Aku tidak akan meralat pernyataanku tentang fakta bahwa aku tidak lagi membenci hari Senin. Tetapi sungguh, keberadaan mereka benar-benar membuatku ingin mencubit semua wajah jahil itu penuh gemas!
“Ciye ciye! Pajak jadiannya mana?”
Itu Puguh, sejak beberapa detik yang lalu, aku yakin aku mengenali suara yang tiba-tiba mengudara di antara atmosfir manis yang kuciptakan dengan Dazel. Dan seperti yang kalian duga, keberadaan Puguh dan teman-teman jahilnya yang lain telah menghancurkan atmosfir itu hanya dengan sapaan,”Ciye, pasangan baru! Pacaran mulu, nih!”
Kalau saja mie ayamku belum habis, rasanya ingin kujejalkan mie-ku ke dalam mulut Puguh. Dia itu benar-benar...
“Puguh! Sejak kapan datengnya? Kok nggak kelihatan sih?”
Tapi, harus kusayangkan karena responku sangat berbeda dengan Dazel. Lelaki itu justru tertawa menyambut kedatangan-tidak-diinginkan dari teman-temannya, dan berlanjut menyalami mereka satu per satu. Itulah Dazel, kekasihku. Dia melengkapiku; ketika aku sudah sangat sebal dengan seseorang, dia akan menjadi titik balik untuk membuatku sadar bahwa tidak ada yang perlu dikesalkan.
Apa? Mau cemburu? Silahkan saja, tetapi ingat, kecemburuan kalian tidak akan berdampak apapun padaku dan Dazel. Kutegaskan sekali lagi ya, Dazel milikku.
“Nggak kelihatan? Emmm ... emang lagi asyik pacaran sih. Sorry-sorry aja nih kalau ganggu.” Lelaki berbadan bongsor itu menjawil lenganku. Puguh itu memang begitu, sukanya menggodaku. Apalagi sejak dia tahu bahwa aku menuruti kata-katanya untuk menerima cinta Dazel, sifat jahilnya semakin menjadi-jadi.
“Puguuuh! Apaan sih.” Pipiku merona merah dan sepertinya Dazel senang atas respon itu. Terlihat dari caranya menatapku kemudian tersenyum samar-samar.
“Kita pindah aja, nih? Nggak enak gangguin yang lagi pacaran.” tanya Puguh pada teman-temannya. Memang dasar, Puguh sok mendramatisir.
“Hei, apaan sih!” Dazel terkekeh. “Kita udah mau pulang, kok.”
Puguh sempat melirikku dengan ekspresi menggoda, sengaja membuatku merasa malu karena ketahuan makan bersama Dazel di warung mie ayam. Aku memutar bola mataku, sebal.
“Besok, ya?” Puguh berbisik, sambil sesekali melirik ke arah Dazel yang sudah selesai membayar dua porsi mie kami.
“Apaan?”
“Pajak Jadian-nya, dong!”
“Kan jadiannya udah dua bulan yang lalu, Puguh!”
“Ya iya, justru itu ....” Puguh masih berkeras menggodaku. “Harusnya udah sejak kemarin-kemarin, loh.”
“Hari Minggu aja, Guh.” Dazel tiba-tiba menengahi. “Aku juga udah janji sih sama si Rere dan Alisa mau nraktir.”
“Seriusan, nih?” mata Puguh berbinar-binar. Aku melengos sebal. Kalau bukan tentang makanan, rasanya nggak ada hal lain lagi yang membuat Puguh sebahagia itu.
“Hehe, janjian di depan sekolah aja. Nanti berangkatnya bareng-bareng.” Dazel mengambil tasnya. “Aku balik duluan ya, Guh. Guys, duluan ya!” Dazel sempat menyalami dua teman Puguh yang lain. Puguh menepuk-nepuk pundak Dazel dengan ekspresi bahagia.
“Langgeng ya sama Lula.”
“Pasti. Doain, ya!”
Aku tersenyum malu-malu mendengar kesungguhan di dalam kata-kata Dazel. Rasanya aku sudah tidak perlu lagi meragukan seberapa besar sayangnya padaku, bukan? Aku sempat melihat Dazel tersenyum ke arahku sebelum memberikan isyarat untuk mengajakku pergi dari tempat itu. Aku mengangguk.
“Duluan ya, Puguuuh.” Aku menepuk gundukan perutnya yang terlihat lucu. “Guys, aku duluan, ya!”
“Oke, hati-hati!” dua teman Puguh melambaikan tangan. Kecuali Puguh, lelaki itu masih menyeringai jahil ke arahku dengan wajah super puas.
Oke, Guh, kali ini kamu mendapatkan pajak jadiannya!
***
Aku tahu kalian tidak menyukai terik matahari di jam-jam pulang sekolah. Demi apapun, aku juga tidak menyukainya. Yang benar saja, siapa yang betah berpanas-panasan di siang bolong?
Tetapi, tahukah kamu apa yang paling kusenangi di siang bolong sepulang sekolah meski harus berpanas-panasan di jalan? Ya, kamu benar jika menjawab,”Karena ada Dazel.” Sepertinya, aku terlalu kentara ya, melibatkan Dazel dalam hampir seluruh isi ceritaku? Ah, kalian, ini kan kisah cinta anak SMA. Kalian juga mestinya tahu bahwa perasaan-perasaan cinta picisan yang terjadi di masa Menengah Atas memang terlewat asyik untuk dibahas dari berbagai sisi, bukan?
Hal terfavorit dari panasnya hari ini adalah bahwa aku berada dalam boncengan Dazel. Beberapa hari terakhir Dazel selalu ingin mengantar-jemputku ke sekolah. Alasannya lucu sekali,”Biar kayak orang pacaran beneran, La.”
“Lah, memangnya kita nggak pacaran beneran, ya?” tanyaku polos.
Waktu itu Dazel hanya terkekeh. “Biar semakin kelihatan benerannya.”
Aku tersenyum. Bukan, bukan karena mengingat percakapan kami waktu itu, tetapi lihatlah, apa yang dilakukan Dazel saat ini. Kebiasaan unik Dazel yang lainnya, setiap memboncengku, dia akan mengarahkan spion motornya agar bisa leluasa menatapku yang berada di jok belakangnya.
Seperti sekarang, lelaki itu sedang tersenyum di spion sambil menatapku. Aku yang tersadar, segera menepuk pundaknya.
“Apaan sih, Dazel?” bohong jika aku tidak merona. Lihat saja, pipiku terasa panas sekarang karena perlakuan Dazel yang terlewat ada-ada saja itu. Jelas aku tersipu, Dazel memang selalu punya cara untuk mempercepat detak jantungku.
“Aku suka lihat kamu, sih.” Jawabannya selalu saja, membuatku diam-diam berdebar saking bahagianya.
“Kenapa?”
“Kamu cantik.”
Aku tertawa dan kembali memukuli pundak Dazel. “Masa?”
“Apalagi kalau senyum.”
“Berarti kalau nggak senyum?”
“Tetep cantik, cuma berkurang poinnya.”
Aku tertawa lagi, dia juga. Meski begitu, ia tetap memandangku dari balik spion motornya. “Makasih ya, Lula.”
“Kok kamu sih yang bilang makasih? Harusnya aku, dong.”
“Makasih karena udah mau diajak makan.”
“Aku juga makasih karena udah diajak makan.”
“Makasih udah mau dianter pulang.”
“Harusnya aku yang makasih karena kamu udah mau nganter pulang. Kamu jadi harus muter jauh, loh. Maaf, ya.”
“Aku seneng, La.” Dazel kebiasaan, memutar obrolan ketika seharusnya dia menjawab permintaan maafku.
“Kenapa?”
“Aku seneng hari ini. Karena kamu.”
Aku tersenyum menatapnya balik, lewat spion yang memantulkan wajahnya. Lihat, ia bersinar. Senyumnya yang teduh itu membuat hatiku sejuk meski kami sedang berada di terik matahari sepanjang perjalanan pulang. “Aku juga seneng, Dazel. Makasih ya, karena kamu selalu ngebuat aku bahagia sama hal-hal yang sederhana.”
“Lula, makasih ya.”
“Apa sih Dazel, makasih-makasih terus!” aku tak bisa menahan tawaku melihat sikapnya hari ini.
Masih menatapku dari balik spion, dia menimpali,”Makasih karena udah mau jadi pacarku.”
Aku tersenyum membalas tatapan matanya yang berbinar-binar itu. Mencoba mengatakan bahwa aku juga sama bersyukurnya dengan apa yang dia rasakan. Justru, barangkali aku yang harus lebih bersyukur atas semua hal yang terjadi belakangan ini. Dengan kehadiran Dazel, hari-hariku menjadi lebih membahagiakan; membuatku mulai menyukai hal-hal sederhana yang sebelumnya sangat kurutuki, seperti hari Senin, misalnya. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa senang hanya karena berlama-lama menyusuri jalanan di tengah terik matahari yang sangat menyengat kulitku. Tentu saja aku merasa senang, karena Dazel yang menemaniku hari ini.
“Sama-sama.” Bukannya aku, justru Dazel yang menjawab apa yang seharusnya kujawab. Aku terkekeh karena merasa lupa harus membalas kata-kata Dazel sebelumnya.
“Harusnya aku, Dazel.” Aku menghapus sisa kekehanku dengan senyuman. “Sama-sama, Dazel. Terima kasih karena sudah menjadi pacarku.”
Dazel tidak menjawab lagi, selain senyum yang ia ulas begitu manis dan bisa kulihat dari spionnya. Aku masih awam perihal cinta, tetapi hanya dengan melihat senyumnya, aku yakin bahwa aku memang telah sejatuh cinta itu padanya. Hanya dengan mengetahui kenyataan bahwa ia sebersyukur itu bersamaku, aku merasa sangat diinginkan.
Terima kasih kembali, Dazel. Tetaplah jadi alasanku untuk percaya bahwa perasaan yang kurasakan saat ini dan untuk hari-hari ke depan adalah cinta. Jangan pernah berniat pergi, bahkan jika kamu benar-benar harus.
“Sudah sampai.” Dazel mematikan mesin motornya. Aku turun dari jok belakang, kemudian tersenyum sambil menghampirinya.
“Makasih ya, udah dianterin pulang.”
“Sama-sama,” ia tersenyum. “Besok aku jemput, ya?”
“Hm. Nggak usah, Dazel. Aku berangkat sendiri aja. Rumah kamu kan jauh, nanti kamu...”
“Udah, nggak apa-apa. Lagian tadi kan aku belum jemput kamu, cuma nganter pulang ini.” Dazel menarik pelan mulutku yang masih sibuk berceloteh. “Kamu emang selalu sebawel ini, ya?” ia tertawa sambil melepas tangannya dari mulutku.
“Habisnya kamu sih...”
“Okay?”
“Apanya?”
“Besok. Kamu. Aku. Jemput.” Dazel menekankan setiap katanya, sambil menyentil hidungku. Aku tertawa.
“Aku nggak maksa, loh!”
“Aku kok yang maksa,” Dazel mengenakan helmnya lagi. “Ya udah sana, tidur siang. Nanti aku SMS, ya.”
“Okay,” aku meraih tangannya dan menciumnya singkat. “Hati-hati di jalan, ya!”
Sebenarnya aku juga tidak tahu kenapa aku jadi suka mencium tangannya setiap kali berpisah atau setelah diantar olehnya ke suatu tempat. Menyenangkan bisa menghargainya dengan cara sederhana seperti itu, meski terlihat berlebihan bagi sebagian orang. Bagiku, aku senang melakukannya. Aku senang setiap kali aku bisa menghargai setiap usaha kecilnya dengan ciuman singkat di punggung tangannya.
Kuharap aku juga bisa menghargainya dengan baik, sebagaimana aku menghargai dan menghormati kedua orang tuaku. Karena bagiku, Dazel sudah bukan orang lain. Dia adalah seseorang yang sudah seperti keluargaku; yang meski masih mengenalku dua bulan terakhir, tapi selalu mampu membuatku merasa begitu dekat seperti dengan saudara sendiri.
Dazel adalah perumpamaan yang terlalu banyak; seorang kakak yang penyayang, teman yang menyenangkan, dan kekasih yang perhatian. Mungkin karena itulah, setiap harinya aku selalu merasa nyaman bersamanya. Maka apakah, kamu juga merasakan hal yang sama denganku, Dazel?
Hey, aku mencintaimu. Semoga selalu seperti itu.
Aku pulang.
Ya, akhirnya aku pulang lebih awal.
Rumah sebesar ini selalu lengang. Itulah alasan mengapa aku lebih suka berlama-lama di sekolah; meski hanya sekedar ber-haha hihi dengan teman sekelas, nongkrong dengan anak-anak mading sambil mengerjakan deadline, atau hanya sekedar menikmati fasilitas WiFi yang lebih lancar ketika jam-jam pulang sekolah.
“Assalamualaikum.”
Hening. Tentu saja, lagipula seharusnya aku tidak perlu kaget jika setiap kali aku pulang, respon yang kudapatkan adalah keheningan. Alasan mengapa aku tidak ingin cepat pulang dan memilih untuk berpanas-panasan di jalanan bersama Dazel, barangkali adalah ini. Barangkali keheningan ini juga adalah alasan mengapa aku juga lebih suka menghabiskan waktu di sekolah dengan teman-teman yang lain.
Sekalipun aku terbiasa, tetap saja, keheningan yang merangkapku setiap kali pulang ke rumah adalah suasana yang tak begitu ingin kurasakan setiap hari.
Rumah sebesar ini sepertinya dibangun hanya untuk mengumpulkan satu demi satu keheningan, kesepian, dan suasana-suasana asing yang di dalamnya hanya dibentuk oleh raga-raga yang tersekat banyak dinding. Aku menghela napas panjang, kemudian meraih gagang pintu kamar. Memasuki ruang yang kusebut kamar, itu berarti sudah siap untuk berlama-lama bersama lebih banyak kesepian.
Ya. Aku pulang; dan kembali menemui pintu yang mereka sebut rumah. Aku kembali menemui pintu dan masuk ke dalamnya dengan lebih banyak rasa sepi dan sendirian. Ada kehampaan yang sulit dijabarkan di rumah ini; yakni sejenis perasaan yang tidak pernah berhasil kuutarakan.
Kling!
“Ya?”
“Maaf karena membawamu pulang lebih awal,” sebuah suara penuh sesal langsung mengudara di telingaku begitu kuterima panggilan masuknya. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa, Dazel. Terima kasih telah bertanya."
Keinget jaman muda sma anak 2000an
Comment on chapter Prolog