Read More >>"> When the Winter Comes (1. Meeting ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - When the Winter Comes
MENU
About Us  

Kim Eun-Hye, gadis bersurai hitam panjang dengan pakaian pasien itu tampak berlari gembira. Ia tersenyum lebar, menatap pemandangan pertama yang ia saksikan sejak lima belas tahun kehilangan penglihatan. Wanita dengan pakaian rajut, para pekerja kantor yang lalu-lalang, para pelajar dengan seragam musim dingin, juga para dokter dan perawat. Tingkahnya ini membuat orang di sektiar mengiranya sebagai pasien rumah sakit jiwa yang kabur.

“Kim Eun-Hye ssi!” Seorang perawat berambut pendek berhenti berlari untuk mengatur napasnya. Ia menatap kesal Eun-Hye yang tampak seperti manusia dengan energi tanpa batas. Sudah hampir sejam sejak dokter memperbolehkan Eun-Hye keluar, tapi gadis itu malah berlari seperti anak kecil.

Eun-Hye menoleh sekilas, memberikan senyum manis yang membuat perawat itu tak tega memarahinya.

“Masuklah! Udara semakin dingin. Bisa-bisa dokter memarahiku jika kau seperti ini terus!” 

Eun-Hye hanya memamerkan cengirannya sekilas, lalu kembali berlari seakan tidak memedulikan perawat yang lelah mengikutinya. Kini matanya berpindah pada toko kue kecil di ujung pertigaan jalan. Ia menajamkan mata dan menggali ingatan tentang toko itu.

“Wah! Toko kue itu masih ada di sana! Coba lihat! Dulu toko kue itu masih terbuat dari kayu dan sekarang toko itu sudah dibangun ulang. Daebak!” Eun-Hye berseru riang seraya menunjuk toko kue bergaya eropa kuno. 

“Kau ini bicara apa? Awan gelap mulai datang dan sekarang sudah pukul lima sore. Kita harus kembali ke rumah sakit sekarang!” Perawat itu mencoba membujuk Eun-Hye. Ia menarik lengan Eun-Hye pelan, tapi gadis itu menolaknya.

“Ayolah! Sebentar lagi saja, ya?” Gadis itu memelas, lalu kembali berlari meninggalkan perawat malang itu. Matanya semakin awas seakan mencoba mengingat semua ingatan masa kecilnya sampai akhirnya ia menabrak seseorang dan membuat tubuhnya oleng.

Gwaenchana?”

Eun-Hye dengan spontan mendongak begitu mendengar suara parau lelaki yang berusia sekitar dua puluh tiga tahunan dengan rambut hitam. Tubuh proporsional ditunjang dengan wajah yang tampan. Suara yang sama lembutnya dengan suara lelaki yang Eun-Hye rindukan selama ini.

Eun-Hye terdiam hingga perawat yang mengikutinya muncul, membungkukkan tubuh untuk meminta maaf mewakili Eun-Hye. “Maaf.”

Lelaki itu tersenyum, lalu beralih pada Eun-Hye. “Tidak apa-apa. Apa kau baik-baik saja?”

Eun-Hye mengangguk, lalu membungkuk meminta maaf. “Ya, aku baik-baik saja. Terima kasih.”

“Ah, baiklah. Sampai jumpa lagi,” pamit lelaki itu seraya meninggalkan Eun-Hye yang terpaku di tempat.

Aneh.

Eun-Hye merasa dekat dengannya, tapi ia tidak tahu siapa. Mungkinkah Nam-Gil? Mana mungkin orang yang sudah meninggal hidup lagi? Lagipula dari gaya bicaranya itu bukan Nam-Gil, kakaknya yang meninggal lima belas tahun lalu.

Mungkinkah …?

“Eun-Hye!”

Gadis itu menoleh pada Yoon-Jung dan Soon-Hee–ibunya yang menghampirinya. Senyum Eun-Hye mengembang ketika matanya menangkap wajah Yoon-Jung yang tampak lebih tua sebelum ia buta, dan ibunya yang tetap cantik meski rambut coklat panjang mulai memutih. Wajar jika mengingat usia ibunya hampir mendekati lima puluhan.

Eomma! Yoon-Jung Eonni!” Eun-Hye merentangkan kedua tangan untuk memeluk dua wanita yang ia rindukan.

 “Kau bisa melihat sekarang? Oh Tuhan! Matamu kini menatapku!” Yoon-Jung menepuk-nepuk pundak Eun-Hye dengan gembira.

Gadis itu terkekeh menanggapi reaksi pelayan setia yang telah dianggap sebagai saudari kandung. Ia melepas pelukan, lalu tersenyum. “Kau tidak berubah, Yoon-Jung Eonni.”

Pandangan Eun-Hye berpindah pada ibunya yang tersenyum lebar. “Coba lihat, bahkan Eomma masih tetap cantik seperti dulu.”

 “Bukankah aku memang cantik?” Ibu Eun-Hye mengedip nakal.

Eun-Hye mengangguk beberapa kali seraya mengacungkan jempol pada ibunya.  “Ya, Eomma memang cantik sejak dulu.”

“Bagaimana kalau kita bicara di dalam? Aku tidak ingin anakku kedinginan dan kasihan perawat yang sudah merawatmu.” Ibunya mendorong Eun-Hye seraya melirik sekilas perawat yang tampak menghela napas lega atas kedatangan Ibu Eun-Hye dan Yoon-Jung.

 Eun-Hye menurut. Tentu ia tidak lupa tentang media yang akan menyerangnya setelah pulih seutuhnya nanti. Berita tentang kemunculannya kini tersebar luas. Bahkan selama mereka melewati koridor rumah sakit, beberapa saluran TV ternama memberitakan tentang munculnya Kim Eun-Hye yang dikabarkan meninggal lima belas tahun lalu sebagai trending topic Seoul saat ini. Mengalahkan berita pemilihan wali kota Seoul yang akan dilakukan ketika musim semi dimulai nanti.  

Eun-Hye tahu posisi kedua orangtuanya yang menarik perhatian publik saat ini. Seorang anak dari pebisnis besar nomor dua di Korea Selatan dikabarkan meninggal, lalu muncul lima belas tahun kemudian. Tapi inilah yang memberinya kesempatan untuk mengenalkan dirinya pada publik dan menemukan Ji-Hyun.

***

Ya, aku akan kembali.”

Kalimat yang diucapkan Ji-Hyun sebelum pergi kembali terngiang dalam kepalanya. Seakan kejadian sembilan tahun yang lalu kembali berputar seperti sebuah film. Eun-Hye mengusap kalung dengan tulisan ‘Han Ji-Hyun’ itu dengan lembut. Senyum pahit kini mengembang di wajah cantiknya.

Menyedihkan. Andai saat itu ia mencegah Ji-Hyun untuk pergi, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

 “Kamu baik-baik saja?”

Eun-Hye tersentak ketika suara Yoon-Jung terdengar jelas. Ia menoleh, mendapati Yoon-Jung yang baru saja masuk ruangan dan menghampirinya.

“Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah, aku kira terjadi sesuatu padamu karena sejak tadi aku mengetuk pintu, namun tidak mendapat jawaban. Kau sudah melihat berita? Beritamu jadi nomor satu di seluruh Korea Selatan. Kemungkinan besar, orang yang mengincarmu akan muncul kembali. Apa kau siap?”

Eun-Hye berpikir sejenak, lalu membenarkan ucapan Yoon-Jung. Kemunculan Eun-Hye di hadapan publik setelah lima belas tahun dianggap meninggal akan mengundang pembunuh bayaran itu kembali mengincarnya. Tapi ia sudah mempertimbangkan keputusannya ini dengan matang. Demi pengorbanan ayah dan kakaknya, juga untuk menemukan Ji-Hyun kembali meski harus membahayakan dirinya sendiri.

Eun-Hye mengangguk mantap. “Ya, aku sudah siap. Aku bukanlah gadis cengeng seperti dulu. Aku tidak bisa terus menunggu Ji-Hyun, aku harus mencarinya.”

“Tapi kenapa kau ingin bertemu lagi dengan Ji-Hyun? Apa alasanmu sampai kau nekat mempertaruhkan nyawamu demi bertemu lagi dengannya?”

“Mungkin akan banyak orang berkata aku hanyalah gadis gila, tapi aku tidak peduli. Aku harus bertemu lagi dengan Ji-Hyun karena aku mencintainya.”

Yoon-Jung yang mendengar jawaban Eun-Hye gagal menahan sudut bibirnya untuk tersenyum. “Sejak kapan kau menyadarinya? Bahkan selama ini kau selalu membantah setiap kali aku menggodamu seperti itu.”

“Sejak tadi siang.”

Alis Yoon-Jung bertaut, ia menatap Eun-Hye dengan heran. “Hah?”

“Pertemuan dengan lelaki di halaman rumah sakit tadi siang ….” Gadis itu berhenti, tangannya bergerak menggenggam kalung nama bertuliskan ‘Han Ji-Hyun’ yang melingkar indah di lehernya. “Dia membuatku teringat pada Ji-Hyun.”

“Aku tidak bisa melupakannya. Seperti sebuah candu yang sulit disembuhkan. Ketika aku sadar bahwa aku mencintainya, membuatku semakin yakin akan keputusanku.” Eun-Hye tersenyum lebar hingga matanya menyipit. “Aku harus bertemu lagi dengan Ji-Hyun.”

“Baiklah.” Yoon-Jung berdiri dan memberikan pakaian yang disediakan Soon-Hee. Ia memeluk Eun-Hye dengan air mata yang mulai menggenang.

“Jangan khawatir, aku akan menjadi pelindungmu, Eun-Hye,” bisiknya lembut pada gadis yang sejak dulu ia rawat. Ingatannya seakan tertarik ke masa lalu. Ketika Eun-Hye bermain dengan kedua kakaknya di taman, sedangkan ayah dan ibunya menjaga mereka dari jauh. Ia yakin, meski Seo-Jung tidak ada di sini, pria itu akan melindungi putrinya. Juga termasuk tugas Yoon-Jung  memastikan putri kecil ini tetap aman.

Gadis kecil itu telah tumbuh dewasa. Bahkan bisa dibilang pertumbuhannya terlalu cepat karena pengaruh dari bacaan bahasa braille yang berkonteks kuno. Membuat pemikirannya lebih dewasa dibanding anak seusianya. Siap tidak siap, ia akan menghadapinya. Sebagai saksi satu-satunya kasus lima belas tahun lalu dengan mempertaruhkan nyawanya, ia akan mengungkap ketidakadilan.

***

“Ji-Hyun, dengarkan ibu. Pergilah dari sini dan jangan pernah kembali ke Yangju. Kembalilah ke tempat Eun-Hye. Pergilah!” Sang ibu mencatatkan alamat di secarik kertas, lalu memasukkannya ke saku celana Ji-Hyun.

Terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Sang ibu mengintip lewat jendela, menemukan beberapa pria berpakaian hitam keluar mobil. Dengan tubuh yang gemetar, ia kembali pada anaknya.

 “Cepat pergilah!” pinta ibunya parau. Air mata tak terbendung lagi. Ketakutan yang kuat menjalar ke seluruh tubuhnya ketika suara langkah mulai mendekat.

“Bagaimana dengan Ibu? Jika aku pergi, maka mereka akan membunuh Ibu.”

“Dengarkan ibu, kau harus pergi dari sini! Kembalilah ke rumah Eun-Hye dan tinggal dengan tenang di sana. Ibu mohon, pergilah Ji-Hyun.”

Gebrakan yang kuat membuat keduanya sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa pria berpakaian hitam dengan pemimpin mereka baru saja mendobrak pintu. Seringai muncul di wajah pria itu ketika menatap wanita paruh baya yang memeluk putranya. 

 “Di mana liontinnya? Jangan berbohong padaku atau nyawamu akan melayang.”

Ibu Ji-Hyun menggeleng berkali-kali. “Aku tidak tahu.”

Dengan gerakkan cepat, pria itu menarik dan menempelkan pisau di leher Ji-Hyun. Sang ibu  gemetar dan sesekali memejamkan mata. Tubuhnya merosot seraya merapatkan kedua telapak tangan, berusaha memohon belas kasih.

“Kau pilih anakmu atau menyerahkan liontin itu?”

“Aku benar-benar tidak tahu apa pun tentang liontin yang kau maksud! Nam-Shik tidak pernah memberiku liontin apa pun. Aku berani bersumpah untuk itu!”

Pria itu menyeringai tak percaya. Tangannya mulai bergerak hendak menyayatkan pisau pada Ji-Hyun, tapi sang ibu dengan cepat menarik putranya. Posisi mereka bertukar, membuat pisau itu menancap cukup dalam ke punggungnya. Dengan sisa tenaga yang tersisa, ia mendorong Ji-Hyun keluar dari pintu yang rusak, lalu menahan pergelangan kaki penyerangnya sekuat mungkin.

Merasa kesal, pria itu kembali menghabisi sang ibu dengan tikaman pisau, sedangkan Ji-Hyun hanya diam tak berkutik menyaksikan kematian ibunya dari celah pintu. Air mata mengalir semakin deras dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Dengan sekuat tenaga, ia menggerakkan kaki untuk berlari menjauh dari tempat itu.

Air mata berbaur dengan air hujan yang membasahi tanah Yangju. Tepat ketika pria itu mengejarnya, ia bertemu dengan Kim Seo-Jung, penyelamatnya.

 

Ji-Hyun tersentak, napasnya memburu ketika kenangan itu berputar kembali dalam benaknya, seperti mimpi yang berulang. Ingatan akan kematian ibunya menghantui Ji-Hyun selama belasan tahun. Ji-Hyun mengedarjan pandangan, lalu menyadari bahwa dia berada di kamarnya. Masih dengan kemeja putih dan celana hitam yang ia kenakan kemarin. Hanya saja jas dan sepatunya telah dilepas. Ia duduk dan mulai mengatur napasnya.

Ketika hujan deras tanpa penerangan sama sekali. Rumah yang ia anggap sebagai pelindung berakhir menjadi tempat terakhir ia melihat ibunya. Setelah kejadian itu ia tidak tahu apa yang terjadi. Ia tidak tahu sesakit apa ibunya menahan semua luka itu untuk melindunginya.

Ketika Ji-Hyun hendak berdiri, seseorang mengetuk pintu disertai panggilan namanya.

 “Masuklah, Jung-Im.” Ji-Hyun berjalan menuju sofa yang melingkari sebuah meja kecil.

Seorang lelaki seusianya masuk, lalu duduk di hadapannya. “Maaf, aku baru pulang. Ketua Kang menyuruhku lembur semalaman.” Jung-Im melepas jas dan dasi yang ia kenakan. Wajahnya tampak lelah dengan lingkaran hitam di sekitar mata.

Ji-Hyun mengulas senyum tipis mendengar permintaan maaf sahabat sejak kecilnya itu. “Hn, itu tidak penting. Aku tahu kau si informan yang handal, makanya dia selalu memakaimu. Bukankah itu bagus?”

“Memang, tapi sebenarnya tidak bagus terlalu mengabdi pada seseorang yang tidak akan membayar nyawamu.”

Ji-Hyun terkekeh. “Ya, itu benar. Nyawa kita ini tidak berarti bagi mereka. Makanya itu aku ingin menunjukkan ini padamu.” Lelaki itu mengeluarkan buku bersampul coklat dari laci meja, lalu menyodorkannya pada Jung-Im.

“Apa ini? Buku catatan kejahatan? Lee Kyung-Ju dan Im Jae-Ra? Bukankah Im Jae-Ra adalah direktur utama J&R grup?” Sahabatnya itu memandang heran buku catatan dengan lima lembar pertama yang ditulis penuh, sedangkan halaman lainnya kosong.

“Kau benar. Aku mendapatkan catatan ini ketika Seo-jung meninggal.”

“Apa? Kenapa baru memberitahuku sekarang?”

Ji-Hyun mengangkat kedua bahunya seraya terkekeh pelan. Kejutan.”

“Kejutan? Maksudmu kau mendapatkan ini dua tahun yang lalu dan menunjukkannya sekarang? Ah, pasti ada yang kau mau dariku, ‘kan?”

“Bingo!” Ji-Hyun berseru seraya menunjuk temannya dengan telunjuk. Ia menegakkan posisi duduknya, menatap Jung-Im seraya tersenyum lebar sambil menautkan jemarinya. “Kau memang cepat tanggap, ya. Aku ingin kau mengamati catatan itu, lalu katakan apa yang kau pikirkan.”

Jung-Im menuruti. Tangannya menyentuh permukaan kertas yang tebal dengan tonjolan-tonjolan di permukaan. Alisnya bertaut ketika menyadari hal yang dimaksud Ji-Hyun. “Ini kertas mahal. Penulisnya orang yang berada.”

“Selain itu?” Ji-Hyun menumpukan dagu pada jemarinya, seolah mengharapkan lebih dari Jung-Im.

“Huruf braille.” Jung-Im mengeluarkan ponsel, lalu menaruh salah satu halaman di atas layar ponsel yang menyala. “Jika kita meletakkan kertas ini di atas sorotan cahaya, ada beberapa titik-titik yang digunakan dalam huruf braille. Itu artinya penulis ini pernah buta sebelumnya.”

Seperti anak kecil yang kegirangan, Ji-Hyun menepuk tangannya heboh. Matanya tampak berbinar dengan bibir yang membulat. “Woaaa …. Kau memang benar. Penulis yang berasal dari kalangan atas, serta orang yang pernah buta. Menurutmu, siapa yang menulisnya dan kenapa ia mengirimkannya padaku tepat di hari kematian Seo-Jung.”

“Ia mengundangmu untuk kembali ke Seoul dan bermain-main dengannya.”

“Kau tahu itu?”

“Ya, ini jelas sekali.”

“Kau tahu artinya apa?” pancing Ji-Hyun sekali lagi.

Jung-Im mengangguk. “Ya, akan ada yang mati sebelum musim dingin ini berakhir.”

***

 

 

 

 

[Bahasa Korea] -ssi = Akhiran yang digunakan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya atau orang yang kita hormati

[Bahasa Korea]  Daebak = Keren

[Bahasa Korea]  Gwaenchana = Kau baik-baik saja?

[Bahasa Korea]  Eomma = Ibu

[Bahasa Korea]  Eonni = Kakak perempuan

How do you feel about this chapter?

1 1 11 0 0 0
Submit A Comment
Comments (60)
  • siboratukangtulis

    Ceritanya keren kak????

    Comment on chapter 1. Meeting
  • Amelia2708

    keren ceritanya.

    Comment on chapter Prolog
  • Duth

    Mantap kak, pembawaan suasanya dapeet banget. Good luck yaa

    Comment on chapter Prolog
  • EqoDante

    Kereennn ceritanya.

    Comment on chapter Prolog
  • NaniSarahHapsari

    Keren

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    @Agrnysn Wahh, makasih kak xD

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    @Moonchild Nanti dijelaskan perlahan kok kak di chapter selanjutnya. Hehe

    Comment on chapter Prolog
  • Agrnysn

    Pertama kali aku baca cerita berlatar Korea yang mengangkat unsur misteri. Good!! Kebetulan aku kpopers, kaget nemu cerita Korea yang ngangkat unsur mister krn selama ini baca cerita romance melulu. Hehe
    Good lahh,

    Comment on chapter 1. Meeting
  • Moonchild

    Masalalu Eunhye sperti apa ya?

    Comment on chapter 1. Meeting
  • ReonA

    @suckerpain_ baca ampe akhir kreb wkwkwk

    Comment on chapter 1. Meeting
Similar Tags
Nothing Like Us
215      40     0     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...
Secret’s
38      17     0     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Kamu!
10      5     0     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
Dunia Tiga Musim
38      13     0     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Renjana: Part of the Love Series
3      3     0     
Romance
Walau kamu tak seindah senja yang selalu kutunggu, dan tidak juga seindah matahari terbit yang selalu ku damba. Namun hangatnya percakapan singkat yang kamu buat begitu menyenangkan bila kuingat. Kini, tak perlu kamu mengetuk pintu untuk masuk dan menjadi bagian dari hidupku. Karena menit demi menit yang aku lewati ada kamu dalam kedua retinaku.
Late Night Stuffs
10      3     0     
Inspirational
Biar aku ceritakan. Tentang tengah malam yang terlalu bengis untuk membuat pudar, namun menghentikan keluhan dunia tentang siang dimana semua masalah seakan menjajah hari. Juga kisah tentang bintang terpecah yang terlalu redup bagi bulan, dan matahari yang membiarkan dirinya mati agar bulan berpendar.
November Night
2      2     0     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Meet You After Wound
5      4     0     
Romance
"Hesa, lihatlah aku juga."
Salju di Kampung Bulan
10      6     0     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Renata Keyla
43      19     0     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...