Read More >>"> The Puzzle (Dia adalah Hans) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Puzzle
MENU
About Us  

                Kemarin adalah hari yang sangat panjang dan melelahkan bagiku. Aku harus membuat hari ini tidak begitu melelahkan. Mungkin ada baiknya kalau aku tidak ikut yang lain, lebih baik bersama anak-anak yang sedang main di pantai.

                Aku membawa buku sketsaku dan sebuah pensil. Setidaknya, ada sesuatu yang bisa dikerjakan di sana selain bermain pasir dan air. Aku memandang ke sekeliling, mataku terpaku pada seorang anak kecil yang tertidur di pangkuan ibunya. Pemandangan yang cukup unik, mungkin dia sudah terlalu lelah bermain pasir sehingga tidurnya begitu pulas. Aku duduk tidak jauh dengannya dan mulai menggambarnya dalam buku.

                “Bu Sarah.” Tiba-tiba suara seorang laki-laki menghentikan tanganku yang sedang mengarsir gambar rambut.

                “Eh, Ko.” Ternyata Joshua memanggilku dengan panggilan Bu lalu duduk di sebelah sambil bertanya mengapa aku tidak ikut bermain dengan anak-anak.

                “Lebih baik menggambar ya, daripada main basah-basahan.” lanjutnya.

                Aku tidak merespon karena sebenarnya aku merasa terganggu dengan kedatangannya. Untung saja penyelamat datang.

                “Pak Jos!” teriak seorang murid.

                “Ya?” teriak Joshua kencang-kencang di sampingku sehingga aku bertambah kesal saja.

                “Bapak mau ikut naik perahu?”

                Joshua melihat ke arahku sebentar lalu menjawab, “Ayo!” Dia berdiri sambil mengajak aku untuk ikut dengannya, “Ayo Sarah, ikut naik perahu.”

                “Oh, saya tunggu di sini aja Ko, sama anak-anak yang gak ikut.” aku terpaksa beralasan seperti itu karena aku tidak mau naik perahu bareng Joshua. Pasti dia akan sangat cerewet dan sekarang perasaanku sedang tidak baik, kalau anak-anak melihatnya, mungkin mereka berpikir ada sesuatu di antara kita, padahal kan tidak.

                “Lah, tadinya saya ikut karena mau nemenin kamu.” kata Joshua dengan nada kecewa yang dibuat-buat.
                Aku tersenyum penuh paksaan, “Aduh, gak apa-apa Ko, saya sudah sering naik perahu.” Kembali terdengar suara teriakan anak-anak dari jauh. “Ya sudah, saya ke sana dulu ya.” Iya, iya, cepat pergi ke sana.

                Aku melihatnya berjalan menjauh. Joshua, kalau melihat tingginya, tidak beda jauh dengan Harris. Tentu saja lebih tinggi dari aku tapi masih ada murid yang lebih tinggi darinya. Tapi aku rasa hanya itu kesamaan di antara mereka, sisanya berbeda. Cara berjalan, model rambut, gaya berpakaian, dan tentu saja sikapnya sangat berbeda. Aku mengenali Joshua di sekolah ini. Dia adalah guru sejarah termuda di sekolah ini. Dia sangat dekat dengan murid-muridnya, itu adalah kelebihannya. Mulutnya tidak bisa berhenti bicara, mungkin karena kebiasaan mengajar dengan cara bercerita atau entahlah mengapa, tapi dia termasuk orang yang banyak bicara.

                Saat pertama kali bekerja di sekolah ini, memang dialah yang paling mudah akrab. Dia juga sebenarnya cukup baik, dia sering menawarkan tumpangan untuk aku dan Irine, mungkin juga orang lain. Tapi aku sudah terbiasa pergi sendiri, aku lebih nyaman seperti itu. Lagipula aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku menerima tawarannya, mungkin dia akan mengoceh sepanjang perjalanan pulang.

                Beberapa hari yang lalu, Irine dan aku sedang bercanda dan tiba-tiba saja dia mengatakan bahwa Joshua menyukaiku. Karena suasananya sedang bercanda tentu saja kami tertawa, tapi kalimat itu entah mengapa terus terpikirkan olehku. Dan itu cukup mengganggu. Memang tidak ada salahnya kalau hal itu merupakan fakta, hanya saja aku merasa tidak enak. Mungkin karena aku sama sekali tidak menyukainya, karena aku sudah menyukai orang lain terlebih dahulu dan tidak ada yang bisa menggantikannya sampai sekarang.

                Aku melihat perahu mulai melaju, sementara perahu lainnya ada yang sudah jauh dan ada yang baru kembali. Aku rasa ini gambar keduaku hari ini.

***

                “Kapan lagi kita bisa lihat pertunjukkan tari yang asli seperti ini?”

                “Tapi kan saya ga suka nari Bu.”

                “Siapa yang bakal suruh kamu nari coba? Tonton aja, pasti nanti suka. Supaya kamu tahu juga.”

                “Memangnya wajib banget ya Bu?”

                “Iya sudah dibeli tiketnya untuk kita semua.”

                Kami sedang dalam perjalanan menuju teater pertunjukkan tari kecak khas Bali. Kali ini, semua murid harus ikut, baik yang suka menari maupun yang tidak suka. Toh, kita kan hanya menonton, menikmati pertunjukkan, bukan disuruh belajar menari. Aku rasa aku akan menyukai acara kami sore ini. Ya, ini sudah sore, pertunjukkan akan dimulai pada jam enam sore.

                Sebagai pengunjung dengan jumlah banyak, kami diberikan tempat duduk spesial di sepanjang baris depan, dari ujung sampai ke ujungnya lagi. Awalnya aku mengira pertunjukkan ini diadakan di dalam ruangan, ternyata tidak. Katanya tari kecak kali ini menggunakan atraksi api juga, jadi di luar. Kalau begitu, pertunjukkanya pasti akan menjadi lebih menarik sekaligus menegangkan. Sayangnya, aku lupa tidak membawa jaket. Semoga saja api-api itu cukup bisa menghangatkan aku yang mulai kedinginan ini.

                Jam enam tepat, banyak penari mulai berdatangan, berdiri di tempat masing-masing. Satu orang yang memakai baju putih melangkah ke tempat paling tengah untuk menyalakan api. Begitu api menyala, semua penari wanita yang tadinya hanya berdiam di tempat langsung bergerak melingkari api sambil menari-nari sesuai irama. Oh ya, iramanya datang dari para penari laki-laki yang sudah duduk di depan kami sebelum acara dimulai. Cak Kecak Kecak Kecak Kecak. Begitulah kira-kira suara yang terdengar olehku.

                Tiba-tiba saja seorang lelaki meneriakkan sesuatu dan semua kepala penonton menoleh ke kanan, termasuk aku. Di sana muncul seseorang yang badannya tinggi besar mengenakan baju merah, topeng berwajah merah menyeramkan, dan rambut palsu yang cukup panjang. Perlahan-lahan ia maju ke arah penari laki-laki yang sedang bersiap-siap untuk berdiri menyambut kedatangannya. Tidak lama kemudian, muncul lagi tokoh yang mengenakan baju putih, topeng berwajah putih, dan rambut palsu berwarna putih juga. Aku tidak bisa menceritakannya satu-persatu karena ternyata mereka sangat bermacam-macam.

                Matahari semakin tenggelam, aku bisa merasakan angin yang bertiup semakin kencang. Langit juga terlihat mulai gelap sehingga api terlihat semakin jelas. Orang berbaju putih yang menyalakan api di awal pertunjukkan datang kembali ke tengah panggung. Kali ini dia duduk bersila berhadapan dengan salah satu tokoh di sana. Inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Api! Dia menyalakan api dan menyebarkannya di sekelilingnya membentuk sebuah lingkaran. Akhirnya aku merasakan kehangatan mulai datang.

                Namun, saat aku sedang menikmati hangatnya api itu, tiba-tiba dia melangkah keluar dari lingkaran sambil mematikan api dengan kakinya. Ya, dengan kakinya. Penonton langsung berteriak, ada yang langsung mengeluarkan ponsel yang baru saja dia masukkan ke dalam tas karena ia harus merekamnya. Tiba-tiba saja aku merasa tingkat ketegangan mulai naik. Pertunjukkannya mulai seru tapi juga cukup menyeramkan bagi aku yang baru pertama kali melihatnya. Demikian juga dengan beberapa murid perempuan yang sibuk berbicara di depanku.

                “Ihh, itu ga panas apa ya?”

                “Serem.”

                “Waduh.”

                Tapi aku melihat ada juga murid yang menikmatinya sampai matanya tidak berkedip dan mulutnya tidak menutup. Pertunjukkan itu masih terus berlanjut dengan acara kejar-kejaran. Ada juga beberapa orang yang ditarik maju ke depan untuk menari-nari bersama mereka. Aku benar-benar tidak menyesal telah menyaksikan pertunjukkan ini.

***

                “Sarah.”

                Baru saja aku beranjak beberapa langkah dari tempat duduk, seorang laki-laki memanggilku. Hans. Entah mengapa pikiranku langsung tertuju padanya. Aku menoleh ke belakang mencarinya namun yang aku lihat adalah Joshua yang sedang melambai-lambaikan tangannya memberi kode untuk aku mengarahkan anak-anak kembali ke bis. Rupanya itu hanyalah suara Joshua.

                “Sarah.”

                Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat, sepertinya di sebelah kananku. Aku menoleh ke sebelah kanan dan Hans sedang berdiri sambil tersenyum di sana.

                “Eh, Hans. Habis nonton pertunjukkan juga?” untung saja aku cepat mencari kata-kata.

                “Iya, kami duduk tidak jauh dengan rombongan kalian.” Ia berhenti sejenak lalu kembali berkata-kata, “Oh ya, perkenalkan ini Erina. Erina ini Sarah.”

                Sosok perempuan itu, yang aku lihat di bandara, dia memang datang bersamaan dengan Hans. Ternyata wajahnya sangat cantik dan matanya sangat besar, aku rasa dia jauh lebih dewasa daripadaku. Dan aku baru sadar bahwa dia sudah berdiri di samping Hans sejak tadi.

                “Oh, halo. Sarah.” Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman.

                “Halo. Erina.” Jabatan tangannya cukup kuat, aku yakin dia adalah orang yang pandai bergaul. “Tangan kamu dingin sekali.” Tiba-tiba saja dia bicara seperti itu.

                “Iya, enggak seberapa dingin sebenarnya. Cuma lupa bawa jaket.” jawabku sambil tersenyum dan langsung menggosok-gosok tangan seolah-olah dengan begitu tanganku menjadi hangat.

                Aku mendengar suara Irine dari kejauhan yang sedang menyuruh anak-anak untuk cepat masuk ke dalam bis. “Mm, maaf saya duluan ya. Sepertinya sudah ditunggu.” Aku tersenyum sekali lagi lalu berniat untuk membalikkan badan dan pergi tapi Hans malah memanggilku lagi.

                “Sarah, tunggu sebentar.”

                Aku tidak jadi membalikkan badan, dan sekarang aku menatap Hans dengan pandangan tidak sabar dan bertanya-tanya.

                “Ada yang mau saya bicarakan. Boleh minta kontak kamu?”

                Aku baru sadar, pastinya Hans memanggilku karena alasan tertentu dan aku tidak menanyainya daritadi. “Oh ya, boleh. Tentu saja.” Dengan cepat dia mencatat nomor ponselku lalu aku bergegas kembali ke bis yang ternyata memang sudah penuh.

***

                Malam itu, entah mengapa aku mennunggu-nunggu pesan dari Hans. Aku penasaran hal apa yang sebenarnya mau ia bicarakan. Selain itu, aku juga ingin mengobrol dengannya karena… mengobrol dengannya, mengingatkanku pada Harris.

                Blup blup blup blup

                Ponselku berbunyi, aku langsung melihat notifikasi bertuliskan: “Halo Sarah. Ini Hans.”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sampai Nanti
80      46     0     
Romance
Sampai nanti bukan jaminan, bahwa kau dan aku akan bertemu dengan saling merindu. ----- Baskara tidak pernah bermimpi akan bertemu Tiara, sosok yang mengubah hari-hari biasanya menjadi luar biasa; sosok yang mengajarkannya banyak hal. Bahwa kau bisa tampak malu-malu namun memiliki hati yang begitu berani. Bahwa kau bisa tampak lemah lembut, namun memiliki tekad sekuat baja. Kau bisa berharap, ...
Strange Boyfriend
4      4     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Dibawah Langit Senja
24      12     0     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
Bukan Kamu
138      49     0     
Romance
Bagaimana mungkin, wajahmu begitu persis dengan gadis yang selalu ada di dalam hatiku? Dan seandainya yang berada di sisiku saat ini adalah kamu, akan ku pastikan duniaku hanyalah untukmu namun pada kenyataanya itu bukan kamu.
Senja (Ceritamu, Milikmu)
75      67     0     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
krul
88      59     0     
Action
perjalan balas dendam seorang gadis yang berujung dengan berbagai kisah yang mengharukan,menyedihkan,menyakitkan,dan keromantisan,,,
Black Lady the Violinist
262      88     0     
Fantasy
Violinist, profesi yang semua orang tahu tidak mungkin bisa digulati seorang bocah kampung umur 13 tahun asal Sleman yang bernama Kenan Grace. Jangankan berpikir bisa bermain di atas panggung sebagai profesional, menyenggol violin saja mustarab bisa terjadi. Impian kecil Kenan baru kesampaian ketika suatu sore seorang violinist blasteran Inggris yang memainkan alunan biola dari dalam toko musi...
Warna Untuk Pelangi
117      53     0     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Salju di Kampung Bulan
12      8     0     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Alfabet(a) Cinta
120      68     0     
Romance
Alfa,Beta,Cinta? Tapi sayangnya kita hanya sebatas sahabat. Kau yang selalu dikelilingi wanita Dan kau yang selalu mengganti pacarmu setiap bulannya