Read More >>"> Raha & Sia (2| Rahardi) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Raha & Sia
MENU
About Us  

  

 

Seorang pria berjas masuk ke dalam sebuah restoran. Pria itu datang bukan untuk duduk kemudian makan, melainkan untuk menemui mr. Galih, sang pemilik restoran sekaligus ayahnya. 

Belum sampai di partisi, pria itu disambut baik oleh seorang pramusaji perempuan. "Good morning, sir. Nice to meet you." Sapanya malu-malu.

Lantas yang disapa pun mengulum senyum ramah. "Nice to meet you too."

"Mmm.." Pramusaji ini terlihat ganjen. Dan pria itu yakin, pramusaji pasti mengira dirinya hanya pengunjung makanya pramusaji ini berniat modus. "Welcome in our restaurant business. By the way.. How is your day, sir? Hehehe."

"Pretty good." Jawab pria itu, dan si pramusaji tampak mengernyit bingung namun senyumnya masih mengembang malu-malu.

"P..Pretty good? Apa si mas bule ngatain gue cantik?" Si pramusaji bergumam.

Dan ternyata si pria mendengarnya. "Bukan cantik, tapi maksud saya, kabar saya baik." 

"Eh?" Sang pramusaji terbelalak. "Tuan bisa berbahasa Indonesia?"

Pria itu lantas tersenyum sambil memasukkan tangannya ke dalam saku, "tentu." Kemudian berlalu pergi dari situ, meninggalkan si pramusaji yang kini di perutnya beterbangan kupu-kupu. 

 

- - -

 

Pria itu pun tiba di ruangan yang dituju. Di dalamnya, terlihat mr. Galih menyambut hangat anaknya itu. 

"Rahardi anakku. Akhirnya kamu datang juga." Mr. Galih menepuk pundak anaknya seraya mempersilakannya duduk. Dan, pria tadi pun duduk.

Diperhatikannya seluk ruangan ini. Tidak banyak yang berubah. Semuanya sama seperti enam tahun lalu. 

"Bagaimana kabar mama mu di Jerman?" Tanya mr. Galih. Jujur ia tidak kerasan menanyakan kabar mantan istri, tapi entah kenapa kalimat ini meluncur sendiri dari bibirnya.

"Mama sehat. Papa tidak usah khawatir."

"6 tahun di Jerman, rupanya kamu masih fasih berbahasa Indonesia." Mr. Galih tersenyum formal. 

"Rahardi tidak mungkin lupa, pa."

"Bagaimana kalau kita keliling-keliling dulu? Kamu lihat-lihat dulu, restoran papa sudah banyak berubah semenjak kamu ikut mama kamu pergi. Papa kangen sama kamu, nak."

"Iya, pa."

 

 

 

- - -

 

 

 

Nama aslinya Raha Diano Gilbert. Namun sejak kedua orangtuanya bercerai 6 tahun yang lalu, sang papa tidak mau memanggilnya Raha. Maunya Rahardi. Karena Raha adalah nama pemberian sang mantan istri. Mr. Galih tidak suka itu. 

Tapi, lama tinggal di Jerman membuat Rahardi tidak terbiasa dipanggil demikian. Jadi kita sebut saja ia Raha.

Bola matanya hitam legam, sama seperti warna rambutnya. Namun wajahnya tidak mirip orang Asia kebanyakan, wajahnya cenderung kebarat-baratan, mengikuti gen sang mama yang berdarah Jerman-Belgia. Jika melihat sosoknya, orang baru akan percaya bahwa nama lain pria ini ialah Rahardi setelah tahu bahwa ia blasteran.

Makanya si pramusaji yang tadi heran mengetahui pria tampan ini bisa berbahasa Indonesia.

Dan sekarang, Raha yang kita bahas ini sudah berada di mobilnya setelah tadi melepas rindu dengan sang papa. Raha memang sudah dua hari di sini, namun belum juga ia menginjakkan kaki di rumah mr. Galih. Mama Raha melarangnya, ditakutkan mr. Galih menghasut Raha untuk menetap. Dan Raha mencoba patuh pada sang mama, ini pun Raha bersyukur sekali karena diperbolehkan mengunjungi tanah kelahirannya setelah sekian lama.

"Halo," ucap Raha begitu ponselnya mendarat di telinga. 

"Iya, siapa ya?" Jawab panggilan di seberang.

Raha melihat ke depan sementara mesin mobilnya belum menyala. "Ini saya, Raha."

"Raha? Kok, pake nomor Indonesia?"

"Ya soalnya sudah ada di Indonesia." 

"Beneran?"

Raha tekekeh-kekeh singkat. "Ja. Naturlich." 

"Kamu sudah pulang? Kapan?!"

Lawan bicara Raha saat ini bernama Helen. Raha sudah menganggap Helen sepupunya sendiri lantaran mamanya dengan papanya Helen sudah seperti dua orang yang bersaudara kandung. Keduanya sama-sama orang Jerman.

"Sudah seminggu." Bohong Raha seraya menahan tawa. Ia hanya ingin tahu bagaimana reaksi sepupu angkatnya itu kala tahu ia terlambat dikabari.

"Apa? Sudah seminggu dan memberi kabar baru sekarang?"

Raha menahan tawa, lagi. Ocehan Helen adalah hiburan tersendiri baginya. "Helen, ich will treffe."

"Tentu saja kita harus bertemu! Akan kucubit kamu sampai kamu memar! Dasar! Pulang tidak bilang-bilang!"

"Helen, hei. Helen, saya sibuk. Ya sudah, kalau begitu bagaimana jika.." Raha mengetuk-ngetuk jarinya ke dagu sambil berpikir. "Ah ya, kamu pasti tidak tahu kalau saya datang ke sini untuk meresmikan restoran saya sendiri."

"Apa?! Tunggu, tunggu! Restoran? Restoran kamu?" Suara Helen terdengar takjub.

"Iya. Restoran Jerman. Sounds cool, isn't it?" Entah sudah berapa kebohongan yang Raha ucapkan sekarang. "Kamu datang saja, saya mengundang kamu untuk makan malam. Ajak auntie Dewi dan Uncle Simpson sekalian."

"Ah! Kamu sudah sukses seperti yang kamu dambakan. Apa nama restoranmu?"

Raha berpikir keras. Ya, beginilah yang namanya kebohongan. Sekali berbohong, maka selanjutnya akan penuh oleh kebohongan-kebohongan lain. "Namanya... Bratspiegel. Ya, Bratspiegel Restaurant."

"Bratspiegel? Ist das ein Essenvorname?" 

Raha tidak mengira kalau Helen akan se-cerewet ini. Raha menggaruk belakang telinganya yang tidak gatal. "Nein, das ist ein Deckname. Oh ya, nanti saya kirimkan alamatnya. Kamu langsung datang saja, oke? Dinner. Oke?"

"Siap bos!" Seru Helen semangat 45. 

Raha pun menutup sambungan lalu beralih menghubungi nomor lain. Kali ini nomor auntie  Dewi, mamanya Helen. 

"Halo assalamualaikum, tante." Sapa Raha dengan ramah.

"Iya, Raha. Waalaikumsalam. Ada apa? Apa apartement kamu nggak cocok?"Jadi mamanya Helen yang membantu dalam mengurus segala keperluan Raha di sini. 

"Tidak ada masalah, auntie. Raha hanya ingin bertanya, jadi auntie belum memberitahu Helen kalau saya sudah di Indonesia?"

"Ahh, itu. Iya, auntie belum ngasih tahu. Soalnya akhir-akhir ini auntie sama uncle jarang di rumah. Ini aja semalam baru pulang."

"Oh iya tidak apa aunt. Jadi, saya tadi sudah menelpon Helen." Balas Raha seraya memandang keluar jendela mobil. "Saya bilang saya akan mengajaknya dinner keluarga, auntie. Tapi saya hanya berbohong."

"Maksud kamu?"

"Ja.. Es tut mir leid, auntie. Saya terlalu suka mendengar Helen mengoceh. Tapi kalau sepulang sekolah Helen mengajak auntie dan uncle ke acara makan malam yang saya janjikan padanya, saya minta auntie buat alasan untuk tidak bisa ikut ya, auntie? Saya hanya ingin Helen yang datang, saya punya kejutan untuknya."

Terdengar gelak tawa di seberang. "Kamu ini ada-ada aja, Raha! Iya, iya. Nanti auntie tolak dan bilang auntie tidak bisa. Auntie jadi penasaran kejutan apa yang kamu kasih ke Helen."

"Hehe danke meine lieblingstante! Salam untuk uncle Simpson. Mama saya di Berlin rindu."

"Danke schon. Iya, nanti auntie sampaikan. Oke Raha." Tutup auntie Mona. 

Raha pun tersenyum lalu memutus sambungan, memasukkan ponselnya di balik saku jas yang ia kenakan. Raha mulai menghidupkan mesin mobilnya dan keluar dari pelataran. Namun di pertengahan jalan, ponselnya kembali berdering. Dengan mata yang fokus ke depan, Raha mengangkat panggilan itu seraya memasang earphone. "Iya, Helen?"

"Raha.. Umm.. Itu.." Helen terdengar gugup.

"Ada apa?"

"Begini.. Aku mau bilang kalau.. Temanku boleh tidak, ikut di acara dinner nanti malam?"

Raha mengernyit tak paham. "Teman? Perempuan, laki-laki?"

"Perempuan. Namanya Sia dan dia memaksa ingin ikut. Aku sudah bilang kalau ini pertemuan keluarga tapi dia malah nekat ingin minta izin langsung ke mama."

"Meminta izin ikut pada auntie Dewi, begitu?"

"Iya."

Tanpa sadar senyum Raha tertarik. Sebenarnya, ia ingin memberi kejutan pada Helen. Tapi mengetahui sosok yang dibicarakan Helen sekarang membuat Raha tak habis pikir. Orang macam apa itu Sia sehingga bisa 'tak tahu malu' begitu? Raha penasaran. Juga geli. Dan... Sedikit tertarik?

"Ya sudah, bawa saja kalau memang auntie Dewi mengizinkan." 

Helen diam sejenak. Mungkin Helen terkejut mendengar kebersediaan Raha.

"Sudah ya, Helen. Saya sedang mengemudi." Putus Raha secara sepihak. Ia pun mengirimkan pesan suara kepada auntie Dewi,

'Auntie kalau ada teman Helen yang ingin ikut dinner nanti malam, auntie izinkan saja ya. Sepertinya seru kalau saya berkenalan dengan temannya Helen juga.'

Kemudian kembali menyetir dengan pikiran yang tertuju ke nama yang Helen sebutkan tadi.

"Sia." Gumamnya dengan senyum mengembang.

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Behind The Scene
26      18     1     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
6      6     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Aku Lupa
5      5     0     
Short Story
Suatu malam yang tak ingin aku ulangi lagi.
Diary of Time
23      11     0     
Romance
Berkisah tentang sebuah catatan harian yang melintasi waktu yang ditulis oleh Danakitri Prameswari, seorang gadis remaja berusia 15 tahun. Dana berasal dari keluarga berada yang tinggal di perumahan elit Menteng, Jakarta. Ayahnya seorang dokter senior yang disegani dan memiliki pergaulan yang luas di kalangan pejabat pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Ibunya seorang dosen di UI. Ia memiliki...
DanuSA
536      212     0     
Romance
Sabina, tidak ingin jatuh cinta. Apa itu cinta? Baginya cinta itu hanya omong kosong belaka. Emang sih awalnya manis, tapi ujung-ujungnya nyakitin. Cowok? Mahkluk yang paling dia benci tentu saja. Mereka akar dari semua masalah. Masalalu kelam yang ditinggalkan sang papa kepada mama dan dirinya membuat Sabina enggan membuka diri. Dia memilih menjadi dingin dan tidak pernah bicara. Semua orang ...
Move On
7      7     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Enigma
30      25     0     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
When Heartbreak
42      19     0     
Romance
Sebuah rasa dariku. Yang tak pernah hilang untukmu. Menyatu dengan jiwa dan imajinasiku. Ah, imajinasi. Aku menyukainya. Karenanya aku akan selalu bisa bersamamu kapanpun aku mau. Teruntukmu sahabat kecilku. Yang aku harap menjadi sahabat hidupku.
Telat Peka
18      13     0     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Kasih dan Sebilah Pisau
10      10     0     
Short Story
Kisah ini dibuat berdasarkan keprihatinan atas krisisnya kasih dan rapuhnya suatu hubungan. *** Selama nyaris seumur hidupku, aku tidak tahu, apa itu kasih, apa itu cinta, dan bagaimana seharusnya seseorang tersenyum saat sedang jatuh cinta.