Read More >>"> Dialogue (Dia, Zahra) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dialogue
MENU
About Us  

Dia, Zahra

 

 

Senja tampak bersemu malu-malu, memerah di ujung langit barat. Awan berarak tenang seiring desah angina yang semilir menghalau penat.

Di sebuah bangku kayu di salah satu sudut taman, sepasang mata nan bulat indah tak hentinya mengagumi lukisan empat dimensi ini. Kilau sang surya di antara celah ranting di atasnya, sesekali menyentuh lembut kulit wajahnya. Dedaunan kering pun seakan tak ingin terlewat dari tatapannya. Beberapa helai yang terpaksa jatuh dari dahan tak luput dari lirikan mata indah itu.

Dia, Zahra.

Gadis yang sedang berjibaku dengan kegundahan hatinya. Gadis berhijab merah jambu itu seakan berbaur dengan aroma senja. Kegundahan sang senja yang sebentar lagi menutup hari dan kegundahannya tentang cinta yang tetiba begitu saja tumbuh dan bersemi.

“Hhhhhh, ya Allah, hanya Engkau pemilik semua keindahan ini. Hanya Engkau pula pemilikku, dan dia.” Zahra bergumam lirih pada tiap desir angina yang seolah mengamini tiap larik doanya.

Kumandang adzan Maghrib sayub tertangkap gendang telinga Zahra. Mungkin, ini jawaban Allah atas rerintihan hatinya sejak beberapa menit lalu. Sejak detik pertama ia duduk di bangku kayu itu, gadis tinggi semampai ini mulai sibuk mengatur aliran darahnya, saat ia harus teringat pertemuan dua hari lalu, Minggu pagi.

***

“Mama, maaf, pagi ini Ra nggak jadi temeni mama, ya.” Zahra mencium kening mama dan duduk di kursi depan mama.

Sebuah meja makan di tengah bangunan bergaya minimalis elegan dengan enam kursi mengitarinya. Di atas meja telah terhidang sepaket menu sarapan sederhana ala Minggu pagi mama Zahra. semangkuk nasi goreng terasi, telur mata sapi, sup ayam lengkap dengan beberapa gelas air putih dan sepiring buah segar.

Meski tergolong keluarga berada, keluarga Zahra sangat mengutamakan kesederhanaan. Papa Zahra yang notabene seorang dokter spesialis penyakit dalam senior, ditambah lagi posisi beliau yang cukup tinggi di rumah sakit, tentu keadaan keuangan keluarga Zahra sudah lebih dari cukup.

Namun, sejak kecil, Zahra sudah diajari bagaimana hidup sederhana dan tidak menyombongkan kekayaan orang tua. Karena harta dan kekayaan hanya titipan Allah SWT saja. Bahkan, sejak menyelesaikan pendidikannya sebagai dokter, Zahra telah bekerja di salah satu rumah sakit di kotanya. Jadi, untuk biaya melanjutkan pendidikan sebagai dokter spesialis bedah, Zahra sudah tidak lagi membebani orang tua.

“Loh, kamu kan sudah janji, Ra.” Mama terlihat sedikit bersungut kesal sambil menyendokkan nasi goreng ke piring papa. Ia tidak mau segala rencana manisnya untuk Zahra pagi ini, gagal begitu saja. “Janji itu hutang loh, sayang.”

“Iya, Ma, Ra tahu.”

“Tuh kan tahu. Lalu? Emang kamu mau ke mana?”

“Ra pagi ini ada jadwal operasi, Ma.”

“Loh! Kok ndadak banget. Nggak mungkin, ah.”

“Astaghfirullah, Ma. Masa Ra bohong sih?”

“Mama ini ngafalin jadwal papa nggak setahun, dua tahun ya, Ra. Dan papa nggak pernah ada jadwal operasi semendadak ini.”

“Iya, Ma. Ini Ra gantiin temen yang tiba-tiba ijin nggak bisa bantuin. Ra bantuin doang kok di operasi hari ini.”

“Papa! Denger deh. Ra udah banyak alesan aja tuh.”

“Aduh. Dari tadi maunya papa nggak ikut campur loh.” Papa yang sedari tadi hanya mendengar perdebatan dua wanita istimewa dalam hidupnya itu, angkat bicara. “Hm, kalau saran papa sih, Zahra tetap bisa antar mama kok, setelah operasi selesai.”

“Tapi, Pa. Entar Ra pasti ada evaluasi dulu.”

“Tuh kan, Pa, Zahra ngeles lagi.”

“Kan sayang, Ma, kalau Ra langsung tinggalin. Ini operasi penting banget buat thesis Ra.”

“Aduh, Ra. Kali ini aja. Lagian ini kan Minggu.”

Papa melempar kerlingan ke arah Zahra yang masih menyelesaikan tegukkan pertamanya. Kali ini, pertanda Zahra harus mengiyakan ajakan mama.

“Iya deh iya. Entar Ra telepon mama, ya kalau udah selesai. Ra berangkat dulu. Assalamualaikum.” Sebuah kecupan manis mendarat di punggung tangan papa dan mama. Berbalas ciuman sayang dari mama di pipi ranum Zahra.

Entah apa yang menggantung di ujung langkah Zahra pagi ini. Sungguh tak seperti biasanya. Tindakan operasi ayng biasanya menyulut semangatnya, pagi ini, tampak biasa saja. Ah, Zahra tidak boleh gagal fokus. Ia harus membantu proses operasi dengan baik. Janji menemani mama bertemu seseorang itu, biarlah jadi urusan Allah SWT saja. Hanya yang terbaik untuknyalah yang akan ditakdirkan-Nya.

Dan tepat sekali!

Sepuluh menit setelah Zahra merapikan pakaian tempurnya di ruang operasi tadi, ponsel bordering. Wajah wanita pemilik surganya tampak jelas di layar ponsel.

“Mama,” gumam Zahra. “Assalamualaikum, Ma.”

“Waalaikumsalam. Ra udah, kan? Mama tunggu di rumah ya, sayang.” Suara mama di ujung telepon terdengar penuh antusias.

“Iya, Mama. Ra udah prepare pulang kok. Emang kita mau ketemu siapa sih, Ma?”

“Udah, entar juga kamu tahu kok.”

Percakapan yang tidak terlalu lama. Singkat dan tidak menjawab apa pun dari sejuta tanya yang memenuhi kepala Zahra.

Dengan senyum yang dipasang sebisanya, Zahra melangkah gontai menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa orang terlihat lalu lalang. Keluarga pasien yang sibuk dengan urusan mereka, anak-anak yang berlarian riang tanpa peduli kegundahan pasien yang terkapar di ranjang sal, bahkan paramedis yang sibuk dengan tugas pekerjaan mereka.

Namun, sekaan tak tampak keriuhan itu di mata Zahra. Sapaan orang-orang pada dokter muda nan cantik ini pun, seakan tak tertangkap radar telinga Zahra. Ia masih berjalan di garis langkahnya menuju mobil yang terparkir di parkiran rumah sakit.

“Alhamdulilah, akhirnya kamu sampai juga, sayang.” Mama masuk ke mobil mungil yang dikemudikan Zahra. “Kita langsung ke rumah tante Ratna, ya.”

“Tante Ratna?”

“Iya, teman sekolah mama dulu.”

Zahra tidak lagi mendengar kalimat mama yang menjelaskan tentang deskripsi tante Ratna. Kali ini, ia hanya sibuk membongkar isi memori di kepalanya untuk mengingat nama itu. “Sepertinya, Ra pernah dengar nama itu deh, Ma.” Zahra masih berusaha mengingat lagi. Tapi mama menutup usahanya itu, “Satu lagi, tante Ratna punya anak laki-laki loh, Ra. Ganteng lagi.”

“Mama apaan sih.”

“Lah. Mama mau jodohin Ra? Ra nggak mau ah dijodoh-jodohin gitu.”

“Bukan ngejodohin, Ra. Mama hanya pengen ngenalin aja kok.”

Percakapan dalam mobil pun terhenti.

Perjalanan yang cukup singkat. Belum sampai satu jam Zahra melajukan mobilnya, rumah tante Ratna sudah tampak menyambut dari kejauhan. Gerbang besar dari jajaran papan kayu tampak gagah melindungi rumah di baliknya. Zahra terpaksa membunyikan klakson mobil agar seseorang membukakan tirai kayu itu untuk mereka.

Tak beberapa lama, seorang lelaki berseragam hitam tampak berlarian kecil membuka pagar rumah dan Zahra mengarahkan kemudi memasuki jalanan menuju rumah di ujung aspal. Rumah bergaya Eropa modern yang luar biasa eksotis, berjarak hampir lima ratus meter dari gerbang kayu yang baru saja Zahra lewati.

Pepohonan besar nan hijau rindang di halaman depan sepanjang jalan menuju rumah menambah kesan asri rumah megah itu. Ditambah lagi, sang nyonya rumah tampak berseri menyambut kedatangan Zahra dan mama di depan rumah.

Tante Ratna sangat ramah. Wanita lima puluhan tahun itu masih terlihat mempesona dengan balutan gamis bunga-bunga dan hijab biru muda panjang terjuntai hingga lututnya. Mama dan tante Ratna terlihat sungguh akrab. Bahkan kehebohan pertemuan dua sahabat itu hampir melupakan Zahra yang berdiri terpaku menatap keelokan dua wanita yang telah lama tak berjumpa itu. Bahkan, Zahra seperti dejavu saat melihat wajah teduh tante Ratna.

“Cantik sekali kamu, Nak. Persis mamamu waktu masih muda dulu.”

“Ah, tante bisa aja.”

“Dia, Zahra, anak semata wayangku, yang aku sering ceritakan ke kamu itu.” Mama setengah berbisik mengenalkanku pada tante Ratna.

Obrolan berlanjut di salah satu raung di balik rumah megah ini. Sebuah beranda yang sepertinya memang dibuat untuk bersantai dan bercengkrama. Hanya ada dua sofa panjang dan satu meja kaca. Karpet yang digelar lebar menambah kesan santai ruangan ini. Di salah satu sisinya, ada sebuah dapur kecil. Sepertinya, tempat itu untuk menghidangkan minuman atau cemilan saat berbincang. Dan yang paling membuat fresh tempat itu adalah pintu dorong dari kaca yang sangat lebar. Saat pintu itu dibuka, tampak jelas taman belakang rumah. Udara segar menghambur masuk dan suara gemericik air kolam dan cicitan burung-burung peliharaan menambah nyaman penghuni ruangan ini.

“Silakan diminum dulu.” Tante Ratna menyapa Zahra yang masih sibuk menikmati ruangan ini. “Gimana? Jadi kita buat kuenya?” Sekali lagi tante Ratna membuka obrolan.

“Iya dong. Zahra ini paling jago kalau buat kue.”

“Ah, mama.”

“Oh ya? Kamu paling suka buat kue apa, sayang?”

“Brownies buatan Ra ini enak banget loh, jeng.” Mama masih saja mempromosikan Zahra.

“Oh ya? Anak tante paling doyang loh sama yang namanya brownies.”

Deg!

Jantung Zahra seakan berhenti berdegup. Lelaki yang masih kuliah di luar negeri dan penyuka brownies? Ali?

Sepanjang obrolan, proses masak sampai segala hal yang mereka lewatkan bersama di ruang itu, tak hentinya pandangan Zahra mengembara ke seluruh pelosok ruang. Ia berharap menemukan sebuah foto yang menunjukkan siapa anak tante Ratna. Foto Ali? Ah, mengapa Zahra tiba-tiba memikirkan Ali? Dan berharap Ali adalah anak tante Ratna.

Tapi nihil. Beberapa lukisan yang membisu di dinding, tidak ada satupun foto keluarga. Hingga senja bersiap menyapa. Zahra dan mama harus meninggalkan rumah tante Ratna.

“Terimakasih ya udah main ke sini.” Tante Ratna berkata sambil mencium pipi Zahra dan mama. “Jangan lupa, Sabtu depan, ya, kita makan malam bersama.”

“InsyaAllah, kita pasti datang.” Mama menjawab undangan tante Ratna.

Sedang Zahra makin tak karuan. Makan malam bersama tante Ratna mungkin bukan masalah, tapi bertemu dan berkenalan dengan putranya?

***

“Allohuakar! Allohuakbar! … .”

Suara iqomah sholat Maghrib dari masjid dekat taman kembali menyadarkan Zahra yang masih duduk tak bergeming di bangku kayu taman.

Senja telah benar-benar dikulum langit. Sempurna menghilang. Zahra mendesah dalam. Ia rapikan tas punggung yang ikut tertegun di sampingnya sejak selepas Azar tadi. Zahra bergegas menuju masjid. Saat ini, hanya hal itulah yang ia butuhkan. Menggelar sajadah dan menceritakan segala resah dan gundahnya hanya pada Allah.

 

“Dia (Ya’qub) menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS Yusuf: 86)

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bukan kepribadian ganda
65      17     0     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Double F
6      3     0     
Romance
Dean dan Dee bersahabat sejak lama. Dean tahu apa pun tentang Dee, tapi gadis itu tak tahu banyak tentangnya. Seperti cangkang kapsul yang memang diciptakan untuk menyamarkan bahkan menutupi rasa pahit serta bau obat, Dean pun sama. Dia mengemas masalah juga kesedihannya dengan baik, menutup pahit hidupnya dengan sempurna. Dean mencintai Dee. Namun hati seorang Dee tertinggal di masa lalu. Ter...
Kare To Kanojo
60      4     0     
Romance
Moza tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah setelah menginjak Negara Matahari ini. Bertemu dengan banyak orang, membuatnya mulai mau berpikir lebih dewasa dan menerima keadaan. Perbedaan budaya dan bahasa menjadi tantangan tersendiri bagi Moza. Apalagi dia harus dihadapkan dengan perselisihan antara teman sebangsa, dan juga cinta yang tiba-tiba bersemayam di hatinya. DI tengah-tengah perjua...
Warna Rasa
179      39     0     
Romance
Novel remaja
I Always Be Your Side Forever
77      20     0     
Romance
Lulu Yulia adalah seorang artis yang sedang naik daun,tanpa sengaja bertemu dengan seorang cowok keturunan Korea-Indonesia bernama Park Woojin yang bekerja di kafe,mereka saling jatuh cinta,tanpa memperdulikan status dan pekerjaan yang berbeda,sampai suatu hari Park Woojin mengalami kecelakaan dan koma. Bagaimana kisah cinta mereka berdua selanjutnya.
Aku dan Dunia
3      3     0     
Short Story
Apakah kamu tau benda semacam roller coaster? jika kamu bisa mendefinisikan perasaan macam apa yang aku alami. Mungkin roller coaster perumpamaan yang tepat. Aku bisa menebak bahwa didepan sana ketinggian menungguku untuk ku lintasi, aku bahkan sangat mudah menebak bahwa didepan sana juga aku akan melawan arus angin. Tetapi daripada semua itu, aku tidak bisa menebak bagaimana seharusnya sikapku m...
Intuisi
40      12     0     
Romance
Yang dirindukan itu ternyata dekat, dekat seperti nadi, namun rasanya timbul tenggelam. Seakan mati suri. Hendak merasa, namun tak kuasa untuk digapai. Terlalu jauh. Hendak memiliki, namun sekejap sirna. Bak ditelan ombak besar yang menelan pantai yang tenang. Bingung, resah, gelisah, rindu, bercampur menjadi satu. Adakah yang mampu mendeskripsikan rasaku ini?
Piromaniak
33      6     0     
Romance
Dia merubah apiku dengan cahayanya
Iblis Merah
32      20     0     
Fantasy
Gandi adalah seorang anak yang berasal dari keturunan terkutuk, akibat kutukan tersebut seluruh keluarga gandi mendapatkan kekuatan supranatural. hal itu membuat seluruh keluarganya dapat melihat makhluk gaib dan bahkan melakukan kontak dengan mereka. tapi suatu hari datang sesosok bayangan hitam yang sangat kuat yang membunuh seluruh keluarga gandi tanpa belas kasihan. gandi berhasil selamat dal...
Be My Girlfriend?
155      46     0     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...