Read More >>"> Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa (Prolog: Tiket Impian) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

(SINOPSIS)

 

Ini adalah sebuah kisah tentang petualangan epik mengarungi negeri. Tentang persahabatan. Tentang cinta. Tentang pengorbanan. Tentang dendam. Tentang delapan anak muda yang bertempur melawan kerasnya alam liar, melibatkan masa lalu dan cita-cita masing-masing dalam sebuah perjalanan panjang.

Tersebutlah delapan petualang muda: Lutfi, sang menara komando yang setia membimbing para sahabatnya hingga akhir; Harto, pemuda jahil yang sebatang kara sejak kecil; Igo, si cuek yang digandrungi banyak gadis; Nasuti, sang pemberontak yang turut bertualang demi mencari ayahnya; Torik, si jago masak yang mencintai lingkungan; Hana, gadis jelita tangguh yang mati-matian melawan penyakitnya; Muqodas, si pelengkap kelompok yang suka tantangan; dan Zhen, pemuda misterius yang menyembunyikan wajah lain di balik senyumnya.

Berawal dari tiket wisata gratis dari sebuah perusahaan, mereka ditantang untuk menyelesaikan ekspedisi keliling Indonesia dalam 80 hari, bermula dari Aceh dan berakhir di Papua. Perjalanan yang semula hanya wisata santai berubah menjadi pengalaman tak terlupakan setelah mereka bertemu orang-orang luar biasa di setiap kota yang disinggahi, melihat tempat-tempat menakjubkan, menghadapi ganasnya belantara hutan dan kejamnya ombak lautan, bahu membahu menghadapi aneka marabahaya demi mencapai tujuan akhir mereka.

 

PROLOG: TIKET IMPIAN

 

Apa reaksi kalian jika tiba-tiba ada yang menawari tiket keliling Indonesia gratis? Senang? Atau malah gemetar karena membayangkannya pun tak berani? Nah, itulah yang kurasakan sekarang. Begitu melihat isi amplop di tanganku, yang pertama kali muncul di pikiranku adalah impian lamaku akan segera terkabul. Aku kaget, takjub sekaligus tak percaya menerima tawaran ini. Keempat temanku—yang mendapat amplop yang sama—malah sudah ngacir duluan, berlarian di teras asrama dan berjingkrak-jingkrak persis anak kecil.

“Alhamdulillah... Ini beneran kan, bukan mimpi?” tanganku gemetar mengangkat kertas warna-warni semacam tiket undian itu, membacanya lebih jelas. Namaku benar-benar tercetak di situ, resmi terdaftar sebagai salah satu dari delapan peserta yang terpilih mengikuti ekspedisi keliling Indonesia—sebuah tugas yang takkan ditolak siapapun. Di amplop itu juga ada brosur paket wisata gratis yang ditawarkan oleh perusahaan yang memberiku kejutan ini.

Harto, sobatku yang dititipi si pemberi tiket untuk mengantar amplop kepada kami, juga ikutan histeris melihat namanya ada di salah satu tiket.

“Wah, Zhen benar-benar menepati janjinya ya, Lutfi,” kata Harto, menerawang tiketnya di bawah cahaya matahari, memeriksa lebih jelas. “Aku tahu dia anak orang kaya, tapi nggak kusangka salah satu perusahaan milik kakaknya bakal ngadain event sebesar ini. Waktu dia bilang akan mengabulkan permintaanmu kalau kau mengalahkannya di turnamen kemarin, kukira cuma bohongan.”

“Iya, aku memang nggak terlalu akrab sama anak itu, tapi ternyata dia baik juga ya? Nih, coba baca brosur ini, perusahaan Shen Travel milik kakaknya Zhen merekrut delapan anak muda berbakat, untuk berkontribusi dalam program pembuatan film dokumenter dengan tema wisata alam Indonesia. Tujuan dibuatnya film itu untuk mempromosikan bisnisnya, sekaligus mendongkrak citra wisata lokal di mata mancanegara. Siapa sangka, ternyata kita berlima yang terpilih menjalankan misi itu. Hmm, aku penasaran siapa tiga orang sisanya.”

Sambil tersenyum gembira, aku menatap tiket di tanganku sekali lagi. Bagi mahasiswa rantau seperti kami, yang untuk biaya makan saja harus pandai berhemat, mendapat jackpot seperti ini rasanya bagai ketiban durian runtuh. Ah, bukan, ini sih ketiban bintang namanya.

Aku dan keempat temanku adalah mahasiswa semester akhir di Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman. Karena usiaku paling tua, teman-teman—terutama Harto—kompak memanggilku “Kapten”. Sejak kecil aku bercita-cita menjelajahi dunia. Entah sejak kapan. Mungkin sejak aku membaca buku tentang tokoh idolaku—penjelajah muslim terkemuka bernama Ibnu Batutah—yang mengelilingi dunia dengan niat beribadah haji, tapi kemudian tergerak untuk menjelajah dunia dan mengamati kehidupan penduduk daerah yang dilaluinya. Aku mungkin juga terinspirasi cerita Pak Pudji, dosen Taksonomi Tumbuhan yang sering berkeliling Indonesia untuk mencari spesies tumbuhan baru. Mendengar kisah-kisah mereka, ingin rasanya aku merasakan sendiri petualangan itu. Karena itulah, bersama keempat kawanku, aku banyak menabung dan membuat rencana liar untuk berkeliling dunia.

Siapa sangka, impian lamaku itu akhirnya terkabul tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Sungguh, Allah Maha Mendengar doa-doa yang kupanjatkan sejak bertahun silam itu. Semuanya berawal dari turnamen Shorinji Kempo yang kuikuti dua hari lalu, di sebuah stadion dekat kampusku.

*****

Dua hari lalu

Detak jantungku tak pernah segila itu, saat aku berdiri di tengah pertandingan yang menentukan segalanya. Aku berjongkok kelelahan di tengah ring, menatap tubuh lawan yang terkapar lemas. Keringat dingin membasahi dahiku. Udara seperti membisu, dan napas-napas tertahan bagai mengepung dari segala penjuru. Seorang wasit berkalung peluit menghitung satu sampai sepuluh, kemudian mengangkat tanganku, meneriakkan kemenanganku pada para penonton. Aku mendongak, nyengir. Seisi stadion bergemuruh. Mendadak atmosfer yang semula tegang kini dipenuhi sorakan, dan kawan-kawanku melolong-lolong mendukung di kursi terdepan.

“Selamat ya Lutfi,” kata Harto, mengguncang tanganku ketika aku menghampiri mereka. “Sudah kuduga, kamulah yang paling tangguh di antara kita berlima.”

“Hebat banget kamu bisa lolos semifinal,” Igo menepuk bahuku.

“Tapi lawanmu di final berat lho,” Nasuti mengingatkan, matanya lekat meneliti daftar peserta yang bahkan tak terlalu kuperhatikan.

“Pokoknya kalau kau menang traktir kita makan ya,” Torik nyengir.

Aku duduk melepas lelah dan menyeka keringat sementara teman-teman merubungi sambil bertukar cerita. Ini pertandingan pertamaku setelah tiga tahun berlatih beladiri Shorinji Kempo di dojo kampus. Pelatihku, Senpai Wicky, akhirnya mengizinkanku ikut turnamen setelah melihat kemajuan latihanku yang pesat. Kebetulan tahun ini Porprov Jawa Tengah diadakan di GOR Satria Banyumas, dekat sekali dengan kampus kami. Aku, Harto, Igo dan Nasuti mendaftar sebagai peserta, tapi hanya aku yang berhasil lolos ke final.

Meninggalkan kawan-kawanku, aku melangkah ke kamar mandi, membasuh muka di wastafel, kemudian mengamati wajahku di cermin. Aku melihat seorang pemuda berambut hitam dan berwajah energik balas memandangku, lengkap dengan cengiran lebarnya yang khas. Semua latihan berat yang kulakukan adalah untuk hari ini. Teringat tips andalan petinju Muhammad Ali, dalam hati kuteriakkan “Aku pasti menang!” berkali-kali, hingga kurasakan kekuatan dari kata-kata itu meresap hingga ke otot-otot lengan dan kakiku. Pokoknya aku tak boleh kalah. Puas bercermin, sambil bersiul aku kembali ke ruang tunggu untuk melakukan pemanasan. Setelah jeda waktu yang terasa singkat, wasit memanggil dan aku pun bersiap.

“Dan inilah momen yang kita nantikan, pertandingan final Turnamen Shorinji Kempo se-Jawa Tengah. Kita panggil sang penantang baru... Luuuutfiiii!”

Aku melompat ke arena diiringi sorakan dan tepuk tangan. Lingkaran stadion bergemuruh oleh suara suporter yang membahana. Aku bisa merasakan sebagian dari mereka meneriakkan namaku. Mungkin itu dosen dan teman-teman kuliah yang sengaja kuundang. Baju dogi putih dan sabuk cokelat yang kukenakan membuatku merasa gagah. Rasanya aku siap menghadapi siapa saja, bahkan Jackie Chan atau Bruce Lee sekalipun.

“Dan lawannya adalah sang juara bertahan, pemenang medali emas empat kali berturut-turut, inilah dia... Zheeeen!”

Hatiku bergejolak saat seorang pemuda berbadan tinggi besar melangkah masuk ke arena, dan dia memang Zhen, seniorku di dojo sekaligus teman sekelasku. Aku menelan ludah, menatap wajahnya yang putih khas keturunan Cina. Rambutnya lebat, matanya sipit, ekspresinya tenang dan senyumnya misterius. Aku ingat setahun lalu ia lulus dari perguruan Kempo dengan prestasi memuaskan. Mahasiswa bernama lengkap Zhen Li ini meraih sabuk hitam hanya dalam dua tahun. Dia jelas lebih tangguh dariku, namun aku takkan mengalah begitu saja. Apalagi dia sudah berjanji akan memberiku sesuatu yang menarik jika berhasil mengalahkannya.

Kami berhadapan, wasit menyingkir dan meniup peluit, pertandingan dimulai. Lama kami berdiri tak bergerak, saling mengawasi, kemudian memasang kuda-kuda dan bergerak menyamping membentuk lingkaran. Aku berkonsentrasi, mengingat semua latihan yang sudah kujalani. Aku melangkah maju dengan hati-hati, kemudian melancarkan serangan secepat kilat. Tendangan geri age dariku ditahannya dengan tangkisan shita uke. Zhen terdorong ke samping, terkejut melihat kecepatanku. Mencondongkan tubuh, aku menyerang lagi sebelum dia siap. Kali ini pukulan jodan zuki. Zhen menghindarinya dengan mudah dan membalas dengan serangan siku. Aku terkejut mendapati dia masih sehebat dulu, bahkan mungkin lebih gesit dan lihai daripada perkiraanku.

“Kau lebih jago sekarang,” dia mengakuiku. Tak terpancing ucapan manisnya, aku kembali menghujaninya dengan pukulan. Dengan mudah, Zhen menangkap kepalanku dan memutar lenganku ke belakang. Aku terkunci. Namun aku berkelit, dan berkat tubuhku yang lentur, aku melepas kunciannya dengan mudah, kemudian memutar kaki dan menendang ke arah kepalanya. Zhen bertindak cepat. Tendangan kami beradu di udara, benturan kerasnya menghamburkan debu. Kami kembali beradu pandang, bertukar tatapan penuh tekad. Siapakah yang lebih unggul?

Pertandingan itu berlangsung lama dan menguras tenagaku. Selama beberapa saat kami hanya bertukar serangan dan tangkisan, posisi kami seimbang, hingga aku membuat gebrakan jitu. Kuangkat kepalan kanan, memberi kesan seakan aku hendak meninju, kemudian secepat kilat merubah gerakan dengan meluncurkan tendangan kanan. Gerak tipuku berhasil. Kakiku berhasil menghantam dada Zhen, membuatnya terhuyung. Aku nyengir, senang melihatnya terkejut. Pertahanannya mulai goyah. Memanfaatkan kesempatan itu, aku melompat ke belakangnya, menarik lengannya dan menguncinya, lalu mendorongnya jatuh hingga aku berhasil memitingnya di lantai. Zhen tak bisa lagi bergerak, mencoba berontak, namun usaha apapun yang dilakukannya sia-sia. Saat itulah aku melancarkan pukulan pamungkas, mengakhiri pertandingan. Akhirnya wasit meniup peluit, memisahkan kami.

“Pemenangnya, LUUTFII!” dia mengangkat tanganku tinggi-tinggi. Gelombang suara menyerbu telinga saat sorakan gegap gempita memenuhi stadion. Penonton memberiku aplaus spektakuler. Belum pernah aku dielu-elukan orang sebanyak ini. Aku yang dulu tidak populer, sering dicuekin orang, tahu-tahu menjelma menjadi superstar. Aku berteriak girang, mengacungkan dua tinju sebagai selebrasi kemenangan. Tak peduli ribuan pasang mata mengawasi, aku meringkuk di lantai dan bersujud syukur. Alangkah bangganya, akulah juara beladiri tingkat provinsi.

Kutatap Zhen yang masih terengah di lantai, kuulurkan tangan yang disambutnya hangat tanpa basa-basi. Kami berjabat tangan dan saling membungkuk rendah. Kali ini dia harus mengakuiku. Aku hampir tak percaya ketika Zhen merangkulku erat-erat, bahkan dia sendiri yang mengalungkan medali emas di leherku.

“Selamat ya, Lutfi,” katanya. “Kau lawan yang tangguh. Jujur, baru kali ini aku dibuat kewalahan seperti ini. Sesuai janjiku, besok akan kubagikan tiketnya untuk kalian.”

Mendengar kalimat itu, perasaan gembiraku semakin memuncak. Pikiranku melayang membayangkan proyek lamaku, rihlah (ekspedisi) keliling Indonesia yang tak lama lagi akan terwujud. Aku juga agak kaget saat sekelompok gadis berlarian merubungiku, mulai dari teman sekampus hingga yang tidak kukenal, semuanya menjerit-jerit histeris minta tanda tangan atau sekadar bersalaman. Wah, aku tak pernah membayangkan akan seheboh ini. Sungguh membuat kewalahan. Sambil tersenyum dan melambai seadanya, aku berusaha menyeruak dan meloloskan diri. Akhirnya, dengan perasaan melambung, aku menghambur ke arah teman-temanku, mengangkat medali emas tinggi-tinggi. Hadiah besar sudah di depan mata.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
I have a dream
2      2     0     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
The Cundangs dan Liburan Gratis Pantai Pink
10      6     0     
Inspirational
Kisah cinta para remaja yang dihiasi fakta-fakta tentang beberapa rasa yang benar ada dalam kehidupan. Sebuah slice of life yang mengisahkan seorang pria aneh bernama Ardi dan teman-temannya, Beni, Rudi dan Hanif yang mendapatkan kisah cinta mereka setelah mereka dan teman-teman sekelasnya diajak berlibur ke sebuah pulau berpantai pink oleh salah seorang gurunya. Ardi dalam perjalanan mereka itu ...
Panggil Namaku!
71      20     0     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
SEPATU BUTUT KERAMAT "Antara Kebenaran & Kebetulan"
35      11     0     
Humor
Bukan sesuatu yang mudah memang ketika dalam hidup berhadapan dengan hal yang membingungkan, antara kebenaran dan kebetulan. Inilah yang dirasakan oleh Youga dan Hendi saat memiliki sebuah Sepatu Butut Keramat....
Enigma
7      7     0     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Glad to Meet You
1      1     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...
Sibling [Not] Goals
8      6     0     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
Tembak, Jangan?
2      2     0     
Romance
"Kalau kamu suka sama dia, sudah tembak aja. Aku rela kok asal kamu yang membahagiakan dia." A'an terdiam seribu bahasa. Kalimat yang dia dengar sendiri dari sahabatnya justru terdengar amat menyakitkan baginya. Bagaimana mungkin, dia bisa bahagia di atas leburnya hati orang lain.
Ręver
16      15     0     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Petrichor
29      16     0     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...