Read More >>"> Shut Up, I'm a Princess (Maaf) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Shut Up, I'm a Princess
MENU
About Us  

Bu Siska sedang menerangkan rumus-rumus kimia dengan serius-yang untuk saat ini tidak bisa masuk kedalam otakku-. Entah kenapa kejadian kemarin malam tidak dapat hilang dari pikiranku.

         Wajahku seketika memerah. Ciuman pertamaku. Ya, terdengar seperti perempuan remaja yang baru jatuh cinta untuk pertama kalinya. Tapi aku serius kawan, rasanya sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata.

         Ku rasakan Denon menyenggol lenganku. Seketika semuanya buyar. Dengan kesal aku menoleh kearahnya. “Apaa?!” desisku.

         Denon menaikkan alisnya menunjuk sesuatu.

         Aku yang tidak mengerti makin dibuat kesal. “Lo sakit?” tanyaku lagi.

         “Siapa yang sakit, Devan?” tanya seseorang disebelahku. Aku kenal suara ini. Suara yang selalu membuatku bergidik ngeri saat dia memanggil namaku.

         Dengan ragu-ragu, aku menoleh kearah Bu Siska yang sedang tersenyum kepadaku. Mungkin jika kalian yang melihatnya akan tampak biasa saja. Tapi bagiku, itu seperti senyum psikopat yang sedang mengincar nyawa kalian.

         “Bu Siska.” Sapaku diikuti tawa garing yang terdengar aneh.

         “Kamu apa kabar, Devan? Lama sekali ibu tidak melihatmu.” Tanyanya.

         Aku menyergit bingung. “Lama, bu? Bukannya minggu lalu ibu nggak ada absen ya di kelas ini? Minggu lalu saya juga sekolah kok.”

         “Menurut saya seminggu itu terasa sangat lama. Kamu sering-sering dong main ke ruang guru.”

         Aku langsung tersedak air liurku sendiri. Oke, sekarang aku merasa seperti berondong yang senang bermain dengan perawan tua. Tidak-tidak jangan sampai itu terjadi.

         Aku tertawa garing untuk mencairkan suasana. “Ibu bisa aja deh. Oh ya, kok ibu malah diem disini? Bukannya barusan ibu lagi ngejelasin didepan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

         “Ya, tadi ibu memang sedang menerangkan. Tapi sekarang semua teman-teman kamu sedang mengerjakan soal. Dan daritadi ibu lihat kamu tidak mendengarkan bahkan menulis soal yang ibu berikan, karena itu ibu menghampiri kamu kemari.”

         Dengan cepat ku edarkan pandanganku ke sekeliling kelas. Benar saja, semua temanku sedang sibuk dengan buku tugasnya termasuk Denon dan Edo. Sialan dua orang ini! Kenapa mereka tidak memberitahuku.

         “Maaf, bu. Sekarang akan saya kerjakan, ibu boleh kembali duduk di depan aja.” Aku langsung mengambil buku tugasku dan mencatat soal yang ada di papan tulis. Ku lirik sekilas Bu Siska yang masih diam ditempatnya. Jantungku mulai berpacu cepat.

         ‘Aduh, mampus gue!’

         Kurasakan Bu Siska menyentuh bahuku. “Devan, kalau memang mau mencari perhatian ibu boleh-boleh saja. Tapi jangan sampai mengganggu pelajaran kamu ya.” Setelah mengucapkan kaliamat itu, Bu Siska langsung kembali ke tempat duduknya.

         Ku dengar beberapa tawa teman sekelasku. Sialan, jangan sampai ada gossip yang tidak-tidak tentang aku dan Bu Siska. Ku lirik Denon dan Edo yang sepertinya tidak bisa menahan tawanya. Mereka memegangi perut sembari menunduk kebawah.

         “Gue harap lo berdua diem atau gue bakalan bogem kalian satu-satu abis kelas ini berakhir!” Desisku kearah mereka berdua.

         Tanpa mempedulikan ucapan ku mereka masih tetap tertawa tanpa suara.

         "Devan, kalau memang mau mencari perhatian ibu boleh-boleh saja. Tapi jangan sampai mengganggu pelajaran kamu ya.” ejek Denon mengikuti Suara Bu Siska.

         “Oke, awas aja nanti lo berdua!” ucapku jengkel kemudian kembali mengerjakan tugas Bu Siska.

        

                                                                                                                                              **************

 

Ku rogoh saku celanaku dan mengambil remasan kertas yang sudah tak berbentuk lagi. Ku buka perlahan dan kembali membaca isi dari kertas itu.

         ‘Siapa lo sebenarnya?’

         Ini adalah kertas Kesya yang kemarin ku sembunyikan darinya. Setelah ku pikirkan semalaman, hanya ada satu nama yang ada dibenakku. Dan sekarang aku mengajaknya bertemu di halaman belakang sekolah yang cukup sepi ini.

         Sebenarnya niat awalku setelah pelajaran Bu Siska berakhir adalah menghabisi kedua teman sialanku itu dengan bogeman di perut mereka. Namun baruku ingat jika sudah memiliki janji dengan 'dia' disini. Akhirnya ku putuskan untuk mengampuni Denon dan Edo untuk kali ini saja.

         Ya, dia adalah Vina. Entah kenapa sejak kemarin aku  sudah ingin mengintrogasinya secara langsung. Tapi hingga bel pulang sekolah berbunyi ternyata Vina tidak menampakkan batang hidungnya. Karena itu, sepulang dari rumah Kesya aku segera mengiriminya pesan untuk menemuiku disini dengan syarat tanpa ada yang boleh mengetahuinya.

         “Devan!” Ku lihat Vina berteriak dari kejauhan. Ia membawa 2 minuman dingin dan sebuah roti di tangannya.

         “Hai, Na. sini duduk dulu.” Ujarku dan memberi ruang untuk Vina di sebelahku.

         Vina mengangguk dan menyodorkan minuman dan roti yang dibawanya kepadaku. “Nih buat lo. Tadi gue mampir ke kantin bentar buat beli minum. Karena gue rasa lo belum ada ke kantin, yaudah gue beliin aja sekalian.”

         Aku menerimanya dengan segan. “Makasi, Na. harusnya lo nggak usah repot-repot kayak gini.”

         Vina langsung tertawa mendengar ucapanku. “Yaelah, cuman gini doang sih nggak masalah buat gue. Oh ya, lo mau nanya apa sama gue? Kayaknya penting amat.” Ucapnya kemudian.

         Aku menarik napas perlahan. “Oke, gue bakal langsung to the point aja sama lo. Kemarin waktu pelajaran olahraga gue nggak ada liat lo sama sekali, padahal paginya lo sempet nyapa gue. Kalau boleh gue tau, lo kemana sih?”

         Seketika Vina menegang saat mendengar pertanyaanku. Aku mengkerutkan kening melihat gelagatnya. Semoga saja dugaanku salah.

         “Hmm. So… sorry, Van. Gue nggak bisa kasih tau lo. Ini urusan perempuan.” Jawabnya kemudian. Vina memalingkan wajahnya dariku, dapat kulihat semburat merah menghiasi wajahnya.

         “Urusan perempuan? Maksud lo apa?” tanyaku lagi.

         “Pokoknya gue nggak bisa kasih tau lo!” jawabnya dengan nada yang sedikit meninggi.

         “Oke, kalau emang lo nggak mau bilang. Tapi gue ada satu pertanyaan lagi buat lo.” Ucapku sesabar mungkin. Aku berusaha menekan suaraku agar tidak terdengar tinggi.

         Vina menoleh kearahku. “Mau tanya apa lagi?”

         “Lo suka nggak sama gue?”

         Ku lihat rona merah kembali menghiasi wajahnya. “Lo serius mau tau?”

         “Iya, Vina.” Jawabku tak sabaran.

         “Apa lo mau nembak gue?” tanyanya kemudian.

         “Hah?” Sontak aku membulatkan mataku dengan mulut menganga. Kenapa Vina bisa berfikir kalau aku akan menyatakan cinta padanya? Tentu saja bukan itu yang akan aku lakukan.

         “Tenang aja kok, Van. Kalau emang lo mau nembak gue, seratus persen gue bakalan terima cinta lo. Asal tau aja, gue udah lama suka sama lo.” Ucapnya dengan malu-malu.

         Aku tersenyum kecut. Aku berharap ini tidak akan jadi karmaku. Bukannya aku tidak suka pada Vina, tapi aku hanya bisa menganggapnya sebagai teman biasa. Dan seperti yang kalian ketahui, Denon menyukai Vina. Tidak mungkin aku menyakiti hatinya begitu saja.

         Aku menghela nafas pelan. “Makasi karena lo udah suka sama gue. Tapi maaf, gue nggak bisa bales perasaan lo ke gue. Gue suka sama lo, tapi hanya sebatas teman dan itu nggak lebih.”

         Vina terlihat terkejut mendengar pernyataanku. Ku lihat matanya mulai memerah dan air mata mulai menggenangi ingin keluar. Aku sedikit merasa bersalah karena perkataanku. Tapi aku yakin yang aku lakukan sekarang sudah benar karena jika tidak diberi tahu segera, Vina pasti akan berharap lebih banyak dariku.

         “Tapi kenapa? Apa gue kurang baik buat lo?” tanyanya dengan suara serak.

         Aku segera menggelengkan kepala. “Lo adalah teman yang paling baik dalam sejarah pertemanan gue, Na. Dan satu hal lagi, walaupun gue nganggap lo hanya sebagai teman tapi gue tetep sayang sama lo. Sama kayak gue menyayangi Denon dan juga Edo.”

         Kini air mata Vina benar-benar jatuh. Aku sedikit panik dibuatnya. “Vina?”

         “Apa yang kurang dari gue, Van? Apa gue kurang cantik buat lo? Jujur aja, selama ini gue udah berusaha nunjukin yang terbaik didepan lo.” Ucapnya terisak.

         Aku menyentuh bahu Vina yang mulai terguncang. “Nggak ada yang kurang dari lo, Vina. Lo cantik, baik, ramah. Dan gue rasa semua yang ada di dalam diri lo itu sempurna. Tapi lo harus tau, ada seseorang yang bener-bener tulus sayang sama lo. Dia selalu pengen buat lo ketawa walau dengan cara yang berbeda. Dia rela ngelakuin apapun buat lo asal ngeliat lo bahagia, Na.”

         Vina memandangku bingung. Wajahnya terlihat kusut. Matanya juga sedikit membengkak dan hidungnya mulai mengeluarkan cairan bening. “Maksud lo siapa, Van?” tanyanya penasaran.

         Aku berfikir sejenak. Apa aku harus jujur kepada Vina? Tapi bagaimana dengan Denon, apa dia nggak keberatan jika aku yang menyampaikan perasaannya? Tidak, aku rasa itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Denon pasti akan mengerti kenapa aku melakukan ini.

         “Denon, Na. Dia udah suka sama lo dari SMP. Dan perlu lo tau lagi, kalau yang selama ini ngasih lo cokelat atau hadiah yang gue kasih ke lo itu adalah pemberian Denon. Gue tau gue juga bodoh, mau aja nerima perintah Denon tanpa tau konsekuensinya. Tapi sekarang gue bakalan tanggung akibatnya.”

         Untuk kedua kalinya ku lihat Vina terkejut dalam diam. Ia langsung menggeleng cepat. “Tapi Denon selalu buat gue naik darah, Van. Dan perlu lo tau, gue nggak bisa suka sama Denon karna dia nyebelin. Gue justru benci sama dia!” ucap Vina kemudian.

         Ku genggam tangan Vina lembut. “Mungkin sikap nyebelin Denon cuman untuk mencari perhatian lo aja, Na. Dan ada sebuah pepatah yang mengatakan kalau benci itu bisa jadi cinta. Walaupun awalnya lo masih ragu, tapi gue yakin suatu saat nanti lo akan sadar kalau dia adalah adalah pasangan yang tepat buat lo.”

         ‘Sama seperti apa yang gue rasakan saat ini’ Dan tentu saja kalimat ini tidak ku katakan pada Vina.  

         Vina kembali meneteskan air matanya. Ku usap air mata itu dengan jariku. “Maafin gue ya, Na.”

         Aku segera bangkit dari dudukku dan pergi meninggalkan Vina yang masih terdiam di tempatnya. Aku rasa pergi adalah pilihan yang tepat untuk saat ini. Karena dengan kepergianku, aku harap Vina dapat kembali menenangkan dirinya.

 

 

                                                                                                                                       ***********

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A promise
327      224     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
SURAT.
4      4     0     
Romance
Surat. Banyak rasa akan datang bersamanya. Bacalah dengan bisikan pelan. Sebutir demi sebutir perasaan akan mengalir bersama kata yang terangkai. Perlahan, keping rasa itu akan lengkap dan jatuh tepat di sebuah gubuk penampungan rasa di lubuk hati. Setelah berhasil diterjemahkan, barangkali tubuh akan kegirangan. Atau bibir akan tersenyum, mungkin tertawa. Atau mata taklagi sanggup membendung der...
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
101      39     0     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Tentang Kita
33      15     0     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
(not) the last sunset
6      6     0     
Short Story
Deburan ombak memecah keheningan.diatas batu karang aku duduk bersila menikmati indahnya pemandangan sore ini,matahari yang mulai kembali keperaduannya dan sebentar lagi akan digantikan oleh sinar rembulan.aku menggulung rambutku dan memejamkan mata perlahan,merasakan setiap sentuhan lembut angin pantai. “excusme.. may I sit down?” seseorang bertanya padaku,aku membuka mataku dan untuk bebera...
A - Z
31      13     0     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
The Reason
160      63     0     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
255      211     4     
Short Story
Romantika kisah putih abu tidak umum namun sarat akan banyak pesan moral, semoga bermanfaat
Happiness Is Real
2      2     0     
Short Story
Kumpulan cerita, yang akan memberitahu kalian bahwa kebahagiaan itu nyata.
Little Spoiler
30      20     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...