Rutinitasku setiap pagi? Pergi ngegym, dong! Aku harus menjaga tubuhku supaya tetap ideal, jauh dari kata gendut. Ini semua harus kulakukan demi dia, pria yang kucintai. Entah pakai guna-guna apa dia sehingga bisa membuatku jadi tergila-gila sekali dengannya.
Mobilku melaju dengan kecepatan sedang. Aku sangat suka dengan mobil ini. BMW terbaru yang selalu kuidam-idamkan yang dihadiahkan oleh dirinya. Ini hari Minggu, tapi traffic tidak separah biasanya. Biasanya butuh waktu hampir lebih dari setengah jam dari apartemenku untuk ke tempat gym. Sekarang hanya butuh waktu lima belas menit. Parkiran mobil masih cukup sepi. Tempat gymnya baru buka jam sepuluh dan sekarang baru jam setengah sebelas.
Aku keluar dari mobil merahku dengan menenteng tas gym. Sepatu olahraga sudah kukenakan dari rumah. Dengan ringan aku melangkah menuju pintu masuk tempat gym. Petugas resepsionis tersenyum lebar melihat yang masuk adalah diriku.
“Pagi, Mbak Sharon! Aduh, makin hari makin cantik aja, sih?” sapanya dengan suara lantang. Tawanya mengembang di bibirnya. Aku selalu senang melihatnya, dan tentu saja disambutnya. Dia termasuk orang yang menyenangkan. Setidaknya, dia tidak berperilaku penuh prejudice terhadapku.
Kulepas kacamata hitam yang masih bertengger di tulang hidungku. “Halo, Mbak Lasmi! Kalau muji kok sukanya tinggi-tinggi, sih? Saya kan jadi GR. Kalau saya terbang ke langit ketujuh terus nggak balik-balik, gimana, hayo? Hayo...”
Kami tertawa lepas bersama.
“Lha... Mbak Sharon sih cantik banget! Saya kan jadi pinginnya memuja-muji terus, mbak! Kalau sampai terbang ya sudah, nggak apa-apa. Biar nanti jadi malaikat sekalian, eh, salah! Jadi bidadari maksudnya. Oiya, hari ini mau zumba aja atau sama fitness juga, Mbak Cantik?”
“Zumba terus lanjut fitness sih rencananya. Masih sepi kayaknya, ya?”
“Zumba di atas masih sepi, mbak. Baru beberapa orang yang datang.”
“Oke, deh. Aku naik dulu, ya?”
“Sip, mbak!” Senyuman ramah terukir lagi di bibirnya.
Aku menaiki anak tangga ke lantai dua. Ya, tempat gym ini hanya memiliki dua lantai. Lantai satu dikhususkan untuk fitness, sedangkan di atas adalah ruangan lebar dengan cermin raksasa yang digunakan bergantian untuk zumba, pilates, muai-thai, dan di luar ruangan ini ada cafe juga. Aku memasuki ruangan zumba dengan penuh percaya diri. Beberapa perempuan muda sudah duduk bergerombol di pojok ruangan. Kelas zumba memang dimulai jam sebelas siang, tapi kalau kau datang tepat jam sebelas, kau tidak akan dapat posisi di barisan depan.
Tas kumasukkan ke loker yang ada di dekat ruang sauna. Kemudian, kubuka jaket parasutku. Aku hanya mengenakan tanktop zumba dengan model crop. Perutku yang rata dan dihiasi tindik warna silver di atas pusar membuatku terlihat menggoda, kata dia. Gerombolan daun muda di pojok ruangan memerhatikanku. Mungkin mereka terpana dengan tubuhku yang termasuk kategori tubuh ideal yang diidam-idamkan wanita. Apalagi dilengkapi dengan perut rata, tindik di atas pusar, dan tato kupu-kupu di punggung kanan.
Kata-kata Mama selalu terdengar di telingaku. Aku selalu ingat dulu Mama tidak pernah mengizinkanku untuk bertindik atau bertato. Kata Mama itu simbol anak nakal. Tapi, setelah aku dewasa, siapa yang bisa melarangku? Ini hidupku, aku akan lakukan apa yang aku suka, aku mau, aku inginkan, tanpa perlu mendengarkan ocehan yang tidak berguna, apalagi larangan-larangan kuno yang lebih cocok diperuntukkan buat anak ingusan.
Aku memperkuat ikatan tali sepatuku dan melakukan gerakan pemanasan ringan. Gerombolan bocah ingusan di pojok masih saja memerhatikanku. Aku memberikan senyuman gratis kepada mereka melalui bayanganku yang terpantul di cermin raksasa itu. Senyuman gratis? Ha! Iya, biasanya senyumanku itu tidak gratis!
Tak perlu menunggu lama, orang-orang berdatangan dan memenuhi ruangan zumba ini. Meskipun rata-rata peminatnya adalah kaum hawa, tetap saja ada kaum adam yang mau bergabung dengan kelas zumba. Kulihat ada tiga orang pria yang bergabung di kelas zumba pagi ini. Pikiranku menebak kalau mereka adalah teman satu geng karena mereka datang bersamaan dan terlibat percakapan satu dengan yang lain. Salah seorang diantara mereka, yang berkaos putih polos bertubuh paling jangkung dan paling six-pack, memerhatikanku terus sedari tadi. Aku melihat bayangannya dari cermin raksasa itu. Mata kami bersirobok di bayangan cermin. Kali ini aku dengan sukarela memberikan senyuman manisku kepadanya. Kukira dia tidak akan tahu. Ternyata dia tahu dan membalas senyumanku. Wajahnya boleh dibilang cukup manis. Sayang sekali dia tidak mengambil posisi di dekatku.
Pandangan kami yang saling bertemu di bayangan cermin harus terputus karena instruktur zumba sudah datang. Dia menyapa kami dengan penuh semangat dan cenderung centil. Suara alunan musik langsung terdengar memenuhi ruangan ini. Kami bergerak mengikuti irama dan gerakan si instruktur. Sesekali saat melakukan gerakan memutar, mataku berpapasan dengan pria tersebut. Dia tidak ikut berputar saat instruktur menginstruksikan kami melakukan gerakan berputar. Dia malah tersenyum padaku. Dasar genit!, ujarku dalam hati.
Kelas zumba yang berdurasi satu jam selalu berlalu dengan cepat. Aku berlari kecil menuju loker tasku untuk mengambil minum. Tak kusangka pria itu juga menaruh tasnya di samping lokerku. Kini dia berdiri tepat di sampingku, sedang meneguk air mineral yang dibawanya. Ekor mataku menangkap pandangannya yang tertuju ke buah dadaku yang masih naik turun akibat ngos-ngosan pascazumba. Aku pura-pura tidak menyadarinya padahal dia terlihat sangat maskulin saat berkeringat begitu. Dadanya yang bidang semakin terpamerkan. Ah, aku harus jual mahal. Dia mungkin boleh lebih manis dibandingkan pria yang selalu kutunggu setiap malam, tapi apa dia bisa memenuhi seluruh permintaanku? Senyuman simpul terukir dengan sendirinya di wajahku. Kukemasi barang-barangku dan aku turun.
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah