Read More >>"> AMORE KARAOKE (Chapter 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - AMORE KARAOKE
MENU
About Us  

Putra melangkah lebar menuruni tangga dengan amarah yang telah menyelimuti dirinya. Gulungan kertas di tangan kanannya semakin tak berbentuk ketika melihat anak tunggalnya tidur santai di sofa ruang tamu, seolah tak ada masalah dengan IPK semester enam yang bobrok.

Devon melirik malas saat Papa berdiri di sampingnya. Dari raut mengerikan itu tak perlu menjadi cenayang untuk menebak arti di balik wajah wibawa itu. Tangannya kembali terulur ke depan, memencet-mencet tombol remot, berlari dari channel ke channel. Tak ada yang seru di layar TV 65 inchi itu, tak ada yang menarik selama tiga tahun berlalu, tak ada yang berbeda. Masih sama penuh dengan kesedihan.

Berdebat dengan Papa menjadi salah satu pelampiasan atas kesedihannya selama ini.

Ini bakal seru!Batinnya.

Senyuman yang tersungging di ujung bibir anaknya semakin mengundang Putra memaki Devon.“Berhenti main-main atau Papa rusak semua gitar kamu!” Gertak Putra nyaris menggetarkan kaca  rumah

“Silahkan aja kalau bisa!”Dan kalau tahu tempat gue sembunyiin semua gitar-gitar itu. Imbuhnya dalam batin.

Putra mengeluarkan ponsel dari saku kemajanya lalu menghubungi seseorang. Beberapa detik kemudian, Mang Marno datang tergopoh-gopoh membawa banyak kantong gitar lalu menyimpan di depan majikannya.

Kerja otaknya yang begitu tanggap melihat kantong-kantong gitar yang familiar itu memancing Devon melompat dari posisi tidur

Sial si Revi!

Tanpa memberi kesempatan bagi Devon melihat alat musik itu keluar dari kantongnya, Putra menendang, menginjak, meremukkan benda di baliknya hingga bunyi retakan tak dapat dihindari. Satu gitar tidak menimbulkan respon dari anaknya, dia melakukan hal yang sama dengan kantung gitar selanjutnya. Melihat Devon hanya bergeming di balik wajahnya yang menegang, Putra mengeluarkan isi kantung gitar yang lain lalu menghantamkannya pada meja kayu jati.

Amarah semakin bergemuruh di dada Devon tatkala melihat badan gitar telah terbelah dengan senarnya mencuat-cuat. Hanya menunggu beberapa detik lagi energi dari ujung kaki hingga ujung kepala menghentikan semua aksi kejam Putra. Tepat saat Putra meraih kantong gitar berwarna abu yang membangkitkan kenangan Devon bersama Nanzo, tangan cowok itu terulur, mencekam keras lengan Putra hingga kukunya tertancap kuat ke kulit keriput itu.

Putra menoleh. Sorot mata penuh amarah dan kebencian itu menyambut Devon, namun seberapa marah pun Devon kepadanya, Putra membalasnya dengan tatapan lembut dan hangat. Devon tertegun menyadari amarah itu hanya sedikit sekali terselip dalam diri Papa. Dan yang terpampang di depannya adalah tatapan yang memancarkan kasih sayang.

Devon menggeleng seraya meregangkan cengkramannya.“Jangan yang itu Pa, itu dari Nanzo.” Ucapnya lirih berbanding terbalik dengan sorot kemarahan beberapa detik yang lalu.

Keheningan mengambil alih rumah tingkat 3 itu untuk sesaat, hingga akhirnya tiba-tiba ketegangan kembali meluruhkan keheningan….

BRUKKK!!!

Putra menghancurkan gitar itu dalam sekali hentakan ke meja jati lalu menendangnya ke pojok ruangan nyaris menghantam guci besar. Dalam sepersekian detik cengkraman di kulitnya semakin sakit namun itu tidak sebanding dengan rasa sakit melihat  masa depan anaknya yang nyaris hancur. Ini bukan tentang IPK yang hancur  tapi tentang Devon yang menghancurkan dirinya sendiri.

“Papa!” Sentak Devon.

Menangisi seseorang yang telah pergi, mengenang terlalu dalam orang yang telah berbeda dunia, mematikan diri sendiri hingga tidak menyadari banyak orang yang menggantungkan hidup kepadanya adalah rentetan tindakan paling sukses untuk menghancurkan diri. Putra melangkah mendekat, menepuk pelan rahang Devon yang mengeras. Kokohnya rahang itu menyadarkannya bahwa anaknya telah tumbuh menjadi pria dewasa yang gagah namun penuh luka di dalam.

Sentuhan lembut di pipi itu tidak menarik Devon untuk melihat  kasih sayang yang dialirkan Putra. Telapak tangannya yang telah bebas mencengkram lengan Putra, mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Benda di balik kantung abu itu teronggok tak berdaya, walaupun dia yakin tidak ada bunyi retakan di badan alat musik itu namun gesekan kecil pasti akan terpampang jelas. Usahanya menjaga benda itu tiga tahun ini, membersihkannya nyaris setiap minggu, menempatkannya di bagian tempat paling aman, hanya sia-sia.

“Karena Nanzo kamu seperti ini. Sudahi, Nak. Papa tidak mau kamu terus-menerus menerima amarah Papa.”

Devon yang mengeras tidak sedikipun tersihir oleh rangkaian kata bernada lembut itu.“Kenapa Papa memaksa aku memasuki dunia yang tidak aku sukai sama sekali?”Tanya Devon datar.

“Kamu yang menawarkan pada Papa.”

Devon memundurkan badannya hingga sentuhan Putra terlepas. “Itu dulu sebelum..” Devon menggantungkan ucapannya, mulutnya semati hidupnya setiap mencetuskan nama itu.

“Sebelum Nanzo meninggal? Hidup di dunia karena Nanzo?” Putra menciptakan jeda sejenak, mengatur napasnya yang member. “Jika Nanzo mati kamu ikut mati juga?” Nada Papa semakin meninggi seiring dengan rasa perih dalam hati Devon setiap menyadari  sepupunya telah berpisah dunia dengannya.

“Pa, aku ingin hidup sesuai dengan jalanku sendiri.”

“Tapi jalan yang kamu pilih salah. Tidak selalu yang kamu pilih itu benar.”

“Pa...aku punya kehidupan sendiri. Tidak harus selalu bergantung pada keluarga ini!”

Raut lembut seorang Ayah itu pudar, ditutupi oleh aura wibawa seorang Putranto. Putra menegakkan tubuhnya, kedua tangannya bertengger di saku celana.“Oke, kamu urus hidup kamu sendiri. Jangan pernah meminta apapun kepada keluarga ini!” Tutup Putra sebelum hengkang meninggalkan Devon.

***

“Mora!”

Suara cempreng itu tidak asing di telinga Mora sehingga memaksanya semakin melangkah lebar menjauhi sumber suara. Tepat hendak melangkah memasuki lift, si sumber suara sudah berdiri di sampingnya sambil menahan tombol yang berkedip merah di samping lift.

Mora termangu. Tidak ada pilihan selain melangkah ke ruangan kubus itu bersama Cecil yang nyaris seminggu ini menunggu dan mengejarnya setiap  selesai kuliah dan dia mati-matian menghindari cewek berambut lurus seperti  spaghetti  itu.

“Kita harus bicara.” Bisik Cecil setelah lift bergerak ke bawah.  Mora hanya bergeming menatap angka berwarna merah di layar kecil, berharap lift dapat begerak cepat menuju lantai 1. Dipeluknya erat buku tebal di dadanya, mengusir getaran hebat yang kecepatannya semakin meninggi dalam hitungan detik. Otaknya terus berputar mencari cara untuk pergi secepat mungkin dari jangkaun Cecil. Saat layar kecil menunjukkan angka 2, Mora memajukan tubuhnya semakin mendekati pintu lift.

TING!

Pintu lift terbuka, memberi jalan bagi Mora yang siap melangkah keluar. Namun, baru setengah langkah, gerombolan orang yang berdiri tepat di depan lift menariknya menuju lorong kamar mandi. Lalu menguncinya sendiri di kamar mandi.

“Apaan nih?Buka woy!”Bentak Mora sambil mengedor-ngedor pintu.

Thanks ya. Nanti gue susul kalian.” Suara khas itu menghentikan aksi berontak Mora.

“Kita tunggu traktirannya ya.”Sahut salah seorang komplotan asing itu.

Mendengar langkah kaki serempak yang semakin menjauh, Mora ikut memundurkan langkahnya hingga menabrak bilik pintu WC. Dia hendak berbalik dan membuka bilik itu namun Cecil sudah berdiri di ambang pintu dan langsung menggapai tangannya.

“Mora, tolong berhenti.” Cecil menatap Mora yang semakin menenggelamkan wajahnya. Rambut keriting yang entah kapan terakhir kali dipotong itu diikat asal-asalan. Meskipun Mora sangat cuek dalam urusan penampilan, dia tidak akan membiarkan rambut keriting kesayangannya memanjang dan jauh dari kata rapih seperti sekarang. Bola mata Cecil bergerak ke atas lalu ke bawah. Sosok di depannya nyaris persis seperti cowok-cowok teknik di pinggir taman yang tadi menggodanya. Di balik kemeja hijau kotak-kotak yang seluruh kancingnya sengaja tidak dikaitkan itu, sebuah kaos hitam polos membungkus tubuh kurus Mora.

“Mor…” Cecil tidak mampu meneruskan kalimatnya mendapati tubuh di  depannya nyaris kehilangan lemak. Cecil selalu ingat keluhan yang kerap dilontarkan Mora. “Cil..paha gue makin besar.”

Kalimat curhatan itu yang langsung terlintas di benaknya ketika melihat paha yang dibaluti  jeans biru tua itu semakin menonjolkan tulang.

“Ada apa lagi, Cil?” Tanya Mora berusaha memuka mulutnya yang bergetar. Sorot mata yang penuh kelemahan itu dipaksakan penuh penegasan.

Cecil sangat gatal merengkuh sosok tak berdaya di depannya. Setelah tiga tahun, ini pertama kalinya menyoroti detail wajah yang kini didominasi oleh tulang pipi yang semakin menonjolkan bentuknya.

“Gue sibuk Cil.”

Cecil menggeleng. Punggung tangannya menekan mata yang mulai diselimuti selaput bening. “Gue kangen lo.”Ucapnya serak.

Hentakan besar menyerang dadanya. Tekanan kuku pada buku tebal di tangan kanannya nyaris merobek cover buku itu. Perutnya terasa dihantam palu yang beratnya ribuan ton.Tiga kata itu mengalirkan kehangatan yang menjalarinya tubuhnya yang tiga tahun terakhir ini sudah mendingin, sedingin mayat hidup. “Ada apa?” Tanya Mora lagi di balik usahanya menahan bendung air mata yang berusaha menyerobos pinggir matanya.

Cecil meniupkan napas. Nada pertanyaan yang super datar sedatar wajah empunya itu menampar Cecil, menimbulkan luka yang semakin mengangga. Tapi luka yang dideritanya jauh dari kata sakit dari luka yang diidap sahabatnya itu. “Gue pengen kita kumpul bareng lagi.”

Mora menggeleng tegas. “Nggak Cil. Nggak ada lagi lo, nggak ada lagi Ola, nggak ada lagi Ambar.”

“Mor, kita harus perbaiki ini. Kita bertahun-tahun udah sahabatan.”

Mora tersenyum kecut.“Bertahun-tahun?Hanya empat tahun Cil, setelahnya kalian musuhin gue.”

“Empat tahun mungkin terasa singkat buat lo.Tapi asal lo tahu rasa persahabatannya nggak sesingkat itu.”

Kedua kalinya hentakan itu menyerangnya, namun dengan kekuatan yang lebih besar. Yang diserang bukan hanya dadanya, sekujur tubuhnya pula merasakan kekuatan hentakan itu. Apa benar? Pikirnya.  Mora menggeleng tegas, mengusir segala kemungkinan yang membangkitkan kenangan masa lalu. “Itu buat lo aja, Cil. Nggak buat gue. Dan pasti nggak buat Ambar terutama Ola.”

“Gue yakin lo nggak pernah yakin dengan apa yang lo katakan barusan.” Cecil menelan ludah, mendengar kalimat itu keluar dari sahabat yang paling dirindukannya itu sangat menyesakkan dada. “Ola sama Ambar mau ketemu sama lo.”

Gemuruh menepuk-nepuk dada Mora, memberikan sinyal pada sel-sel otaknya untuk menangis saat ini juga. “Gue nggak mau.”Tandasnya setelah berhasil menepis keinginan terkuatnya itu.

Cecil terlihat menenangkan dirinya sendiri. Berkali-kali dia menghela napas sebelum mulai berbicara. “Oke, gue ngerti lo belum siap. Tapi kalau lo berubah pikiran datang ke kafé ini.”  Tangan Cecil merogoh sesuatu di dalam tas jinjingnya. Sebuah kertas berisi alamat sebuah café disodorkan ke hadapan Mora. Mengusir kemungkinan kertas kecil itu akan ditolak mentah-mentah, diselipkannya kertas itu di saku kemeja Mora. Tanpa memberikan kesempatan bagi Mora membuka mulutnya, Cecil melangkah mundur sambil melambaikan tangannya.

Getaran ponsel di saku jeans mengalihkan pandangannya dari Cecil yang semakin mengecil di ujung sana. Panggilan dari Mami tercetak jelas di layar sentuh benda kotak itu. “Halo, Mi..Mora bentar lagi pu—“

Isak tangis Mami di ujung telepon membekukkan sekujur tubuh Mora. Ucapan Mami yang terbata-bata semakin jelas. Dalam hitungan detik, bumi yang ditapakinya akan ambruk, menguburnya dalam, menutup semua jalur pernapasan.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)

    Comment on chapter Chapter 1
Similar Tags
Kesya
88      31     0     
Fan Fiction
Namaku Devan Ardiansyah. Anak kelas 12 di SMA Harapan Nasional. Karena tantangan konyol dari kedua temanku, akhirnya aku terpaksa harus mendekati gadis 'dingin' bernama Kesya. Awalnya pendekatan memang agak kaku dan terkesan membosankan, tapi lama-kelamaan aku mulai menyadari ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Kesya. Awal dari ancaman terror dikelas hingga hal mengerikan yang mulai ...
Senja Menggila
3      3     0     
Romance
Senja selalu kembali namun tak ada satu orang pun yang mampu melewatkan keindahannya. Dan itu.... seperti Rey yang tidak bisa melewatkan semua tentang Jingga. Dan Mentari yang selalu di benci kehadirannya ternyata bisa menghangatkan di waktu yang tepat.
Senja Belum Berlalu
26      4     0     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
REASON
59      20     0     
Romance
Gantari Hassya Kasyara, seorang perempuan yang berprofesi sebagai seorang dokter di New York dan tidak pernah memiliki hubungan serius dengan seorang lelaki selama dua puluh lima tahun dia hidup di dunia karena masa lalu yang pernah dialaminya. Hingga pada akhirnya ada seorang lelaki yang mampu membuka sedikit demi sedikit pintu hati Hassya. Lelaki yang ditemuinya sangat khawatir dengan kondi...
Chahaya dan Surya [BOOK 2 OF MUTIARA TRILOGY]
172      35     0     
Science Fiction
Mutiara, or more commonly known as Ara, found herself on a ship leading to a place called the Neo Renegades' headquarter. She and the prince of the New Kingdom of Indonesia, Prince Surya, have been kidnapped by the group called Neo Renegades. When she woke up, she found that Guntur, her childhood bestfriend, was in fact, one of the Neo Renegades.
Blue Rose
2      2     0     
Romance
Selly Anandita mengambil resiko terlalu besar dengan mencintai Rey Atmaja. Faktanya jalinan kasih tidak bisa bertahan di atas pondasi kebohongan. "Mungkin selamanya kamu akan menganggapku buruk. Menjadi orang yang tak pantas kamu kenang. Tapi rasaku tak pernah berbohong." -Selly Anandita "Kamu seperti mawar biru, terlalu banyak menyimpan misteri. Nyatanya mendapatkan membuat ...
Kala Saka Menyapa
135      31     0     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
When Home Become You
3      3     0     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Tenggelam dalam Aroma Senja
3      3     0     
Romance
Menerima, adalah satu kata yang membuat hati berat melangkah jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Menunggu, adalah satu kata yang membuat hati dihujani ribuan panah kerinduan. Apakah takdir membuat hati ikhlas dan bersabar? Apakah takdir langit menjatuhkan hukuman kebahagian? Entah, hanyak hati yang punya jawabannya.
Sibling [Not] Goals
10      7     0     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...