Aku lekat memandang Resti, bendahara OSIS yang cantiknya nggak ketulungan. Senyumnya manis, apalagi dengan gingsul yang menyembul ketika ia tersenyum sambil memamerkan deretan gigi-giginya. Rasanya nggak pernah bosan memandanginya lama-lama. Aku mengakui kecantikan Resti, meski aku perempuan. Entah, rasanya tidak ada cela pada dirinya.
Cantik, baik, pemegang peran penting di OSIS, pintar, aktif di ekstrakulikuler, dan masih banyak lagi rekam jejak prestasinya jika harus kusebutkan secara detail. Aku memandang Resti bukan tanpa alasan. Ada beberapa hal yang menggangguku dan membuat hatiku sedikit... panas?
Disana, di barisan anggota OSIS yang ditunjuk untuk menjadi kandidat panitia inti pengadaan MOS, ada Dazel. Aku memang harus berbangga diri kalau pacarku itu ditunjuk sebagai panitia inti, mengingat dia memang populer di sekolah. Siapa tidak kenal Dazel? Bahkan jika kamu bertanya pada kakak kelas paling cupu sekalipun di sekolah ini, mereka pasti kenal Dazel.
Bukannya aku tidak berbangga, hanya saja Dazel duduk bersama Resti. Kamu tahu kan apa yang kumaksud? Ayolah, kamu pasti paham apa yang ingin kujelaskan selanjutnya. Ya, aku cemburu. Bukan, bukan karena Resti terlihat begitu sempurna bersanding dengan Dazel, lagipula hak preogratif untuk menjadi pasangan Dazel sudah kumiliki. Hanya saja, aku sedikit tidak nyaman jika perempuan yang harus dekat-dekat dengan Dazel adalah Resti.
Dazel menatapku sambil melayangkan sebuah senyuman. Aku tersadar sejenak, lalu membalas dengan senyum kecut. Dazel pasti tahu bahwa aku tidak menyukai kedekatan mereka. Setelah memasang ekspresi wajah yang bertanya-tanya, Dazel menatapku lama sambil menggeser posisi duduknya sedikit menjauh dari Resti.
Dazel tahu, aku cemburu.
Kalau saja aku tidak pernah tahu masa lalu apa yang sempat ditinggalkan oleh Dazel dan Resti, aku pasti tidak pernah merasa secemburu ini. Lagipula, aku bukan tipe perempuan yang protective. Selama berpacaran dengan Dazel pun, aku tidak pernah membatasi lingkup pertemanan Dazel. Karena aku percaya, Dazel itu orang yang setia. Tetapi jika itu tentang Resti, rasanya aku kesal sekali. Kesal, mendadak merasa rendah diri, dan merasa sangat biasa saja dibanding Resti yang hampir memiliki segalanya; pangkat dalam organisasi, kecantikan yang hakiki, prestasi melejit, popularitas, bahkan kekasih yang berparas diatas rata-rata.
“Dulu, sebelum aku nembak kamu, sebenarnya aku ada beberapa target.” cerita Dazel waktu itu, setelah beberapa bulan resmi menjadi kekasihku. Mendengar itu, aku cukup terkejut juga sih. Bisa-bisanya dia dengan penuh percaya diri menceritakan siapa saja calon targetnya sebelum akhirnya memilihku.
“Oh, jadi kamu playboy?”
“Enggak lah. Itu kan sebagai bentuk pertimbangan sebelum akhirnya menemukan seseorang yang benar-benar sesuai sama kriteriaku.”
Cih! Kalau aku tidak pernah tahu cerita ini, mungkin dari dulu aku sudah menganggap bahwa aku hanyalah satu-satunya. Dazel, aku memang mencintaimu, tapi boleh kan kalau aku sedikit kesal dengan sikapmu yang satu ini?
“Jangan marah dulu, aku kan belum cerita.”
“Masih perlu diceritain?” tanyaku sebal.
“Kamu cemburu, ya?”
“Kamu masih tanya?”
Dazel malah tergelak. Respon yang membuatku semakin kesal. Berani-beraninya dia tertawa ketika akan menceritakan pengalaman berburu-perempuan-dan-menembaknya.
“Kamu tahu nggak kenapa akhirnya aku pilih kamu?” kali ini, tatapan Dazel lembut meneduhkan. Dia memang selalu tahu bagaimana cara membuatku meleleh hanya dengan satu tatapan.
“Kenapa?” tanyaku masih ketus, berusaha bertahan dengan ekspresiku yang dingin.
“Dari tiga cewek yang sempet aku incer, kamu yang terbaik.” Dazel tersenyum membuka penjelasan. “Bukankah kita emang harus memilih yang terbaik, ya kan? Dan ketika pertama kali tahu kamu, aku langsung refleks nanya,”Nih cewek namanya siapa?” ke temenku. Kamu tahu nggak kenapa akhirnya aku fix nembak kamu walaupun cuma berselang beberapa minggu setelah kita kenal?”
Aku mengendikkan bahu, kali ini bisa kurasakan pipiku memanas menahan malu.
“Aku juga cemburu, sama kayak kamu sekarang.”
“Hah? Cemburu kenapa?” kali ini aku yang kaget. Dazel tersenyum.
“Aku cemburu lihat kamu deket banget sama Mas Danu. Bahkan, kamu juga inget kan waktu kita LDK OSIS di Pacitan dulu, kamu jalan bareng terus sama Mas Danu?”
Aku menahan senyum melihat perubahan ekspresi wajah Dazel. “Hm. Terus?”
“Seneng ya karena aku juga pernah cemburu?”
“Seneng dong.”
“Jadi dilanjutin nggak ceritanya? Tadi katanya nggak usah diceritain?”
“Yaudah lanjutin aja.”
“Kamu seneng ya karena aku cemburu sama Mas Danu?”
“Apaan sih Dazeeeeel!” aku akhirnya tertawa. “Lanjutin.”
Dazel berdehem pendek. “Dulu aku memang sempet tertarik sama Nindya, karena kita satu ekstrakulikuler di Pramuka, kan. Tapi ternyata dia punya pacar. Ya udah, gagal.”
“Terus Resti, sempet tertarik juga sih. Tapi lama-lama kuperhatiin, ada sesuatu yang kurang. Bukan, bukannya dia nggak cantik atau apa, ada sesuatu dari kepribadian dia yang bikin aku nggak sreg. Aku nggak bisa jelasin sih bagian mananya, intinya aku nggak nyaman.”
“Terus?”
“Terus... aku ketemu kamu. Dan, kita jadian deh. Yey!”
Aku tertawa. “Kok cuma bagianku doang sih yang nggak lengkap?”
“Karena kehadiranmu udah cukup melengkapiku, Lula.” ujarnya gemas sambil mengusap-usap ujung kepalaku.
“Apaan sih, gombal.” Aku tertawa sambil menoyor lengannya. Dazel ikut tertawa dan meraih tanganku untuk digenggamnya.
“Sebenernya aku sedikit lega karena kamu cemburu, itu berarti kamu memang sayang beneran sama aku.”
Aku memutar bola mataku. “Suka buat aku cemburu? Oh.”
“Tapi aku paling nggak suka bagian ini.” Ia menatapku dengan kedua manik matanya yang terfokus sepenuhnya pada kedua mataku. Aku balik menatapnya, tak kalah sebal.
“Apa?”
“Setiap kali kamu ngambek, dan aku nggak bisa mengatasinya.”
“Aku nggak ngambek, kok.” kilahku sambil berusaha melepas genggaman tangannya. “Lepas.”
“Tuh, kan. Ngambek lagi, kan?”
“Enggak. Nggak ngambek.”
“Terus kenapa minta lepas?”
“Ya lepasin aja, malu dilihatin orang.”
“Oh, jadi kamu malu pacaran sama aku? Iya?”
“Kok jadi ngomong gitu sih, Dazel?”
“Ya terus kenapa minta dilepasin tangannya?”
“Ya pengen lepas aja, kenapa sih kok jadi marah?”
Dazel menatapku lekat. “Lula, harus kayak gimana lagi aku ngejelasin ke kamu, kalau aku cuma sayang sama kamu, bukan Resti. Kalau kamu cuma bahas Resti hanya untuk memulai pertengkaran, lebih baik kamu nggak perlu ngebahas dia.” Dazel terlihat serius dengan kata-katanya. Aku terdiam, dengan masih menyimpan rasa kesal.
“Please, Lula. Jangan buat aku marah sama kamu. Aku nggak mau. Aku nggak pernah ingin marah sama kamu, La.” Dia mengiba, tanpa melepaskan genggaman tangannya padaku.
“Maaf,” lirihku. Mataku berkaca-kaca menatap kesungguhan di balik manik mata Dazel yang letih memohon ibaku.
Dazel melepas genggaman tangannya, kemudian beralih menghapus air mata yang mengendap di pelupuk mataku dengan ibu jarinya. “Ya udah, ya? Jangan bahas ini lagi. Kita kan mau makan siang. Udah, jangan nangis. Aku minta maaf, ya?”
Aku mengangguk sambil berusaha menghentikan isak tangisku. Dazel masih sabar mengusap sisa air mata yang masih menggenang di balik mataku. “Aku udah bilang, kan, kalau kamu cantik kalau lagi senyum, bukan nangis.”
Aku mengangguk lagi sambil berulang kali menyerukan maaf dalam hati. Dazel, kamu terlalu baik sebagai kekasihku, kamu terlalu sempurna untuk aku yang benar-benar sedang dalam kesulitan luar biasa mengendalikan egoku sendiri. Kenapa kamu harus sebaik ini mencintaiku? Membuatku sedikit menyesal karena kamu hanya dipertemukan dengan perempuan sepertiku, yang egois, kekanakan, cemburuan, dan berbagai macam sifat buruk lainnya yang tentu saja akan menguji kesabaranmu di masa depan.
Dazel, maaf, karena kamu hanya dipertemukan dengan orang seperti aku. Jika saja aku bisa menjadi perempuan yang lebih baik untukmu, aku akan melakukannya. Dan terima kasih, untuk kesabaran tak berbatas yang selalu kamu berikan untuk menangani sikap menyebalkanku, terima kasih untuk kecintaan yang begitu baiknya untuk perempuan yang hanya seperti ini saja mencintaimu dengan hatinya.
Tak apa, aku bisa menahan cemburu ini sedikit lagi. Mengertilah, bahwa aku tengah berperang dengan diriku sendiri, untuk mencintaimu di tengah banyaknya perempuan yang menggilaimu. Tidak pernah semudah itu, Dazel, kamu pun tahu aku sedang berusaha melakukannya.
Setelah aku mengingat momen saat itu, aku kembali menatap Dazel. Wajahnya sedikit berubah, tak lagi serileks sebelum menemukan bahwa aku sedang menatapnya penuh cemburu. Dazel, maaf, karena aku masih saja menyebalkanmu hanya karena hal sepele. Aku tahu, kamu terganggu dengan sikap cemburuku yang kadang kelewat batas ini. Dazel, tersenyumlah. Bahkan jika aku sedang sangat kesal padamu, jangan merasa bersalah.
Ini hanya tentang, bukan berarti jika aku cemburu dengan Resti, kamu tidak boleh dekat dengan perempuan lainnya. Tidak, Dazel. Kamu boleh dekat dengan perempuan lain, asal jangan Resti. Siapapun, aku tidak akan cemburu pada mereka.
Asal jangan Resti.
Keinget jaman muda sma anak 2000an
Comment on chapter Prolog