Langit malam yang gelap, dipenuhi oleh jutaan bintang. Masing – masing dari mereka berusaha memancarkan sinar mereka, agar tampak lebih terang dari yang lain. Namun, semua usaha mereka untuk tampak indah dihancurkan oleh bulan. Bahkan meski dengan tanpa banyak usaha, ia bias memancarkan cahaya yang paling terang. Namun, keberadaannya pun tidak akan seindah itu jika tanpa para bintang di sekelilingnya.
Indah bukan ? Ya, aku juga menyukainya. Biasanya aku menyaksikan pemandangan itu melalui balkon kamarku, dengan ditemani oleh beberapa buku sejarah. Tapi tidak dengan malam ini. Sejak pukul tujuh lebih lima belas malam, aku sudah mengurung diriku di dalam kamarku. Diafragmaku rasanya sakit sekali. Seolah – olah baru saja diiris. Maka, setelah menelan beberapa butir obat yang kuharap bias sedikit meringankan rasa sakit yang ada, aku pun jatuh tertidur.
Akan tetapi, aku terbangun saat mendengar kegaduhan di sekitarku. Merasa tidurku terganggu, aku menggerung kesal. Lalu, aku merasakan seseorang yang ikut berbaring di sampingku. Sememntara seorang lagi sejak tadi mengusili wajahku.
“ Bangun ! Udah jam berapa nih ?” ujar suara yang langsung kukenali sebagai suara Mada, adikku.
Aku membuka mata kananku. Melirik ke arah Mada yang dengan tenangnya tidur di sampingku sambil menggoyang – goyang tubuhku. Kemudian pandanganku beralih kea rah sebaliknya. Kak Ali duduk di sampingku dengan tangan yang sejak tadi tidak berhenti mengusili wajahku.
“ Apaan sih ?” tanyaku kesal.
“ Bangun ! Udah jam empat pagi, lho !” jawab Kak Ali sok serius.
Aku melirik jam dinding di kamarku. Jarum – jarumnya baru menunjukkan pukul Sembilan malam. Aku mencibir.
“ Bohong kalian. Lagian, kalo udah jam empat pagi, ngapain belum pada mandi ?” gerutuku sebal.
“ Yah, habisnya Kak Nisa sih, jam tujuh udah tidur. Emangnya udah ngerjain tugas ?” Tanya Mada.
“ Kepo banget sih,” aku menarik selimut agar menutupi kepalaku. Berharap mereka berdua segera enyah dari hadapanku.
Namun, Kak Ali dan Mada malah semakin menggangguku. Mereka menarik selimutku. Lalu, menarik – narikku agar segera bangun. Aku dengan keadaan perut yang lumayan membaik, siap untuk meledak. Tapi, tiba – tiba lampu kamarku mati. Dan, tanpa diduga, Kak Arad an Kak Dicky, kakak sepupuku, masukke dalam kamarku sambil membawa sebuah kue dengan lilin berbentuk angka lima belas. Bersamaan dengan hal itu, Kak Ara, Kak Dicky, Kak Ali, dan Mada, menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku.
Aku tidak bias berbuat apapun. Aku kehilangan kata – kata. Bahkan saat Kak Ara meletakkan kue itu di depanku, dan menyuruhku meniup lilinnya, aku hanya bias diam. Setelah beberapa saat, akhirnya aku bias meniup lilin – lilin itu dengan bercucuran air mata. Dan kemudian mereka semua menyuruhku memotong kuenya. Mada, sambil terus tersenyum, menyerahkan sebuah pisau kepadaku.
Aku memotong sebagian kue itu menjadi empat bagian. Bagian yang pertama aku berikan untuk Mada. Yang kedua tentu saja untuk Kak Ali. Dan yang keempat untuk Kak Ara, satu – satunya saudara perempuanku. Sedangkan Kak Dicky yang adalah pemuda paling tampan yang pernah kutemui, mendapat potongan keempat.
“ Kak, ini kado dariku,” ucap Mada sambil memberikan sebuah bingkisan yang cukup besar. Aku menerimanya dan segera membukanya.
Sebuah jam beker dengan nuansa keroppi, adalah kado dari Mada. Aku menyukainya. Maka sebagai balasannya, aku memeluk Mada erat, dan mendo’akan yang terbaik untuknya. Begitu juga dengan yang lain. Mereka memberikan satu – persatu kado mereka kepadaku. Dari Kak Ali, aku mendapat sebuah novel sejarah yang tebalnya menyaingi tebal matras olahragaku. Sedangkan dari Kak Ara, aku mendapatkan seperangkat alat melukis. Dan Kak Dicky, entah memberiku apa. Aku masih berjibaku dengan bingkisannya yang dibingkis dengan sangat rapid an sulit dibuka.
“ Hati – hati !” peringat Kak Dicky.
Setelah akhirnya bias membukanya, aku buru – buru mengeluarkan isinya. Sebuah kotak kaca berisi kupu – kupu besar berwarna biru yang sudah dibekukan. Indah.
“ Wah, cantik deh, “ gumam Kak Ara. Aku menyerahkan kotak itu kepada Kak Ara yang langsung dekerubuti oleh Mada dan Kak Ali.
Aku memeriksa bungkus hadiah itu. Sepertinya ada sesuatu yang tertinggal. Benar saja. Aku menemukan sebuah kertas biru yang dilipat rapi. “ Apaan nih, Kak ?” tanyaku pada Kak Dicky yang hanya tersenyum gugup. Karena penasaran, aku segera membukanya.
Happy birthday, my butterfly ! I wish all the best for you.
Tetaplah bersinar untuk kami !
Bagiku, itu hanyalah kata – kata ucapan selamat biasa. Tapi kenapa Kak Dicky memanggilku my butterfly ? Aku menengadah kea rah Kak Dicky. Namun ia membuang muka. Ah, entahlah. Aku tidak mau ambil pusing dengan hal itu.
Wih keren. Latar korea tapi misteri. Mantaaappp
Comment on chapter Prolog