Read More >>"> School, Love, and Friends (Interrogation) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - School, Love, and Friends
MENU
About Us  

Aku masih terjaga, setelah dikejutkan oleh mimpi buruk beberapa saat yang lalu. Aku juga masih terduduk, di atas kursi kamar yang kutempati—sebuah ruangan sedang yang berada di rumah milik Om Tony dan Salsa. Sesekali aku kembali meneguk air bening ini. Samar-samar pandanganku beralih menatap ke arah jam dinding yang terus berdetik.

"Masih tengah malam." gumamku seketika.

Pandangan mataku masih tak berpindah dari situ. Sepintas, aku berniat untuk mengingat kenangan kelamku, saat lima tahun lalu.

***

Benakku masih mengingat dengan jelas. Saat itu, sudah genap enam hari aku mendekam di balik jeruji besi kamar tahanan. Setiap detiknya aku hanya bergeming, entah apa yang sedang dipikirkan oleh benakku. Aku benar-benar putus asa dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Lalu, tiba-tiba suara seseorang terdengar memanggilku—seketika membuatku terkejut.

"Apakah benar nama Anda Raki?" tanyanya lirih, tersenyum menatapku dari luar jeruji besi.

Aku menoleh, tetapi masih tetap terdiam tak menjawab. Sesaat, suasana menjadi lengang.

"Tenang, Anda jangan takut. Saya hanya lah seorang detektif. Nama saya Dee Zenega. Cukup dipanggil dengan Dee." jelas seseorang bertubuh tinggi, berpakaian hitam-hitam—lengkap dengan sebilah pisau di dalam sarung yang berada pada pinggangnya. Ia kemudian membungkukkan tubuhnya itu, tepat menatap wajahku yang hanya datar menanggapi.

Aku masih bergeming, benar-benar tidak memperdulikan perkataannya. Kedua bola mata kami tajam saling menatap.

Terlihat dia melemparkan senyum kepadaku.

"Saya butuh bantuan Anda. Ini tentang kasus pembu...".

Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, seketika tubuhku berdiri dan kedua tanganku bergerak menggenggam erat jeruji besi yang membatasi.

"Apakah ini soal kematian Ayah dan Ibu saya? Jika benar, siap kapan pun." terkaku seketika, dengan nada bicara setengah berteriak. Seolah-olah perkataan selanjutnya yang akan ia katakan aku mengetahuinya bahwa itu menyangkut tentang Ayah dan Ibuku.

Terlihat ia kembali tersenyum menanggapi responku yang begitu tiba-tiba dan mungkin serasa mengejutkan baginya.

"Jadi, apa yang bisa saya lakukan?". Aku mencoba untuk menawarkan diri, tidak terlepas dari rasa kebencian dan dendam yang begitu menggebu-gebu di dalam diriku—saat itu hatiku sudah buta, dipenuhi kegelapan untuk membalas dendam.

"Saya butuh kesaksian Anda." jawabnya tak lama.

Setelah mendengar perkataannya, saat itu seketika aku bisa tersenyum, senyuman yang penuh dengan kebencian.

Seseorang yang sebelumnya tengah berdiri di hadapanku—tak lama, ia berdiri, dan terlihat seketika berjalan pergi meninggalkanku. Ia menuju ke arah petugas yang tak jauh dari ruang tahananku.

Pandanganku terus-menerus menatap tajam setiap pergerakannya. Lalu, beberapa menit setelahnya ia kembali berjalan mendekatiku, ditemani dengan seorang petugas yang membawa seonggok kunci di tangannya. 

Sekeluarnya dari kamar tahanan, detektif Dee kembali melemparkan senyumnya kepadaku. Lalu tanpa kedua tangan yang diborgol, aku mengikuti setiap langkah kakinya, menelusuri lorong gelap—sesekali mataku tajam membalas tatapan orang-orang yang berdiri di balik jeruji besi. Dalam perjalanan, diriku benar-benar dibuat menjadi penasaran—karena aku tak tahu ke mana ia akan membawaku. Aku tidak berani bertanya, dan sepanjang perjalanan kami berdua hanya terdiam.

Beberapa menit berlalu, akhirnya kami berdua tiba di depan sebuah pintu ruangan. Di sekitar luar ruangan itu terlihat ada beberapa orang yang berpakaian hitam-hitam tengah tajam menatapku. Wajahnya begitu tampak datar. Lalu, salah satunya, dengan membawa beberapa kunci di tangannya, ia membuka pintu ruangan itu. Setelah pintu terbuka, tanpa sedikit pun rasa takut tatkala aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—dengan pelan, aku dan detektif Dee memasuki ruangan itu. Lalu, pintu ruangan tempatku masuk, seketika dikunci dari luar.

"Silahkan duduk." detektif Dee tersenyum, menyuruhku untuk lekas duduk di sebuah kursi kayu tua yang terlihat begitu usang.

Tanpa pikir panjang, aku menuruti perintahnya. Setelah terduduk, dengan tatapan tajam, kedua bola mataku mencoba untuk menelusuri, sebuah ruangan berbentuk persegi yang mungkin hanya berukuran 4x4 meter, bersekat dinding berwarna putih pudar. Di dalamnya hanya terdapat dua buah kursi tua, satu buah meja yang kutaksir hanya berukuran satu meter, masing-masing terbuat dari kayu yang sudah mengusang. Juga terdapat satu buah kamera cctv yang terletak di salah satu sudut ruangan—tengah fokus mengawasi setiap gerak-gerik tubuhku. Di dalam ruangan itu, kami berdua hanya diterangi dengan cahaya lampu gantung berbentuk trapesium sama kaki, yang terus-menerus berbunyi pelan seirama setiap kali bergerak. Benakku keheranan, padahal di dalam ruangan, terpaan angin tidak terlalu kencang, malah sedemikian pelan. Tetapi entah mengapa lampu gantung itu terus saja bergerak dengan seirama.

Sesaat, suasana begitu lengang, penuh denngan kesunyian dan kehampaan, benar-benar menegangkan. Tidak terdengar sedikit pun suara-suara perbincangan orang-orang dari luar ruangan. 

"Raki, mari kita mulai.". Detektif Dee tiba-tiba mengejutkanku. Dengan tersenyum, ia tajam menatapku. Terlihat di atas meja dengan permukaan penuh debu, ia memegang beberapa lembaran kertas putih kosong, sisanya lembaran kertas yang berisi tulisan-tulisan bertinta hitam, lalu, satu buah pena, yang entah ia dapat dari mana.

"Saya membutuhkan bukti-bukti empiris secara konsisten mengenai kasus pembunuhan kedua orangtua Anda." detektif Dee begitu tenang menjelaskan padaku.

Aku hanya bisa terdiam kaku mendengar perkataannya, karena aku tidak begitu paham dengan apa yang ia katakan.

Ia kembali melemparkan senyumnya, setelah melihat responku yang hanya terdiam tak menanggapi.

"Dalam hal ini, Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, lalu mendengar secara rinci setiap penjelasan dan pengakuan yang sebenarnya dari Anda." jelas detektif Dee tak lama.

Setelah mendengar ucapannya bahwa mengenai Ayah dan Ibuku, aku bisa kembali tersenyum. Meskipun mungkin baginya tampak begitu datar.

"Apakah anda siap?" tanyanya tak lama.

Aku memanggut pelan, menyetujuinya. Sesaat, napasku mulai memburu, jantungku tiba-tiba berdegup kian kencang, hatiku serasa berdebar-debar, entah apa yang tengah kurasakan saat itu. Aku benar-benar tak sabar mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ingin ia ajukan.

Lalu, tak berselang lama, ia akhirnya mengajukan pertanyaan pertamanya kepadaku.

“Tolong jelaskan kronologi pada saat itu.” detektif Dee tajam menatapku, tangan kanannya tengah erat memegang sebuah pena—yang siap menuangkan jawabanku pada secarik kertas kosong itu.

“Saat itu, pada sebuah pagi hari yang tak seperti biasanya. Suasana rumah begitu lengang. Pagi itu, tak kudapati Ibuku di dapur yang setahuku sebelum aku terbangun, pasti Ibu sudah sibuk menyiapkan sarapan dan juga bekalku. Begitu pun halnya dengan Ayah, Ia memang sering pulang malam dari pekerjaannya, ketika pagi hari sebelum-sebelumnya pun ia sudah biasa untuk bangun pagi-pagi buta. Tetapi pagi itu, semuanya berbeda.” jelasku tanpa ragu kepada detektif Dee.

Terlihat sesekali detektif Dee menggores-gerakkan penanya itu, sembari mendengarkanku.

“Coba jelaskan lebih rinci, Raki.” ujar detektif Dee dengan raut wajah seakan masih belum paham akan kronologi kejadian yang aku jelaskan baru saja.

Aku memanggut pelan. Aku berniat hendak menceritakan semuanya yang memang benar-benar kulihat lewat kedua bola mataku.

Saat pagi itu, seusai bersiap untuk berangkat ke sekolah, aku berjalan menuju dapur. Tetapi masih sama seperti sebelumnya—mataku tak mendapati Ibu serta Ayah. Sekilas, rasa penasaran muncul, diiringi dengan perasaan tak enak.

            “Bu! Ayah!” teriakku memanggil.

            Beberapa saat aku terdiam, suasana seketika menjadi hening. Rintik hujan sayup-sayup terdengar. Menimpa atap rumah. Aku masih terdiam, berdiri kaku di ruang dapur, menunggu sahutan. Tapi sekali lagi, masih belum ada respon.

            “Ibu! Ayah!”. Rasa penasaranku bertambah. Bercampur dengan kecurigaan dan kecemasan.

            Tanpa pikir panjang, aku berniat memeriksa keduanya, di dalam kamar yang tak jauh dari ruang dapur. Dengan penuh kecemasan, aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah.

            Tak lama, aku sampai di depan pintu kamar orangtuaku. Tanganku bergerak memegang daun pintu, dengan pelan dan sedikit ragu, aku memutar daun pintu itu. Sedikit demi sedikit, pintu mulai terbuka, karena memang tidak dikunci dari dalam kamar. Mataku samar-samar coba mengintip.

            Dan setelahnya…                                  

            Tepat di tempat aku berdiri, terasa kakiku yang tak beralas menginjak sesuatu cairan kental. Pandanganku beralih; menunduk. Sontak aku terkejut, karena mendapati cairan itu ternyata darah yang sedang mengalir.

            Jantungku seketika berdegup kian kencang. Hatiku berdebar-debar; takut. Perasaan takut kemudian muncul seketika, bercampur dengan perasaan cemas. Dalam benak, aku bertanya-tanya—darah siapa yang sedang mengalir itu. Karena sesaat, pandanganku beralih ke arah kasur, terlihat bahwa Ayah dan Ibuku tengah terlelap. Meski seluruh tubuh mereka tertutup selimut.

            Dengan penuh kecurigaan, aku berjalan mendekat. Sesampainya, dengan kaku tanganku bergerak hendak menyibakkan selimut itu, untuk memastikan.

            “Tepp!”.

            Selimut sudah tersibak. Tetapi, mataku tak mendapati Ayah dan Ibuku. Hanya terlihat dua bantal guling di atas kasur. Seketika, aku menjadi tambah curiga, juga cemas serta takut.

            “Ayah! Ibu!”. Dengan penuh rasa kebingungan, aku berteriak memanggil. Berkali-kali. Tetapi tetap sama, tak ada tanggapan atau pun respon.

            Suasana menjadi lebih menegangkan, hening. Ditambah gemuruh deras derai hujan yang turun. Terdengar keras tiba-tiba gelegar petir.

            Aku terus mencari. di setiap sudut kamar. Lalu, seketika aku terpaku, air mataku mengalir deras; serasa tak percaya saat mataku mendapati tubuh Ayah dan Ibuku yang tergeletak bersimbah darah di bawah kasur.

            “Ayah! Ibu! Bangun!”. Serasa masih tak percaya dan tak menyangka, tanganku bergerak menggoyang-goyang tubuh mereka berdua; untuk membangunkannya.

            “Ayah! Ibu! Jangan tinggalkan aku!” teriakku takut, disertai sesenggukkan.

            Berkali-kali aku berupaya, menggoyang-goyangkan tubuh mereka berdua. Tetapi tetap saja, tidak ada tanggapan dari mereka berdua.

Tanganku lalu bergerak ke arah bagian jantung mereka berdua, untuk benar-benar memastikan. Tetapi naas, tidak ada tanda-tanda kehidupan sedikit pun. Meski berat, secara sadar aku tahu, jika mereka berdua sudah tak bernyawa. Mereka berdua sudah tiada—pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Aku tidak meragu sedikit pun dalam menceritakan semuanya. Membuat detektif Dee memanggut-manggut pelan, seperti sudah paham dengan semuanya.

“Lalu, selain tubuh dari kedua orangtuamu dan darah segar yang mengalir, apa ada sesuatu lain yang Anda lihat di tempat kejadian?” detektif Dee kembali bertanya, dan kembali tangan kanannya sibuk dengan penanya.

“Sebilah pisau berlumur darah, tepat di sebelah tubuh Ayah dan Ibu.” jawabku seketika, yang sontak membuat perasaan benci dan dendam di dalam diriku bertambah.

“Sebilah pisau… Apakah ini?” seketika, detektif Dee mengambil sesuatu yang berada di bawah meja. Setelahnya, ia memperlihatkannya kepadaku—yang ternyata itu adalah sebilah pisau yang persis kugenggam saat di tempat kejadian.

Aku menjadi keheranan seketika. “Kenapa pisau itu bisa ada di tangannya?” tanyaku dalam hati.

Aku memanggut pelan tak lama; mengiyakan.

Lalu,…

----------------------------------------------

Bersambung...

Rate? 

Tags: twm18 school

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 2
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Everest
38      15     0     
Romance
Yang kutahu tentangmu; keceriaan penyembuh luka. Yang kaupikirkan tentangku; kepedihan tanpa jeda. Aku pernah memintamu untuk tetap disisiku, dan kamu mengabulkannya. Kamu pernah mengatakan bahwa aku harus menjaga hatiku untukmu, namun aku mengingkarinya. Kamu selalu mengatakan "iya" saat aku memohon padamu. Lalu, apa kamu akan mengatakannya juga saat aku memintamu untuk ...
Kisah Kita
38      27     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
CAFE POJOK
54      20     0     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Bersyukurlah
6      6     0     
Short Story
"Bersyukurlah, karena Tuhan pasti akan mengirimkan orang-orang yang tulus mengasihimu."
Sang Penulis
260      106     0     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...
100%-80%
0      0     0     
Romance
Naura merasa dirinya sebagai seorang gadis biasa -biasa saja dan tidak memiliki kelebihan tertentu bertemu dengan Tsubastian yang bisa dibilang mendekati sempurna sebagai seorang manusia. kesempurnaan Tsubastian hancur karena Naura, bagaimana Naura dan Tsubastian menghadapinya
Two World
36      18     0     
Fantasy
Ketika mimpimu terasa nyata Hingga kamu merasa bingung dunia mana yang seharusnya kamu tinggali ...
Mahar Seribu Nadhom
74      38     0     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
IZIN
43      13     0     
Romance
Takdir, adalah sesuatu yang tidak dapat ditentukan atau disalahkan oleh manusia. Saat semua telah saling menemukan dan mencoba bertahan justru runtuh oleh kenyataan. Apakah sebuah perizinan dapat menguatkan mereka? atau justru hanya sebagai alasan untuk dapat saling merelakan?
Carnation
4      4     0     
Mystery
Menceritakan tentang seorang remaja bernama Rian yang terlibat dengan teman masa kecilnya Lisa yang merupakan salah satu detektif kota. Sambil memendam rasa rasa benci pada Lisa, Rian berusaha memecahkan berbagai kasus sebagai seorang asisten detektif yang menuntun pada kebenaran yang tak terduga.