Read More >>"> Love Escape (Part 13. Tantangan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Escape
MENU
About Us  

Part 13. Tantangan

 

"Nih, ada paket lagi." Kata ayahku sambil menaruh amplop cokelat itu di atas kasur. Dia sepertinya sudah paham apa isinya. Aku menerimanya, tapi malas langsung membukanya. But I won't give up! Tidak untuk saat ini, minimal. Dan ini bukan soal pembuktian. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada ayahku, bahkan diriku sendiri. Aku, hanya tidak mau menjebak diriku ke dalam lembah kejenuhan, kesalahan lagi. Cukup dengan Nino. Dan bertahun-tahun lalu saat aku harus berjuang untuk lulus dalam mata kuliah-yang, aku sendiri tidak tahu apa yang aku suka dari semua itu. Ini, hanya bentuk kasih sayangku, kepada diriku sendiri.

I love my self! That's why I would never let her do torture no more. Aku hanya, tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan selain menulis. Sedih, nulis. Happy, nulis. Galau, nulis. Bingung, nulis. Just give me one shot make it for living, God. Karena, apa pun yang kukerjakan, I just can't stop, writing what's inside my head nor heart, even just with a paper and a pen. "Kinayas & Partner Media?" Mataku tertuju pada sebuah nama yang tertera di layar browserku. Aneh namanya. Baru dengar.

"Luna, ke sini sebentar, ayah mau ngomong." Jantungku berdegup, pelipisku mengkerut. Apaan nih? Aku keluar dari kamar berjalan ke ruang TV.

"Iya?" Aku duduk di sofa.

"Temen ayah ada yang bisa masukin kamu ke kantornya. Emang cuma jadi pegawai kontrak dulu. Tapi makanya, kerja yang betul, kamu bisa jadi pegawai tetap nanti di sana..." Nafasku naik turun. I guess I have mental blocking with him. He Such a, someone I want to block, but I can't, because he is my father.

"Mmh, nggak usah deh, Yah. Luna nggak mau."

"Kenapa? Buktinya, kamu nggak bakat kan di nulis. Tuh, gagal melulu.”

 

Kenapa sih dia nggak bisa sih kasih kepercayaan, atau sedikit kata-kata manis buat dukung apa yang anaknya suka. It’s not only about money. "Ya, nggak mau aja. Luna sukanya nulis, maunya nulis! "Jawabku ketus. Aku hanya tidak tahu cara menjelaskan baik-baik padanya, bahwa yang aku butuh hanya kepercayaan dan kata-kata manis. That he never gave.

"Terus, kamu jadi apa?" Adikku sedanng menonton TV, aku yakin sekarang dia sedang menjadi penonton setia perdebatan ini.

"Yaa... Sabar dulu aja. Nanti juga ada jalannya, kok." Hanya itu kata-kata yang bisa kuucap. Karena aku tidak menemukan fakta-fakta, data-data, atau hitungan eksak-yang dia suka-untuk meyakinkanya, bahwa I'll be what I want, someday. In my way. Not what he wants, on his way.

"Nih, pegang deh. Pin nya udah tau, kan." Aku tahu, dia takut sekali jika aku tidak punya uang. Dia menyodorkan kartu kreditnya. Dan, tololnya, aku mengambilnya. Lalu berlalu kembali masuk ke kamar.

***

 

"Telepon yang anda tuju sedang tidak aktif." Udah ada kali tujuh kali aku hari ini aku mendengar suara si Mbak-Mbak itu. Rasanya pengen banget nanya, “Terus kapan dong, Mbak, aktifnya? Orangnya lagi kemana, sih?" Tapi bego aja kan ngomong sama mesin. Ah, Charlie kemana sih! Jangan-jangan, dia lagi jalana ama cewek lain. Yaelah Luna, masih aje posesip! Tar ditinggalin lagi lho, kayak ama Nino. Ini apa sih, kenapa banyak banget suara di kepala gue!

 

 

"Gin, ke rumah gue dong?" Seketika cuma Gina yang bisa kuharapkan.

"Hah? Sekarang?"

"Iya."

"Nggak bisa, Lun. Gue lagi ama Ical, ketemu vendor katering."

"Oiya, lo mau nikah ya. Oke deh. Gutlak ya..." Aku cuma mau curhat soal seberapa bete aku pada ayahku hari ini. Tapi, kayaknya, satu orang aja, aku tidak punya. Mood nggak jelas, tapi, suara itu datang lagi, "I won't give up!"

Kuganti celana pendekku dengan jins andalan, dan atasan polo shirt pink. Aku mengeprint naskahku, kembali, yang kesekian kali. Memesan ojek online di jam duabelas siang begini. Rambut panjang yang sudah ada kali empat bulan tidak ku creambath, kubiarkan saja terurai. Seperti biasa, abang ojek datang secepat kilat. Kayaknya, cuma abang ojek nih yang selalu ada kapan pun aku butuh. "Ke Kanayas Media ya, Bang. Udah ada kan, alamatnya di peta?" Si abang pun mengangguk.

Jam satu siang, belum makan siang, aku sudah ada di depan bangunan bertingkat tiga, menyerupai kantor.

"Permisi mbak, benar ini Kanayas & Partner Media?" Kataku ke mbak front desk. Kenapa ya, di front desk selalu ditaruh Mbak-Mbak. Oh, mungkin supaya menarik perhatian tamu. Cewek, pake rok, cakep. Gitu kali ya. Tapi, kalau tamunya cewek kayak aku gini kan, lebih menarik kalau yang ditaruh, Mas-Mas macem Dimas Anggara gitu, kaca mata, pake kemeja, dengan wajah yang nyaingin es teh, manis banget. Luna, stop it!

"Iya, betul. Ada perlu apa, Mbak?" Oke, kita masuk ke ranah blur sekarang. Di mana bisa jadi aku sudah salah alamat.

"Mmh... gini Mbak, sebelumnya, mau nanya dulu nih, Kanayas ini semacam.... mmh, penerbit gitu-kan-ya?" Agak kucondongkan wajahku, sedikit berbisik ke Si Mbak. Semoga dia nggak risih ya.

"Oooh... Iya mba. Kita di sini penerbit dan percetakan juga." Haduuh, usap-usap dada. Lega.

Aku manggut-manggut tersenyum. "Kalau gitu, editornya, ada?"

"Ada. Mau saya sambungkan ke Bu Widia?" Aku mengangguk semangat. Si Mbak lalu mengangkat telepon. Aku pun tidak lama diarahkan ke ruangan editor. Terlihat pintu ruangannya tertutup. Si Mbak lalu meninggalkanku di sana. Kuketok pintunya. Sekali, dua kali. "Iya, masuk." Katanya, agak datar nadanya.

"Siang, Bu Widia." Senyum sesopan mungkin kulebarkan.

"Siang. Mau kirim naskah, ya?" Dari pola sambutan dan bangunan gedungnya sih, kayaknya ini penerbit besar. Tapi, kok kayaknya aku tidak pernah mendengar namanya ya.

"Iya, Bu."

"Genre-nya apa?" Sejujurnya, makanya mungkin naskahku tidak pernah lolos. Karena aku tidak pernah dengan sengaja mengelompokan umur pembacaku atau pun genre tulisanku.

"Romance... Metropop...." Jawabku, agak ragu.

"Cinta-cintaan, ya?" Jawab Si Ibu berambut pendek, berkacamata dan mengenakan kemeja rapih itu.

Aku mengangguk. "Gimana ya... kita biasa nerbitin yang kayak motivasi, non fiksi, ilmiah... gi-tu-sih." Mukanya yang judes, ternyata tidak sejudes jawabannya. Masih alhamdulillah. Tapi pantas saja aku tidak pernah mendengar namaya, beda genre ternyata.

"O-ooh... gi-tu-yaa..." Bingung ekspresi kecewa bercampur rasa bodoh harus kusembunyikan dimana.

"Ya udah, Bu, maaf kalau gitu. Saya salah kayaknya, hehe..." Dia tersenyum lalu mengangguk.

Apa harus aku terima tawaran kerja dari ayah ya. Huh! I am tired. Gontai aku jalan membuka kembali pintu ruangan Bu Widia. "Eeh, sebentar Mbak, coba, boleh saya lihat naskahnya?"

Aku membalikan badan. "Oh, boleh, Bu." Kuserahkan bendelan jilidan itu. "Ini kamu sudah pernah kirim email ke sini belum, ya?" Duh, si Ibu jadi editor pinter banget sih. Tau banget kalau aku serba dadakan datang ke sini. Karena aku tahu, banyak editor yang lebih menyukai membaca softcopy ketimbang hardcopy. "Belom, Bu." Jawabku cengar-cengir. "Ibu lebih suka baca di softcopy, ya?" Lanjutku.

"Ooh... Nggak kok. Saya lebih suka kayak gini. Maklum udah tua, old school." Jawabnya ringan.

Dia membuka dua-sampai tiga halaman pertama. Lalu membalikannya sampai ke halaman terakhir. Dibacanya beberapa lembar terakhir. Sekitar lima mennit aku duduk di depan mejanya. Menunggunya selesai membaca. Sesekali dia membuka-buka random halaman tengah naskahku. Kupikir, apa enaknya baca loncat-loncat gitu ya. Lalu dia pun menutup kembali naskahku. Aku tidak berharap apapun.

"Gini Mbak,... Luna." Dia membaca ulang namaku di cover naskhaku.

"Sejujurnya, saya suka lho sama gaya nulis Mbak. Plotnya, gaya bahasanya, modern sekali. Tapi, maaf ketika saya baca sinopsinya. Aduh, standar sekali." Si Ibu udah tua, udah expert kali ya, lima menit bolak-bolik naskahku, udah bisa nyimpulin soal plot dan gaya bahasa.

"Oh, gitu ya... Jadi, Bu?" Oke, penolakan nih kayaknya.

"Mmh... " Dia diam sebentar. "Gini deh, kamu mau nggak bikin lagi yang baru, cerita baru."

"Tee-rrus, Bu?"

"Iya. Bikin cerita baru. I think you got a tellent. Dan, saya juga jadi tertantang buat mencoba nerbintin buku genre gini." Sumpah, pengen teriak!

"Oke, Bu, siap!"

"ASAP ya! Nanti saya keburu lupa. Oiya, buat yang-lebih realistis-tapi dramatis. Got it?" Sambil menunjukan telunjuknya ke arahku.

Si ibu muka boleh tua, Tapi, gayanya muda juga. "One hundred percent!" Senyumku. Aku keluar dari ruangannya dengan penuh semangat.

 

Sampai di rumah, bingung, bengong depan laptop. Nulis apaan nih gue! Realistis-tapi dramatis.

 

"Kenapa tadi, Lun?”

 

Seketika brain-storming ku terpecah oleh satu pesan dari Gina.

 

"Oh, nggak apa-apa kok. I'm tottaly fine!"

 

Aku berbaring di kasur. Pegel juga duduk melulu depan laptop, tapi nggak nulis satu kata pun. Nulis sih beberapa kali. Tapi dihapus lagi. Sepuluh menih, duapuluh menit, setengah jam kemudian, aku hampr ketiduran. Seketika kupaksa mataku melek kembali. Satu jam kemudian.

"AHHA!!" Aku meloncat mengambil kertas dan pulpen. Aku mulai mengkonsep plot, isi tiap bab dan menciptakan tokoh beserta karakternya.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PENTAS
47      34     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
unREDAMANCY
145      98     0     
Romance
Bagi Ran, Dai adalah semestanya. Ran menyukai Dai. Ran ingin Dai tahu. Simple. Celakanya, waktu tak pernah berpihak pada Ran. Ini membingungkan. Ran tak pernah berpikir akan mengalami cinta sendirian begini. Semacam ingin bersama tapi dianya nggak cinta. Semacam ingin memaksa tapi nggak punya kuasa. Semacam terluka tapi ingin melihatnya bahagia. Ini yang namanya bunuh dir...
AILEEN
152      96     0     
Romance
Tentang Fredella Aileen Calya Tentang Yizreel Navvaro Tentang kisah mereka di masa SMA
What a Great Seducer Fist Series : Mengenalmu
311      175     0     
Romance
Bella, seorang wanita yang sangat menyukai kegiatan yang menantang adrenalin terjebak di dalam sebuah sekolahan yang bernama Rainwood University dengan profesinya sebagai Guru BK. Bukan pekerjaan yang diharapkan Bella. Namun, berkat pekerjaan itu takdir dapat mempertemukannya dengan Rion. Salah seorang muridnya yang keras kepala dan misterius. Memiliki nama samaran RK, Rion awalnya bekerja sebag...
Satu Koma Satu
359      183     0     
Romance
Harusnya kamu sudah memudar dalam hatiku Sudah satu dasawarsa aku menunggu Namun setiap namaku disebut Aku membisu,kecewa membelenggu Berharap itu keluar dari mulutmu Terlalu banyak yang kusesali jika itu tentangmu Tentangmu yang membuatku kelu Tentangmu yang membirukan masa lalu Tentangmu yang membuatku rindu
Untouchable Boy
34      25     0     
Romance
Kikan Kenandria, penyuka bunga Lily dan Es krim rasa strawberry. Lebih sering dikenal dengan cewek cengeng di sekolahnya. Menurutnya menangis adalah cara Kikan mengungkapkan rasa sedih dan rasa bahagianya, selain itu hal-hal sepele juga bisa menjadi alasan mengapa Kikan menangis. Hal yang paling tidak disukai dari Kikan adalah saat seseorang yang disayanginya harus repot karena sifat cengengnya, ...
One Step Closer
50      34     0     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Meja Makan dan Piring Kaca
1693      540     0     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Sepasang Dandelion
166      98     0     
Romance
Sepasang Dandelion yang sangat rapuh,sangat kuat dan indah. Begitulah aku dan dia. Banyak yang mengatakan aku dan dia memiliki cinta yang sederhana dan kuat tetapi rapuh. Rapuh karena harus merelakan orang yang terkasihi harus pergi. Pergi dibawa oleh angin. Aku takkan pernah membenci angin . Angin yang selalu membuat ku terbang dan harus mengalah akan keegoisannya. Keindahan dandelion tak akan ...
ALUSI
132      58     0     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...