Read More >>"> When the Winter Comes (17. What We Have Been Waiting for All This Time) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When the Winter Comes
MENU
About Us  

Satu tahun setelah kejadian itu, semua kembali normal. Ketua Kang diangkat menjadi Direktur NSS. Nama Kim Hyun-Shik telah dihapus dari data NSS, termasuk data Han Nam-Shik dan Kim Seo-Jung yang disegel kembali. Mereka dinobatkan menjadi pahlawan negara yang akan dibuat patung lilin di museum pahlawan Seoul. Di sisi lain, Jung-Im dan Ji-Hyun tetap beroperasi sebagai agen rahasia yang beroperasi di dalam negeri. Ji-Yoon alias Chae-Yeong memutuskan untuk melanjutkan perusahaan, sedangkan Woo-Hyun dan Ji-Ye masih disibukkan dengan urusan Jae-Ra dan Tae-Joon.

Musim gugur berganti menjadi musim dingin. Mengingatkan Eun-Hye pada pertemuan dengan Ji-Hyun satu tahun yang lalu. Ketika keluar dari rumah, Eun-Hye melihat lelaki itu berdiri di depan rumah dengan balutan kaus dan mantel yang sewarna. Senyumnya perlahan mengembang, lalu niatan usil terbesit dalam pikiran perempuan itu. Eun-Hye berjalan perlahan Ji-Hyun, lalu menutup matanya dari belakang. Bahkan ia berusaha menahan napas agar lelaki  itu kebingungan.

“Eun-Hye?” tebaknya.

“Ah! Membosankan! Kau pintar sekali menebaknya!” rutuk Eun-Hye sembari menginjak kaki lelaki itu kesal, lalu berjalan mendahului Ji-Hyun.

Ji-Hyun memerhatikan Eun-Hye yang mengenakan kemeja longgar berwarna putih serta celana panjang hitam. Bahu perempuan itu terlihat jelas dan membuatnya sedikit risih, apalagi dengan wajah cantik Eun-Hye yang membuat banyak lelaki memerhatikannya.

Ji-Hyun berjalan menyusul Eun-Hye, melepas mantel, lalu memakaikannya pada Eun-Hye. Terlihat sekali bahwa perempuan itu bingung dan menoleh padanya.

“Aku tidak ingin kau kedinginan,” bisiknya lembut.

Hari ini Ji-Hyun sengaja tidak ingin berpergian dengan mobilnya. Lebih tepatnya ia ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Eun-Hye. Eun-Hye berjalan di belakang mengikuti langkah Ji-Hyun. Ia tersenyum seraya memerhatikan lelaki itu dari belakang. Lelaki itu semakin keren, apalagi rambutnya yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya.

Ji-Hyun membawanya ke sebuah restoran terkenal di Seoul dengan suasana yang romantis. Alunan piano langsung menyapa telinga mereka ketika memasuki kafe itu. Kafe bernuansa cokelat yang mampu menghipnotis siapa saja yang memasukinya, termasuk Eun-Hye yang tidak berhenti berdecak kagum. Suasana mewah bercampur dengan suasana klasik. Meja-meja bergaya kerajaan Eropa terpasang dengan rapih, aroma dessert mulai menggoda Eun-Hye tiap kali ia menghirup napas.

Seorang pelayan membawa mereka ke salah satu ruangan terbuka yang hanya memiliki satu meja dan dua bangku di dalamnya. Pemandangan kota Seoul membuat suasana semakin romantis.

“Kau serius dengan harga ini?” lirih Eun-Hye sambil mencondongkan tubuhnya, supaya pelayan itu tidak mendengarnya.

Ji-Hyun megalihkan pandangannya dari menu dan tersenyum. Ia ikut mencondongkan tubuh, lalu berbisik, “Tenanglah, aku punya harga diskon. Pesan saja sesukamu.”

Mata Eun-Hye melebar. “Harga diskon?”

Lelaki  itu mengangguk, lalu menyebutkan pesanannya pada pelayan yang mencatatnya dengan telaten. Tentu saja ia memiliki harga diskon karena restoran ini dikelola oleh anaknya Ketua Kang. Ketua Kang sering mengajaknya ke tempat ini, makanya ia diberi harga diskon jika makan di sana. Ia merasa Eun-Hye tidak perlu tahu hal kecil itu.

Setelah pelayan itu pergi, Eun-Hye mendesah dan memandang sekelilingnya. “Aku benar-benar suka tempat ini. Sangat romantis.”

“Tapi kupikir ada tempat yang lebih romantis dari ini.”

***

“Kau pernah meluncur di es?” tanya Ji-Hyun ketika mereka tiba di area ice skating di Seoul. Tempat itu cukup ramai mengingat musim dingin telah tiba, membuat ia dan Eun-Hye sedikit kesulitan ketika hendak mencapai lapangan ice skating.

Eun-Hye menggeleng. “Aku belum pernah mencobanya.”

“Mau coba?” Ji-Hyun mengulurkan tangannya pada Eun-Hye.

Eun-Hye mengangguk, lalu menyambut uluran tangan Ji-Hyun dan membiarkan lelaki itu menggenggam tangannya. Ji-Hyun membawa Eun-Hye berseluncur mengelilingi arena itu. Tidak butuh waktu lama untuk Eun-Hye menyeimbangkan gerakannya dengan Ji-Hyun. Keserasian mereka berhasil membuat banyak orang di sana mengagumi mereka dan ikut mengelilingi mereka.

“Kau ingin berdansa?”

“Kau bisa?” tanya Eun-Hye.

Ji-Hyun mengangguk. “Aku ahli dalam berdansa.”

Eun-Hye tersenyum. “Kau sungguh ingin berdansa di depan orang-orang ini?” bisik Eun-Hye sambil melirik orang-orang yang tersenyum padanya.

“Tentu saja. Pegang tanganku,” ujar Ji-Hyun dengan lembut.

Eun-Hye membiarkan lelaki itu menggenggam tangan. Tangannya sendiri diletakkan di lengan atas Ji-Hyun. Lelaki itu mulai meluncur dan Eun-Hye mampu mengikuti gerakannya dengan mulus. Eun-Hye merasa sudah lama merasa tidak begitu senang ketika mencoba sesuatu yang baru seperti ini. Berdansa dan meluncur di arena es. Mereka meluncur mengelilingi arena seluncur sembari berputar-putar. Sesekali Ji-Hyun melepaskan pegangannya pada pinggang ramping Eun-Hye, memutar, lalu menarik Eun-Hye dalam pelukan.

“Jangan lepaskan aku, Ji-Hyun,” kata Eun-Hye sambil tertawa. “Aku bisa saja jatuh dan mempermalukan diriku sendiri di depan banyak orang.” Ia memandang sekitarnya dan menyadari ada banyak orang yang mengikuti dan memandang mereka sambil tersenyum-senyum. 

“Jangan khawatir, aku tidak akan melepaskanmu.Tidak akan pernah.”

Eun-Hye menatap mata Ji-Hyun. Merah anggur bertemu dengan onyx. Lelaki  itu tersenyum. Entah kenapa hatinya selalu gembira ketika melihat senyuman itu. Dari dulu sampai sekarang, ia selalu menyukai senyuman itu. Ia suka ketika Ji-Hyun berada di sisinya dan menggenggam tangannya. Ia suka ketika Ji-Hyun tersenyum dan menatapnya.

***

Kini mereka berjalan berdampingan menelusuri Deoksugung Doldam-Gil. Keduanya tak saling menatap. Hanya jemari mereka yang saling bertaut menjelaskan perasaan mereka saat ini. Kenangan demi kenangan kembali berputar dalam benak masing-masing. Bagaimana pertama kali mereka ke tempat ini, seperti apa mereka saat itu, bahkan apa yang mereka bicarakan saat itu.

“Kau ingat saat kita berjalan di sini? Saat kau menjadi Hyun-Shik.” Eun-Hye mulai bicara memecahkan keheningan di antara mereka.

Ji-Hyun mengangguk. “Ya, saat itu kita melalui jalan ini bukan sebagai pasangan seperti saat ini.”

“Apa kau percaya pada mitosnya? Kita adalah pasangan dan kita berada di sini sekarang. Kau percaya kita akan berpisah?” tanya Eun-Hye. 

“Aku tidak percaya pada mitos. Mana mungkin perasaan yang telah dijaga oleh dua orang yang saling mencintai tiba-tiba berpisah karena melewati jalan ini.”

“Ya, kau benar. Apa itu juga berlaku untuk kita?”

Ji-Hyun menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Eun-Hye. Kini mereka saling berhadapan dengan mata yang saling menatap. “Apa kau meragukan perasaanku?”

Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum. “Jika aku ragu, untuk apa aku menunggumu selama ini? Kau tahu? Tidak ada seorang lelaki yang berhasil menggeser posisimu. Hanya kau, Han Ji-Hyun,” ujar perempuan Hye sambil menatap Ji-Hyun dalam.

"Baiklah. Tidak sepantasnya aku meragukan perasaan perempuan yang menungguku bertahun-tahun lamanya. Aku percaya padamu, Kim Eun-Hye."

Mereka kembali melanjutkan langkah mereka menuju tempat rahasia, tapi kali ini Ji-Hyun melingkarkan sebelah tangannya di pinggang Eun-Hye. Ia tak henti-hentinya tersenyum, begitu juga dengan perempuan itu. Mereka berdiri di sana, tempat yang sama saat mereka mengucap janji sembilan tahun yang lalu dan hari ini mereka akan melakukan hal yang sama. Hanya saja usia dan keadaan mereka berbeda. Kini mereka telah dewasa dan telah bersiap untuk melangkah menuju sesuatu yang berbeda. Mereka saling berhadapan, mata mereka saling menatap dengan senyuman yang tidak pudar sedetik pun. Tangan Ji-Hyun bergerak menyentuh bahu kecil perempuan yang jauh lebih pendek darinya itu. Perbedaan tinggi yang cukup jauh membuat lelaki itu harus sedikit membungkuk.

Ia melirik jam tangan. Satu menit kurang sebelum jam dua belas. Ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Baiklah. Aku rasa sudah waktunya untuk mengatakan ini padamu." Ji-Hyun membuka kotak kecil itu dan tampaklah cincin yang sangat indah.

 "Maukah kau menikah denganku, Kim Eun-Hye?” ujarnya bertepatan dengan pergantian hari. Tepat pada tanggal tiga puluh satu Desember pukul 00.01.

Lelaki itu tersenyum ketika melihat wajah perempuan itu merona. Hatinya seakan berlompat-lompat bahagia, seperti ada kembang api yang meledak dalam hatinya. Ji-Hyun melamar Eun-Hye tepat di hari ulang tahunnya, membuat perempuan itu tersenyum, lalu memeluk Ji-Hyun dengan erat.

“Ya, aku mau,” jawab Eun-Hye dalam pelukan lelaki  itu. Bibirnya tak hent-henti tersenyum, seakan kalimat barusan adalah kalimat terindah yang ia ucapkan untuk Ji-Hyun.

Ji-Hyun mengecup bibir mungil dan tipis milik Eun-Hye. Menarik perempuan itu dalam pelukan. Di saat yang bersamaan, salju pertama mulai turun. Keduanya melepas satu sama lain, lalu mendongak ke langit. Membiarkan salju menerpa kulit mereka dengan lembut.

“Melihat semua ini membuatku teringat pada pertemuan pertama kita,” ucap Ji-Hyun.

“Ya, malam itu seorang anak kecil tiba-tiba masuk ke kamarku dan mengiraku sebagai hantu. Padahal dirinya sendiri yang hantu.”

Ji-Hyun menoleh. “Maksudnya?” tanya Ji-Hyun sambil menaikkan sebelah alisnya. “Kau mengira aku bukan manusia?”

Perempuan itu tertawa, lalu berdiri dan berlari menjauh dari Ji-Hyun. Lelaki itu mendekat, tapi Eun-Hye berlari menjauh. “Coba lihat, bahkan kau tidak bisa menangkapku,” ledek Eun-Hye sambil menjulurkan lidahnya.

“Kau! Awas kalau tertangkap nanti, ya!” seru Ji-Hyun kesal. Ia berlari mengejar Eun-Hye, tapi perempuan itu terus menjauh dan mengelak ketika lelaki itu hendak menangkapnya. Eun-Hye berjalan mundur ketika Ji-Hyun mendekat.

“Kena kau!!!” Ji-Hyun tiba-tiba bergerak cepat, menarik pinggang ramping Eun-Hye dan memeluknya erat. Ji-Hyun tertawa puas, sedangkan perempuan itu memanyunkan bibirnya. Eun-Hye pasrah, membiarkan tubuhnya dipeluk erat oleh Ji-Hyun.

“Aku punya satu rahasia lagi,” ujar Ji-Hyun sambil mengecup pipi Eun-Hye.

“Apa?”

Lelaki  itu melepas pelukan, tersenyum. “Ikut aku.”  

Ji-Hyun membawa perempuan itu menuju sisi lain dari bukit. Dari kejauhan, mereka bisa melihat seorang perempuan dan seorang lelaki duduk membelakangi mereka. Keduanya tampak berbincang, lalu tertawa satu sama lain bersama ibu Eun-Hye.

Eun-Hye menoleh pada Ji-Hyun seolah meminta penjelasan. “Ada apa dengan Woo-Hyun dan Ji-Ye?”

“Ahn Woo-Hyun dan Ahn Ji-Ye adalah kedua kakakmu yang dikabarkan meninggal lima belas tahun yang lalu,” ujar Ji-Hyun sembari menuntun perempuan itu ke sana. Langkah Eun-Hye terhenti ketika mendengar kenyataan dari lelaki  itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kaki Eun-Hye melemas, membuat tubuhnya merosot ke bawah.

“Benarkah?” tanyanya memastikan.

Ji-Hyun mengangguk, lalu menyamakan posisinya dengan Eun-Hye. “Maaf, sebenarnya selama ini aku menyembunyikan hal ini darimu.”

Kini pandangan Eun-Hye beralih pada Ji-Hyun. Perempuan itu tak segan-segan melayangkan tinju ke perut lelaki itu berkali-kali. Ia menangis, meraung tanpa henti dengan perasaan lega sekaligus kesal.

 “Kenapa? Kenapa menyembunyikan hal ini dariku?”

“Maaf, tapi hal ini harus kulakukan.”

Eun-Hye berdiri dibantu Ji-Hyun, lalu perempuan itu berlari secepat mungkin, sedangkan Ji-Hyun berlari kecil mengejarnya. Senyum lelaki  itu mengembang ketika menyadari perasaan Eun-Hye terhadap dua saudaranya sangat besar. Tak ada alasan untuk menghalangi atau semacamnya, ‘kan? Eun-Hye merangkul kedua kakaknya dari belakang, membuat keduanya menoleh bersamaan.

“Kenapa kalian tidak jujur padaku? Kalian tidak tahu betapa rindunya aku pada kalian!” seru Eun-Hye disela isakan tangisnya.

Mereka tersenyum, lalu berdiri dan menarik Eun-Hye dalam pelukan mereka. Nam-Gil mengusap-usap punggung Eun-Hye dengan lembut, sedangkan Ji-Ye tersenyum hangat padanya. Tak ada kata yang terucap, hanya isak tangis yang memecah keheningan di tengah hujan salju. Mantel tebal tak terasa digantikan pelukan yang menghangatkan dirinya. Ia menangis, hingga akhirnya terhenti dan memberanikan dirinya untuk mendongak. Menatap wajah kedua kakaknya bergantian.

“Kami kembali, Eun-Hye,” ujar kedua kakaknya bersamaan.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (60)
  • turinahrohibbah

    Duh gila. Keren banget ini mahhh

    Comment on chapter Prolog
  • maratus1234

    Wah, baru nemu nih cerita korea tapi ada unsur misterinya. KEREN

    Comment on chapter Prolog
  • Ahraahn221

    Huaa, gila. Keren banget. Berasa nonton drama korea ini maahhh

    Comment on chapter Prolog
  • Arrachung21

    Duh, inikah namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Hehe, aku suka banget ama ini ceritaaaaaaaa

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    @kimmie912 Iya kak, makasih

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    @Kangchi77 Iya, makasih kak

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    @nananggg Makasih kak :)

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    @AriffRahman Makasih kak :D

    Comment on chapter Prolog
  • AriffRahman

    Kereeeennnnnn keren banget ceritanya. Berasa nonton KMis. Korean mystery.

    Comment on chapter Prolog
  • nananggg

    Kereeeeeenn

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Sejauh Matahari
4      4     0     
Fan Fiction
Kesedihannya seperti tak pernah berujung. Setelah ayahnya meninggal dunia, teman dekatnya yang tiba-tiba menjauh, dan keinginan untuk masuk universitas impiannya tak kunjung terwujud. Akankah Rima menemukan kebahagiaannya setelah melalui proses hidup yang tak mudah ini? Happy Reading! :)
Power Of Bias
0      0     0     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Special
26      10     0     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
I FEEL YOU AS A HOME
28      5     0     
Romance
Ini seriusan, lho. Bagi Lentera Kamasean, dikejar-kejar cowok sekece Al Virzha Diemen Salim bukanlah berkah, melainkan musibah. Karena, sejak kehadiran cowok itu, hidupnya yang setenang langit malam di tengah samudra mendadak kacau kayak kota yang baru disapu puting beliung. Kesal, sebal, benci, marah, dan muak, semua itu Lentera rasakan serta lalui seorang diri sampai pahlawannya datang. Lalu ...
The Reason
123      29     0     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Sekretaris Kelas VS Atlet Basket
149      30     0     
Humor
Amira dan Gilang yang menyandang peran werewolf dan vampir di kelas 11 IPA 5 adalah ikon yang dibangga-banggakan kelasnya. Kelas yang murid-muridnya tidak jauh dari kata songong. Tidak, mereka tidak bodoh. Tetapi kreatif dengan cara mereka sendiri. Amira, Sekretaris kelas yang sering sibuk itu ternyata bodoh dalam urusan olahraga. Demi mendapatkan nilai B, ia rela melakukan apa saja. Dan entah...
Popo Radio
80      18     0     
Romance
POPO RADIO jadi salah satu program siaran BHINEKA FM yang wajib didengar. Setidaknya oleh warga SMA Bhineka yang berbeda-beda tetap satu jua. Penyiarnya Poni. Bukan kuda poni atau poni kuda, tapi Poni siswi SMA Bhineka yang pertama kali ngusulin ide eskul siaran radio di sekolahnya.
IMAGINATIVE GIRL
30      5     0     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
72      22     0     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
you're my special moments
18      3     0     
Romance
sebenarnya untuk apa aku bertahan? hal yang aku sukai sudah tidak bisa aku lakukan lagi. semuanya sudah menghilang secara perlahan. jadi, untuk apa aku bertahan? -Meriana Lauw- tidak bisakah aku menjadi alasanmu bertahan? aku bukan mereka yang pergi meninggalkanmu. jadi bertahanlah, aku mohon, -Rheiga Arsenio-