Read More >>"> Nothing Like Us (29. Pingsan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Nothing Like Us
MENU
About Us  

Petangnya aku mendapat telepon dari ayah melalui telepon meja piket. Langit masih berwarna biru bersih. Matahari semakin turun ke arah barat. Dari tempatku berdiri dapat melihat matahari tanpa harus mendongak, seperti bola panas raksasa itu sejajar.

Sejak pelajaran terakhir, badanku kembali panas serta meriang. Untung saja tidak pusing hanya saja lemas sekali sekedar berjalan.

Kuangkat gagang telepon. Nada cemas terdengar dibalik suaranya. Ayah sudah tau perihal aku sakit.

“Aku Cuma flu Yah. Enggak apa – apa.” Kataku menenangkannya.

“Enggak apa – apa gimana? Kamu itu jarang sakit.” Tukas Ayah yang membuatku mendengus pelan. Jarang sakit bukan berarti tidak pernah bukan?

“Sudah makan? Tadi kamu masuk kelas?”

“Sudah. Masuk setelah istirahat kedua Yah. Dua pelajaran yang aku ikutin.”

“Sekarang gimana?” Alisku terangkat sempat tak mengerti pertanyaannya. Aku membasahi bibirku sebelum menjawab. “Masih lemas. Nanti juga sembuh.”

Ayah tidak meyahuti dari seberang sana setelah itu. Aku merapatkan gagang telepon mendengarkan suara samar yang terdengar. Suara perempuan yang terdengar jauh sekali. Aku mengernyitkan kening. Dari tadi hanya suara Ayah yang terdengar, tidak ada suara ramai. Sebenarnya Ayah berada di mana?

“Yah?” Panggilku mengharapkan sautan. Kupanggil kembali hingga dua kali namun tidak kunjung disauti.

Bahkan, sekarang terdengar dua orang bercakap tidak jauh dari telepon. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena terdengar samar. Aku menunggu saja sampai Ayah mengambil teleponnya. Siapa tahu Ayah tiba – tiba kedatangan tamu jika dia di kantor. Entahlah.

“Ine?”

Ayah kembali. Aku menegakkan punggung.

“Kamu sudah minum obat apa? Nanti malam Ayah jemput ya, kita ke dokter.”

“Enggak usah Yah.” Tolakku segera. “Ayah lagi dimana?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Kamu bukan di rumah Ne. Enggak ada yang ngurus kamu di sana pasti. Kan sudah Ayah pinta, kalau kamu ada apa – apa bilang. Sekarang, kamu enggak kabarin Ayah sama sekali.” Kedengarannya Ayah mulai marah.

“Memangnya Ayah lagi dimana?” Aku bersikeras dengan pertanyaan yang sebelumnya.

“Di rumah.” Jawabnya datar.

“Oh, tadi ada tamu ya?”

Hening.

Aku kembali merapatkan gagang telepon dengan dahi berkerut. Ayah menghilang kemana lagi?

“Siswi tahun pertama ya?”

Aku terperanjat. Itu bukan suara dari telepon. Itu suara seorang cowok di depanku yang baru saja lewat. Aku tidak menyadarinya tadi dia berhenti dan memperhatikanku. Sejenak, aku turunkan gagang telepon dan mengangguk kepadanya.

“Setelah ini ke lapangan ya. Kamu tahukan perihal hukuman waktu itu. Tolong ya?” Dia menunjuk lapangan yang sudah ramai murid yang rata – rata murid tahun pertama.

Aku menimbang sesaat kemudian mengangguk ragu. Sekedar agar siswa tadi pergi sehingga aku bisa kembali bicara dengan Ayah.

Setelah siswa itu pergi, aku mendekatkan kembali gagang telepon. Memanggilnya tiga kali dan tidak mendapat sautan. Aku menghela napas ketika kuperiksa, panggilan sudah ditutup. Perlahan aku menjauhi meja piket dan bergegas ke lapangan.

Aku mengenal siswa tadi. Hanya mengenal wajah saja. Dia siswa yang menjadi juru bicara di ruang BK tempo hari. Benar, dia hari ini menjalankan hukuman senam bersama Dipo.

Aku masuk ke dalam barisan. Tepatnya barisan paling belakang. Lapangan sudah padat dan tidak ada celah untukku bergabung sekedar dengan penghuni kamar 9—yang entah bergabung di lapangan atau tidak.

Senam belum dimulai. Barisan sedang dirapihkan agara nyaman ketika bergerak nanti. bergeser mengikuti posisi siswi terdepan barisan. Kuletakkan tangan ke kening, iseng merasakan suhu badanku bagaimana. Untuk mengukur apakah aku masih kuat atau aku mundur saja.

Panas.

Tidak. Ini hanya panas. Aku masih kuat. Hanya bergerak sedikit aku pasti kuat.

Bug!

Tubuhku terjerembab ke samping. Sepertinya aku tadi melamun sehingga tidak bergeser dan orang di sampingku bergeser tidak mengindahkan aku yang masih berdiri di tempat.

Siswi yang menubrukku tadi membantu berdiri. Sigap dia menarik tanganku. Belum juga aku berdiri tegak, badanku limbung—hendak kembali terjatuh. Kepalaku pusing bukan main. Perutku terasa tertekan. Ketika aku menarik napas, ada yang tertarik dari dalam perutku hendak keluar.

Dengan sisa kekuatan aku balik kanan, berusaha berlari ke kamar mandi terdekat yang berada 12 meter dari lapangan.

“Ne! Mau kemana!?” Seru seseorang yang tak kukenali suaranya. Aku tidak menghiraukannya dan bergegas ke kamar mandi. Aku tidak ingin muntah di depan orang banyak.

Mendadak, pundakku ditahan dari belakang dengan kuat. Tubuhku terhuyung ke belakang. Dengan wajah lemas dan tangan mendekap mulut aku menatapnya seperti memohon. Tanpa repot, dia tidak mengindahkan ekspresiku itu.

“Gua tau hukuman lu sudah tuntas. Memangnya enggak bisa bantuin kita sedikit?” Selorohnya dengan nada marah yang menyebalkan. Orang yang berada di hadapanku adalah siswa yang menyuruhku ke lapangan tadi.

Aku menyingkirkan tangannya yang masih bertengger di bahuku dengan mendorong bahuku menjauh. Dia terlihat tidak suka diperlakukan seperti itu. lihat saja, dia maju selangkah memangdangku tajam.

“Udah banyak yang kabur. Sekarang, enggak ada lagi yang boleh kabur. Kenapa enggak bisa ngehargain orang? Cepat balik ke lapangan!” Dia memerintah dan menarik tanganku paksa. Aku menahan tanganku sebisa mungkin.

Tolong perutku benar – benar terasa terkocok. Tidak bisakah dia lihat wajahku yang sudah kehilangan rona ini?

“Sebentar.” Ucapku dalam penuh penekanan. Dia mengerling tajam yang kubalas tepisan tangan. Kembali aku membekap mulut. Aku benar – benar akan muntah sekarang. Segera aku berlari ke selokan terdekat dan memuntahkan semua yang tadi mendesak untuk keluar.

Siswa tadi bergeming di tempat menatapku sesaat kemudian membuang muka—sepertinya dia jijik. Setelah perjuangan sadar dan tidak sadar, aku berdiri dan sekali lagi badanku limbung. Sebuah tangan merangkul bahuku dari belakang dan membantu menopang tubuhku. Tangan satunya lagi menyerahkan tisu kepadaku. Aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk meraih tisu itu.

“Ayo ke UKS.” Ucapnya di telingaku.

Aku tahu suara siapa ini. Yandra. Aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Mulutku terlalu pahit dalam sekali kecap. Perlahan aku digiring menjauhi lapangan.

Samar, kudengar suara Dipo di belakang kami. Aku penasaran. Dengan sisa tenaga kutolehkan kepala memastikan dugaanku. Dipo yang membelakangi kami sedang berhadapan dengan siswa tadi.

“Liat enggak sih mukanya pucat? Kalau teman yang lain enggak ikut senam biarin aja. Kakak kelas banyak yang gabung tuh. Kalau cewek tadi pingsan, siapa yang mau tanggung jawab?” Kata Dipo agak keras. Beberapa murid di barisan belakang menoleh penasaran.

“Gua Cuma mau kita selesai sama hukuman ini! Kenapa jadi lu yang marah Dip?”

“Karena—gua udah larang dia gabung. Gua tau dia sakit. Dan lu kasarin dia. Lu selalu kasar sama semua orang demi kepentingan pribadi lu. Lu sadar enggak?”

“Apa apan—“

Aku tidak mendengar lagi perkataan siswa tadi setelah itu. karena mendadak pandanganku kabur dan langsung gelap total. Aku masih bisa merasakan badanku jatuh dan teriakkan Yandra yang nyaring.

“Bagas! Dipo! Tolong! Ine pingsan!”

 

 

 

-----Bersambung-----

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (29)
  • shooky215

    Suka suka suka sekali sama ceritanya dek<3

    Comment on chapter PROLOG
  • SusanSwansh

    Halo. Ceritanya bagus, cuma mau kasih saran sedikit biar lebih keren lagi. Untuk penulisan kata panggilan dalam sebuah dialog, itu pakai huruf kapital di awal. Nak, Mah, Yah. Dll. Satu lagi saran saya, perdalam lagi EBInya. Saya sendiri masih awam. Masih belajar juga. Cuma kata Pak Editor saya, penulis juga harus jadi ibu untuk naskahnya. Salam. Semangat terus ya.

    Comment on chapter Awal
  • dhinioctv

    [ Dhin's note: halo semua~ terimakasih karena kalian sudah menyempatkan membaca, memberikan like serta review pada ceritaku ini>_< jujur aku senang sekalii, alhamdulillah para pembaca menyukai ceritaku~ terimakasih banyak. tolong berikan dukungan dan doa dari kalian yaaa. Jika ada kritikan dan saran, silahkan comment atau bisaa kirim pesan ke inbox-ku, yaaa~ aku masih awam, jadi butuh kritik saran serta dukungan dari adik-adik, teman-teman, dan kakak-kakak sekalian. biggg loveee guyss~ ]

    Comment on chapter PROLOG
  • JenniesMine

    Rajin2 next ya thor, sumpah cerita ny keren kebangetan saya suka

    Comment on chapter Little Secret.
  • dreamhigh23

    Cemungut Thor kalok aku suka bngt sm nii cerita

    Comment on chapter Little Secret.
  • KesayanganJimin

    Setiap chapter ada aj yg bkin hati q baper,,, from now i like your story very much,,, Semangat kk keren bgt ini

    Comment on chapter Little Secret.
  • Kimtae11

    Buruan up jga, gasabar lanjutanya????

    Comment on chapter Pertemuan
  • Kimtae11

    Semangat thorr

    Comment on chapter Pertemuan
  • flower_flo

    Gila guru killer aja masih banyak yang ngefans wkwk

    Comment on chapter Bad Day!
  • Ninda

    Lanjut Thor????.... ceritanya makin menarik unchhh....Saranghae unnie????????

    Comment on chapter Dia.
Similar Tags
Bukan kepribadian ganda
219      129     0     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Night Wanderers
352      199     0     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...
HOME
12      12     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
Gomawo
51      41     0     
Fan Fiction
Dia, datang. Dia, merubah. Dia, dunia. Hidup seorang Park Jihoon berubah 180 derajat setelah bertemu dengannya. Seorang yeoja bernama Yi Rang yang telah merubah dunianya. Yang membuatnya bahagia sekaligus berdebar menunggu kedatangannya. Yang membuatnya mampu untuk berani menggenggam tangan yeoja tersebut dengan penuh ketulusan.
Ikatan itu Bernama Keluarga
11      11     0     
Inspirational
Tentang suatu perjalanan yang sayang untuk dilewatkan. Tentang rasa yang tak terungkapkan. Dan tentang kebersamaan yang tak bisa tergantikan. Adam, Azam, dan Salma. Hal yang kerap kali Salma ributkan. Ia selalu heran kenapa namanya berinisial S, sedangkan kedua kakaknya berinisial A. Huruf S juga membuat nomor absennya selalu diurutan belakang. Menurut Salma, nomor belakang itu memiliki ban...
RANIA
62      42     0     
Romance
"Aku hanya membiarkan hati ini jatuh, tapi kenapa semua terasa salah?" Rania Laila jatuh cinta kepada William Herodes. Sebanarnya hal yang lumrah seorang wanita menjatuhkan hati kepada seorang pria. Namun perihal perasaan itu menjadi rumit karena kenyataan Liam adalah kekasih kakaknya, Kana. Saat Rania mati-matian membunuh perasaan cinta telarangnya, tiba-tiba Liam seakan membukak...
Sherwin
11      10     1     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Teru Teru Bozu
13      13     0     
Short Story
“Teru-teru bozu, make tomorrow into a bright day and i’ll bring you something”
Zo'r : The Teenagers
111      78     0     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
Half Moon
31      22     0     
Mystery
Pada saat mata kita terpejam Pada saat cahaya mulai padam Apakah kita masih bisa melihat? Apakah kita masih bisa mengungkapkan misteri-misteri yang terus menghantui? Hantu itu terus mengusikku. Bahkan saat aku tidak mendengar apapun. Aku kambuh dan darah mengucur dari telingaku. Tapi hantu itu tidak mau berhenti menggangguku. Dalam buku paranormal dan film-film horor mereka akan mengatakan ...