Ini bukan malam yang biasa pastinya buat Youga. Sudah lima kali dia sempat mengganti pakaiannya. Hingga akhirnya, kemeja flannel biru berlengan panjang hitam kotak-kotak, dengan bawahan jeans hitam yang jadi pilihannya. Tak sejengkal pun bagian tubuhnya dibiarkan lewat dari semburan minyak wangi milik Hendi, membuat semerbak harumnya dapat tercium hingga sejauh sepuluh meter. Membaluri rambut dengan hair gel, adalah sesi terakhir dari ritualnya berdandan.
“Widih… ganteng kali rupanya Abangku ini! Mau syuting sinetron di mana, Bang?” gurau Hendi, yang baru saja kembali dari warung membeli kopi.
“Lho, anda yakin mau pake baju kayak gitu?” Youga bingung melihat Hendi hanya mengenakan pakaian santai seperti biasanya saat di rumah. “Oh, Man… jangan malu-maluin gue dong....”
“Lho, memangnya saya diajak juga, Pak?”
“Lha, gimana sih? Ya iyalah... masa gue jalan sendiri?”
“Lha, kirain saya nggak diajak!”
“Akh… udah cepetan, ganti baju. Aduh… bisa telat kalau begini caranya.”
“Siap, Pak,” tukas Hendi tampak antusias, lalu bergegas mendekati lemari untuk menganti bajunya.
“Eh, tapi motor lo ada bensinnya, kan?” lanjut Youga, sementara dia telah duduk di atas kasur mengistirahatkan kedua kakinya, lantaran sudah terlalu lama berdiri di depan cermin.
“Tenang Bro, tadi gue nemu duit gocap di bawah tumpukan baju gue di lemari! Yah, kalo buat beli bensin sama jajan kuaci, cukup lah....”
Tepat pukul 18:30 mereka pun berangkat. Tentu cukup cepat mereka sampai di lokasi, karena Youga sudah sasang hafal jalannya.
Namanya juga mansion, sudah tentu mewah. Sandra memang berasal dari keluarga yang terbilang cukup berada. Bahkan sebenarnya mansion ini hanyalah salah satu dari rumah milik papahnya. Sejak lama, Youga memang mengkhawatirkan hal ini. Tapi entahlah? Seperti halnya yang dilakukan banyak orang di zaman now ini, mungkin dia juga ingin ikut membuktikan, bahwa perbedaan kasta bukanlah lagi menjadi penghalang untuk saling mencintai?
Seperti biasanya, Sandra selalu terlihat anggun dengan pakaian apapun. Dia tampak begitu sumringah saat melihat kedatangan Youga, membuat Youga merasa seakan terbang ke kelangit. Mereka berdua pun langsung ditutun masuk keruang tamu.
Di ruang tamu sudah ada lima orang yang datang lebih dulu, yang tak lama kemudian disusul empat orang lagi, sehingga jumlah selurunya menjadi dua belas orang. Tapi tentu itu bukanlah jumlah keseluruhan dari anggota UKM teater mereka.
“Berhubung semua yang diundang sudah hadir, bagaimana kalau kita mulai saja acaranya?” ucap Aprizal yang terlihat begitu tampan malam ini, membuat Youga rasanya harus berpikir seribu kali untuk coba mengalahkannya.
Mendengar itu, semua segera terdiam sembari menegakkan posisi duduk. Bahkan si gembul Luna yang tengah asyik menikmati wafer coklatnya pun segera berhenti, kemudian pasang muka serius. Aprizal memberi sambutan seraya membuka acara. Kata-kata sambutan yang di sampaikannya cukup panjang dengan gaya bahasa formal, hingga pastinya membuat beberapa orang tampak bête menyimaknya. Terlebih Youga dan Hendi tentunya.
“Sebelumnya, saya mewakili teman-teman yang lain, mengucapkan terima kasih banyak kepada saudara Youga, yang mana telah bersedia untuk bergabung kembali dalam unit kegiatan teater kita ini. Emm… Bang Youga. Bagaimana? Apa sudah ada gambaran untuk lakon yang akan kita mainkan nanti?” jelas Aprizal.
Mendengar pertanyaan itu, Youga pun terkejut, karena sebelumnya dia memang tak pernah diberitahu tentang masalah pembuatan lakon tersebut.
“Lho, bukannya tinggal sebulan lagi acaranya? Kenapa lakonnya belum juga di tentukan?” sahut Youga mengernyit dengan gaya sok asyik.
“Itu dia Bro…,” Aprizal terus pasang muka serius. “Sebenarnya sih beberapa waktu yang lalu kami sudah menemukan beberapa lakon, bahkan sudah sempat dibuatkan sebagian naskahnya. Tapi, setelah kita timbang-timbang kembali, rasanya belum ada yang benar-benar cukup bagus untuk kita mainkan. Nah, maka dari itu, tentunya kami sangat berharap penulis sehebat anda dapat mengatasinya.”
“Ya, kalo mendadak kayak gini sih, pastinya gue belum punya gambaran. Emm… mungkin Ibu Sandra punya gagasan untuk temanya?” Youga menatap Sandra, Mupeng.
“Emm, sudah dari beberarapa bulan yang lalu, kita sih sepakat mau mengangkat cerita yang bertemakan, cinta.” Sandra tersipu malu saat mengucapkan kata terakhirnya.
“Waw…,” Youga melotot. “Oke, emm... kalau begitu, nanti saya akan coba buat deh!”
“Kalau bisa secepatnya yah, Bro. Tahu sendri kan? Waktunya sudah sangat sempit,” balas Aprizal.
“Ya, gue usahakan!”
Di tengah mereka semua masih asyik berdiskusi, tiba-tiba dari arah dalam muncul bapak-bapak berbadan tegap, berkumis tebal, berwajah sangar. Rupanya pria itu adalah papahnya Sandra, yang kemudian membuat Aprizal langsung mendekatinya untuk memberi pernghormatan mencium tanganya. Dari gosip yang beredar di kampus, papahnya Sandra yang bernama Raden Noorman ini adalah seorang pejabat kepolisian. Yah, kalau dilihat dari wajah sangarnya sih, sepertinya gosip itu memang benar adanya.
“Apa kabar, Om?” sapa Aprizal sok akrab.
“Hmm,” sahut Noorman, bersuara namun bibirnya mingkem. Sempat sekejap dia sedikit membuka senyumnya, tapi kemudian kembali terlihat garang. “Sedang kumpul-kumpul dalam rangka apa ini?” tanya Noorman dengan nada cukup tegas.
“Ini Om, kita lagi meeting untuk acara pertunjukkan teater di kampus!” Seru Aprizal dengan gaya kerennya seperti yang sudah-sudah.
“Tidak ada yang aneh-aneh, kan?” lanjut Noorman sambil memelintir ujung kumisnya sebelah kanan.
“Ya nggak ada lah Om!” Sahut Aprizal, dan nampaknya memang hanya dia yang berani menjawabnya.
“Tidak ada yang pakai narkoba, kan?”
“Ih, Papah apaan sih, pake nanya yang aneh-aneh segala,” Sandra tampak sebal. “Udah sana, di dalem aja.”
Tapi Noorman tampak tak peduli dengan ucapan Putrinya itu, justru wajahnya malah semakin terlihat garang.
“Siapa diantara kalian yang bernama Muhammad Youga?” tegas Noorman terdengar begitu keras suaranya.
Sudah pasti Youga begitu terperanjat. Seketika saja pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.
“E, saya Pak,” sahut Youga pelan sembari mengangkat sebelah tangan.
“Kamu ikut saya ke dalam, saya mau bicara sama kamu,” tukas Noorman sembari menunjuk tepat ke arah wajah Youga. Lalu dia pun bergegas melangkah kembali ke dalam.
Para peserta meeting cengar-cengir menatap Youga saat dia mulai berdiri untuk menyusul Noorman. Bibirnya terdiam, dahinya terus mengkerut. Tapi tentu dia tidak merasa takut, karena dia memang bukanlah seorang pengecut. Awalnya dia sempat berniat untuk menitipkan sementara sepatu bututnya kepada Hendi, namun setelah dipikir lagi, rupanya dia malah lebih khawatir bila sepatu itu terlalu jauh dari pengawasannya, sehingga dia pun tetap terus menggendong tas selepangnya.
“Ada pesan-pesan terakhir, Mas?” ledek Murodi saat Youga mulai melangkah, membuat yang lain serempak tertawa lebar kecuali Sandra.
Tak ingin terjadi sesuatu yang buruk menimpa Youga, Sandra bergegas mengambil inisiatif menemaninya untuk masuk ke dalam. Pasalnya dia tahu betul, bila papahnya sedang marah, bisa makan orang.
“Ada masalah apa sih, San?” bisik Youga saat mereka mulai masuk ke dalam.
“Mana kutahu? Justru aku yang mau tanya sama kamu, ada urusan apa sama Papah?”
“Apa lagi saya, orang ketemu aja baru kali ini kok.”
“Sudah, pokoknya kalau Papah aku marah-marah, kamu jawab, iya aja. Pora-pora nurut gituh.”
Sandra terus mendampingi Youga sampai masuk ke ruangan kerja papahnya. Ruangan itu nampak cukup luas, ber-design begitu persis dengan ruang kantor pada umumnya. Noorman terlihat telah duduk di belakang meja kerjanya, yang sementara tengah sibuk membaca sebuah berkas miliknya. Melihat Youga dan Sandra datang berduaan, dan bahkan saling berdekatan, membuat Noorman kembali terlihat garang.
“Kamu keluar dulu sayang,” Noorman menyuruh Putrinya dengan nada sedikit lembut. “Papah mau bicara empat mata sama dia.”
“Ada apa sih, Pah?” Sandra tampak kesal.
“Papah mau ngomong sesuatu yang penting sama si Youga ini, jadi kamu keluar dulu.”
“Nggak,” tolak Sandra makin terlihat kesal.
“Sudah, cepat keluar, jangan sampai Papah marah sama kamu nanti,” Noorman sedikit menaikkan nada bicaranya.
Terlalu takut Papahnya marah, Sandra pun segera keluar. Tentu dia bertambah kesal, hingga sempat sedikit membanting pintu saat menutupnya kembali.
“Kamu, duduk,” Noorman menyuruh Youga untuk menempati kursi yang di sediakan tepat di depan mejanya. “Benar kamu yang bernama Youga?”
“Betul Om,” sahut Youga menunjukkan sikap santun, sementara matanya tak ragu menatap wajah Noorman.
“Saya kasih tahu yah sama kamu,” Noorman nada bicaranya kembali meninggi. “Saya tidak mengizinkan Sandra untuk berpacaran selama masih kuliah. Dan perlu kamu pahami, saya sudah menyiapkan calon suami untuknya. Jadi setelah lulus nanti, mereka akan langsung saya nikahkan, mengerti.”
Youga pun kebingungan menafsirkan maksud dari ucapan Noorman tersebut. Menurutnya, tidak ada hubungan sama sekali antara penjelasan itu dengan dirinya. Karena begitu jelas, sementara ini hubungan mereka hanyalah sebatas teman. Bahkan mungkin masih belum terlalu pantas disebut teman.
“E… tapi Om?”
“Akh… tidak ada tapi-tapian,” potong Noorman membentak. “Pokoknya, mulai saat ini kamu harus jauhi Sandra.”
“E… tapi, kalau cuma sekedar berteman, boleh kan, Om?”
“Kamu ini ngerti ucapan saya nggak, sih? Sudah, pokoknya kamu tidak usah membantah.”
“E, iya Om,” sahut Youga coba menurut saja, sekalipun masih tetap bingung.
Noorman sempat terdiam sejenak, namun terus menatap Youga dengan sorot mata tajamnya.
“Selain kuliah, apalagi kegiatan kamu sehari-hari?” Noorman kembali berucap, namun mulai tampak sedikit menurunkan nada bicaranya.
“Emm, menulis novel fiksi, Om!”
Belum sempat berucap kembali, tiba-tiba handphone milik Noorman bordering, sehingga dia pun segera mengangkatnya. Obrolan Noorman dengan si penelepon terdengar cukup serius, yang terdengar seperti urusan pekerjaannya di kepolisian. Cukup lama Youga dicueki, membuatnya merasa begitu bete. Tak lama kemudian Noorman menutup teleponnya, lalu kembali menatap Youga.
“Saya ada pekerjaan buat kamu,” lanjut Noorman terdengar serius.
Youga terdiam, mempertimbangkan tawaran Noorman.
“Mau nggak?” bentak Noorman sambil menggebrak mejanya sekali, karena kesal melihat Youga terlalu lama melongo.
“E, iya.”
“Yang jelas dong kalao mongong,” Noorman kembali membentak.
“Iya, mau Om,” Youga terpaksa menurut.
“Saat ini kami pihak kepolisian sedang bekerja sama dengan BNN, menangani sebuah kasus jaringan peredaran narkoba di kampus-kampus, termasuk di tempat kamu kuliah. Kami sudah mengetahui dua orang mahasiswa yang kami telah pastikan berperan sebagai kurirnya. Satu orang sudah kami tangkap, namun ternyata percuma. Sepertinya skema yang mereka terapkan begitu rapi, membuat kami tetap kesulitan untuk dapat melacak keberadaan badar besarnya.”
“E… terus, kira-kira tugas saya apa yah, Om?” potong Youga terlalu malas mendengarkan penjelasan yang bertele-tele.
“Kamu saya tugaskan menjadi intel,” jelas Noorman menampilkan ekspresi begitu serius.
Youga tersentak, refleks menarik kepalanya sedikit kebelakang sambil melotot. “E, nggak salah Om?”
“Maksud kamu, saya ini goblok, gitu?” bentak Noorman melotot.
“E, bukan gitu Om. Emm, maksud saya, apa Om yakin mau menugaskan saya? Saya ini kan cuma mahasiswa biasa seperti yang lainnya, dan sama sekali nggak ngerti apa-apa soal intel-intelan.”
“Kalo nggak ngerti ya tanya dong... gitu aja kok repot,” Noorman lagi-lagi membentak. “Atau jangan-jangan, sebenarnya kamu takut?”
Youga cuma nyengir sambil garuk-garuk kelapa, terlalu bingung harus berkata apa.
“Sudah, pokoknya kamu tenang saja, tidak ada yang perlu ditakutkan. Saya sudah mengatur semuanya. Kalau kamu melakukannya dengan benar seperti yang saya perintahkan, semua bakal aman.”
“E, ya udah deh Om, siap,” sahut Youga sambil menganggukkan kepalanya sekali.
“Yang tegas dong... jadi laki-laki kok lembek banget, sih.”
“Siap, Pak!” Tegas Youga membuka matanya lebih lebar.
“Nah, gitu dong....”
Setelah itu, Noorman pun menjelaskan rencananya dengan sangat detail, dan pastinya bertele-tele, hingga menghabiskan waktu hampir 2 jam. Namun di sisi lain Youga merasa sedikit gembira, karena Noorman sempat sedikit membuka senyumnya.
Keluar dari ruang kerja Noorman, Youga kembali ke ruang tamu. Rupanya sebagian besar peserta meeting sudah pulang, yang tersisa hanya; Aprizal, Hendi dan juga Sandra tentunya. Mereka bertiga tampak cemas menatap Youga, namun Youga hanya terus meperlihatkan sikap biasa seakan tidak ada masalah apa-apa.
“Ada masalah apaan sih, Bro?” ujar Hendi, sementara Youga sudah kembali duduk di sebelahnya.
“Woles Bro… nggak ada apa-apa!”
“Nggak ada apa-apa kok lama banget, sih?” ucap Sandra, pastinya yang terlihat paling cemas.
Belum sempat Youga memberi alasan kepada Sandra, Aprizal pun menyela, “ditanya-tanya apa sama Papahnya Sandra?”
“Tidak ada apa-apa… beliau cuma menyampaikan tausiah-nya saja kok!” Seru Youga berdusta, yang pastinya si Sandra sebagai putrinya 100% nggak mungkin percaya.
“Wih, enak dong, malem-malem dapet wejangan!” Ledek Hendi nyengir.
“Emm, oh iya, bagaimana hasil meeting-nya?” Youga coba mengalihkan pembicaraan.
“Pastinya kami tinggal menunggu ide cerita dari anda,” sahut Aprizal.
“Oke deh. Kalau begitu, berhubung malam sudah larut, kami pamit,” Youga langsung berdiri, lalu mengajak Aprizal dan Sandra untuk berjabat tangan.
Sandra sempat mengantar Youga dan Hendi sampai ke halaman, sementara si Aprizal tampaknya masih ingin berlama-lama, sehingga dia tetap duduk di ruang tamu.
“Yakin Ga, nggak ada apa-apa?” tanya Sandra masih khawatir saat Youga telah naik di atas bocengan sepeda motor Hendi.
“Nggak ada apa-apa Mbak…,” sahut Youga memberinya senyum lembut.
“Maaf yah… Papah aku memang suka aneh orangnya.”
“Ya cocok lah… saya juga kan orang aneh, hehehe!”
Setelah ritual pengucapan dan pembalasan salam, Youga dan Hendi pun bergegas pergi. Berhubung kondisi keuangan mereka masih dalam keadaan kritis, usai menghadiri meeting tentu tak ada rencana yang lain. Dengan kecepatan penuh, Hendi langsung mengarahkan laju motornya menuju ke rumah kos mereka.
* * *
Hari ini kebetulan jumat malam sabtu, tentunya besok kuliah libur. Saat ini jam dinding kamar baru menunjukkan pukul sepuluh lewat seperempat, pastinya masih terlalu sore buat mereka berdua untuk segera tidur. Mereka pun mengisi malam dengan bersantai sambil menikmati kopi panas di dalam kamar. Mereka duduk berdekatan di lantai beralas tikar. Hendi sibuk memainkan handphone-nya, sementara Youga memetik pelan tali-tali senar gitarnya.
“Apa sebenarnya yang telah terjadi antara anda dan Pak Raden Noorman?” ucap Hendi setelah sempat tiga kali menyeruput kopi hitamnya yang masih panas. Tentu dia paham, tidak mungkin tidak ada masalah yang serius antara mereka.
“Intinya sih, menurut gue, bokap-nya Sandra salah paham mengira kalo gue adalah cowoknya Sandra. Dia nyuruh gue supaya jauhin Sandra,” jelas Youga sambil terus memetik gitarnya.
“Waduh, kalau begitu sih, artinya anda sudah kalah sebelum berperang, Pak!”
“Yah, seperti itu lah kira-kira, Mas.”
“Emm… tapi, atas dasar apa dia bisa menyimpulkan kalo lo itu cowoknya Sandra? Yang gue tahu, selain hari ini, bukannya lo nggak pernah ngobrol panjang lebar sama dia. Apalagi sih sampai jalan berduaan.”
“Meneketehe? Namanya juga salah paham.”
“Iya juga sih… emm, terus, apa lagi? Apa cuma itu doang?”
Sebenarnya Youga agak ragu untuk menceritakan tugas penting yang diberikan Noorman. Dia takut untuk melibatkan Hendi dalam tugas yang menurutnya sangat berbahaya itu. Tapi setelah dia pikir-pikirnya lagi, dukungan dari sahabat dekatnya juga sepertinya sangat penting. Yah, paling tidak dia bisa sedikit mendapat masukkan darinya.
“Selain itu, gue juga diberi sebuah tugas penting,” jelas Youga sembari merebahkan gitarnya di lantai. “Gue sendiri sih ragu bisa melakkunnya atau nggak? Tapi, berhubung tadi gue nggak punya pilihan, ya mau nggak mau terpaksa gue menyanggupinya.”
“Tugas apaan sih?” Hendi begitu penasaran.
“Dia nyuruh gue jadi intel.”
“Buset,” Hendi terperanjat dengan mata terbelalak.
“Katanya di kampus kita ada kasus peredaran narkoba. Jadi gue disuruh pura-pura ikut masuk ke dalam jaringan itu, alias pura-pura ikut jadi pengedar. Atau minimal jadi kurir lah….”
“Wih, kayaknya seru nih!” Hendi telihat begiru bersemangat.
“Seru pala lo peyang… ini taruhannya nyawa tau nggak?” tegas Youga melotot.
“Ya, selama kita bisa bermain rapi, tentu semuanya akan berjalan dengan mulus. Kalo masalah resiko sih, kan lo sendri yang pernah bilang ke gue: setiap langkah yang kita pilih dalam hidup ini, semuanya mengandung konsekuensi.”
“Kita…? Siapa yang ngajak lo ikut?” tukas Youga berharap Hendi tak perlu ikut campur.
“Maksud lo, gue cuma lo suruh ngeliatin doang aksi menantang yang begitu menarik ini? Ya, gue ngerti. Lo khawatir kan, dengan keselamatan sahabat lo yang unyu ini!”
“Pede banget lo… justru gue takut, kalo lo ikut-ikutan, urusannya malah jadi runyam.”
“Waduh, kalo kayak gitu sih, lo ngeremehin gue namanya,” Hendi pasang wajah lebih serius. “Asal lo tau Bro, menjadi seorang detiktif, adalah impian gue sejak kecil. Gue sudah membaca berbagai macam buku tentang detektif, termasuk juga nonton film-filmnya. Singkatnya, dalam aksi ini, lo amat sangat membutuhkan pengetahuan gue.”
“Gue bukan disuruh jadi detektif, tapi jadi intel.”
“Yah, intinya sama aja lah... sama-sama memecahkan sebuah misteri, ya kan?”
“Tapi ini bukan main-main, Bro. Ini real, nyata. Bukan seperti di dalam cerita manga atau anime Jepang kesukaan lo itu.”
“Ya, paling nggak kan kita jadi punya referensi dalam melakukan setiap aksi.”
Youga sempat terdiam cukup lama, terus mempertimbangkan sikap Hendi yang kekeh itu.
“Emm... oke deh, kalo memang itu keinginan lo,” Youga akhirnya berubah pikiran. “Lagipula, rasanya gue emang nggak mungkin bisa beraksi sendirian. Gue memang sangat perlu bantuan lo. Tapi inget yah, lo jangan sampai bertindak gegabah. Jangan sampai kita berdua mati konyol.”
“Siap, Pak!” Tegas Hendi sembari memberi isyarat hormat dengan tanganya. “Emm… terus, kira-kira kapan kita mulai beraksi?”
“Besok.”
“Mantap. lebih cepat lebih baik!”
“Besok pagi-pagi kita akan pura-pura jari buyer. Barang yang dipesan, satu paket sabu-babu.”
“Lokasinya dimana?” potong Hendi.
“Lo tau kan, Warkop (warung kopi) terpencil yang nggak jauh dari kampus kita?”
“Iya, tau gue.”
“Iya, di situ lokasi transaksinya. Dan jangan sampai lupa, kodenya, ‘kue’.”
“Oh gitu, oke… Emm, terus, kira-kira gimana caranya kita bisa masuk ke dalam jaringan mereka?”
“Ya, kita coba ngomong aja langsung ke kurirnya.”
“Lha, yakin lo?” Hendi melogo.
“Ya, dicoba aja dulu. Kalo urusan gagal kan biasa! James Bone aja misinya nggak langsung berjalan lancarkan, kan!”
“Tapi kalo kayak gitu, kemungkinan berhasilnya sangat kecil, Bro?”
“Ya, mau gimana lagi? Emang lo ada ide yang laen?”
“Emm...?” Hendi terdiam, berlaga mikir.
“Ada nggak?” Youga bete melihat Hendi yang kelamaan sok mikir.
“E... sementara, kita coba rencana lo aja dulu deh!” Hendi nyengir.
Mereka terus mengobrol serius hingga tengah malam. Saat tepat pukul satu dini hari, mereka berdua pun memutuskan untuk segera tidur.
* * *
Pagi ini cuaca mendung. Gelap menggelayut di langit Jakarta. Rintik-rintik gerimis yang tak kunjung reda sejak pukul empat subuh tadi, membuat udara terasa begitu dingin menusuk tulang. Tak ada apapun yang bisa dimakan sebagai sarapan, bahkan stok mie instan yang disiapkan untuk satu bulan pun hanya menyisakan dus kosong. Hanya satu cangkir kopi hitam yang diminum bergantian yang sedikit mampu menghangatkan tubuh dua calon sarjana hukum yang tampak menyedihkan itu.
Sekalipun hari ini tak sepeser pun uang mereka miliki, namun tangki sepeda motor Hendi telah diisi full semalam, sehingga mereka tetap bisa melakukan aksi. Sesuai rencana, tepat pukul delapan pagi, mereka bergerak menuju lokasi transaksi.
Sabtu pagi tentu jalan raya lebih lengang dari biasanya, membuat mereka bisa cukup cepat sampai di lokasi. Warkop terlihat sederhana terbuat dari bambu. Tak ada bangunan lain di kanan dan kirinya, sementara di belakangnya hanyalah kebun luas yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar berdaun rimbun. Kondisi Warkop sementara masih tampak sepi pembeli, hanya terlihat dua orang bapak-bapak tukang ojek online saja yang tengah asyik berbincang di dalamnya. Lantaran tak punya uang untuk membeli sesuatu, mereka berdua memilih duduk di atas motor yang diparkir berjarak lima meter dari depan pintu Warkop. Beruntung pohon besar yang berdiri di belakang mereka berdaun cukup rimbun, membuat mereka dapat sedikit terlindung dari rintik-rintik hujan yang sejauh ini tak jua kunjung reda.
Tak seperti yang diprediksikan. Sudah hampir dua jam waktu berlalu, namun belum juga terlihat pengujung lain yang datang ke Warkop itu. Tapi mereka berdua sepakat untuk tetap terus bersabar, karena apa pun yang terjadi, rencana harus tetap berjalan lancar.
Selang 30 menit kemudian, dari kejauhan tiba-tiba terlihat sesosok pria muda tampak berjalan kaki mendekati Warkop. Dari jauh, pria yang menenteng sebuah tas cukup besar sambil menutupi kepalanya dengan payung merah itu sudah menunjukkan sikap mencurigakan. Dia terus saja memperhatikan Youga dan Hendi. Bahkana ketika dia tengah melintas di hadapan mereka, pemuda itu sempat sekilas melirik ke arah mereka. Segeralah mereka berdua menyimpulkan, bahwa pria inilah orang yang mereka tunggu-tunggu.
“Mau nganter kue yah, Mas?” ujar Hendi menyampaikan kode, sementara pria itu sudah lewat tiga langkah darinya.
Pria itu pun berhenti, lalu menoleh sambil tersenyum. “Iya Mas!”
Hendi segera melambaikan tanganya, mengajak pria itu agar medekat.
“Boleh dilihat dulu barangnya?” lanjut Hendi saat pria itu telah berdiri tepat di hadapannya.
“Barang?” sahut pria itu mengkerutkan dahi.
“Ops, Sorry! maksud saya, kuenya!”
“Oh…,” pria itu kembali tersenyum. “Kenapa nggak di dalam warung saja, Mas? Biar lebih enak.”
“Di sini aja Bro, di dalem lagi ada pengunjung,” balas Hendi pasang muka serius.
“Lho, memangnya kenapa? Malu yah...! Santai aja lagi, di sini sudah biasa kok!”
Hendi dan Youga saling menatap, seakan saling meminta pendapat.
“Ayo, di dalam saja,” ajak pria itu, yang kemudian langsung kembali melangkah menuju Warkop.
Youga dan Hendi kembali saling menatap, hingga akhirnya mereka serempak menganggukkan kepala, lalu bergegas mengukuti pria itu.
“Wah, ini dia yang ditunggu-tunggu,” kata salah seorang tukang ojek online, saat pria yang membawa tas itu baru saja masuk ke dalam Warkop.
Pria itu segera membuka tasnya, lalu mengeluarkan sesuatu yang dibungkus dengan plastik besar berwarna hitam. Sementara itu Youga dan Hendi sudah berdiri tepat di sebelah kirinya.
“Baru mateng, masih anget!” Seru pria itu sembari mengeluarkan isi plastik yang kemudian ditumpahkannya ke atas nampan lebar yang telah disediakan di atas meja. Ternyata isi kantung plastik itu adalah bakwan, tahu isi, serta risol. Lalu dia juga mengeluarkan isi tasnya yang lain, yang rupanya berisi kue kelepon, bolu kukus, dan juga kue cucur.
Youga dan Hendi kembali saling menatap, namun kali ini sambil melotot dan menganga. Ya, tentu jelas, pria ini bukanlah kurir narkoba yang sejak tadi mereka nanti-nanti. Setelah menyadarinya, mereka pun bergegas kembali keluar.
“Itu sih kurir kue beneran, Bro,” gumam Youga tampak kecewa.
“Sepertinya demikian Pak,” sahut Hendi sambil menahan tawa.
“Lho Mas, nggak jadi beli kuenya?” ujar pria pengantar kue memunculkan kepalanya di pintu Warkop.
“Nggak jadi Mas,” sahut Hendi tanpa menoleh sambil mengangkat tangan.
Saat mereka hampir sampai kembali ke tempat semula, tiba-tiba dari jauh mereka kembali melihat seorang pria yang juga tengah berjalan kaki menuju Warkop. Rupanya pria itu adalah teman kuliah mereka yang bernama Tom. Sebenarnya sih, nama aslinya Karsiman, dipanggil Tom karena memang ada tompel besar dan berbulu lebat pada keningnya sebelah kiri.
“Woy, Tom,” sapa Youga sambil mengangkat sebelah tangan saat Tom masih berjarak sekitar lima meter mendekatinya.
“Yo…,” balas Tom juga mengangkat tangan sambil manaikkan kedua alisnya. “Wih, tumben lo berdua pada nongkrong di sini?” lanjut Tom saat telah berhenti tepat di hadapan Youga dan Hendi yang sementara telah kebali duduk di atas sepeda motor.
“Lagi nyari suasana baru aja, Bro…!” Seru Youga bergaya slow. “Nah, lo sendiri ada urusan apa pagi-pagi ke Warkop terpencil ini sendirian?”
“Gue mau ketemuan,” sahut Tom santai.
“Wih, sama cewek pasti, yah?” balas Hendi, membuka matanya lebih lebar.
“Bukan.”
“Kalo bukan cewek, pasti urusan bisnis,” Hendi kembali coba menebak.
“Gitu deh…!”
“Wih, ajak-ajak dong!” Seru Youga, ngarep.
“Ah, cuma bisnis kecil-kecilan, Bro!” Sahut Tom sambil menggeser layar touchscreen handphone lebarnya. “Emm… kok, lo pada duduk di sini, sih? Kenapa nggak masuk ke dalem Warkop aja?”
“Sebenernya kita juga lagi nunggu orang,” jelas Youga.
“Oh ya… siapa? Cewek? Atau urusan bisnis juga?”
“Kurang lebih seperti itu lah!” Youga turun dari motor untuk merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. “Tapi nggak tau juga nih, orangnya bakal dateng apa nggak? Padahal kita janjiannya jam 9, sekarang udah hampir jam 12, tapi belum kelihatan juga batang hidungnya.”
Tiba-tiba Tom terlihat terkejut mendengar penjelasan Youga. “E… jangan-jangan lo berdua yang pesen kue, yah?”
Mendengar itu, Youga dan Hendi pun terperanjat, karena pastinya tidak salah lagi, Tom lah sang kurir yang sejak tadi mereka nanti-nanti.
“Oh, ternyata lo kurirnya,” lanjut Youga, sementara Hendi telah ikut berdiri tepat di sebelahnya.
“Hus... jangan kenceng-kenceng, bego,” bentak Tom dengan suara pelan.
“Kalau dari kemaren gue tahu lo yang jadi kurirnya sih, mending kita minta dikirim langsung ke kos-kosan aja, jadi kita nunggunya bisa sambil santai di kamar,” Youga merendahkan volume suaranya.
“Tetap nggak bisa begitu Bro, karena yang nentuin lokasi transaksi adalah bandarnya.”
“Ya udah, terus gimana?” ucap Youga sembari merogoh kantung celananya, bersiap segera melakukan transaksi.
“Nanti dulu Bro, gue belum megang barangnya.”
“Lha, gimana sih?” Youga nampak kecewa.
“Jadi begini Bro. Emm… pertama lo harus ngerti dulu. gue ini cuma kurir, bukan pengedar, jadi lo nggak bisa nyalahin gue. E… sebenernya sih ini baru yang pertama kali terjadi. Biasanya tuh kalo gue disuruh ngirim pagi-pagi, malemnya barang udah ada di gue. Tapi entah kenapa hari ini agak aneh? Tadi jam 5 subuh, tiba-tiba gue dapet telepon disuruh ngambil barang untuk langsung segera dikirirm. Sialnya, sampe tengari bolong tuh barang belom juga nyampe. Lo berdua sih masih mending nunggu dari jam 9, nah gue, dari jam 6 pagi udah ngejogrog di samping kuburan. Mana gerimis kagak berenti-berenti lagi.”
“Terus, jadinya gimana?” ucap Youga terus berlaga kecewa.
“Tenang Bro. Tadi sekitar jam 10 gue ditelepon lagi. Gue disuruh dateng ke mari. Katanya nanti Bos besar gue langsung yang bakal bawain barang pesanan kalian.
“Jam berapa kira-kira?” Balas Youga sambil menatap jam tangannya.
“Ya, sebentar lagi lah....”
Mereka bertiga pun menunggu. Mereka memilih duduk di atas akar pohon yang menonjol kepermukaan tanah yang juga masih dekat dengan sepeda motor Hendi. Dalam pikirannya, Youga sibuk menyusun kata-kata, tentunya agar kondisi bisa berjalan cepat sesuai rencana. Biar bagaimanapun dia ingin tugas berbahaya ini cepat selesai.
“Eh, lo udah pada ngopi?” Tom kembali membuka obrolan.
“Udah Bro,” sahut Youga basa basi.
“Yakin nih? Kalo belom, gue pesen tiga nih? Tenang, gue yang bayar!”
“Nggak usah Bro… perut gue udah nggak enak nih, kebanyakan ngopi!” seru Youga kembali basa basi. Sebenarnya perutnya memang terasa nggak enak, tapi tentunya karena lapar.
Tom pun berteriak ke arah Warkop, agar segera dibuatkan kopi untuknya.
“Emm, gimana, Bro? Asyik nggak kerjaan lo ini?” gumam Youga mulai menjalankan rencana.
“Yah… di mana-mana yang namanya kerja mah nggak ada yang enak, Bro....”
“Gini Bro. Emm, semanjak gue jadi pemake, keuangan gue berubah jadi kacau balau. Jatah bulanan yang dikirim Nyokap gue, jadi nggak cukup buat nutupin kebutuhan sehari-hari. Bahkan hutang gue di luar sana udah sampe nggak kehitung jumlahnya. E... initinya sih, saat ini kami berdua lagi butuh banget kerjaan.”
“Maksud lo, kalian berdua mau ikutan jadi kurir kayak gue juga, gitu?” Tom membuka matanya lebih lebar.
“Gitu deh,” balas Youga sambil menampilkan wajah memelas.
“Lo kira gue lagi main petak umpet apa pake mau ikutan segala. Udah, jangan macem-macem lo berdua,” tegas Tom tampak gusar.
Sepertinya Tom langsung mencurigai Youga dan Hendi sebagai intel polisi. Ya, dia memang sudah cukup lama berkecimpung di bisnis terlarang itu, sehingga dia paham betul cara-cara intel saat coba ingin masuk ke dalam jaringan. Apalagi temannya belum lama sudah tertangkap.
“Jangan gitu dong, Bro...,” Youga belum mau menyerah. “Kalo bukan temen, siapa lagi yang mau batu gue? Masa lo tega gue kerja sampingan jadi kuli bangunan? Bisa makin susah aja deh gue dapet cewek!”
“Bukan katanya lo itu penulis?”
“Ah, udah susah sekarang, banyak saingan! Lagipula, penghasilan dari menulis novel itu nggak seberapa, Bro….”
Setelah itu si Tom terdiam sambil berlaga khusyuk memainkan handphone-nya. Sepertinya dia memang sudah tak mau membahas permintaan Youga. Tak lama kemudian, sebuah mobil APV berwarna silver berhenti di pinggir jalan yang tak jauh dari depan Warkop. Kaca depan sebelah kirinya perlahan terbuka, Tampaklah seorang pria gondrong melambaikan tangan seraya memanggil Tom agar segera datang mendekat.
Tom pun bergegas memenuhi panggilan. Dia sempat mengobrol cukup lama dengan pria gondrong itu, yang kemudian dia melambaikan tangan ke arah Youga dan Hendi seraya mengajak mereka untuk juga datang mendekat.
“Kalian yang pesen kue, yah?” kata si pria gondrong dengan senyum begitu ramah kepada Youga dan Hendi.
“Betul Bang,” Sahut Youga juga menunjukkan sikap ramahnya.
“E… kita nggak bisa transaksi di sini. Kalau kalian masih berminat, ayo ikut kami untuk berpindah lokasi.
“Oke,” Youga langsung setuju.
“Kalau gitu, naik deh,” si pria gondrong mengajak Youga dan Hendi untuk segera ikut naik ke mobil.
“E… kebetulan kami bawa motor Bang. Kami ngikutin dari belakang aja, yah?”
“Oh, ya sudah kalau begitu!” Seru si pria gondrong sambil menampilkan senyum yang begitu lembut, lalu bergegas menutup kembali kaca mobilnya.
Tom rupanya juga ikut naik ke dalam mobil, setelah Youga dan Hendi tampak siap di atas motornya, mereka pun bergerak.
* * *
Saat ini gerimis memang telah reda, namun awan hitam masih tetap menutupi cahaya, sehingga walau sudah tepat tengah hari, suasana masih terasa gelap laksana sore. Pergerakan mobil APV itu cukup cepat, membuat Hendi tampak serius mengemudikan motornya agar tak kehilangan jejak. Beruntung curah hujan yang sejak subuh tadi tidak terlalu deras, sehingga tak terlalu banyak genangan air yang mengganggu perjalanan.
“Apa lo nggak merasa ada yang janggal?” ucap Hendi membuka kaca helmnya sambil sedikit menoleh kebelakang. “Bukannya kalo cuma sekedar transaksi kecil-kecilan, di tempat tadi pun nggak masalah?”
“Menurut gue juga gitu. Yah, sementara kita ikutin aja dulu, yang penting kita harus selalu waspada.”
“Siap Pak!”
Rupanya mereka cukup jauh meninggalkan Warkop. Mereka sempat masuk ke sebuah daerah pemukiman padat penduduk, hingga akhirnya berhenti tepat di depan sebuah gedung tua yang sudah lama terbengkalai. Layaknya di film-film, tempat seperti itu memang paling cocok dijadikan sebagai tempat transaksi Narkoba. Mereka semua keluar dari mobil. Selain Tom, para pengedar itu berjumlah empat orang. Tiga di antaranya mengenakan pakaian biasa, yang beratasan kaos ketat dengan jeans panjang sebagai bawahannya. Sementara yang satu agak unik, penampilannya terlihat begitu elegan bak seorang direktur sebuah perusahaan. Usianya masih cukup muda, mungkin baru sekitar tiga puluhan. Tampangnya keren abis, kulitnya putih bersih. Kalau dilihat dari perawakannya, kemungkinan besar beliau hasil kawin silang antara Cina dan Eropa.
Youga dan Hendi langsung diajak masuk ke dalam gedung tua tersebut. Gedung itu bekas sebuah perkantoran. Walau kondisinya sudah tak karuan, namun design setiap ruangan masih cukup jelas menggambarkan. Melalui anak tangga, mereka diajak naik ke lantai tiga, hingga akhirnya berhenti di sebuah ruangan luas yang pastinya kotor dan berdebu. Tak satupun manusia terlihat di sana, kecuali mereka bertujuh.
“Cepat geladah mereka,” kata si pria tampan dengan ekspresi begitu dingin. Tentunya itu jelas menunjukkan, kalau dia adalah bosnya.
Youga dan Hendi terkesiap, ekspresinya berubah ketakutan. Pikiran mereka pun mulai mebayangi hal-hal yang menyeramkan, karena boleh jadi, hari ini mereka akan mati mengenaskan seperti kabar pembunuhan di koran-koran.
Hehehe... lucu, lucu, lucu....
Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)