Read More >>"> Frasa Berasa (BAB 2 Dirimu) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Frasa Berasa
MENU
About Us  

            BAB 2 

            DIRIMU

Sabtu siang aku dan kekasihku, Hartowardojo berjanji bertemu di pasar raya dekat rumah kami. Aku berdandan cantik agar tidak membuatnya malu berjalan denganku seorang gadis biasa. Pria bertinggi tegap 189 cm melambaikan tangan ke arahku, matanya berbinar saat menemukanku sudah terlebih dahulu tiba. Dia adalah Hartowardojo, kekasihku. Cukuplah banggaku padanya, seorang anak saudagar kaya yang berwajah rupawan namun tidak hanya itu, dia juga orang yang cerdas lagi cerdik. Usianya 19 tahun dan aku pun sama, sudah sewajarnya kami berdua memikirkan ke arah jenjang yang lebih baik. Apalagi kedua orangtuaku mendesak agar Hartowardojo segera mengawiniku. Usia 19 tahun merupakan usia yang matang bagi kami berdua. Namun, aku sedang terbuai dengannya, kawin, menikah ataupun mati aku siap saja jika bersamanya. Sejujurnya aku cukup resah dengan hal ini, di kampungku gadis usia 14 tahun saja sudah ramai menikah. Sedangkan aku usia 19 tahun belum kunjung menikah. Aku sejatinya mengetahui alasan terbesar mengapa ia belum mengawiniku. Romlah. Alasan terbesar Hartowardojo belum jua mempersuntingku.

“Mas...” sapaku membuyarkan lamunannya di pasar raya siang itu. Dia segera mendekatkan telinganya ke arahku agar bisa mendengar apa yang ingin kubicarakan lebih jelas sebab situasi pasar cukup ramai.

“Ya??...” 

“Orang tuaku lagi-lagi menanyakan kapan kau akan menikahiku?” aku memancingnya lagi, ini bukan kali pertama aku bertanya hal ini padanya.

“Sabar ya.” Jawabnya sambil tersenyum lembut. Sabar, sabar? Sampai kapan mas aku harus bersabar. Aku mendengus kesal dalam hati, dia hanya melayangkan senyumannya lagi melihat ekspresiku tidak baik. Aku merengut. Dia tahu benar, jika aku sedang merajuk maka dia akan menyajikan dunia untukku.

Menyajikan dunia bagi Hartowardojo artinya dia mengajakku berkeliling kota dengan sepedanya, meski suasana hatiku sedang buruk karena pertanyaan kapan menikah belum kunjung mendapat jawaban pasti namun dengan caranya menyajikan dunia padaku hilanglah sudah rasa kesal dan sebalku padanya. Bukankah perkawinan hanyalah sekedar ritual adat dan agama saja? Toh tanpa berkawin kami sudah saling bercinta, tentu bukan bercinta dewasa di ranjang namun saling kasih mengasihi dan saling sayang menyayangi. Namun, tentu saja berkisah kasih dan sayang akan percuma jika tidak dikukuhkan dalam resminya mahligai pernikahan yag sah secara agama dan pula adat.

Tak terasa matahari turun dari peraduannya, meninggalkan bekas cahaya jingga di langit-langit kota. Indahnya bersamamu di penghujung senja, Mas. Andai engkau tahu, aku tidak ingin hari ini berlalu dengan cepat. Apakah bisa aku dengan keegoisanku meminta pada Tuhan agar menjeda waktu sedikit saja agar aku bisa lebih lama berada bersamanya. Bersama pria ini, pria yang kucintai dengan sepenuh hatiku.

Hartowardojo menghentikan kayuhan sepedanya pada sebuah taman kecil di tengah kota Djakarta, dia menyuruhku turun dari boncengan belakang. Aku bertanya-tanya, apa yang hendak dilakukannya. Mataku kemudian menangkap cahaya senja matahari yang terlukis di langit. Dia melirik manik mataku sambil tersenyum.

Sambil duduk di sebuah bangku taman dia menggengam tanganku erat. Dilihatnya langit senja, bibirnya mengucapkan mantra:

“Pada Senja

Mengembara senda pada senja

Rama bermain dalam cahaya

Kusangka sempurna dalam segala

Sayap kemerlap mengemas rupa

Ditayang kembang kelopak terbuka.”

Aku tersipu malu, itu bait puisi karya Amir Hamzah kesukaanku. Terkadang Hartowardojo cukup romantis dengan membacakan puisi-puisi di saat tertentu. Seperti puisi pada senja tepat di saat senja. Pria seperti ini bagaimana aku bisa melepaskan tanganku dari genggamannya? Aku dengannya duduk berdua di bangku taman sambil menyaksikan senja. Pada senja kami berdua berkisah cinta, berkasih manja. Aku harap ini selamanya. Benarkah begitu, senja? Cepatlah jawab pertanyaanku senja. Sebab saat ini kau sedang menjadi saksi antara aku dan Hartowardojo. Pada senja. Amir Hamzah.

“Yuk, habis ini kita berkunjung sebentar ke rumah Mas.” Ajaknya setelah pertunjukan senja di langit yang agung selesai, langit mulai gelap.

Aku tertegun, memang ini bukan kali pertamanya Hartowardojo mengajakku ke rumahnya. Aku sudah sering bermain ke sana tentu atas ajakannya namun kurasa Ibunya tidak begitu menyukai hubunganku dengan Hartowardojo sehingga membuatku merasa tidak begitu nyaman setiap kali diajak berkunjung ke rumahnya tapi bukankah setiap hari merupakan kesempatan baik, kuharap hari ini menjadi kesempatan baik bagiku mendapatkan hati ibunda Hartowardojo. Semoga.

Selang beberapa puluh menit kemudian, kami sudah sampai di rumah Hartowardojo. Seperti biasa, Warsonoe duduk di halaman rumah sambil membaca koran dan surat kabar ditemani cahaya lampu teplok dan cahaya rembulan. Aku menyapanya.

“Rajin banget baca koran.” Usilku. Warsonoe meletakkan korannya di atas meja bambu.

Menyadari kehadiranku bersama kakaknya dirasa cukup menarik dibanding membaca koran harian. Hartowardojo memainkan matanya kepada adik satu-satunya itu, seolah merupakan sandi yang menyuruhnya pergi ke dapur mengambilkan air dan menghidangkan kue ringan. Warsonoe yang sudah menangkap sandi itu segera beringsut pergi secepat kilat, tidak ingin dikepret oleh kakaknya apabila melanggar perintah.

Kami bertiga menikmati kopi hitam dan juga kue Apem yang disuguhkan oleh Warsonoe, ketika aku berkunjung ke rumah Hartowardojo, adiknya Warsonoe selalu berada di antara kami, katanya menghindari fitnah lebih baik ada orang ketiga di antara aku dan kakaknya. Tak lama, munculah seorang wanita paruh baya dengan kulit kuning langsat, badan sekel masih segar, wajahnya ayu dan anggun, memakai jarik berwarna coklat tua, dia adalah Romlah ibunda Hartowardojo, wanita Jawa yang dipersunting Kasirun laki-laki Betawi saudagar kaya raya yang akhirnya memberikannya anak Hartowardojo dan Warsonoe.

Ia berdeham sedikit untuk menunjukkan kehadirannya pada kami. Sontak aku yang tadinya dalam posisi duduk, segera berdiri menghampirinya dan langsung salim kepadanya. Romlah hanya tersenyum, ia tidak menunjukkan rasa ketidaksukaannya padaku dengan jelas dan gamblang, hanya saja entah bagaimana aku bisa merasakan bahwa ia tidak begitu menyukai aku berhubungan dengan anaknya. Seperti saat ini, baru saja ia keluar dari ruang kamar untuk menemuiku sebentar, ia hendak masuk lagi namun segera dicegah oleh Hartowardojo.

“Bu, ngobrol-ngobrol sebentarlah sama Ningsih. Dia sudah bela-belain datang kemari.” Ujarnya Hartowardojo. Romlah merasa tidak enak untuk menolak permintaan anaknya, ia memutuskan untuk duduk di samping Warsonoe.

“Ibu, apa kabar?” tanyaku basa-basi. Sambil menyodorkan sebungkus buah jeruk yang sudah aku dan Hartowardojo persiapkan sebelum datang ke rumahnya. Romlah tersenyum manis dan menerima buah tanganku.

“waduh, repot-repot toh.” Ujarnya. Aku hanya menggelengkan kepala menandakan bahwa itu tidaklah sama sekali merepotkan namun seperti sebuah kewajiban untuk orang tua, membawakan buah tangan saat berkunjung.

Kami cukup lama berbincang ngalor-ngidul dari sekolahnya Warsonoe, politik, lepasnya Belanda, hingga pada suatu titik Romlah bertanya padaku,

“Sekarang bagaimana keadaan pabrik tahu orang tuamu?” tanyanya. Aku sedikit gugup menjawab hal ini, sebab jujur saja selepas tamat sekolah di Taman Siswa aku memutuskan membantu orang tuaku di pabrik tahu meski perekonomian keluarga kami tidak mengalami perbaikan yang berarti.

“Begitulah Bu, lagi tidak bagus pasar akhir-akhir ini.” jawabku seadanya. Aku bisa membaca raut wajahnya tidak begitu bahagia mendengar jawabanku. Ya, aku tidak sekaya keluarga kalian memang namun apakah menjadi sebuah masalah yang berarti? Aku menjadi berkecil hati.

Seolah bisa membaca situasi, Hartowardojo mengajakku untuk pamit karena hari sudah malam. Ya, sejujurnya Romlah-lah dinding terbesar mengapa hubunganku dengan Hartowardojo tidak jua menuju pelaminan. Sebab Romlah menginginkan mantu yang sama-sama kaya dan sepadan dengannya. Berulang kali Romlah pun kudengar mendesar Hartowardojo agar meninggalkanku.

Aku memandang punggung bidang Hartowardojo dari boncengan belakang sepeda, aku memeluk dirinya erat di dalam pekatnya malam di atas sepeda bonceng di bumi Djakarta. Ibumu tidak setuju engkau bersanding dengan diriku. Apakah engkau menyadarinya selama ini? Lantas, apa yang harus kita lakukan? Kawin larikah? Atau bagaimana? Atau kusudahi saja? Aku takut perasaan ini terlalu jauh namun tidak memiliki akhir. Namun, aku tidak melontarkan satupun pertanyaan malam itu hanya diam dan pekat malam serta suara jangkrik yang menemani perjalanan Hartowardojo mengantarku pulang ke rumahku selepas dari rumahnya. Lidahku kelu. Entah mengapa aku hanya diam saja malam itu.

***

How do you feel about this chapter?

2 0 3 0 0 0
Submit A Comment
Comments (44)
  • rara_el_hasan

    mapkhan saya bunda yg baru baca.. padahal cucok meong bgt

    Comment on chapter BAB 2 Dirimu
  • SEKARMEMEY

    Thank udah like karya saya . Cerita.nya bagus dan pantas jadi pemenang , sukses untuk karya2 selanjutnya ya kak

    Comment on chapter Kata Pengantar
  • dinda136

    Bagus banget kak,, dari awal baca udah tertarik, keren nih

    Comment on chapter BAB 1 Kekasihku
  • anna_777

    Karya tulis dengan latar belakang masa lalu, selalu membuat saya impress. Thank you udah like karya saya juga, tersanjung di like oleh pemenang tinlit. Good luck for your next story

    Comment on chapter BAB 1 Kekasihku
  • dede_pratiwi

    @Khanza_Inqilaby terima kasih sudah berkenan mampir :)

    Comment on chapter BAB 16 1963
  • dede_pratiwi

    @[dear.vira] terima kasih sudah berkenan mampir :)

    Comment on chapter BAB 16 1963
  • dede_pratiwi

    @AlifAliss terima kasih banyak sudah mampir :)

    Comment on chapter BAB 16 1963
  • dede_pratiwi

    @tikafrdyt wah, terima kasih banyakkk :) terima kasih juga sudah mau mampir

    Comment on chapter BAB 16 1963
  • dede_pratiwi

    @Tania terima kasih sudah mampir :)

    Comment on chapter BAB 16 1963
  • dede_pratiwi

    @Citranicha terima kasih kak sudah mampir... :)

    Comment on chapter BAB 16 1963
Similar Tags
Klise
31      12     0     
Fantasy
Saat kejutan dari Tuhan datang,kita hanya bisa menerima dan menjalani. Karena Tuhan tidak akan salah. Tuhan sayang sama kita.
TAKSA
2      2     0     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Love after die
3      3     0     
Short Story
"Mati" Adalah satu kata yang sangat ditakuti oleh seluruh makhluk yang bernyawa, tak terkecuali manusia. Semua yang bernyawa,pasti akan mati... Hanya waktu saja,yang membawa kita mendekat pada kematian.. Tapi berbeda dengan dua orang ini, mereka masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Dmitri, sang malaikat kematian. Tapi hanya 40 hari... Waktu yang selalu kita anggap ...
Pertualangan Titin dan Opa
35      12     0     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
Stars Apart
383      288     2     
Romance
James Helen, 23, struggling with student loans Dakota Grace, 22, struggling with living...forever As fates intertwine,drama ensues, heartbreak and chaos are bound to follow
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
313      246     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Black Roses
373      60     0     
Fan Fiction
Jika kau berani untuk mencintai seseorang, maka kau juga harus siap untuk membencinya. Cinta yang terlalu berlebihan, akan berujung pada kebencian. Karena bagaimanapun, cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh selembar tabir tipis.
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
24      9     0     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
3600 Detik
24      2     0     
Romance
Namanya Tari, yang menghabiskan waktu satu jam untuk mengenang masa lalu bersama seseorang itu. Membuat janji untuk tak melupakan semua kenangan manis diantara mereka. Meskipun kini, jalan yang mereka ambil tlah berbeda.
NADA DAN NYAWA
81      25     0     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...