Read More >>"> Itenerary (23) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Itenerary
MENU
About Us  

23

 

 

Sepulang dari pemotretan untuk sampul majalah fashion pria yang cukup terkenal, Jamie langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa empuk di ruang tengah dan menyalakan televisi di hadapannya. Sebelah tangannya memencet tombol di mesin penjawab telepon dan mendengarkan pesan-pesan yang masuk selama ia tak di rumah. Hanya ada beberapa pesan dari Natasha dan selebihnya dari teman-temannya dengan urusan yang tak terlalu penting. Ia bahkan malas membalas telepon dari mereka.

Sudah hampir dua minggu ia kembali ke L.A. dan kembali beraktivitas normal. Ya, dua hari setelah Ceria dan Joshua pulang tanpa berpamitan padanya, ia memutuskan meninggalkan Allen’s Stock dan pulang ke rumahnya di L.A.

Entah kenapa, rumah tempat ia biasa menenangkan diri itu terasa tak begitu nyaman lagi. Ia selalu merasa tidak tenang, seolah ada yang kurang tanpa kehadiran gadis manis berambut panjang yang telah mengisi hari-harinya selama di Cedar Hill. Apalagi Maddy juga bersifat tak acuh padanya. Entah apa yang membuat gadis itu marah padanya, Jamie tak begitu paham. Ia tak merasa berbuat kesalahan. Oke, ia mengaku bersalah meninggalkan Ceria begitu saja setelah mereka makan malam. Tapi, masa hanya karena itu Maddy—yang sangat jarang bertengkar dengannya—sampai hati memusuhinya?

Dan yang saat ini sangat mengganggunya adalah kenyataan bahwa selama dua minggu berada di L.A., ia sama sekali tak bisa bertemu dengan teman-temannya. Nomor ponsel Ceria tak bisa dihubungi. Saat ia mencoba menelepon apartemen gadis itu pun tidak bisa tersambung. Sementara Joshua, meski nomor ponselnya bisa dihubungi, tapi sahabatnya itu tak mau sekali pun menjawab panggilannya. Ia juga tak mau membalas pesan-pesan singkat atau chat yang Jamie kirimkan.

Geez, ada apa sih dengan semua orang? Kenapa sepertinya semua marah dan menjauhinya? Salahnya apa?

Dering telepon dari meja di samping sofa menyadarkan Jamie. Spontan, ia mengulurkan tangan meraih gagang telepon dan menempelkan ke telinganya. “Ya?”

Honey, aku sedang ada di bandara, sebentar lagi take off. Nanti kaujemput aku, ya?” Suara Natasha terdengar manis dari seberang.

“Ya.” Jamie menjawab sekenanya.

“Oh ya, dari tadi aku menghubungi ponselmu tapi tak bisa. Kenapa?”

“Sengaja kumatikan agar tak mengganggu pekerjaan.”

“Oh, baiklah kalau begitu. Jangan lupa nanti jemput aku pukul enam, ya!”

Sekali lagi Jamie hanya berkata, “Ya,” sebelum sambungan dari seberang terputus setelah Natasha mengucapkan, “I love you.”

Jamie meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya dan menyenderkan kepalanya pada punggung sofa, menarik napas berat. Ia tak mengerti apa yang salah dengan dirinya. Natasha telah kembali padanya seperti yang ia harapkan sebelumnya. Ia bahkan tak perlu repot-repot meninggalkan The Hunters dan bermain film sebanyak-banyaknya. Tapi entah kenapa, rasanya ada yang tidak benar. Entah kenapa, ia tak bisa sebahagia dulu sebelum Natasha mencampakkannya. Seperti ada yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang berharga, entah apa.

Ah, mungkin karena sampai sekarang teman-temannya tak bisa dihubungi, makanya Jamie kesepian. Ya, pasti begitu. Lagi pula, memangnya apa yang hilang dari hidupnya? Secara teknis sama sekali tak ada. Justru ia mendapatkan cintanya kembali. Mestinya ia bersyukur dan sangat berbahagia sekarang.

Jamie mematikan televisi dan beranjak dari sofa. Mandi air hangat pasti bisa menghilangkan penat dan menenangkan saraf-sarafnya yang tegang—serta menjernihkan pikirannya yang terasa penuh. Semoga.

*

“Hai, sis! Kapan kau datang?”

Ceria yang asyik membaca sambil menikmati embusan angin laut dari beranda rumah mengangkat kepala dan melihat seorang pemuda jangkung berambut pirang yang memanggul ransel besar berdiri di tangga teratas beranda. “Beberapa hari yang lalu,” jawabnya. “Kau dari mana? Travelling lagi?”

Pemuda itu Niel, adik tirinya. Si sulung dari pernikahan kedua ayah Ceria. Berusia 21 tahun, penggila fotografi yang lebih suka menghabiskan waktunya untuk menjelajah dunia daripada harus duduk di bangku perkuliahan. Well, dia mendapat cukup banyak uang dari hobinya itu dan Ceria akui, fotonya sangat bagus.

Ada lagi si bungsu yang bernama Liam, masih 16 tahun dan dijuliki heartbreaker oleh kedua kakaknya. Bukan karena ia playboy atau suka mempermainkan wanita, tapi lantaran wajah tampannya mampu membuat para gadis bertekuk lutut, namun tak seorang pun dari mereka mampu menarik perhatiannya. Bukan berarti ia lebih tertarik dengan laki-laki—meski seandainya begitu pun tak ada yang mempermasalahkannya—tapi si tampan yang jenius itu lebih suka mengutak-atik rumus matematika daripada pacaran. Tak ada yang tahu orientasai seksualnya ke arah mana. Bahkan mungkin yang bersangkutan pun tak tahu.

Niel duduk di sebelah Ceria setelah meletakkan ranselnya begitu saja di lantai. “Tumben kau kemari? Sedang tidak ada pekerjaan, ya?” Bukannya menjawab pertanyaan Ceria, pemuda itu justru kembali bertanya.

Ceria melirik adiknya tajam. “Kenapa? Tidak boleh? Tidak suka melihatku di sini?”

Niel mengangkat sebelah alisnya, lalu tertawa. “Ya ampun, my cutie sista, kau sensitif sekali. Apa kau ada masalah? Atau hanya sedang PMS?”

Ceria tak membalas dan kembali menekuni bukunya. Tiba-tiba ia rasakan dua lengan kekar memeluk tubuhnya sangat erat hingga bukunya terlepas. “Niel, kau ini apa-apaan?!”

I miss you so much, sista. Entah sudah berapa lama kita tak bertemu. Kau jarang sekali main ke sini,” ujar Niel tanpa melepas pelukannya, malah makin mempererat hingga Ceria nyaris kesulitan bernapas.

 “O-oke, aku tahu. Tapi tolong lepaskan aku. Tulang-tulangku bisa remuk.”

“Ahahaha… maaf.” Niel melepaskan pelukannya sambil nyengir lucu.

“Aku juga merindukanmu, lil bro,” balas Ceria sambil tersenyum.

Niel kembali tertawa. “Kau tak pantas memanggilku lil bro. Aku jauh lebih besar darimu.”

Ceria mencebik. “Cih, tetap saja kau adikku,” balasnya sebal. Ia paling tidak suka kalau Niel mulai membicarakan fisik. Dari dulu adiknya itu selalu saja menggoda tubuhnya yang mungil. Ah, bahkan Liam yang masih 16 tahun saja sudah lebih tinggi dari Ceria.

“Hehe… jangan marah, dong. Aku kan cuma bercanda.” Niel kembali merangkul bahu Ceria. “Jadi, mengenai pertanyaanku tadi. Apa kau sedang tak ada pekerjaan? Biasanya kan kau sangat sibuk bekerja sampai tak punya waktu untuk mengunjungi adikmu yang tampan ini.”

Ceria tersenyum kecil. Memang, ia terlalu banyak bekerja sehingga nyaris tak sempat pulang menemui keluarganya, baik yang di Amerika maupun Indonesia. Bahkan Thanksgiving dan Natal tahun lalu pun ia habiskan dengan bekerja. “Maaf, aku memang terlalu banyak bekerja. Tapi sekarang aku di sini, kan. Aku sengaja tak mengambil pekerjaan apa pun,” ujar Ceria. “Kau sendiri habis travelling ke mana? Kau juga jarang ada di rumah.”

Niel nyengir. “Hehe… iya, sih. Tapi aku selalu pulang saat Natal atau Thanksgiving.”

“Jadi, kau dari mana?” Ceria kembali mengajukan pertanyaan yang tak kunjung dijawab oleh Niel.

“Hungary.”

Ceria memutar bola matanya. “Kau ini ke luar negeri terus. Kasihan, kan, Liam sendirian di rumah,” protesnya. “Kau kan kakaknya. Jangan sampai dia jadi anak yang kesepian dan merasa diabaikan gara-gara ditinggal sendirian terus.”

“Tenang saja, my beautiful sista. Aku cukup sering menemaninya main, kok. Itulah alasanku sampai di umur segini masih tinggal di rumah bersama orang tuaku. Padahal sebenarnya aku juga mampu tinggal sendiri,” ujar Niel. “Lagi pula, Liam lebih suka memacari bukunya daripada main dengan kakaknya. Dia malah sebal kalau aku terlalu lama di rumah. Katanya aku pengganggu, berisik. Dia juga tidak suka kalau terlalu sering kuajak hang out atau main basket. Katanya semua itu hal-hal tak penting dan hanya membuang waktu. Justru dia yang menyuruhku keliling dunia saja dan membawakan souvenir dari setiap negara yang kudatangi.”

Ceria tertawa kecil. Benar juga. Sepertinya ia memang tak perlu mengkhawatirkan adik bungsunya itu.

So, Ceria,” Niel kembali melingkarkan lengannya pada bahu kakaknya, “apa kau sedang patah hati?”

Ceria berpaling cepat menatap adiknya. “Huh?”

Niel makin mendekatkan wajah tampannya pada wajah Ceria. “Wajahmu mengatakan demikian.”

Ceria menjauhkan wajahnya dan mendengus. “Sok tahu!”

Niel tertawa renyah. “Kau tidak ingat, my sweet sista? Aku selalu bisa membaca wajahmu.”

Yeah, itu benar. Ceria sangat tahu itu. Itulah kenapa ia lega saat menginjakkan kakinya di rumah orang tuanya di tepi pantai Seattle itu beberapa hari lalu dan mendapati Niel sedang tidak di rumah. Artinya ia akan bebas dari interogasi. Dan ternyata, sekarang pemuda itu sudah pulang dan duduk di sampingnya, merangkul bahunya, dan menanyakan hal yang paling tidak ingin ia bicarakan.

“Oke, tak masalah kalau kau tak mau membicarakannya,” kata Niel sambil melepaskan tangannya, seolah tahu apa yang dipikirkan Ceria. “Mungkin kau lebih suka bercerita pada Theo. Aku mengerti, aku memang bukan pendengar dan pemberi saran sebaik Theo. Aku mengerti kalau aku masih muda dan mungkin menurutmu tidak tepat menceritakan masalahmu pada orang yang lebih muda dan minim pengalaman. Tidak masalah, kok.”

“Oh, ayolah… bukan begitu maksudku.” Ceria melingkarkan dua tangannya pada lengan atas Niel. Ia jadi merasa sangat bersalah. Niel begitu perhatian dan mengkhawatirkannya, tapi tanggapannya malah seperti itu.

“Tidak apa-apa, kok. Aku mengerti.”

“Ayolah, Niel…” Ceria meletakkan kepalanya pada bahu pemuda itu. “Aku bukannya tidak mau cerita, hanya saja… aku lelah bercerita. Saat ini aku hanya ingin menenangkan diri dan melupakan semuanya. Kalau aku bercerita, artinya aku harus mengingatnya lagi.”

Niel tersenyum dan mengusap kepala gadis itu dengan tangannya yang bebas. “Iya, tidak apa-apa. Aku mengerti, kok.”

“Nanti, kalau aku sudah merasa lebih baik, aku pasti akan bercerita,” janji Ceria. Bagaimanapun, Niel adiknya yang selama ini meski tinggal terpisah, sangat dekat dan selalu memperhatikannya.

“Tidak perlu. Aku sudah tahu, kok.”

“Huh?” Ceria mengangkat kepalanya dan menatap adiknya bingung.

Niel nyengir. “Ya… sebenarnya Theo sudah memberitahuku. Karena itulah aku buru-buru pulang. Biar aku bisa menemanimu. Siapa tahu aku bisa sedikit menghiburmu.”

Ceria memutar bola matanya. Seharusnya ia sudah menduga itu. Theo dan Niel kan partner of crime meskipun tinggal di negara bagian yang berbeda.

“Ceria, sweetheart… makan siang sudah si—lho, Niel, kau sudah pulang? Kenapa tidak langsung masuk?” Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik muncul dari pintu depan.

Niel nyengir. “Sorry, Mom. Habisnya aku bertemu bidadari di teras. Jadi, ya, terhambat di sini.”

Ceria mencibir, sementara Trisha, ibu tirinya itu hanya menggeleng-geleng pelan mendengar ucapan putra sulungnya. Sudah terlalu terbiasa.

“Ya sudah, ayo masuk! Kalian makan siang dulu. Dad dan Liam sudah menunggu,” perintah Trisha dan langsung berbalik memasuki pintu kembali.

Ceria dan Niel mengekor di belakangnya. Tak lupa si jangkung terlebih dahulu meraih ransel besarnya yang tergeletak tak berdaya di atas lantai dan memanggulnya di bahu kanannya yang lebar.

*

“Hai, darling!” Sebuah ciuman langsung mendarat di bibir Jamie begitu Natasha menghampirinya. “Aku sangat merindukanmu,” katanya setelah melepas bibirnya dari bibir Jamie.

Jamie tersenyum kecil dan menjawab, “Aku juga.” Meski sebenarnya ia berbohong. Entah kenapa ia sama sekali tak merindukan kekasihnya itu walau sudah berpisah selama hampir satu minggu. Rasanya tak ada yang berbeda dalam hidupnya, ada maupun tidak ada Natasha. Tanpa bicara, ia meraih pinggang Natasha, mengajaknya segera meninggalkan bandara. Satu tangannya mengangkat koper berukuran sedang milik wanita itu.

“Kita makam malam dulu, yuk!” ajak Natasha sebelum kaki mereka sampai di pintu keluar bandara. “Sudah lama kita tidak makan malam bersama.”

“Tentu,” sahut Jamie singkat. “Mau makan di mana?”

“Di mana saja, asal bersamamu semua pasti terasa lezat,” jawab Natasha dengan senyum menggoda. “Tapi aku sedang ingin makan masakan Prancis. Kau tak keberatan kalau kita makan di restoran Prancis langganan kita dulu?”

Jamie hanya tersenyum tipis. Kakinya terus melangkah menuju tempat mobilnya terparkir. Tanpa menjawab, Natasha tahu Jamie tak akan menolak apa pun permintaannya.

Sementara Natasha di sampingnya tampak berseri-seri, entah mengapa Jamie justru merasakan kekosongan di dalam rongga dadanya. Bersama Natasha, ia tidak merasa senang ataupun tidak suka. Hanya kosong. Datar. Tanpa rasa.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (28)
  • Chaa

    Ini menarik sih.
    Sedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D

    Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening Mereka
  • Indriyani

    Seruu nih, aku suka. Apalagi tentang persahabatan dan petualangannya dapet. Keren 👍

    Comment on chapter Rencana Mereka
  • nowaryo_

    bagus sebetulnya. hanya saja terlalu banyak dialog. tp bagus, krn bisa membawa pembaca masuk dalam cerita

    Comment on chapter Persiapan Kilat
  • aiana

    @Ervinadypudah meyakinkan kok ceritanya. Eh tp di bab 19 kok ada pengulangan dr narasi bab 16. Pas momen makan ronde dan buat perjanjian kencan 1 hari.

    Comment on chapter Epilog: Narasi Enam Kepala Manusia
  • imagenie_

    selesai baca ini pas masih ngantor. huaaa bagus

    Comment on chapter Epilog: Narasi Enam Kepala Manusia
  • imagenie_

    wah pendakian. aku siap lanjut baca bab selanjutnya nih

    Comment on chapter Rencana Mereka
  • Ervinadyp

    @aiana makasihhh ya udahh bacaa💚💚 iyanihhh pgn banget naikgunung, doakan smoga kesampaian ya kakkk.. Aamiin yaAllah

    Comment on chapter Rencana Mereka
  • Ervinadyp

    @suckerpain_ makasiii banyakk sarannya ya kaak💚

    Comment on chapter Rencana Mereka
  • dear.vira

    Ceritanya bagus, sarannya coba agak kurangi bagian percakapannya ya, strusnya udah bgus banget semangat ya

    Comment on chapter Rencana Mereka
  • aiana

    seru nih, tentang perjalanan. saya baru baca beberapa bab. kalau sudah selesai saya review deh. Siap-siap nostalgia. Belum penah ke Semeru sih tapi pernah menggembel sampai ke G.Gede saya dulu dan beberapa Kerucut di Jateng. Penulis perlu coba naik gunung. seru dan bikin rindu loh.

    Comment on chapter Rencana Mereka
Similar Tags
Meta(for)Mosis
262      149     0     
Romance
"Kenalilah makna sejati dalam dirimu sendiri dan engkau tidak akan binasa. Akal budi adalah cakrawala dan mercusuar adalah kebenaranmu...." penggalan kata yang dilontarkan oleh Kahlil Gibran, menjadi moto hidup Meta, gadis yang mencari jati dirinya. Meta terkenal sebagai gadis yang baik, berprestasi, dan berasal dari kalangan menengah keatas. Namun beberapa hal mengubahnya menjadi buru...
One-room Couples
31      26     0     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...
Closed Heart
41      23     0     
Romance
Salah satu cerita dari The Broken Series. Ini tentang Salsa yang jatuh cinta pada Bara. Ini tentang Dilla yang tidak menyukai Bara. Bara yang selalu mengejar Salsa. Bara yang selalu ingin memiliki Salsa. Namun, Salsa takut, ia takut memilih jalan yang salah. Cintanya atau kakaknya?
BIYA
55      41     0     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...
Ikatan itu Bernama Keluarga
11      11     0     
Inspirational
Tentang suatu perjalanan yang sayang untuk dilewatkan. Tentang rasa yang tak terungkapkan. Dan tentang kebersamaan yang tak bisa tergantikan. Adam, Azam, dan Salma. Hal yang kerap kali Salma ributkan. Ia selalu heran kenapa namanya berinisial S, sedangkan kedua kakaknya berinisial A. Huruf S juga membuat nomor absennya selalu diurutan belakang. Menurut Salma, nomor belakang itu memiliki ban...
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
65      43     0     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Petrichor
171      91     0     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?
Accidentally in Love!
6      6     0     
Romance
Lelaki itu benar-benar gila! Bagaimana dia bisa mengumumkan pernikahan kami? Berpacaran dengannya pun aku tak pernah. Terkutuklah kau Andreas! - Christina Adriani Gadis bodoh! Berpura-pura tegar menyaksikan pertunangan mantan kekasihmu yang berselingkuh, lalu menangis di belakangnya? Kenapa semua wanita tak pernah mengandalkan akal sehatnya? Akan kutunjukkan pada gadis ini bagaimana cara...
Kamu&Dia
13      13     0     
Short Story
Ku kira judul kisahnya adalah aku dan kamu, tapi nyatanya adalah kamu dan dia.
If...Someone
78      61     0     
Romance
Cinta selalu benar, Tempatnya saja yang salah.