Jika saja ada yang menjajakan mesin waktu, sebuah benda yang bisa membawanya pergi ke masa lalu. Maka dengan segera, Sia akan membelinya. Tak apa jika harus merogoh kocek terdalam yang ia punya. Dan jika tak ada benda bernama mesin waktu, setidaknya, bisakah seseorang memberi Sia ramuan penumbuh keberanian. Yang mampu membuatnya tak lagi kerdil saat menghadapi orang-orang. Terlebih, sosok yang kini tampak bersandar santai pada sebuah motor sport putih yang berada di belakang sosok tersebut.
Mengela napas demi mengais sisa keberanian yang sudah beberapa saat lalu berserakan, semenjak netra miliknya menangkap kehadiran mahluk yang paling ia hindari. Sia menyeret langkahnya yang terasa amat berat.
Sia bahkan belum melontarkan satu kata pun, saat seseorang yang kini tepat berada di hadapannya itu menegakan tubuh dan menyodorkan sebuah helm hitam padanya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Mengabaikan tangan kanan sosok itu yang masih mengulurkan Helm padanya. Sia bersikeras memuntahkan pertanyaan yang sedari awal bercokol di kepala.
"Menjemput seseorang yang mulai pagi ini berstatus sebagai kekasihku."
Ucapan manis itu seharusnya mampu meletupkan kebahagiaan untuk gadis manapun yang mendengar. Tak terkecuali seorang Sia. Jika saja ia tak mengetahui alasan utama yang membuatnya harus menyandang status sebagai kekasih sosok di hadapannya itu. Sebuah kamuflase yang mengharuskannya menjadi tameng dengan embel-embel kekasih dari seorang Aldric. Agar pemuda itu tak lagi di repotkan dengan para gadis yang mencoba peruntungan mendapatkan gelar yang kini justru di sandangnya tanpa minat.
Tubuh Dia tersentak, saat entah sejak kapan Aldric memangkas jarak dengannya. Sebelum kemudian memakaikan Helm yang sejak tadi tak juga di sentuhnya.
"Kau terlalu membuang waktu," Pemuda itu tampak menggerutu, saat menyalakan motor miliknya. "Cepat naik!" Meski suara Aldric sedikit teredam karena pemuda itu juga telah mengenakan Helm putih miliknya. Tapi Dia masih mampu menangkap suara kekesalan di sana.
Tak ingin membuat mood Aldric kian memburuk, Dia segera menaiki motor milik Aldric yang cukup membuatnya kepayahan karena tempat duduknya yang cukup tinggi. Setelah menyamankan diri, dari balik kaca spion yang mampu membuatnya melihat Aldric yang tengah memperhatikan setiap gerak-geriknya, Sia menganggukkan kepala pelan. "Sudah." Ucapnya. Memberi isyarat jika ia telah siap.
Dalam hati Sia bersyukur, karena Aldric tak datang menjemputnya langsung ke rumah. Entah kenapa, pemuda itu memilih menungguinya di luar sekitar rumahnya. Hal yang setidaknya membuat Sia tak harus mendapat konfrontasi dari seorang Lusi. Meski ia tak bisa mengelak saat nanti menginjakan kaki di sekolah. Karena tak hanya seorang Lusi yang harus ia hadapi. Tapi deretan para Siswi, terutama mereka yang mendamba sosok seorang Aldric.
***
Tak ada satu mahluk pun di sekolah yang menghargai konsistensinya sedari awal ia menjadi murid di sekolah ini. Selain karena ia memang menarik diri dari lingkup pergaulan di sekolah, tak ada hal yang bisa membuatnya menjadi pusat perhatian. Namun pagi ini, karena sebuah lengan yang melingkupi bahu mungil miliknya. Sosoknya yang dulu seakan tak kasat mata untuk para siswa. Kini justru menjadi topik terpanas yang di perbincangkan hanya dalam hitungan detik. Tentunya sosok yang berjalan santai di sampingnya lah yang memiliki andil besar dalam perubahan kehidupannya di sekolah mulai saat ini.
Aldric tampak santai, menaruh lengan kanannya pada bahu dari seorang gadis yang merapalkan rasa kesalnya di dalam hati untuknya. Sementara tangan pemuda itu tampak lincah memainkan benda pipih yang sedari tadi menyita perhatiannya.
"Al?"
Sampai suara menyebalkan itu mengusik pendengaran. Sekaligus mengusik ketenangan harinya di pagi hari.
Posisi gadis itu yang berada tepat di hadapannya, mau tidak mau menghambat langkahnya menuju ruang kelas, untuk terlebih dulu mengantar Sia, gadis di rangkulannya yang masih betah untuk mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Kau tak perlu sekeras ini untuk menghindar dariku," Ucap Natalie. Sebelum kemudian melempar tatapan pada Sia yang sibuk meredam rasa gugup dalam dirinya. Mengingat, permainan sudah benar-benar di mulai. Karena sang pelaku utama yang paling ingin di hindari Aldric, kini telah menampakkan diri. "Sampai harus menyeret gadis menyedihkan di sampingmu. Setidaknya, cari yang sepadan agar aku perca--" Natalie bahkan tak sempat menyelesaikan kata-katanya yang terpaksa menggantung, karena Aldric sudah lebih dulu menerobos hingga membuatnya terdorong.
"Apa yang kau lakukan?"
Aldric lekas menolehkan wajah, pada mahluk di sampingnya yang akhirnya mengeluarkan suara. Namun ucapan pertama yang di berikan justru membuatnya mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?" Alih-alih menjawab pertanyaan yang di lontarkan Sia, Aldric justru melempar balik pertanyaan pada gadis yang tampak menatapnya masam.
"Aku rasa sikapmu tadi itu terlalu kasar," Ungkap Sia. Yang membuat Aldric mengela napas.
"Jadi kau ingin kita tetap di sana, menjadi tontonan semua siswa, hanya untuk mendengarkan celotehan tidak penting gadis itu?"
Sia bungkam. Ia tak bisa mendebat. Itu bukan keahliannya. Dia bahkan mulai menyesal karena sudah buka suara. Seharusnya ia tetap memilih bungkam. Toh, tugasnya hanya menjadi pemeran pendukung dalam cerita yang tengah di buat Aldric tentang hubungan absurd mereka. Tapi, dalam hati Dia membenarkan ucapan Natalie. Setidaknya, jika ingin membuat seorang Natalie menyerah. Aldric bisa memilih gadis yang sepadan atau mungkin lebih dari Natalie. Agar gadis itu menyerah. Bukannya memilih dirinya, yang justru membuat Natalie kian tertantang. Karena bagaimana mungkin, Aldric mengabaikan sosok jelita seperti Natalie, dan lebih memilih sosok menyedihkan seperti dirinya.
"Apa pun yang sekarang mengendap di dalam kepalamu, segera enyahkan. Kau yang paling tau, untuk apa aku merepotkan diri dengan segala drama picisan ini." Setelahnya, Aldric melepas rangkulan tangannya yang sedari awal memasuki area sekolah bertengger di bahu Sia. Pemuda itu beranjak pergi, tanpa meninggalkan satu kata pun lagi pada sosok yang kini hanya diam menatap kepergiannya.
***
Alih-alih memasuki kelas, Aldric justru menginjakan kaki ke dalam ruang UKS. Setelah memberi pesan pada Aldo untuk mewakilkannya meminta izin tidak enak badan dan membuatnya harus terdampar di dalam ruang UKS. Tak peduli, bahwa jam pertama bahkan segera di mulai.
Kepalanya terus berdenyut sakit, kedua matanya bahkan memberat dan setelah ia membaringkan diri di atas tempat tidur di ruang UKS, kedua netra penglihatannya segera memejam. Tubuhnya benar-benar memprotes. Berteriak agar ia memberi waktu istirahat. Karena sejak semalam, ia tak bisa tertidur. Hingga matahari akhirnya berjinjit meneriakkan pagi.
Ada banyak hal yang membebani pikiran. Karena sampai detik ini, Aldric belum mendapat apa pun yang bisa ia gunakan sebagai titik terang dalam kasus kematian Aldrian.
Bahkan, baru langkah awal untuknya mengorek informasi. Aldric sudah di haruskan memenuhi tantangan dari orang yang ia harapkan sebagai kunci pembuka dalam mengusut kasus Aldrian.
Segala kerumitan itu kembali melecut denyutan yang menimbulkan rasa sakit pada kepalanya. Seakan tubuhnya memprotes. Jika sang tuan tak bisa terus memforsir mereka secara berlebihan. Membuat Aldric akhirnya menyerah. Membiarkan diri terlelap. Melepas sejenak segala kepenatan yang menghimpitnya selama ini.