Read More >>"> Lingkaran Ilusi (Jangan Pergi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lingkaran Ilusi
MENU
About Us  

"Don't go away. I don't want to be alone. I can't stand being alone."
(Arnold Rothstein)

Firza sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Saat pertama kali ia membuka mata, hanya warna hitam pekat yang menyambutnya. Tidak ada cahaya, apalagi suara. Hanya kesunyian yang merasuk dalam gendang telinganya.

Ia terus berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi, semua seperti membeku. Bahkan ujung jarinya pun seolah menolak semua perintahnya. Ia mencoba berteriak meminta tolong, namun hanya suaranya sendiri yang bisa ia dengar. Memantul-mantul, hingga membuat telinga berdenging.

Tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini, selain menunggu seseorang membebaskannya dari penjara yang membuatnya sangat menderita.

Ia hanya bisa menunggu seseorang yang akan membebaskannya dari ketakutan yang terasa begitu mematikan.

Brama memasuki rumahnya dengan langkah santai, seraya bersiul-siul kecil. Hari ini suasana hatinya sedang sangat baik. Ia belum pernah merasa sebaik ini sejak pertama kali menginjakkan kakinya kembali di rumah mewah yang dibangun oleh Giovani Wijaya dua puluh tahun lalu.

Ia tidak tahu bagaimana kabar laki-laki itu sekarang. Terakhir kali ia bertemu papanya adalah enam bulan yang lalu, sebelum akhirnya ia memilih pergi untuk sementara waktu. Yang ia tahu, pria itu akhirnya kembali menginjakkan kaki di rumah kemarin siang. Setidaknya, itulah yang dapat ia simpulkan setelah melihat memar-memar dan bekas luka robek di wajah Firza.

Pertemuannya dengan Clarissa hari ini, sedikit-banyak membuatnya kembali merasa hidup -walaupun pertemuan itu hanya diisi oleh pertengkaran mereka. Setelah sekian tahun mencari keberadaan gadis itu –hingga ia hampir memilih menyerah– pada akhirnya waktu mengizinkan mereka untuk kembali berjumpa. Meski ia tahu, Clarissa sama sekali tidak mengingat sesuatu yang pernah terjadi hampir empat belas tahun lalu itu.

Brama membuka pintu kamarnya, dan menjumpai Firza yang sedang menatapnya tajam. Namun bukannya merasa bersalah karena sudah mencuri waktu berharga antara Firza dan Clarissa, ia justru tersenyum angkuh sembari mengedipkan sebelah matanya pada pemuda itu.

"Apa yang sudah lo lakuin ke dia?" Firza tampak tidak lagi bisa bersikap santai menghadapi Brama.

"Tenang, bro," Brama mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya hingga membentuk huruf V sembari terkekeh pelan. "Gue nggak ngelakuin apa-apa. Gue cuma minta supaya dia jadi pacar gue."

Firza berdecih, lantas tersenyum merendahkan. "Asal lo tahu, Clarissa bukan cewek yang bisa lo atur seenaknya. Dan sekali lagi, lo coba ganggu dia. Lo mati!"

Brama tertawa keras, tidak lagi peduli pada tatapan tajam Firza yang meletup-letup penuh kemarahan.

"Sayangnya, si pangeran baik hati nggak akan bisa berbuat apapun selama Brama Juniandar masih ada di sini," Brama tersenyum angkuh, sebelum berjalan menuju sofa yang terletak di sudut ruangan dan membaringkan diri di sana.

Suara ketukan terdengar dari pintu kamar Clarissa. Ia membuka matanya perlahan saat suara mamanya memanggil dari luar ruangan. Ia menggeliatkan tubuhnya di atas ranjang, lantas mengerjapkan matanya beberapa kali.

Clarissa melihat jam di dinding kamarnya sejenak, lantas mendengus kasar. Semester kali ini benar-benar tidak membiarkannya bersantai di pagi hari. Selama lima hari penuh, ia harus mengikuti perkuliahan pagi yang sangat membosankan. Dan kegiatan itu akan terulang lagi di minggu berikutnya, hingga semester ini berakhir.

Sebelum gadis itu beranjak dari ranjang, bayangan kejadian kemarin sore kembali terlintas dalam kepalanya. Brama, pemuda menyebalkan yang membuatnya naik darah pada pertemuan pertama mereka.

Mungkin pertemuan kedua, sebab Brama berkata demikian beberapa jam yang lalu.

Clarissa menggeleng pelan. Lihat saja. Jika mereka bertemu lagi setelah ini, ia pasti akan mendorong pemuda itu untuk menjauh sejauh-jauhnya dari pandangannya. Atau setidaknya, melemparkan pemuda itu ke Antartika hingga mereka tidak perlu lagi bertemu.

Clarissa bergidik ngeri, membayangkan jika benar-benar menjadi pacar Brama seperti permintaan –lebih tepatnya paksaan– pemuda itu kemarin.

"Clarissa, cepat bangun!" suara Diana seketika memecahkan lamunan Clarissa. Gadis itu akhirnya beranjak menuju kamar mandi, dengan langkah malas.

"Jadi, gimana acara kencan lo sama kak Firza?" Vella mengerling jail pada Clarissa, hingga membuat gadis itu tersedak minuman.

"Nggak ada kencan! Gue justru ketemu sama kembarannya yang super ngeselin!" Clarissa berucap dengan nada jengkel.

"Kak Firza punya kembaran?" tanya Vella dengan pupil mata melebar, dan hanya ditanggapi Clarissa dengan anggukan.

"Pulang jam berapa kemarin?" tanya Bima yang sejak tadi hanya diam memerhatikan Vella dan Clarissa. Pertanyaan itu dijawab Clarissa menggunakan isyarat jari tangan yang menunjukkan angka sembilan.

Percakapan mereka terhenti, ketika mata Clarissa menangkap sosok pemuda yang berjalan ke arahnya. Baru saja ia hendak meneriakkan nama pemuda itu, namun urung. Pemuda itu bukanlah seseorang yang sedang ia cari saat ini.

Pemuda yang sedang berjalan ke arahnya itu tampak jumawa dengan jaket kulit hitam mengkilat –yang pasti harganya tidak main-main– dan celana jeans hitam. Rambutnya yang sedikit gondrong, dilapisi gel dan dibentuk sedikit berjambul di bagian depan. Dan jangan lupakan, anting di telinga kirinya. Hanya dalam sekali lihat, Clarissa sudah tahu siapa yang sebentar lagi akan berhadapan dengannya.

Baru saja ia hendak melarikan diri, suara berat pemuda itu sontak menghentikan gerak seluruh persendiannya. Bukan, bukan karena ia terpesona dengan suara Brama. Melainkan kini, seluruh pasang mata yang berada di kantin tersebut tengah menatap ke arahnya.

Mampus gue!

"Lo mau kemana? Kabur? Hm?" Brama langsung mencecarnya dengan pertanyaan, begitu ia sampai di samping gadis itu.

"Itu... gue mau ke..." Clarissa tidak menemukan kata yang tepat untuk memberikan alasan pelarian dirinya.

"Dia mau nemenin gue ke perpustakaan!" Bima menjawab ketus dari balik punggung Clarissa.

Brama mengalihkan pandangan dari Clarissa ke arah Bima. Ia menarik satu sudut bibirnya, dan tersenyum miring.

"Sudah lama sekali kita nggak ketemu lagi ya, Bima Prasetya," pernyataan Brama sontak membuat Clarissa membalikkan tubuhnya, dan Vella melebarkan pupil matanya kaget. Sementara, Bima hanya berdiri dengan ekspresi kaku.

"Kenapa? Kaget gue ada di sini?" di balik sikapnya yang kelewat santai, Brama masih terus melemparkan tatapan mengintimidasi. "Ah sorry, gue lupa ngasih lo salam pertemuan kemarin dan beberapa hari yang lalu."

Sebelum Bima sempat menghalau keterkejutan dalam dirinya, Brama sudah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangan Clarissa.

"Lo mau ngapain sih?!" Clarissa berusaha melepaskan cekalan Brama, tapi sia-sia. 

Pemuda itu justru semakin mengeratkan cekalannya, lantas berucap seraya mengedipkan sebelah matanya. "Kemarin kita belum sempat seneng-seneng bareng kan?" 

"Kalau kalian nggak keberatan, gue pinjam Clarissa sebentar ya. Gue tahu dia nggak ada kelas lagi setelah ini," setelah mengucapkan itu, Brama menarik Clarissa tanpa menunggu persetujuan dari Vella maupun Bima.

Bima berusaha mengejar Clarissa, namun dengan sigap Vella menahan lengannya. Gadis itu menggeleng pelan, mengisyaratkan agar Bima tidak ikut campur urusan antara Brama dan Clarissa.

Clarissa tidak menyangka bahwa Brama akan mengajaknya ke suatu pusat perbelanjaan. Meski bertanya-tanya tentang tujuan pemuda itu membawanya ke tempat ini, ia memilih untuk tetap diam. Masih ada perasaan kesal di hatinya pada pemuda itu.

Sepanjang koridor mall, Clarissa harus menahan diri dengan tatapan-tatapan iri dari para gadis pengunjung mall. Mereka seolah terpesona dengan penampilan Brama, hingga tidak bisa untuk tidak menatap pemuda itu lama-lama. Sementara itu, Brama hanya menanggapinya dengan acuh. Seolah hal itu sudah merupakan hal biasa baginya.

Brama berjalan lebih dulu menuju area Time Zone, lantas berjalan menuju kasir untuk mengisi saldo PowerCard miliknya.

"Temenin gue seneng-seneng hari ini!" ujar Brama santai, yang justru terdengar seperti perintah tidak terbantahkan. Sedangkan, Clarissa hanya bisa berdecak sebal.

Brama berjalan menuju permainan Maximum Tune, dan meninggalkan Clarissa yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan jengkel. Ia menggesekkan PowerCard di tempat yang telah disediakan, dan bersiap di tempatnya. Dengan gerakan dagu, ia mengisyaratkan Clarissa untuk duduk di sampingnya.

Permainan itu berlangsung. Tanpa sadar, sudah beberapa kali Clarissa tertawa dan berteriak setiap kali kursi yang mereka tempati bergerak cukup kencang. Mata cokelatnya tidak terlepas dari layar yang menapilkan sebuah mobil di tengah arena balap.

Tidak hanya Maximum Tune, Brama mengajaknya mencoba hampir semua permainan yang terdapat di area tersebut. Mulai dari Street basketball, Dance-dance Revolution, hingga yang terakhir Claw Machine.

"Kiri Bram, kiri!" Clarissa berteriak bersemangat, mengarahkan Brama untuk meletakkan boneka beruang yang berhasil dicapit pemuda itu ke sebuah tempat yang akan membuat boneka tersebut keluar dari dalam kotak kaca.

Brama melepaskan capitan. Namun beberapa detik kemudian, mereka sama-sama mendesis kesal. Untuk kesekian kalinya boneka tersebut gagal menjadi milik mereka.

Clarissa menekuk bibirnya, kesal. Sudah hampir sepuluh kali mereka mencoba, tetapi tidak ada satupun boneka yang berhasil mereka dapatkan.

"Kita cari boneka di tempat lain aja! Bisa darah tinggi gue lama-lama di sini!" Brama menggerutu, seraya menarik tangan Clarissa keluar dari area Time Zone.

Entah hanya perasaan Clarissa, atau Brama memang berubah menjadi sedikit lebih menyenangkan. Sikap itu bahkan membuatnya lupa dengan janjinya pada diri sendiri yang akan mendorong Brama jauh-jauh ketika mereka bertemu lagi. 

Ia sama sekali tidak mendengar nada suara meledak-ledak dari pemuda itu sejak beberapa saat lalu. Tapi, jangan dihitung berapa kali pemuda itu mengumpat setiap kali ia gagal melakukan suatu permainan.

Di saat seperti ini, Brama terlihat sedikit-banyak mirip dengan Firza. Mereka ibarat dua sisi mata uang koin, serupa tapi tak sama. Meski sama-sama memiliki tatapan mata yang dalam, namun mereka berbeda. Jika Firza memiliki tatapan meneduhkan, ibarat mata air di padang pasir. Maka Brama seolah mampu menariknya ke dalam lautan tak berdasarkan melalui mata jelaganya.

Brama menarik tangan Clarissa menuju stand yang menjual berbagai macam boneka, dengan bermacam-macam ukuran. Mata cokelat Clarissa berbinar, saat melihat warna-warni menggemaskan yang terpampang jelas di depan matanya.

Tanpa sadar, ia sudah melepaskan diri dari Brama dan berlari menuju sebuah boneka beruang berukuran besar dengan warna cokelat. Tingkah laku Clarissa yang tampak seperti anak kecil, diam-diam membuat sudut hati Brama menghangat. Pemuda itu tidak bisa menutupi segaris senyum di bibirnya. Sejak bertemu kembali dengan gadis itu, ini adalah pertama kalinya Brama melihat Clarissa tersenyum semringah.

Setelah mendapatkan sebuah boneka beruang yang diinginkannya –tentu saja setelah melewati perdebatan tentang siapa yang akan membayar. Dan pada akhirnya, Clarissa membiarkan Brama untuk membayar– mereka akhirnya meninggalkan mall tersebut.

Pajero hitam yang dikendarai Brama berhenti di depan rumah Clarissa. Baru saja gadis itu hendak turun, Brama menahan pergelangan tangannya. Pemuda itu mengambil sebuah tas plastik yang berisi kotak berukuran tanggung pada Clarissa.

"Ini apa?" tanya Clarissa.

Brama hanya mengedikkan bahu, tanpa menjawab pertanyaan tersebut. Matanya tertuju lurus pada jalanan sepi di depannya.

"Gue senang, setidaknya hari ini lo nggak nyebut nama Firza di depan gue," ucap Brama pelan.

Clarissa hanya mengerjapkan mata tidak mengerti. Sebelum ia menjawab pernyataan Brama, pemuda itu sudah lebih dulu mencondongkan tubuh ke arahnya.

Clarissa beringsut, menjauhi tubuh Brama yang semakin mendekat padanya. Tetapi di luar dugaannya, pemuda itu justru menarik tuas pintu mobil dan membukanya.

Clarissa bisa merasakan wajahnya memanas, saat melihat Brama sudah kembali pada posisinya semula. Ia bergegas turun dari dalam mobil, sebelum Brama menyadari perubahan di wajahnya.

"Lo bisa lihat dia, kalau lagi kangen gue," ucap Brama seraya menunjuk tas plastik di tangan Clarissa dengan dagunya.

Clarissa berdecih, seraya memutar bola matanya.

"Dan, jangan pernah mencoba untuk pergi!" Lanjut pemuda itu tegas, tepat sebelum Clarissa menutup kembali pintu mobilnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Supardi dan Supangat
16      5     0     
Humor
Ini adalah kisah Supardi dan Supangat si Double S yang Bermukim di Kampung Mawar. Keduanya bagaikan GALIH DAN RATNA yang selalu bersama mengukir kenangan (ceuilehh.. apasih) Terlahir dari rahim yang berbeda tetapi takdir mempertemukan mereka dengan segala ke-iba-an yang melanda
Old day
3      3     0     
Short Story
Ini adalah hari ketika Keenan merindukan seorang Rindu. Dan Rindu tak mampu membalasnya. Rindu hanya terdiam, sementara Keenan tak henti memanggil nama Rindu. Rindu membungkam, sementara Keenan terus memaksa Rindu menjawabnya. Ini bukan kemarin, ini hari baru. Dan ini bukan,Dulu.
ORIGAMI MIMPI
186      5     0     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
High Quality Jomblo
227      6     0     
Romance
"Karena jomblo adalah cara gue untuk mencintai Lo." --- Masih tentang Ayunda yang mengagumi Laut. Gadis SMK yang diam-diam jatuh cinta pada guru killernya sendiri. Diam, namun dituliskan dalam ceritanya? Apakah itu masih bisa disebut cinta dalam diam? Nyatanya Ayunda terang-terangan menyatakan pada dunia. Bahwa dia menyukai Laut. "Hallo, Pak Laut. Aku tahu, mungki...
A Story
4      4     0     
Romance
Ini hanyalah sebuah kisah klise. Kisah sahabat yang salah satunya cinta. Kisah Fania dan sahabatnya Delka. Fania suka Delka. Delka hanya menganggap Fania sahabat. Entah apa ending dari kisah mereka. Akankah berakhir bahagia? Atau bahkan lebih menyakitkan?
Special
25      9     0     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Kekasih Sima
4      4     0     
Short Story
Sebenarnya siapa kekasih Sima? Mengapa bisa selama lima tahun dicampakkan membuat Sima tetap kasmaran, sementara orang-orang lain memilih menggila?
IMAGINE
3      3     0     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
From Ace Heart Soul
5      4     0     
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
Kenangan Masa Muda
59      17     0     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...