Read More >>"> AVATAR (BAB 6 - PESAN YANG DITUNGGU) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AVATAR
MENU
About Us  

"Arinzell, cepatlah hari semakin terang!"


"Iya, Pah. Tunggu!"


Aku menuruni anak tangga dengan cepat. Di bawah sana Papa sudah menungguku dengan handuk biru yang melingkar di lehernya. Hari ini hari minggu. Sudah rutinitas aku dan Papa untuk lari pagi di hari libur. Pukul 5, kami segera keluar rumah menyambut udara sejuk di luar, menyambut bunga yang bermekaran dengan embun yang menetes di daun, serta menyambut pagi yang indah, selamat datang, Pagi. 


Aku dan Papa berlari menuju taman kompleks yang tak jauh dari rumahku. Tak hanya aku dan Papa yang hobi lari pagi di hari libur, buktinya jalanan sekitar kompleks sudah ramai oleh para pecinta lari pagi. Banyak orang yang menyapa aku dan Papa, begitupun dengan Papa yang selalu menyapa orang yang ia temui. Papa memang ramah, ia bilang beberapa penghuni kompleks adalah pasiennya dulu dan sekarang Papa lebih terfokus menjadi dokter anak.


Matahari perlahan naik ke atas, menghangatkan taman yang perlahan menguapkan embun, burung berkicau meramaikan pagi yang cerah. Papa dan aku duduk di kursi taman, bersama teman-teman Papa yang sekaligus adalah tetangga kami. Aku membuka ranselku, mengambil sebotol minuman yang sudah aku siapkan dari rumah dan membuka ponselku. 


Drrtdrtt


"Arinzell"


Hampir saja air di mulutku keluar dan membasahi ponsel ditanganku. Axel, ada apa dia sepagi ini mengirim pesan chat kepadaku.


"Ada apa, Ax.... 


Brukkkk!!! 
Sebuah mobil menerobos masuk taman. Seisi taman panik berlari dan berteriak, termasuk aku yang secara spontan berlari menjauh dari kursi taman. Mobil berwarna putih itu berhenti tepat setelah menabrak pohon besar. Kondisinya mengenaskan dengan pintu mobil terbuka dan memperlihatkan seorang laki-laki separuh baya dan seorang gadis kecil di dalamnya yang tak sadarkan diri. 


Dengan cepat Papa dan warga lainnya membantu mereka. Sebagian membantu mengeluarkan mereka dari dalam mobil. Dan ada pula yang segera melapor pihak berwajib dan ambulans. Sedangkan Papaku sibuk memberikan pertolongan pertama. Papa amat cekatan menangani luka yang parah di sekujur tubuh lelaki tua dan gadis kecil itu. Darah di kepala gadis kecil itu mengalir semakin deras. Papa membalutnya dengan handuknya. Kondisi lelaki tua itu pun tak begitu baik. Kakinya cidera parah memperlihatkan sebagian daging yang menyelimuti tulang. Aku bergidik ngeri melihat aksi Papa yang dengan berani menolong dua orang yang sedang bertarung nyawa. 


Kepanikan masih menyelimuti taman. Papa memintaku untuk segera pulang ke rumah setelah ambulans tiba. Kakiku gemetar, keringat membasahi wajah. Ini pertama kalinya aku melihat kecelakaan seperti ini. Aku memutuskan pulang menuruti permintaan Papa agar aku beristirahat di rumah. 


Pagi yang indah kini berubah menjadi amat menegangkan. 


***


Pukul 2, aku membuka mataku perlahan. Kamarku masih sama seperti biasa. Aku tertidur cukup lama setelah kejadian tadi pagi. Sulit bagiku untuk melupakan kejadian itu terlebih Papaku masih belum pulang. Aku menghela nafas berat, mengusap keringat yang membasahi wajah. Kecelakaan tadi benar-benar membuatku lemas. Dan, ada satu hal yang aku lupa, ranselku. Dimana benda itu? 


Terakhir aku letakan di atas kursi taman. Tak salah lagi, benda itu pasti masih di sana. Aku harus mengambilnya terlebih ponselku ada di dalamnya. Bagaimana aku bisa mengabari Papa jika ponselku ada di ransel yang aku tinggalkan di taman. Begitu pun dengan, Axel. Oh tidak, aku belum sempat membalas pesan chat dari dia. Barangkali ia ingin mengabarkan sesuatu yang penting. Aku harus kembali ke taman, mengambil ranselku yang aku harap masih berada di sana. 
Adalah 10 menit bagiku untuk berlari menuju taman. Kondisi taman masih dalam pengawasan polisi, meski begitu banyak warga yang berdatangan untuk memberi kesaksian. Tubuhku kembali bergetar saat melihat bercak darah masih terlihat di sekitar mobil itu. Jika hanya melihat darah manusia saja tubuhku selalu bergidik ngeri, bagaimana dengan Papa yang selalu membedah tubuh manusia saat ia masih menjadi dokter bedah. Papa memang hebat, lain denganku yang tidak memiliki bakat apapun. 
Kursi taman yang ku tuju masih berada dalam garis pengawasan polisi, aku tak bisa melintasinya begitu saja, bahkan untuk sekadar melirik ranselku pun sulit. 


"Permisi" Ucap seorang perempuan. Perawakan tinggi, wajah masih muda, dengan mikrofon di tangannya. Serta seorang teman yang membawa kamera di belakangnya. 


"Dengan mbak siapa?" Tanyanya. Aku membalas uluran tangannya.


"Arinzell"


"Baik. Mbak Arinzell, bisa tolong anda jelaskan bagaimana kronologi kecelakaan tadi pagi?" Mataku membelalak sempurna. Bagaimana bisa perempuan yang nyatanya adalah seorang reporter itu mewawancaraiku seolah hanya aku saksi mata yang melihat kecelakaan tadi pagi. 


"Mbak Arinzell? Dengan bercak darah di lengan baju anda, anda pasti berada di TKP saat kecelakaan berlangsung, bukan?" Tanyanya lagi. Aku semakin bingung tak mengerti. Hei, tak bisakah kalian melihat wajahku yang mulai memucat karena pertanyaan yang bertubi-tubi. Bagaimana bisa aku menjawab sedangkan aku sedang berusaha melupakan kejadian yang selalu membuatku bergidik ngeri jika mengingatnya. 


"Bisa tolong dijelaskan Mbak Arinzell?" Kali ini pertanyaan itu benar-benar memecah lamunanku. 


"Saya baru tiba. Dan, bercak darah ini mungkin sisa darah kucing saya yang mati tadi. Permisi" Jawabku sesopan mungkin lalu berlalu meninggalkan reporter itu yang sedang menatapku heran. Dan satu lagi, bagaimana bisa ada bercak darah di lenganku? Sedangkan aku tak merasakan sakit ataupun menyentuh korban pun tidak. 


Lupakan ransel. Aku tidak bisa melewati garis yang masih dalam pengawasan polisi. Lebih baik aku pulang sebelum reporter itu kembali memanggilku. 

***

Gerimis membasahi halaman rumah. Aku berdiri di depan jendela kamarku, menatap gerimis yang perlahan menderas. Hari mulai sore, Papa masih belum pulang. Mungkin masih sibuk dengan urusan rumah sakit. Aku melirik lenganku sekilas, baru terasa perih menyengat. Lengan yang hanya aku balut perban seadanya. Bukan bercak darah korban ataupun darah kucing, ini adalah darahku. Darah yang perlahan keluar dari luka di lenganku. Terasa menyengat saat luka itu ku lihat. 


Pukul 7. Gerimis seketika berubah menjadi hujan deras. Aku menonton televisi yang mengabarkan berita tadi pagi. Tidak dapat dipercaya, lelaki tua yang tak berdaya itu adalah perampok. Ia membawa anaknya yang masih kecil untuk ikut bersamanya di dalam mobil. Sungguh miris, aku hanya dapat menggelengkan kepala. 
Samar-samar cahaya lampu mobil terlihat dari dalam rumah. Aku segera menghampiri pintu, melihat sebuah taksi berhenti tepat di depan rumahku. Papa keluar dari taksi, dengan pakaian yang sejak pagi ia kenakan. Warnanya sudah tak karuan, banyak sisa darah mengering di sana. 
"Hai Arinzell. Maaf Papa pulang terlalu lama. Oh iya, ini ranselmu. Kau meninggalkannya di bangku taman. Syukur-syukur Papa kembali ke taman sebelum hujan menderas, jadi tasmu tak basah sedikit pun" Aku mengangguk mengambil ranselku. Papa berlalu masuk ke dalam rumah. Aku kembali ke ruang televisi, mengecek ponselku di sana. 


"Arinzell. Kau sibuk?"


Hampir saja aku lupa bahwa tadi pagi Axel mengirim pesan chat kepadaku. Dan kini ia mengirimkannya lagi, maksudku tadi siang. Mungkin ada hal penting yang ingin ia sampaikan atau barangkali ia ingin mengambil buku miliknya. 


"Ada apa Axel?" Balasku.


Hujan di luar semakin menderas, aku meningkatkan volume televisi agar lebih terdengar. 


"Maaf Papa meninggalkanmu terlalu lama. Oh iya hari ini kamu makan apa, Jel?" Tanya Papa yang seketika melompat menuju sofa dan tanpa sengaja tangan Papa mengenai luka di lenganku. Terasa perih sekali. 


"Ijel pesan makanan online, Pah. Papa bagaimana? Apa Papa sudah makan? Lalu keadaan 2 orang korban tadi bagaimana, Pah?"


"Papa sehat, Ijel. Coba lihat Papa, Papa tidak terluka sedikit pun. Untuk gadis kecil tadi ia masih dalam keadaan koma. Sedangkan Ayahnya, mungkin tak lama lagi ia akan sadarkan diri"


"Apakah Ayahnya itu seorang-" Tanyaku terbata, tak enak menanyakan hal ini, namun berita si televisi tadi benar-benar membuatku geram jika hal itu sungguhan. 


"Perampok" Potong Papa. Aku mengangguk pelan. 


"Iya Jel, ia habis merampok bank. Dan naas ia membawa anaknya saat kejadian itu" Aku menunduk sedih mendengarkan ucapan Papa. 


"Tak apa, Jel. Hidup adalah pilihan. Menjadi buruk atau pun baik adalah kehendak setiap orang. Kita doakan saja semoga gadis kecil tadi cepat sadarkan diri" Lanjut Papa. Aku meringis pelan. Lukaku kini terasa semakin sakit. 


"Ijel? Kamu sakit?" Tanya Papa, aku menggeleng pelan. Tak ingin membuat Papa khawatir. 


"Jangan bohongi Papa, Jel. Mana yang sakit. Tunjukan kepada Papa, Jel!"
Papa benar, mau bagaimana pun aku menyembunyikan sesuatu kepadanya, tetap tak akan berhasil. Ikatan batin kami kuat. Papa amat khawatir saat ini. 


"Lengan Ijel, Pah. Tapi tak apa, Pah. Tadi sudah Ijel obati"


"Kenapa kamu baru bilang, Ijel. Biar Papa yang obati kamu"
Mau berapa kali aku menolak, Papa akan tetap memaksa mengobatiku. Entah, aku benar-benar tak enak mengatakannya kepada Papa. 


Hujan di luar sana perlahan berhenti. Suara guntur tak lagi terdengar dan udara dingin perlahan menghangat. Lenganku diperban. Kata Papa lukaku sudah infeksi dan besok aku harus ikut Papa ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan lebih lanjut. Mataku hampir terpejam, namun ponselku masih menyala. Tak ada balasan pesan dari Axel. Kemana dia, apa dia marah kepadaku? 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Princess Harzel
91      34     0     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Akai Ito (Complete)
26      11     0     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
IDENTITAS
3      3     0     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Anything For You
19      8     0     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Alfazair Dan Alkana
4      4     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
The Past or The Future
2      2     0     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
From Ace Heart Soul
5      4     0     
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
Telat Peka
13      8     0     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Ending
45      18     0     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
Melawan Tuhan
23      11     0     
Inspirational
Tenang tidak senang Senang tidak tenang Tenang senang Jadi tegang Tegang, jadi perang Namaku Raja, tapi nasibku tak seperti Raja dalam nyata. Hanya bisa bermimpi dalam keramaian kota. Hingga diriku mengerti arti cinta. Cinta yang mengajarkanku untuk tetap bisa bertahan dalam kerasnya hidup. Tanpa sedikit pun menolak cahaya yang mulai redup. Cinta datang tanpa apa apa Bukan datang...