Langit-langit ruangan berwarna putih dan bau obat-obatan yang menusuk hidung membuat gadis itu sadar sedang berada dimana. Namun, yang membuatnya bingung adalah kenapa ia bisa berada di ruang kesehatan? Seingatnya ia tidak melakukan hal berbahaya selain melingkari kota Seoul di peta saku miliknya.
“Kau sudah sadar?” Tanya seorang pria yang duduk di kursi di samping tempat tidurnya.
Pria ini memakai jaket tebal dan kaus turtle neck, apa pria ini mengidap sakit parah? Sekarang masih musim kemarau.
“Kepalamu masih sakit?” Tanya pria itu lagi. Jung Min semakin heran, kenapa pria ini bisa tahu namanya
“Maaf, kenapa saya bisa ada disini?” Tanya Jung Min dengan suara mencicit, rasanya tenggorokannya sangat kering.
“Ah... tentu. Kamu pasti lupa beberapa hal yang terjadi sebelum pingsan. Ini biasa terjadi, saat SMU dulu aku juga pernah pingsan, jadi aku tahu bagaimana rasanya. Hari itu aku lupa kalau hantaman bola basket yang membuatku jatuh pingsan.” Pria itu sepertinya ingin menceritakan lebih banyak tentang dirinya yang pernah jatuh pingsan, namun berhenti ketika melihat tatapan tak mengerti dari Jung Min.
“Maaf, rasanya itu tak perlu ku ceritakan. Begini, tadi kita bertemu di lorong perpustakaan, kau bilang kepalamu pusing, tak berapa lama kemudian....” Pria itu memperagakan dengan tangannya untuk menunjukan adegan saat Jung Min terjatuh lalu ia menangkap tubuh Jung Min.
“Seperti itulah.” Lanjutnya.
Jung Min diam, ia kembali menatap langit-langit kamar dan memerhatikan pendar-pendar cahaya di sekitar lampu. Jung Min hanya ingin kembali terpejam, kepalanya terasa sangat ringan dan berat di saat bersamaan.
“Jung Min-ssi, ku antarkan kau pulang ke apartemenmu bagaimana? Hari sudah mulai sore. Kudengar ruang kesehatan banyak penghuninya.” Bisik Pria itu.
Jung Min menelengkan kepala saat mendengar kata ‘apartemen-mu’, lalu dengan susah payah Jung Min bangun. Ia harus bicara serius dengan pria asing ini. Perkataannya sejak tadi hampir melantur.
“Maaf Ahjussi, tapi apakah kita saling mengenal?”
Pria itu terlihat shock entah karena di sebut Ahjussi oleh Jung Min padahal usianya baru masuk kepala dua, atau karena inti dari pertanyaan Jung Min.
“Jung Min-ssi, kita sudah berteman sejak awal tahun. Aku Lee Dong hae, teman sekelasmu. Kau tidak ingat?” Dong hae menjelaskan sambil tangannya sibuk menunjuk diri nya sendiri lalu Jung Min.
“Lee Dong hae? Seingatku di SMA tak ada siswa yang bernama Lee Dong hae.”
“Tentu saja, karena kita tak satu SMA.” Kata Dong hae hampir berteriak. Kelihatannya ia menjadi frustasi karena Jung Min tak mengenalinya sama sekali.
“Ahjussi-Ani- Dong hae-ssi, kau sendiri yang mengatakan kita teman satu kelas. Aku ingat betul siapa teman sekelasku.” Bantah Jung Min kesal. Kepalanya sudah sangat pusing meski belum ditambah ocehan Dong hae.
Lee Dong hae menghela nafas lalu melemparkan kedua tangan ke atas pangkuannya.
“Aku tahu, kita memang tak satu kelas di SMA. Jung Min-ssi, kita sekelas di bangku kuliah.”
Nam Jung Min akhirnya memilih turun dari tempat tidur. Pria bernama Lee Dong hae ini benar-benar aneh, mana mungkin Jung Min tiba-tiba menjadi tua hanya dalam beberapa menit dan berubah menjadi mahasiswa. Terakhir kali ia mengecek akta kelahirannya, tahun ini Jung Min masih berusia enam belas tahun. Akhir-akhir ini memang semakin banyak orang gila berkeliaran, Jung Min harus berhati-hati.
“Jung Min-ssi, kau mau kemana?” Tanya Dong hae saat Jung Min sudah ada di luar ruang kesehatan.
Jung Min berhenti, hampir saja ia lupa. Meski Lee Dong hae orang aneh, namun itu tak membuat Jung Min harus melupakan sopan-santunnya. Jung Min berbalik dan mellihat Dong hae berjalan menghampirinya dan sebelum Dong hae semakin dekat, Jung Min mengangkat sebelah tangannya menghentikan langkah Dong hae.
“Dong hae-ssi, maaf jika sikapku kurang sopan. Mungkin karena kepalaku masih pusing. Tapi aku sungguh berterimakasih atas bantuanmu. Terima kasih karena telah menolongku dan terima kasih sepertinya aku bisa pulang sendiri. Selamat tinggal.” Kata Jung Min, ia sedikit membungkuk sebagai tanda hormat lalu segera berbalik tanpa menunggu tanggapan Dong hae.
Pusing di bagian belakang kepala Jung Min semakin menjadi. Rasanya seperti ada yang menaruh batu sebesar kepalan tangan di sana. Jung Min memijat-mijat pelan belakang kepalanya, berharap rasa itu sedikit berkurang. Sesampainya di rumah nanti, ia harus segera minum obat penghilang rasa sakit untuk menghilangkan sakit ini. Nenek tidak boleh tahu Jung Min sempat pingsan di sekolah.
Angin dingin berhembus dan menyapu jari Jung Min yang polos. Saat itu Jung Min baru menyadari apa yang dikenakannya hari ini. Ia sama seperti Lee Dong hae tadi, Jung Min memakai long coat tebal yang hanya dipakainya saat musim dingin dan Jung Min juga memakai sepatu boat tinggi peninggalan Oemma.
“Apa ini?” Tanya Jung Min melihat penampilannya sendiri kemudian melihat sekelilingnya.
Semua orang memakai pakaian serba tebal, bahkan ada yang membiarkan hanya matanya yang tak tertutup kain. Dan saat itu pula Jung Min sadar ia berada di tempat yang salah. Setidaknya Jung Min tahu ia ada dimana, karena sejak kecil ia sering melihat tempat ini melalui foto kenangan Appa dan Oemma. Namun, rasanya mustahil bagi Jung Min saat ini menyadari ia ada di Seoul University, seharusnya ia ada di SMA Busan.
Jung Min merasa dunianya berputar, ia hilang keseimbangan. Sepertinya Jung Min akan pingsan kembali. Tetapi sepasang tangan menangkap Jung Min sebelum Jung Min sempat menarik nafas.
000ooo000
Mereka sedang duduk di salah satu kedai minum pinggir jalan. Dong hae mengatakan, soju baik untuk mengembalikan suhu tubuh Jung Min. Jung Min sama sekali tak menyentuh gelas di hadapannya, ia merasa belum cukup umur untuk minum. Jung Min tetap meyakini ia berusia enam belas tahun. Meski Dong hae mengatakan sekarang sudah tahun 2015, berarti Jung Min telah berusia dua puluh tahun. Dan saat ini ia ada di Seoul, bukan Busan.
Jung Min menghembuskan nafas keras-keras membuat Dong hae yang sedang menyesap soju tersedak.
“Dong hae-ssi.” Seru Jung Min.
“Ne?”
“Apa ini reality show?” Itu satu-satunya kemungkinan atau tepatnya harapan terakhir Jung Min agar tak kehilangan akal sehatnya.
“Jung Min-ssi,” Lee Dong hae meletakkan kedua lengannya di atas meja lalu memandang Jung Min serius. “Aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Dugaanku mungkin kau mengalami shock yang membuatmu kehilangan beberapa memorimu. Karena, sekarang memang tahun 2015.”
Jung Min memperhatikan pria di depannya, setelah diamati Lee Dong hae sama sekali tak terlihat gila bahkan setelah digabungkan dengan fakta yang mengelilingi Jung Min, ucapan Dong hae terlihat sangat masuk akal. Justru Jung Min yang nampak seperti orang gila jika ia bersikeras sekarang masih musim panas 2011.
000ooo000
“Kau...tinggal di sini, sedangkan aku. Gedung apartemenku ada di seberang sana.” Kata Dong hae ketika mereka tiba di depan gedung apartement Jung Min.
Jung Min menengadah, melihat keseluruhan siluet gedung itu. Berharap ada kilasan gambar yang membantunya mendapatkan kembali ingatannya. Tetapi Jung Min tak mendapatkan apapun, baginya gedung ini sangat asing sama asingnya dengan Lee Dong hae.
“Jung Min-ssi, apa benar kita tak perlu ke rumah sakit?”
Jung Min menoleh menatap Dong hae di sampingnya, ia melihat tatapan khawatir pria itu. Tentu saja siapapun yang melihat keadaan Jung Min sekarang tentunya akan merasa khawatir, merasa kasihan pada Jung Min. Kehilangan ingatan hanya karena jatuh pingsan selama beberapa menit membuat siapapun akan berpikir ada yang salah dengan otaknya. Jung Min menggeleng lemah, ia belum siap bertemu dokter, ia belum siap menjalani berbagai pemeriksaan dan mendatangi rumah sakit. Satu-satunya yang Jung Min inginkan hanya sendirian.
“Jung Min-ssi, aku yakin kau sangat bingung sekarang. Tapi jangan khawatir, semuanya akan kembali baik. Namun, sebelum itu kita harus tahu apa yang terjadi padamu.”
Dong hae bicara dengan suara yang pelan karena ia sendiri ragu dengan perkataannya, namun Jung Min tetap menghargai usaha Dong hae untuk menghiburnya.
“Terima kasih, kau sangat baik padaku meski tadi aku sempat bersikap buruk.” Kata Jung Min, ia tersenyum dan melanjutkan, “Tapi saat ini aku hanya ingin sendiri, mungkin saja besok seperti katamu, semua akan baik-baik saja.”
Lee Dong hae sedikit kaget melihat Jung Min dapat mengendalikan diri cukup baik dalam kondisi seperti ini. Sebelumnya ia mengira Jung Min akan histeris kebingungan atau bertindak gegabah, karena mungkin itu yang akan Dong hae lakukan jika ia yang kehilangan ingatan.
“Baiklah, kalau begitu kau naik duluan. Aku akan melihatmu masuk.”
Jung Min lalu berbalik meninggalkan Dong hae. Namun Dong hae memanggil gadis itu, membuat Jung Min berhenti dan menatap heran Dong hae.
“Kalau kau membutuhkan sesuatu, atau hanya menginginkan teman untuk bicara, aku siap membantu. Nomorku ada di ponselmu.” Kata Dong hae sambil mengacungkan ponselnya sendiri.
“Terima kasih, aku akan ingat itu. “Balas Jung Min, lalu kembali berjalan masuk.
Dong hae menatap punggung Jung Min yang perlahan menjauh, semoga ia baik-baik saja.
“Jaljayo.” Bisik Dong hae ketika ia tak lagi melihat bayangan Jung Min.
000oooo000
301
Jung Min menatap nomor pintu di depannya lalu kembali pada kunci di tangannya. Anak kunci itu juga berukiran angka 301. Seharusnya ini apartemennya, anak kunci itu ia temukan di saku mantelnya bersama dompet dan ponselnya. Tanpa sadar Jung Min mengelus permukaan angka itu. Jika yang Lee Dong hae katakan benar, itu artinya Jung Min sudah tinggal dalam ruangan di balik pintu ini hampir satu tahun. Tapi kenapa Jung Min tidak ingat sama sekali? Rasanya sesak, menyadari ia tidak mengingat apapun tentang dirinya sendiri. Ia merasa kesepian, Jung Min seperti kehilangan sebagian dirinya. Sempat terpikir olehnya untuk pulang ke Busan, kembali tinggal bersama halmoeni. Tapi itu hanya akan menambah masalah, halmoeni pasti akan terkejut mengetahui kondisi Jung Min yang mendekati orang gila.
Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu, jantung Jung Min berdetak kencang. Ia takut, dan anehnya Jung Min tertawa. Entahlah kenapa tiba-tiba keadaan menjadi lucu saat ini, ia takut pada rumahnya sendiri. Lampu ruangan belum dinyalakan, sehingga hanya seleret cahaya dari jendela yang menerangi apartement Jung Min. Jung Min berjalan menyusuri dinding, ia menyalakan lampu dan sedikit tersentak ketika lampu ruang tamu hidup, Jung min kembali mematikan lampu. Ia lebih menyukai ruangan ini dalam gelap. Jung Min berdiri diam untuk waktu yang lama. Seluruh saraf tubuhnya mati, atau mungkin otaknya yang ‘terganggu’ sehingga Jung Min tak mampu bergerak.
“Apa yang terjadi padaku?”
terimakasih ^^
Comment on chapter Si Biru yang Menjadi Abu