“Ya!” Aba-aba dari guru olahraga. Tiga orang murid berlari dengan sekuat tenaga. Salah satunya melesat begitu cepat meninggalkan dua orang lainnya. Dengan senyum kemenangan dia melewati garis finish.
“Aku menang!” teriak Haruki pemain andalan klub lari. Memang tidak ada yang bisa mengalahkannya jika soal lari. Semua orang selalu kagum dengan kemampuannya.
“Haruki, kenapa kau bisa lari secepat itu?” Teman-temanya mulai berkumpul dan memujinya.
“Karena aku hebat,” dengan senyum polos Haruki memuji dirinya sendiri.
“Baiklah cukup sampai di sini. Kalian bisa istirahat dan berganti seragam.” Semua murid pergi meninggalkan lapangan.
Saat rombongan kelas Haruki melewati gedung olahraga mereka melihat murid-murid dari kelas 1 dan 3 sedang melakukan pelajaran olahraga juga. Yang jadi perhatian Haruki adalah murid kelas 3 yang sedang bermain basket. Itu adalah kelas Akina, kelas 3-D. Pertandingan terlihat begitu seru jadi mereka berhenti dan menonton sebentar.
Setelah pertandingan antar murid laki-laki kini dilanjutkan dengan pertandingan murid perempuan. Mereka terbagi jadi dua tim dan salah satunya beranggotakan Nao dan Akina.
“Oh, itu murid baru kan,” tunjuk salah seorang teman Haruki.
Akina sedang melakukan pemanasan. Dia mengikat rambutnya kucir kuda agar tidak mengganggu pergerakannya nanti.
Priitt! Peluit berbunyi. Permainan dimulai.
Bola dilempar ke atas. Nao berhasil mendapatkannya. Dia melemparkan bola ke belakang. Teman satu tim yang menerimanya segera menggiring bola dan maju ke depan, tapi tim lawan sudah menghadangnya.
“Nao!” Kembali dioper ke Nao. Kali ini dia melesat maju dan melewati tim lawan. Gerakannya begitu cepat dan lincah.
“Dapat!” Nao bersiap menembak ke ring. Priitt! Point pertama tim Nao. Mereka saling beradu tos.
Kali ini giliran tim lawan yang menyerang. Dengan terang-terangan mereka melakukan serangan balik. Tim Nao bertahan dan mencoba menghalau mereka, tapi gagal.
“Ryujima-san!” teriak rekan timnya. Akina sejak tadi hanya berdiri di dekat area ring. Dia belum menunjukkan aksinya sama sekali.
“Serahkan padaku,” Akina bergerak maju. Dia menghadang tim lawan yang membawa bola. Akina bergerak dengan lincah. Saat lawannya mulai terdesak dan akan mengoper tiba-tiba dalam sekejap bola yang ada di tangannya itu sudah berhasil direbut oleh Akina.
“Tidak mungkin.” Semua orang terkagum saat Akina mulai melancarkan serangan balik. “Kembali ke posisi!” Semua bergegas berlari mengikuti Akina yang menggiring bola ke tengah lapangan. Mata Akina bergerak ke kanan dan ke kiri. Dia dijaga oleh dua orang. Akina melihat Nao berlari menuju bawah ring lawan.
“Nao!” Akina melempar bola dari tengah lapangan ke depan ring lawan.
“Hebat,” gumam orang-orang yang menonton. Dengan semangatnya Nao melompat dan menangkap operan bola dari Akina. Segera tangannya bergerak memasukkan bola. Priitt! Peluit kembali berbunyi.
“Point kedua,” Nao berlari menghampiri Akina dan memeluknya. “Kau hebat Akina,” pujinya. Anggota timnya yang lain juga ikut memuji kemampuan Akina yang hebat itu. “Ayo! Kurang satu point lagi.” Nao sudah tidak sabar untuk bermain lagi, tapi semangatnya terhenti saat guru menyuruh mereka untuk berkumpul.
“Kita akhiri sampai di sini. Kalian boleh istirahat sekarang.”
Wajah Nao kelihatan kecewa begitupun mereka yang menonton. Semua mulai membubarkan diri dan duduk di pinggir lapangan. Meyuki menyambut Akina dan Nao dengan sebotol minuman olahraga.
“Kalian berdua hebat,” wajah Meyuki terkagum-kagum. “Terutama kau Akina.”
“Akina memang hebat, aku sampai kaget tadi.”
Akina meneguk minuman olahraganya. “Aku sudah lama tidak bermain basket.” Dia mengusap keringat yang membasahi dahinya. “Hah, lelah juga.” Pluk! Sebuah handuk mendarat di atas kepalanya. “Heh?”
“Haruki, apa yang kau lakukan di sini?” kata Nao.
“Permainan yang bagus Nao, kau juga Akina.” Haruki berdiri di belakang Akina. Tidak lupa dia juga memberikan handuk pada Nao. “Aku sampai bengong melihat aksi Akina tadi.”
“Lemparan Akina begitu kuat dan tepat pada sasaran,” jelas Nao.
“Mau bermain denganku. Satu point saja,” ajak Haruki. “Aku jadi pernasaran sehebat apa kau atau mungkin itu tadi hanya kebetulan saja,” mata Haruki menatap tajam Akina. Senyumnya mulai menyerigai. Dia mencoba memancing Akina agar menerima tantangannya.
Akina hanya diam. Dia menggenggam handuk yang diberikan Haruki tadi. Perlahan dia mengatur napasnya dan mulai tenang. Dengan wajah seriusnya Akina memandang wajah Haruki dan balik menatapnya tajam.
“Satu point,” jawabnya. Akina mengambil bola dan berjalan ke tengah lapangan.
“Tunggu Akina,” kata Meyuki heran. Nao malah terlihat begitu bersemangat melihat mereka berdua.
Akina memantul-mantulkan bola di tempat. Haruki melakukan sedikit pemanasan dan berjalan menghampiri Akina. Semua mata tertuju pada mereka berdua.
Nao berdiri di antara mereka sebagai wasit.
“Baiklah kalian berdua. Satu point permainan selesai.” Nao melempar bola ke udara. Permainan mereka berdua dimulai.
Jika dilihat dari fisik mereka perbedaan paling jelas adalah tinggi badan. Haruki jelas lebih tinggi dari Akina, jadi dia bisa meraih bola dengan kelebihannya itu. Begitu Haruki mendarat dan akan menggiring bola melewati Akina tiba-tiba bola di tangannya menghilang. Tanpa sadar bola sudah diambil alih. Akina memang tidak tinggi, tapi dia punya gerakan yang lincah. Semua makin penasaran dengan kemampuan Akina. Suasana jadi tegang saat Akina berhasil tiba di area Three Point.
“Tidak secepat itu.” Haruki tidak kalah cepat. Dia sudah menghadangnya.
Akina mencoba mencari celah untuk melewatinya. Dengan gerakan tipuan Haruki berhasil dilewati. Tap! Akina melompat dan siap melempar bola, tapi Haruki ikut melompat dan berada tepat di depannya membuat jalur lemparan tertutup. Bola ditangkis oleh Haruki dan terlempar jauh. Akina tidak bisa menjaga keseimbangannya di udara. Bruk! Mereka berdua terjatuh.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Akina.
“Kya!” teriak anak perempuan yang lain. Ketegangan menghilang.
“Hei Haruki!” Semua mempertanyakan apa yang dilakukan Haruki.
Yang mereka lihat adalah kedua pasang mata yang saling bertatapan setelah jatuh bersama. Posisi yang membingungkan. Akina terjatuh dan terklentang di lantai sementara Haruki menahan posisinya agar tidak jatuh, tapi posisinya tepat di atas Akina.
“Apa kau marah?” Haruki menatap serius Akina yang tepat di bawahnya. “Pada Hikaru,” lanjutnya.
Masih tidak bergerak dari posisinya, Akina juga menatap Haruki. “Sebenarnya siapa kau?”
“Hikaru ataupun Haruki. Kami berdua adalah satu orang, tapi dalam satu hal kami juga bukan orang yang sama. Jadi jika kau marah pada Hikaru itu berarti kau marah padaku. Jika kau membenci Hikaru, kau juga pasti membenciku.”
Akina menutup matanya dengan telapak tangan, “Minggir.”
“Kelihatannya kau tidak percaya dengan kata-kataku ya.” Haruki menyingkir dan berdiri. Dia berjalan pergi. Meninggalkan Akina, meninggalkan gedung olahraga.
“Akina!” Meyuki dan Nao menghampiri Akina yang masih dalam posisi terbaring di lantai. Akina hanya diam sembari menggigit bibirnya sendiri.
“Menyebalkan,” gumamnya.
***
Haruki berdiri di depan loker ruang ganti laki-laki. Jari tangannya bergerak cepat memainkan tombol ponsel. Dia tersenyum dan kadang memasang wajah kesal. Teman-temannya sudah selesai berganti seragam dan kembali ke kelas. Sementara Haruki masih mengenakan baju olahraga dan memandangi layar ponselnya.
“Haruki, kau tidak ganti baju?” tanya salah seorang temannya, Koji.
“Oh iya,” Haruki menutup ponselnya dan mulai melepas baju berganti seragam.
“Apa terjadi sesuatu? Kau kelihatan sedang ada masalah. Apa ada kaitannya dengan murid baru tadi?”
“Tidak juga.”
“Lalu apa alasanmu keluar dari klub lari secepat ini?”
“Ah, sudah menyebar ya kabar itu.” Kini Haruki sudah sepenuhnya berganti seragam. “Aku ingin fokus pada sesuatu dulu. Mungkin memikirkan masa depanku.”
“Bukannya kau mau jadi atlet lari?” Haruki tidak menjawab. Dia segera keluar dari ruang ganti. “Woi, dengar tidak?” kesal Koji.
“Aku dengar kok,” Haruki kembali membuka ponselnya. Sebuah pesan masuk dan langsung dibacanya. Haruki terdiam dan mulai berpikir. “Bagaimana cara aku mendapatkannya?”
***
Suasana gaduh kelas Akina. Tulisan jam kosong tertulis di papan tulis. Sebagian murid asyik bercerita dan berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Sebagian lagi pergi ke perpustakaan dan menghabiskan waktunya di sana, termasuk Akina, Meyuki dan Nao juga pergi ke perpustakaan.
Melewati barisan rak buku dengan berbagai jenis buku tersusun rapi. Akina berkeliling ruang perpustakaan yang 3 kali lebih luas dari ruang kelasnya itu. Dia begitu senang sampai melupakan dua orang yang ikut dengannya. Tanpa disadari buku yang diambilnya sudah memenuhi meja.
“Akina kau akan membaca semua itu?” tanya Meyuki. Akina mengangguk memberi jawaban.
“Aku hanya tertarik pada beberapa buku saja.”
Mereka duduk di dekat jendela. Akina duduk bersebelahan dengan Meyuki sementara Nao duduk di depannya.
Sejak kecil Akina memang suka membaca. Terlebih dia sering menghabiskan waktu sendiri. Di saat itulah biasanya Akina akan pergi ke perpustakaan dan membaca buku. Di rumahnya juga banyak terdapat buku yang menjadi teman di kala dia merasa bosan. Bahkan kakaknya juga membelikan banyak buku untuknya.
Tidak terasa waktu cepat berlalu. Karena jam kosong ini adalah jam terakhir jadi mereka berencana akan pulang bersama dan mampir ke suatu tempat. Meyuki dan Nao keluar untuk pergi ke kamar mandi, sementara Akina masih duduk di perpusatakaan dan membaca sendiri.
Angin behembus dari luar jendela, menerpa rambut Akina menyentuh pipinya dengan lembut. Akina menoleh keluar. Pepohohan mengeluarkan suara ketenangan lewat gemisik daun yang bergesekan. Menyatu dengan suasana sepi perpustakaan. Akina menutup matanya.
“Begitu tenang.” Akina menempelkan pipinya di meja. Angin menghempas buku yang ada di dekatnya. Dengan cepat setiap halaman dari buku itu terbuka. Begitu tenang sampai membuat Akina tertidur.
Tidak butuh waktu lama sampai Akina benar-benar terlelap. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Haruki. Dengan perlahan Haruki duduk di kursi depan Akina. Dia menutup buku yang terbuka akibat terpaan angin tadi.
Dia hanya diam memandangi wajah Akina. Menopang dagu dan sesekali dia memasang wajah serius saat melihat wajah terlelap di hadapannya itu. Setelah cukup memperhatikan, Haruki mengeluarkan ponselnya.
“Lucky.” Haruki mengambil foto Akina yang tertidur itu. “Kenapa kau terlihat begitu berbeda ya? Apakah kau masih orang yang sama yang memberiku tendangan kejutan itu?” Haruki menyibakkan rambut Akina perlahan. “Aku harap kau masih orang yang sama.”
Seseorang membuka pintu. “Sudah sepi sekali di sini. Akina, maaf lama. Kami kembali ke kelas dan mengambil tas sekalian. Heh?” Meyuki dan Nao kembali.
Mereka mendapati Akina tertidur pulas di atas meja. “Kelihatannya kita terlalu lama,” Nao tersenyum pada Meyuki.
“Itu benar.” Mereka membangunkan Akina, membereskan meja dan pergi meninggalkan perpustakaan karena sudah waktunya pulang. Mereka juga tidak menyadari keberadaan Haruki yang juga berada di dalam perpustakaan. Rupanya Haruki tau jika yang masuk adalah mereka berdua jadi dengan segera dia bersembunyi.
Terlihat dari jendela perpustakaan, Akina, Meyuki dan Nao, mereka bertiga berjalan melewati halaman sekolah. Sekali lagi Haruki mengambil foto Akina yang berada jauh dari tempatnya itu. “Terima kasih untuk fotonya. Baiklah ke agenda selanjutnya.”
***
Semua anggota klub lari berkumpul di ruang klub. Mulai dari kelas 3 anggota lama sampai kelas 1 anggota baru. Haruki berdiri berdampingan dengan ketua klub saat ini.
“Jadi begitulah. Yoshio Haruki akan mengundurkan diri dari klub lari,” kata ketua klub. Semua orang hanya terdiam.
“Aku mengucapkan terima kasih untuk semuanya,” Haruki menunduk memberi hormat. Semua orang menatap dalam ketidakpercayaan jika Haruki pergi secepat ini.
“Tunggu dulu. Kenapa?”
“Yah, kurasa sudah waktunya untuk adik kelas bersinar,” jawab Haruki sedikit bercanda.
“Memang benar jika waktu kita dalam klub tinggal beberapa bulan lagi, tapi kenapa kau memutuskannya secepat ini? Kita masih bisa mengikuti beberapa pertandingan lagi.”
Klub lari menjadi terkenal dan bangkit lagi karena bergabungnya Haruki dua tahun lalu. Haruki telah memberikan banyak prestasi bagi klub ini dan juga sekolah. Semua yang ada di sini belum siap kehilangan sang ace.
“Bukankah menjadi atlet lari professional adalah mimpimu.”
Entah sudah berapa kali Haruki mendengar kalimat seperti itu. Hatinya selalu terasa berat setiap kali dia memikirkan keputusannya ini. Namun dia sudah siap. “Ya, itu adalah mimpiku. Tapi, berhenti di sini bukan berarti mimpiku juga akan berakhir di sini bukan,” jawab Haruki dengan senyuman tulus.
Dia tau jika teman-temanya juga khawatir. Mereka semua yang selalu mendukungnya dan memberi dorongan sehingga dirinya menjadi seperti sekarang ini.
“Ayolah semuanya. Bukan berarti kita tidak akan bertemu dengan Haruki lagi. Jika itu memang sudah keputusannya, pasti ada alasannya,” ketua klub Haruki mencoba mencairkan ketegangan.
“Kalau begitu ini,” Haruki menyerahkan surat pengunduran dirinya.
“Terima kasih untuk semuanya. Kau sudah banyak berjuang di sini.” Mereka bedua bersalaman.
Tak lama kemudian teman-teman seperjuangannya menghampiri Haruki dan memeluknya. Mereka mengucapkan salam perpisahan pada Haruki. Kelas 1 juga mengucapkan salam perpisahan. Sebelum pergi Haruki memberikan nasihat pada junior-juniornya. Berbagi cerita dan tawa yang mungkin akan dirindukan Haruki secepatnya.
“Terima kasih banyak dan aku minta maaf jika banyak merepotkan kalian semua,” penghormatan terakhir Haruki pada semuanya. Dia pergi meninggalkan ruang klub yang berada di lantai dua gedung lama dekat lapangan tenis.
Dalam warna jingga langit sore Haruki berjalan sambil membawa sekotak kardus. Semua barang-barangnya dan benda pemberian dari anggota klub lari. Haruki masih ingat saat dia pertama bergabung dalam klub itu. Semua anggota dan senoirnya sangat baik padanya. Mereka dengan sabar mengajarinya banyak hal. Banyak pengalaman dan pelajaran yang dia dapatkan di sana.
“Ini berat,” gumam Haruki.
-san = panggilan untuk menghormati orang lain, biasanya untuk yang baru dikenal atau lebih tua