Banyak pertanyaan yang melayang-layang di hari-hari Mysha dan tidak pernah sekalipun bisa Mysha temukan jawabannya. Sejak kapan? ... kenapa? ... kenapa dia? Mysha tahu hanya satu orang yang dapat menjawabnya. Tapi Mysha juga tahu kalau dia belum siap bertemu dengan orang itu. Mysha bahkan tidak tahu apakah itu penting atau tidak. Dia hanya ingin tahu, siapa tahu bisa memperjelas perasaannya. Apa yang sebenarnya Mysha inginkan, dan mengapa Mysha merasa semua ini begitu menakutkan.
Siang ini pikiran-pikiran itu memenuhi Mysha sampai memaksanya mendesah berkali-kali di kelas. Sebentar lagi kuliahnya selesai. Biasanya dia akan ke perpustakaan dan bertemu Rio. Biasanya mereka akan makan siang di kantin perpus lalu membuka laptop bersama di dalam perpus sambil bersantai. Kadang mereka juga membaca novel yang ada di perpustakaan sambil menghabiskan waktu, lalu mengobrol. Kini sudah seminggu dia tidak melakukan kebiasaan itu. Walaupun rasanya lama, tapi rasa takut dan berdebar-debar Mysha tidak kunjung reda.
"Kenapa sih lo, Mys?" suara Vino mengejutkan Mysha. Vino akhirnya merasa gatal untuk menegur Mysha setelah desahan panjang Mysha yang entah ke berapa kalinya diikuti pandangan menerawang yang memperlihatkan bahwa Mysha sedang melamun.
"Ngga apa-apa," Jawab Mysha singkat sambil pura-pura memperhatikan dosen dan mencatat. Langkah bodoh sebenarnya, karena jarak Vino sebenarnya cukup dekat untuk dapat melihat bahwa Mysha sedang mencoret-coret buku notesnya dengan guratan-guratan tidak jelas.
"Berantem ama Rio ya lo?" tebak Vino, nampak tepat sasaran karena Mysha langsung melotot tidak santai ke arahnya. Entah itu karena kaget atau marah. Untung Mysha masih sadar kalau dia sedang berada di kelas, kalau tidak dia tadi sudah mau berteriak, "ENGGAK!" kepada Vino saking kaget dan kesalnya karena Vino menyebut nama Rio. Mysha kesal karena cukup mendengar nama itu membuatnya kembali berdebar tidak karuan.
"Biasa aja kali ngeliatnya, ngga usah kayak ibu tiri gitu," kata Vino santai, seolah tidak sadar bahwa wajah Mysha sudah sangat merah.
"Apaan sih, ngga lucu," balas Mysha ketus.
"Kalo berantem sama pacar tuh diomongin berdua, jangan dipikirin sendiri," Vino masih kukuh mengusik Mysha.
"Siapa yang berantem sama pacar sih?!"
"Lha itu, disebut namanya langsung emosi."
"Berisik lo ah, Kak Rio bukan pacar gue!" Mysha menahan suaranya dengan berbisik, tapi amarahnya tetap meluap. Vino hanya tersenyum-senyum melihat Mysha senewen.
"Itu kali masalahnya..." kata Vino dengan wajah jahil. Kali ini Mysha hanya melihat Vino dengan kerungan di dahinya. Vino lalu melanjutkan, "Orang yang namanya aja bikin lo kayak gini, harusnya ngga cuma jadi temen doang."
Tatapan Mysha melunak setelah mendengar Vino. Vino langsung bergaya kembali memperhatikan dosen sementara Mysha lanjut berpikir, tapi kali ini kata-kata Vino masuk dan bergabung dalam pikirannya.
***
Sudah 15 menit Mysha berdiri di depan fakultas ilmu komunikasi. Sudah selama itu juga dia mengumpulkan keberanian untuk melangkah, mengantarkan dirinya menemui Kak Rio. satu hal yang baru Mysha pahami setelah nyaris 19 tahun hidup adalah ternyata urusan hati itu tidak semudah dan seindah bayangannya. Banyak hal yang dirasa tapi tidak tahu apa namanya. Banyak juga yang sudah berhari-hari dicoba dicerna tapi belum juga ketemu terjemahannya.
Begitulah perasaan Mysha saat ini. Seminggu penuh ia tidak mengacuhkan pesan dan telepon dari Kak Rio. Bukan tanpa alasan, Mysha merasa takut. Tapi takut karena apa juga Mysha tidak tahu. Hal yang Mysha tahu pasti adalah jantungnya terasa kacau kalau melihat nama Kak Rio di handphone-nya, dan Mysha tidak suka perasaan itu. Tapi sekarang Mysha pun merasa ganjil karena sudah selama ini dia tidak bertemu dan mengobrol dengan Kak Rio. Ironis, Mysha takut tapi ingin bertemu. Rumit bukan? Tak heran Mysha jadi merasa serba salah.
Debaran di jantungnya semakin kuat dan membuat wajahnya merah padam. Ini belum bertemu, bagaimana kalau dia berhadapan dengan Kak Rio? Mysha langsung memberi alasan pada dirinya bahwa dia sedang tidak enak badan dan memutuskan untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Ia mau pulang saja. Mysha pun berbalik dan berjalan menuju ke luar fakultas ketika ada seseorang yang menggenggam pergelangan tangannya.
***
Dan di sanalah perempuan itu berdiri. Perempuan istimewanya. Rio dapat merasakan aliran hangat di seluruh tubuhnya. Rio rindu luar biasa, sampai tanpa sadar kakinya bergerak sendiri mendekati Mysha. Ketika Rio melihat Mysha yang membalikkan badannya, dadanya langsung sesak. Ia mempercepat gerakannya dan berlari karena jaraknya dan Mysha masih cukup jauh. Sedikit lagi ... sedikit lagi ... dan dengan terburu-buru Rio menahan Mysha dengan menggenggam pergelangan tangannya. Mysha kembali berbalik, wajahnya terkejut mendapati Rio yang sedang terengah-engah sampai tidak sanggup bicara.
Rio mencoba mengatur nafasnya dan menenangkan diri. Dia menatap Mysha kembali, ternyata matanya tidak salah lihat. Perempuan yang berdiri di hadapannya betul-betul Mysha. Meskipun saat ini Mysha menghindari tatapan matanya, tapi Rio tetap tersenyum senang. Bagi Rio, bisa melihat Mysha setelah seminggu kehilangan total tetap terasa melegakan.
"Mysha ... makan siang bareng Kak Rio, yuk?"
***
Kehadiran Kak Rio di depan matanya dan ajakan yang dulu terdengar sangat wajar itu membuat mata Mysha panas. Dadanya berdebar lebih kencang dan perasaannya makin tidak enak. Mysha merasa tidak mengerti dirinya lagi. Semua ini karena Kak Rio ...
"Aku mau pulang, Kak," Jawab Mysha sambil menunduk. Ia melepaskan tangannya pelan dari genggaman Kak Rio dan meremas kuat-kuat kedua tali ransel yang menggantung melingkari bahunya.
"Kalo mau pulang kenapa dateng ke sini?" tanya Kak Rio.
"Eh ... ngga apa-apa, tadi jalan-jalan aja sebelum pulang," jawab Mysha asal.
"Bukan karena mau ketemu Kak Rio?" tanya Kak Rio, dia nampak tidak peduli walaupun Mysha jelas-jelas menghindari tatapan matanya. Mysha tidak menjawab.
"Mau ketemu juga ngga apa-apa kok, Mys ..." Mysha menunduk makin dalam, "Kak Rio juga udah lama mau ketemu Mysh –"
"Kak, maaf aku masih belum bisa ternyata ..." Mysha mengadah, air matanya sudah tergenang.
"Mysha ... mau sampai kapan ngehindarin Kak Rio? Ngga kasian sama Kak Rio? can we just sit and talk? I promise I won't bite ..." Kak Rio berusaha membujuk Mysha. Mysha berusaha menenangkan dirinya. Kak Rio benar, seminggu penuh Mysha menghindari Kak Rio dan perasaannya tidak kunjung jelas. Mungkin dengan membicarakan ini Mysha bisa lebih memahami sesuatu tentang apapun yang membuat hatinya tidak keruan belakangan ini.
Mysha mengusap air matanya dan mengangguk. Kak Rio tersenyum lega melihat anggukan itu. Spontan ia mengusap kepala Mysha dan seketika Mysha merasakan hangat di sekujur tubuhnya. Hangat dan nyaman ... dalam hati Mysha ingin sekali bertanya, Kenapa sih Kak Rio bisa membuat Mysha merasa panik dan nyaman secara bersamaan?