Read More >>"> Untuk Reina (Boneka Gajah) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Untuk Reina
MENU
About Us  

Seorang gadis belia berusia empat belas tahun itu memasuki pekarangan rumahnya dengan langkah-langkah riang. Dalam pelukannya ada dua boneka gajah berukuran sedang, nyaris membuatnya sulit melihat karena terhalangi dua boneka itu.

Meski begitu tak menyurutkan rasa bahagianya. Memasuki rumahnya, gadis itu meletakan dua boneka itu di atas sofa. “Na! Reina! Aku bawa sesuatu buat kamu!” teriaknya lantang. Merasa yang dipanggil tak kunjung menampakan diri, gadis itu berdiri di tepi tangga. Sekali lagi memanggil.” Reina!”

“Iya sebentar, aku lagi pakai baju!” dari lantai dunia Reina berlari sambil mengenakan kaosnya. Dia sudah tak sabar melihat apa yang di bawa Sheila.

“Lama, deh.” gerutu Sheila.

“Kan udah dibilangin aku lagi pakai baju, ini aja sampai aku pakai di luar kamar,” katanya sambil menarik kaosnya. “Sheila bawa apa? Kok tangannya kosong?”

Sheila tersenyum lalu tangannya terangkat keudara menunjuk pada dua boneka gajah yang seperti tamu sedang duduk menunggu tuan rumahnya. “Itu,”

“Wah boneka!” Reina langsung berlari menghampiri boneka itu. “Punya aku yang mana?”

“Yang abu-abu, tapi kalau kamu mau yang pink juga gak apa-apa.”

“Aku yang abu-abu aja biar bisa godaain yang pink.”

Keduanya tertawa, tapi sesaat kemudian tawa itu berhenti. Seorang wanita berdiri di dekat hadapan mereka. “Mama,” lirih Sheila takut.

“Sheila ke kamar kamu sekarang,” Perintah wanita itu tegas tak ingin menerima penolakan dari Sheila.

Sheila mengangguk. Sebelum berlalu dari ruangan itu dia sempat melihat Reina yang menunduk ketakutan di bawah tatapan Miranda. Sheila tidak benar-benar masuk ke kamarnya, dia menyembunyikan tubuh mungilnya pada sisi dinding dekat tangga. Dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Kamu pasti suruh Sheila buat beli boneka itu, kan?!” tuduh Miranda.

“E-enggak, bun. Aku gak minta dibeliin boneka ini.”

“Masih ngelak aja kamu. Sekarang kamu minta dibelikan boneka, besok-besok minta apa lagi? Mobil? Rumah? Mau menghabiskan uang saya lewat Sheila? Hah?!”

Reina semakin ketakutan. Tubuhnya mengigil mendengar makian yang keluar dari mulut Miranda. Tak ingin lagi mendengar amarah Miranda, Reina langsung berlari keluar rumahnya lewat pintu belakang.

“Dasar anak gak tahu sopan santun!” teriak Miranda melihat Reina berlari menjauhinya.

Reina masuk ke dalam rumah mungil itu, memeluk dirinya di sana. Menangis dengan tubuh bergetar hebat. Sesaat kemudian dia merasakan usapan lembut pada punggungnya. Reina mendongak.

“Shei-Sheila?”

“Maafin aku ya. Gara-gara aku, kamu dimarahin bunda. Harusnya aku kasih boneka itu sembunyi-sembunyi.”

“Ini bukan salah kamu, kok. Bukan salah bunda juga,”

“Rein, aku sayang kamu sama kayak ayah, kak Aresh, Abdi dan mama Hilda. Jangan sedih cuma karena bunda ya?”

Reina mengangguk memeluk Sheila. Tangisannya mereda, mereka berdua saling tersenyum. Sheila berdiri dan mengambil boneka gajah yang dibawa sebelumnya. “Coba tebak siapa nama boneka gajahku?”

“Siapa? Bonita?”

“Bukan, tebak lagi?”

“Kasih tahu dong siapa?”

“Tapi jangan berisik, janji?” Sheila mengacungkan jari kelingkingnya meminta Reina melakukan hal yang sama.

“Janji.” kedua jari kelingking itu saling mengait tanda bahwa mereka sudah terikat janji.

“Namanya Abdi.”

“Hah!? Kok Abdi?”

“Iya, kan dia cantik.” Sheila mengangkat boneka gajahnya ke udara menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. “Hai Abdi, si cowok cantik.”

Mereka tertawa lagi. “Kalau gitu punyaku namanya Aresh.”

“Kok kakak disebut-sebut?” tanya seorang lelaki berseragam putih abu-abu. Aresh kakak keduanya yang masuk tanpa permisi. Usianya hanya terpaut tiga tahun dengan mereka berdua.

“Kak Aresh gak sopan banget masuk kamar perempuan gak pake permisi.” Reina berdiri dan bercak pinggang menatap kesal pada kakak laki-lakinya itu.

Melihat Reina yang bersingut-singut seperti itu membuat Aresh gemas. Cowok itu menarik hidung mancung Reina membuat si empunya memekik kesakitan. Sheila yang melihat hal itu langsung melempar Aresh dengan bantal.

“Kak Aresh nakal, aku aduin ke ayah biar uang jajannya dipotong.” kata Sheila memperingatkan Aresh.

Bukannya takut Aresh justru memandang Sheila penuh selidik. “Oh, kamu mau kakak cubit juga hidungnya? Sini,”

“Eh? Enggak, enggak aku gak mau.” Sheila bergerak menghindari Aresh yang mendekatinya. Cewek itu naik ke atas tempat tidur ingin menghidar lebih jauh, tapi sayangnya Aresh bergerak lebih cepat dengan menarik kaki kirinya membuatnya langsung hilang keseimbangan dan ambruk di atas tempat tidur.

“Kena kamu!”

“Reina tolongin aku!” pinta Sheila saat Aresh mulai menggelitiki pinggangnya. Sheila menahan geli sambil tertawa-tawa. “Rein, ahaha.. tolong, kak ampun!”

Reina berusaha menolong Sheila dari kejahilan Aresh. Dia ingin menarik lengan Sheila yang terulur di hadapannya. Reina mendekat mencondongkan tubuhnya, namun saat tangannya semakin dekat dengan Sheila tiba-tiba saja tubuh Sheila dan Aresh menjauh sampai seberkas cahaya putih yang menyilaukan membuatnya menutup mata.

“Sheila!” Reina terbangun dari tidurnya dengan nafas yang memburu. Keringatnya bercucuran membasahi pelipisnya. Dia berusaha mengatur nafasnya saat menyadari keberadaannya. “Gue mimpi, kenapa mimpi yang gue alami harus selalu tentang kejadian di masa lalu?”

Reina beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengambil segelas air dari atas nakas lalu meminumnya, namun dia masih merasa haus. Memutuskan untuk keluar dari rumah mungil yang berada di halaman belakang rumah utama, Reina berjalan menuju dapur. Dia mempunyai kuncinya untuk memudahkan aksesnya keluar-masuk rumah utama.

Saat di dapur di mendengar isak tangis. Tangannya mengambang di udara saat hendak mengambil air minum. Reina menajamkan pendengarannya, melangkah mendekati sumber suara sampai kakinya berhenti di kamar utama rumah itu. Kamar orang tuanya.

“Hick... aku benci dia, mas. Aku benci anak itu, hick..hick... dia udah buat kamu dan Aresh jauh dariku.” Miranda menangis tersedu dari dalam kamarnya sambil memeluk foto suaminya bersama Aresh.

Di luar kamar Miranda, Reina menyandarkan punggungnya pada dinding mendengarkan curahan isi hati Miranda. Dia ikut menangis, menahan ribuan jarum yang menusuk hatinya tanpa henti.

Maaf, bunda. Maaf.

Reina berlari kembali ke kamarnya. Dia mengambil boneka gajah pemberian Sheila, dipeluknya sangat erat sambil terisak.

***

“Hoaaaam,” Reina menguap dengan lebar tanpa tahu malu. “Ngantuk banget gue,” tuturnya pada cowok yang duduk dibalik kemudi.

“Tidur jam berapa semalem?” tanya Riga sambil mengendarai mobilnya menuju sekolah.

“Jam sembilan, terus tengah malem bangun, terus gak tidur lagi. Lihat nih, mata gue ampe bengkak,” Reina mendekatkan wajahnya agar Riga bisa melihat matanya yang membengkak. “Kelihatan enggak?”

“Iya kelihatan, jelek banget.”

“Issh, kurang ngajar.” Reina bersedekap dengan pipi menggembung. Dia tidak terima kalau dibilang jelek, rasanya lebih ikhlas kalau dibilang bodoh, karena itu kenyataan. Kalau jelek, jelas itu fitnah, dia kan super cantik apalagi lesung pipinya membuat dia menjadi sangat sangat manis melebihi gula.

Riga memalingkan wajahnya sesaat melihat Reina yang tenang duduk di sampingnya. Cowok itu tersenyum geli saat menyadari kalau Reina tertidur. “Pantesan anteng, tahunya tidur.”

Mengendarai mobilnya tanpa suara berisik dari Reina, Riga merasa ada yang kurang. Dia sudah terbiasa dengan kebawelan Reina, sudah terbiasa dengan kekesalan Reina yang meletup-letup. Riga tak percaya bahwa perasaannya sudah sejauh itu pada Reina. Ah, cinta memang tak bisa ditebak.

Lima belas menit menghabiskan waktu di jalan kini Riga sudah memarkirkan mobilnya di depan gedung sekolah. Riga masih berdiam diri di mobil memainkan games dari ponselnya. cowok itu menunggu Reina bangun. Awalnya dia pikir Reina akan bangun saat mobil berhenti, tapi nyatanya hal itu tidak terjadi.

Lima menit sudah berlalu dan Reina masih terlelap. Sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi, terpaksa Riga membangunkan cewek itu. “Na, Reina bangun.” Riga mengguncangkan bahu Reina, tapi cewek itu hanya menggeliat kecil. “Reina! Kebakaran!!” seru Riga dengan suara keras tepat di telinga Reina.

Sontak saja hal itu membuat Reina langsung bangun dengan terlonjak, kaget luar biasa. “Kebakaran! Dimana? Di mana kebakarannya?!”

“Di tv, berita.” jawab Riga dengan entengnya.

“Iiih! Nyebelin banget sih, lo!”

“Uda nyampe, buruan turun.”

“Ya kalau udah nyampe banguninnya biasa aja! Gak usah pakai teriak-teriak kebakaran segala, sakit nih telinga gue dengar suara lo yang kayak speaker masjid!”

Apa kabar sama telinga gue yang tiap hari dengar lo ngeceh. lirih Riga membantin.

“Buruan turun, bentar lagi bel masuk.”

“Iya, gue turun.”

Keduanya turun dari dari mobil. Reina masih terlihat kesal karena Riga sudah berani membangunkannya di saat dirinya bermimpi indah. Mimpi bertemu dengan Aresh, kakak laki-lakinya yang paling dia rindukan.

“Toilet dulu sana, cuci muka. Ada bekas iler, tuh.”

Sorry gue tidur gak suka ngiler, eh? Pernah sih, kalau tidur gue nyenyak banget. Ya udah deh, kalau gitu gue ke toilet dulu,” Reina berlalu, tapi baru beberapa langkah cewek itu berhenti dan kembali menghadap Riga. “Pulang sekolah gak usah nungguin gue ya, gue mau ke suatu tempat.”

“Kemana?”

“Rahasia dong. Lo gak boleh tahu. Inget ya jangan tungguin gue, apalagi kangen. Em...tapi, kalau lo beneran cinta sama gue boleh deh, lo kangenin gue. Daah Riga.”

“Dasar cewek aneh.”

***

how your feel setelah baca ini? Kasih like dan review-nya buat yang sudah baca cerita ini. Salam dari aku si amatiran.

How do you feel about this chapter?

0 0 2 5 0 0
Submit A Comment
Comments (6)
  • yurriansan

    Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
    dan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa

    Comment on chapter Pertemuan Yang Buruk
  • diyaaaa

    @lanacobalt tidak ada Adit di sini, adanya abdi. haha....

    Comment on chapter Takut Yang Enggan Pergi
  • lanacobalt

    Saya menebak pria berjaket merah itu bukan Aresh, tapi Adit. hahaha
    Saya suka tokoh Reina, terkadang orang yang ceria belum tentu tidak punya masalah.
    Ditunggu kelanjutannya, semangat nulisnya.
    Jangan lupa mampir ke ceritaku, ya.

    Comment on chapter Takut Yang Enggan Pergi
  • Ahnafz

    Duh Reina bikin gemes aja :)

    Comment on chapter Pertemuan Yang Buruk
  • Awaliya_rama

    Duh, Riga dipacarin doang tp, gak dicintai

    Comment on chapter Permintaan Maaf
  • Kitkat

    Next kak hehe

    Comment on chapter Riga Si Anak Rumahan
Similar Tags
Gue Mau Hidup Lagi
13      13     0     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
It Takes Two to Tango
10      10     0     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
7      7     0     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Enigma
50      42     0     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Baniis
385      293     1     
Short Story
Baniis memiliki misi sebelum kepergian nya... salah satunya yaitu menggangu ayah nya yang sudah 8 meninggalkan nya di rumah nenek nya. (Maaf jika ada kesamaan nama atau pun tempat)
Rindu
5      5     0     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Kulacino
7      7     0     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...
CHERRY & BAKERY (PART 1)
73      49     0     
Romance
Vella Amerta—pindah ke Jakarta sebagai siswi SMA 45. Tanpa ia duga kehidupannya menjadi rumit sejak awal semester di tahun keduanya. Setiap hari dia harus bertemu dengan Yoshinaga Febriyan alias Aga. Tidak disangka, cowok cuek yang juga saingan abadinya sejak jaman SMP itu justru menjadi tetangga barunya. Kehidupan Vella semakin kompleks saat Indra mengajaknya untuk mengikuti les membuat cu...
Ketika Kita Berdua
1076      380     0     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Sunset in February
22      21     0     
Romance
Februari identik dengan sebutan bulan kasih sayang. Tapi bagi Retta februari itu sarkas, Februari banyak memberikan perpisahan untuk dirinya. Retta berharap, lewat matahari yang tenggelam tepat pada hari ke-28, ia dapat melupakan semuanya: cinta, Rasa sakit, dan hal buruk lain yang menggema di relung hatinya.