Read More >>"> Begitulah Cinta? (Dua Belas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Begitulah Cinta?
MENU
About Us  

DUA BELAS

Keadaan jalanan kota sedang ganas-ganasnya, derai keringat saling berlomba jatuh dari kening seorang penjaja koran seusia dengannya. Suaranya terdengar serak tercekik keringnya keadaan. Ada sebersit rasa malu tatkala memandang sosok penjaja koran itu. Disaat dia hanya memusingkan perihal dunia cinta, si anak penjaja koran itu harus membanting tulang agar bisa terus menikmati oksigen dan entah bagaimana keadaan keluarga si anak di sana.

Waktu selama lampu menyala merah telah menyadarkan dirinya mengenai kehidupan milik orang lain. Memberinya pelajaran baru jika apa yang dia rasakan belum ada apa-apanya. Meski patah hati adalah masalah klise yang memuakkan, nyatanya masih ada kehidupan lain yang penuh dengan perjuangan. Matanya kembali fokus pada cahaya hijau yang menyala setelah kuning, motornya kembali menghambur bersamaan layaknya buih. Meninggalkan anak penjaja koran dalam terik dan debu jalanan.

Majid dan kedua temannya sudah menempuh setengah dari perjalanan. Hamparan luas berpasir putih adalah tujuan mereka. Pantai Selatan juga dikenal akan keeksotisan ombaknya, adalah bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Perjalanan sekitar satu setengah jam mengendarai sepeda motor membuat mereka tak sabar menghirup harum garam laut. Keadaan terik seakan bukan penghalang bagi ketiganya. Berangkat lebih awal merupakan siasat untuk memonopoli lahannya sebelum berpasang-pasang mata ikut menjajah keindahan pantai. Misi utama mereka adalah pantai senja. Menikmati perubahan suasana langit biru menuju merah keemasan. Dan mengabadikan momen berharga tersebut dalam kamera.

            Sambil menanti perubahan yang mereka tunggu-tunggu, ketiga anak laki-laki itu tidak sedikitpun menyianyiakan kebersamaan mereka. Ketiganya bersenang-senang di lepas pantai bermandikan sinar matahari yang menyengat. Berlarian, menerjang ombak, berlempar pasir dan berenang.

            Majid menikmati setiap hembusan angin yang memasuki paru-parunya, terasa begitu segar dan nyaman. Sementara deburan ombak menyapu jemari kakinya sampai sedikit tertanam dalam pasir putih. Seperti kebanyakan remaja pada umumnya, mereka terlihat sangat bahagia. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar yang mulai berdatangan. Juga menyamarkan ingatan mereka akan perihal perpisahan di akhir perjalanan SMA.

            Amir sempat mengabadikan semua keseruan itu dalam potretan ajaibnya.

            Sudah menjadi ciri khas, ombak pantai selatan lebih besar daripada pantai lainnya. Ombak itulah yang mereka tunggu-tunggu. Menyaksikan dorongan ombak yang menggulung pasir pantai dengan jutaan buih merupakan sebuah momen yang perlu diabadikan karena keindahannya. Semakin besar gulungan ombak yang datang, semakin seru pula permainan air mereka. Pemandangan semacam itu cukup membuat sebuah panorama yang patut untuk menjadi potretan, walau keadaan pantai sudah tidak sesepi yang mereka harapkan. Memotret setiap debur ombak tatkala mengguyur badan.

            Majid memilih untuk berjalan-jalan sendiri ketika kedua sahabatnya memutuskan untuk membeli kelapa muda. Dia menutup kedua matanya di muka pantai, merasakan semilirnya angin yang berhembus menerpa mukanya. Hanya dengan sekejap tubuhnya sudah terbuai oleh terpaan angin ringan yang datang bersamaan dengan suara deburan ombak. Suara gemericik air yang bergulung menciptakan nuansa pantai yang khas di telinganya. Sementara harum air garam tercium jelas di indra penciumannya. Ditambah panasnya siraman matahari siang itu. Semuanya bersatu padu menciptakan sebuah kolaborasi menakjubkan yang tidak akan pernah ditemukan dikehidupannya di kota. Sungguh suasana yang menenangkan pikiran bagi siapapun yang telah mengalami kehidupan melelahkan. Majid pun merasakan hal yang sedemikian rupa. Dia terlihat tenang dan menikmati setiap unsurnya.

            Mendadak memorinya berputar, Majid teringat akan suatu hal yang tidak asing baginya. Saat ini ia seperti dihempaskan menuju kenangan di dunia yang berbeda. Pada waktu dan masa yang tak pernah ia lupakan sebelumnya. Menarik nalurinya di sebuah rasa yang setiap hari bersamanya, seperti teman hidupnya, kerinduan. Ingatan itu mendorongnya untuk merasakan hal yang hampir sama dengan apa yang dia rasakan berbulan-bulan silam ketika berada di perlombaan fotografi.

            Ini seperti De Javu, pikirnya dalam hati. Hanya saja pada saat ini dia merasakan rasa nyaman ketika dia benar-benar berada di alam bebas. Berada tepat di lepas pantai selatan dengan segala keindahannya. Di mana setiap apa yang dia rasakan adalah nyata. Bukan merupakan proyeksi belaka dari imajinasinya seperti tempo itu.

            Perasaannya masih merasakan berbagai rasa sendu. Semua yang dia rasakan murni berasal dari hatinya yang paling dalam. Merasa kehilangan kedua orang sahabatnya, perasaan gundah akan rasa cintanya pada orang misterius yang entah berada di mana dan rasa sayang yang dipaksanya untuk berhenti terhadap mantan kekasihnya terkasih. Rasa sayang yang sebenarnya masih menjadi fondasi kecil sampai saat ini. Dia paham jika dia masih menyimpan secuil rasa cinta untuk Martha. Namun sebagai seorang laki-laki, dia harus memiliki pendirian. Itu yang sering dikatakan mendiang ayahnya padanya. Laki-laki yang dihormati adalah mulut dan tekadnya. Jika seorang lelaki sudah berbohong atau plin-plan, maka jati dirinya hanyalah sebuah kepalsuan belaka. Maka malulah! Ucapan ayahnya terngiang dibenaknya.

            Majid masih asyik dengan dunianya sendiri, masih dengan mata menutup. Terik matahari belum juga memudar panasnya, hanya saja sesekali awan sedikit memberi keredupan, lalu kembali panas. Dia menarik napas panjang, lantas kembali membuangnya ke udara. Kali ini dia berusaha berpikir lebih matang lagi. Lebih realis dari kisah romansanya yang terdengar begitu fiksi. Bukan saatnya bergurau untuk masa depan. Dia harus menyonsong kehidupan yang ada di depan matanya setelah ini. Harus bisa menentukan tujuan hidupnya setelah lulus dari SMA. Seperti kedua sahabatnya yang telah memilih jalur kehidupan yang ingin mereka jalani. Karena alasan itu dia harus bersungguh-sungguh menghadapi hari esok yang membentang luas seperti lautan di depannya. Perlu dipahami, kehidupan bukanlah video game yang bisa diulang ketika game over.

            Kesadarannya terpecah akibat hadirnya sekelebat bayangan. Inderanya seperti merasakan hadirnya sesosok siluet disaat kedua matanya masih terbenam dalam gelap. Siluet itu terlihat berdiri tepat beberapa langkah di depannya. Menghalangi sorot matahari yang terlihat merah. Sosok itu tidak bergerak sama sekali, yang dilakukannya hanya berdiri mematung menghadap matahari. Dalam siluet hitam, orang itu seperti mengenakan pakaian yang terombang-ambing oleh suasana angin di pantai. Sosok itu berdiri cukup lama tanpa bergerak sedikitpun. Hanya terdiam menatap arah yang sama dengannya. Majid sempat berpikir jika bayangan siluet itu hanya imajinasi ciptaannya saja. Buah dari rasa haru dan kerinduan.

Entah imajinasi atau orang sungguhan, anehnya, siluet itu tak kunjung memudar. Karenanya dia ingin lekas-lekas membuka matanya untuk memastikan karena rasa penasaran. Dalam hitungan ketiga dia membuka matanya perlahan.  Matanya melotot meskipun silau. Betapa terkejut dirinya mendapati apa yang ada dihadapannya. Di sana hanya ada kekosongan. Tidak ada siapa-siapa di depan sana ketika dirinya membuka kedua matanya, memastikan. Dia berlari karena reflek, menuju di mana siluet itu berada dalam jangkauan bayangannya ketika Majid menutup kedua matanya beberapa waktu silam. Semuanya bagaikan ilusi fatamorgana hasil buah perasaan sendu yang dirasa. Entah sebuah kekecewaan karena menolak Martha atau rasa penasaran akan sosok Siska yang entah berada di mana. Dia menoleh kesana kemari seraya berlari menjelajahi sekitar pantai. Jika benar gadis itu adalah orang yang dia cari, dia tidak ingin melepaskannya lagi. Namun kenyataannya tetap saja sama. Hanya sebuah kekosongan lain, tidak ada perempuan di sekitar situ.

Majid menghentikan larinya. Dia berdiri membeku di bibir pantai. Seakan berpikir akan sesuatu, mukanya tertunduk menatap buih. Memori dari kejadian beberapa bulan silam kembali berputar, membanjiri ingatannya. Entah ini sebuah pertanda apa dari Tuhan. Dia sendiri tidak menyadari apapun dari hasil buah imajinasinya tersebut. Ataukah yang dia rasakan hanya sebuah proyeksi kecil akan perasaan kuat yang bersarang dalam jiwanya. Meskipun dia yakin tidak ada siapapun di tempat itu, namun secuil rasa di jiwanya menginginkan keberadaan sosok itu dan tetap mengirimkan sinyal ke indera perasanya untuk tetap mencarinya. Walaupun kenyataannya tetap saja sama. Nihil.

Kenyataan membentur hebat. Mendapati yang dirasakannya hanya semacam ilusi belaka. Putus asa, Majid hendak meninggalkan tempat itu. Dia tidak ingin tersiksa lebih dalam akibat kenangan yang menyedihkan. Bersedih bukan tujuannya datang ke tempat ini. Dia melangkahkan kakinya untuk beranjak. Belum genap lima langkah, kaki kanannya menginjak benda asing yang terkubur tidak sempurna di dalam pasir. Benda itu sedikit licin hingga membuatnya hampir terjungkal. Matanya melihat untuk memastikan benda apa yang ada di balik kakinya. Dia menunduk, tangannya meraba dan mengambil benda mungil itu. Diangkatnya sebuah botol kecil berisi beberapa butiran pasir.

“Woy, men!” Teriak Rudi dari kejauhan. Dia terlihat mengangkat tangannya yang sedang membawa kelapa muda.

Majid menatap jauh kedua sahabatnya. Dia tidak menyangka telah berjalan jauh dari posisinya semula. “Oke, aku kesana. Tunggu sebentar!” Majid membalas teriakan itu dengan teriakan lain dan mulai melangkah mendekat.

Majid mengamati botol kecil yang dipungutnya barusan. Sungguh terkejut ketika mendapati yang ada di dalamnya adalah sebuah benda mirip SIM Card telepon genggam. Dia menggoyang-goyangkan pasir di dalamnya seraya memastikan isinya. Benar adanya apa yang dilihatnya itu. Sebuah SIM Card berwarna merah jambu. Sebelumnya dia belum pernah melihat sebuah tempat penjualan kartu manapun yang menyediakan kartu provider dengan warna serupa. Tanpa berpikir lagi dia memasukkan botol kecil itu ke dalam saku celananya. Lantas mengubah langkahnya menjadi berlari menuju arah teman-temannya berada.

Mereka berbincang menghabiskan sisa waktu hingga senja mulai tiba menampakkan diri. Berbagai cerita mereka kenang kembali dari awal pertemuan mereka. Majid sendiri masih benar-benar mengingatnya. Awal mula dia mengenal Rudi dan Amir ketika ospek di SMA Citra Mandiri. Hal konyol yang mereka perbuat di masa ospek SMA dulu. Waktu itu mereka mendapat hukuman karena telah melanggar sebuah peraturan dari panitia OSIS penyelenggara ospek. Dan berbagai hal konyol lainnya. Mengingat berbagai hal bodoh itu membuat ketiganya tertawa lepas.

            Bagi Majid ini adalah salah satu momen terpenting dalam hidupnya. Dia bisa berkumpul bersama kedua sahabat sejatinya yang mungkin untuk terakhir kalinya sebelum mereka meninggalkan Indonesia untuk menempuh masa depan mereka. Bisa jadi ini juga adalah waktu bermain bersama terakhir bagi ketiga sejoli ini sebelum waktu berputar dan mempertemukan mereka kembali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • MajidNito

    @atinnuratikah gehehe thx u kak... iya emang lagi galau

    Comment on chapter Satu
  • atinnuratikah

    Kayak galau tingkat dewa ya ini. aku suka pembawaan ceritanya. Berkunjung ke ceritaku juga ya, ditunggu likebacknya.

    Comment on chapter Satu
Similar Tags
Menuntut Rasa
271      222     3     
Short Story
Ini ceritaku bersama teman hidupku, Nadia. Kukira aku paham semuanya. Kukira aku tahu segalanya. Tapi ternyata aku jauh dari itu.
Frekuensi Cinta
3      3     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
#SedikitCemasBanyakRindunya
38      13     2     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
Junet in Book
17      8     0     
Humor
Makhluk yang biasa akrab dipanggil Junet ini punya banyak kisah absurd yang sering terjadi. Hanyalah sesosok manusia yang punya impian dan cita-cita dengan kisah hidup yang suka sedikit menyeleweng tetapi pas sasaran. -Notifikasi grup kelas- Gue kaget karena melihat banyak anak kelas yang ngelus pundak gue, sambil berkata, "Sabar ya Jun." Gue cek grup, mata gue langsung auto terbel...
Lost Daddy
236      20     1     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
CINTA DALAM DOA
23      11     0     
Romance
Dan biarlah setiap doa doaku memenuhi dunia langit. Sebab ku percaya jika satu per satu dari doa itu akan turun menjadi nyata sesungguhnya
Letter From Who?
3      3     0     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Klise
26      11     0     
Fantasy
Saat kejutan dari Tuhan datang,kita hanya bisa menerima dan menjalani. Karena Tuhan tidak akan salah. Tuhan sayang sama kita.
Power Of Bias
0      0     0     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Langit Jingga
27      11     0     
Romance
"Aku benci senja. Ia menyadarkanku akan kebohongan yang mengakar dalam yakin, rusak semua. Kini bagiku, cinta hanyalah bualan semata." - Nurlyra Annisa -