Petangnya aku mendapat telepon dari ayah melalui telepon meja piket. Langit masih berwarna biru bersih. Matahari semakin turun ke arah barat. Dari tempatku berdiri dapat melihat matahari tanpa harus mendongak, seperti bola panas raksasa itu sejajar.
Sejak pelajaran terakhir, badanku kembali panas serta meriang. Untung saja tidak pusing hanya saja lemas sekali sekedar berjalan.
Kuangkat gagang telepon. Nada cemas terdengar dibalik suaranya. Ayah sudah tau perihal aku sakit.
“Aku Cuma flu Yah. Enggak apa – apa.” Kataku menenangkannya.
“Enggak apa – apa gimana? Kamu itu jarang sakit.” Tukas Ayah yang membuatku mendengus pelan. Jarang sakit bukan berarti tidak pernah bukan?
“Sudah makan? Tadi kamu masuk kelas?”
“Sudah. Masuk setelah istirahat kedua Yah. Dua pelajaran yang aku ikutin.”
“Sekarang gimana?” Alisku terangkat sempat tak mengerti pertanyaannya. Aku membasahi bibirku sebelum menjawab. “Masih lemas. Nanti juga sembuh.”
Ayah tidak meyahuti dari seberang sana setelah itu. Aku merapatkan gagang telepon mendengarkan suara samar yang terdengar. Suara perempuan yang terdengar jauh sekali. Aku mengernyitkan kening. Dari tadi hanya suara Ayah yang terdengar, tidak ada suara ramai. Sebenarnya Ayah berada di mana?
“Yah?” Panggilku mengharapkan sautan. Kupanggil kembali hingga dua kali namun tidak kunjung disauti.
Bahkan, sekarang terdengar dua orang bercakap tidak jauh dari telepon. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan karena terdengar samar. Aku menunggu saja sampai Ayah mengambil teleponnya. Siapa tahu Ayah tiba – tiba kedatangan tamu jika dia di kantor. Entahlah.
“Ine?”
Ayah kembali. Aku menegakkan punggung.
“Kamu sudah minum obat apa? Nanti malam Ayah jemput ya, kita ke dokter.”
“Enggak usah Yah.” Tolakku segera. “Ayah lagi dimana?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Kamu bukan di rumah Ne. Enggak ada yang ngurus kamu di sana pasti. Kan sudah Ayah pinta, kalau kamu ada apa – apa bilang. Sekarang, kamu enggak kabarin Ayah sama sekali.” Kedengarannya Ayah mulai marah.
“Memangnya Ayah lagi dimana?” Aku bersikeras dengan pertanyaan yang sebelumnya.
“Di rumah.” Jawabnya datar.
“Oh, tadi ada tamu ya?”
Hening.
Aku kembali merapatkan gagang telepon dengan dahi berkerut. Ayah menghilang kemana lagi?
“Siswi tahun pertama ya?”
Aku terperanjat. Itu bukan suara dari telepon. Itu suara seorang cowok di depanku yang baru saja lewat. Aku tidak menyadarinya tadi dia berhenti dan memperhatikanku. Sejenak, aku turunkan gagang telepon dan mengangguk kepadanya.
“Setelah ini ke lapangan ya. Kamu tahukan perihal hukuman waktu itu. Tolong ya?” Dia menunjuk lapangan yang sudah ramai murid yang rata – rata murid tahun pertama.
Aku menimbang sesaat kemudian mengangguk ragu. Sekedar agar siswa tadi pergi sehingga aku bisa kembali bicara dengan Ayah.
Setelah siswa itu pergi, aku mendekatkan kembali gagang telepon. Memanggilnya tiga kali dan tidak mendapat sautan. Aku menghela napas ketika kuperiksa, panggilan sudah ditutup. Perlahan aku menjauhi meja piket dan bergegas ke lapangan.
Aku mengenal siswa tadi. Hanya mengenal wajah saja. Dia siswa yang menjadi juru bicara di ruang BK tempo hari. Benar, dia hari ini menjalankan hukuman senam bersama Dipo.
Aku masuk ke dalam barisan. Tepatnya barisan paling belakang. Lapangan sudah padat dan tidak ada celah untukku bergabung sekedar dengan penghuni kamar 9—yang entah bergabung di lapangan atau tidak.
Senam belum dimulai. Barisan sedang dirapihkan agara nyaman ketika bergerak nanti. bergeser mengikuti posisi siswi terdepan barisan. Kuletakkan tangan ke kening, iseng merasakan suhu badanku bagaimana. Untuk mengukur apakah aku masih kuat atau aku mundur saja.
Panas.
Tidak. Ini hanya panas. Aku masih kuat. Hanya bergerak sedikit aku pasti kuat.
Bug!
Tubuhku terjerembab ke samping. Sepertinya aku tadi melamun sehingga tidak bergeser dan orang di sampingku bergeser tidak mengindahkan aku yang masih berdiri di tempat.
Siswi yang menubrukku tadi membantu berdiri. Sigap dia menarik tanganku. Belum juga aku berdiri tegak, badanku limbung—hendak kembali terjatuh. Kepalaku pusing bukan main. Perutku terasa tertekan. Ketika aku menarik napas, ada yang tertarik dari dalam perutku hendak keluar.
Dengan sisa kekuatan aku balik kanan, berusaha berlari ke kamar mandi terdekat yang berada 12 meter dari lapangan.
“Ne! Mau kemana!?” Seru seseorang yang tak kukenali suaranya. Aku tidak menghiraukannya dan bergegas ke kamar mandi. Aku tidak ingin muntah di depan orang banyak.
Mendadak, pundakku ditahan dari belakang dengan kuat. Tubuhku terhuyung ke belakang. Dengan wajah lemas dan tangan mendekap mulut aku menatapnya seperti memohon. Tanpa repot, dia tidak mengindahkan ekspresiku itu.
“Gua tau hukuman lu sudah tuntas. Memangnya enggak bisa bantuin kita sedikit?” Selorohnya dengan nada marah yang menyebalkan. Orang yang berada di hadapanku adalah siswa yang menyuruhku ke lapangan tadi.
Aku menyingkirkan tangannya yang masih bertengger di bahuku dengan mendorong bahuku menjauh. Dia terlihat tidak suka diperlakukan seperti itu. lihat saja, dia maju selangkah memangdangku tajam.
“Udah banyak yang kabur. Sekarang, enggak ada lagi yang boleh kabur. Kenapa enggak bisa ngehargain orang? Cepat balik ke lapangan!” Dia memerintah dan menarik tanganku paksa. Aku menahan tanganku sebisa mungkin.
Tolong perutku benar – benar terasa terkocok. Tidak bisakah dia lihat wajahku yang sudah kehilangan rona ini?
“Sebentar.” Ucapku dalam penuh penekanan. Dia mengerling tajam yang kubalas tepisan tangan. Kembali aku membekap mulut. Aku benar – benar akan muntah sekarang. Segera aku berlari ke selokan terdekat dan memuntahkan semua yang tadi mendesak untuk keluar.
Siswa tadi bergeming di tempat menatapku sesaat kemudian membuang muka—sepertinya dia jijik. Setelah perjuangan sadar dan tidak sadar, aku berdiri dan sekali lagi badanku limbung. Sebuah tangan merangkul bahuku dari belakang dan membantu menopang tubuhku. Tangan satunya lagi menyerahkan tisu kepadaku. Aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk meraih tisu itu.
“Ayo ke UKS.” Ucapnya di telingaku.
Aku tahu suara siapa ini. Yandra. Aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata. Mulutku terlalu pahit dalam sekali kecap. Perlahan aku digiring menjauhi lapangan.
Samar, kudengar suara Dipo di belakang kami. Aku penasaran. Dengan sisa tenaga kutolehkan kepala memastikan dugaanku. Dipo yang membelakangi kami sedang berhadapan dengan siswa tadi.
“Liat enggak sih mukanya pucat? Kalau teman yang lain enggak ikut senam biarin aja. Kakak kelas banyak yang gabung tuh. Kalau cewek tadi pingsan, siapa yang mau tanggung jawab?” Kata Dipo agak keras. Beberapa murid di barisan belakang menoleh penasaran.
“Gua Cuma mau kita selesai sama hukuman ini! Kenapa jadi lu yang marah Dip?”
“Karena—gua udah larang dia gabung. Gua tau dia sakit. Dan lu kasarin dia. Lu selalu kasar sama semua orang demi kepentingan pribadi lu. Lu sadar enggak?”
“Apa apan—“
Aku tidak mendengar lagi perkataan siswa tadi setelah itu. karena mendadak pandanganku kabur dan langsung gelap total. Aku masih bisa merasakan badanku jatuh dan teriakkan Yandra yang nyaring.
“Bagas! Dipo! Tolong! Ine pingsan!”
-----Bersambung-----
Suka suka suka sekali sama ceritanya dek<3
Comment on chapter PROLOG