kamu sudah mengenalku lebih jauh. Kamu bisa ngebuat aku jadi Dazel yang lebih banyak bicara di depanmu, hal yang jarang banget kulakukan di depan orang lain.”

            Aku tersenyum. Dan sungguh, aku ingin meleleh saat itu juga begitu Dazel ikut meyunggingkan seulas senyum manisnya.

            “Aku pengen memulai semuanya lebih jelas,” Dazel menatapku lekat. “Meski aku harus bilang maaf sebelumnya karena tempatnya cuma di warung mie ayam pinggir jalan, bukan cafe bagus di pusat kota.”

            “Apa sih, Dazel?” tanyaku masih tak paham dengan arah pembicaraan lelaki di depanku ini.

            “Allura, mau kan jadi pacarku?”

            Aku tak bisa menahan tawa mendengar pertanyaan Dazel yang terbata-bata; dengan ekspresi tegang dan kedua mata yang celingak-celinguk sebelum mengutarakan maksud kata-katanya. Demi apapun, dia terlihat sangat menggemaskan!

            “Serius kamu nembak aku di warung mie ayam?” aku terpingkal sambil memegangi perutku yang rasanya terkocok karena harus tertawa geli mendengar kata-kata Dazel.

            “Aku cuma mau memperjelas, biar dua bulan yang lalu aku nggak terlihat main-main karena cuma berani nyatain lewat SMS.”

            “Lagipula, buat apa kamu nembak cewek yang udah jadi pacarmu?”

            Dazel tersenyum. “Jadi, kamu mau?”

            “Kurang jelas apa, Dazel?”

Ia tersenyum lagi, kali ini mungkin terlihat lebih manis dari senyum-senyum sebelumnya. Ia tidak melakukan apapun selain hanya menatapku saja, dan hanya dengan cara itu, aku kembali jatuh cinta padanya. Dua bulan lalu, saat menerima pernyataan cinta Dazel lewat pesan singkatnya, kupikir semua bisa dimulai dengan perasaan yang akan kuajari untuk mencintai seseorang yang tidak pernah kubayangkan akan menjadi kekasihku.

Tetapi ternyata, perkiraanku salah. Aku sudah dibuat jatuh cinta oleh Dazel, lebih cepat dari waktu dimana seharusnya aku masih mengajari hatiku untuk mencintai seseorang yang masih asing bagiku. Dan rasanya tidak bisa kuhitung lagi berapa kali aku harus mengakui bahwa aku jatuh cinta pada senyumnya. Semudah itu ya, seorang Dazel membuatku jatuh cinta berkali-kali?

Dazel, kamu benar, bahwa tidak ada yang perlu disesali. Sepertimu yang tidak pernah menyesal bahwa telah menyatakan cintamu tempo hari, maka aku juga tidak pernah sedikitpun menyesal telah menerima cintamu. Semoga kita adalah sepasang ketidakmenyesalan yang terus belajar bagaimana caranya mencintai masing-masing dengan cara yang benar, ya? Maka tetaplah disana, di tempat seharusnya kamu berada; mencintai dan memperlakukanku seolah aku adalah pusat dari duniamu.

Aku tidak akan pernah sulit mengakui, bahwa sekali lagi aku telah jatuh cinta. Kepadamu, kesederhanaan yang membuatku lebih paham definisi bahagia dan dibutuhkan. Terima kasih telah mencintaiku, Dazel Dearrel Augustaf.

            “Terima kasih.” ujarku tulus, tepat ketika mata kita kembali bertumbukan dan saling melempar senyuman.                          

            “Harusnya aku, Lula. Terima kasih.” dia mengoreksi. Aku mengangguk dan kembali tersenyum sebelum akhirnya kebisuan yang terkunci lewat tatapan mata kami harus terganggu oleh suara seseorang yang tak terdengar asing di telingaku.

            “Ciye, pasangan baru! Pacaran mulu, nih!”

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • NiarAstari

    Keinget jaman muda sma anak 2000an

    Comment on chapter Prolog
  • muhamamdoktaviansyah123

    bahkan aku juga mencari puguh dan alisa di list pertemanan yang kamu ikuti di IG. wkwkw. ga nemu juga

    Comment on chapter Prolog
  • muhamamdoktaviansyah123

    tak coba search dazel di IG ada ga ya ?

    Comment on chapter Hari Senin dan Dazel di dalamnya
  • igantmaudyna

    @abbluadam Enggak juga, wkwk. Tapi kamu yang komen pertama wkwk

    Comment on chapter Prolog
  • abbluadam

    Apakah kumenjadi orang pertama yang membacanya?

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Rindu
4      4     0     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Segaris Cerita
3      3     0     
Short Story
Setiap Raga melihat seorang perempuan menangis dan menatap atau mengajaknya berbicara secara bersamaan, saat itu ia akan tau kehidupannya. Seorang gadis kecil yang dahulu sempat koma bertahun-tahun hidup kembali atas mukjizat yang luar biasa, namun ada yang beda dari dirinya bahwa pembunuhan yang terjadi dengannya meninggalkan bekas luka pada pergelangan tangan kiri yang baginya ajaib. Saat s...
Sunset in February
8      7     0     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.
Secret Love
3      3     0     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Melting Point
77      19     0     
Romance
Archer Aldebaran, contoh pacar ideal di sekolahnya walaupun sebenarnya Archer tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Sikapnya yang ramah membuat hampir seluruh siswi di sekolahnya pernah disapa atau mendapat godaan iseng Archer. Sementara Melody Queenie yang baru memasuki jenjang pendidikan SMA termasuk sebagian kecil yang tidak suka dengan Archer. Hal itu disebabkan oleh hal ...
SEPATU BUTUT KERAMAT "Antara Kebenaran & Kebetulan"
35      11     0     
Humor
Bukan sesuatu yang mudah memang ketika dalam hidup berhadapan dengan hal yang membingungkan, antara kebenaran dan kebetulan. Inilah yang dirasakan oleh Youga dan Hendi saat memiliki sebuah Sepatu Butut Keramat....
Bentuk Kasih Sayang
3      3     0     
Short Story
Bentuk kasih sayang yang berbeda.
PROMISE
404      316     2     
Short Story
ketika sebuh janji tercipta ditengah hubungan yang terancam kandas
Sweet Sound of Love
0      0     0     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
After Rain [Sudah Terbit]
17      8     0     
Romance
Bagaimana rasanya terjebak cinta dengan tiga laki-laki yang memiliki hubungan saudara? Bilamana hujan telah mempertemukan kita berteduh di bawah payung yang sama, maka hujan juga bisa memisahkan apa yang sama-sama kita rasa, kemudian memulangkan kembali semua kenangan yang ada. Copyright ďż˝ 2018, Deka Lika