Mulanya ragu, canggung, resah, pokoknya kurang nyaman. Tapi lama-kelamaan, semuanya mengalir begitu saja. Mika larut dalam nikmatnya bakso di warung Pak Muchlis ini hingga ia lupa kalau saat ini dia sedang berdua bersama Azka.
Selesai menghabiskan satu porsi bakso, Mika segera meneguk habis es jeruk miliknya hingga hanya menyisakan potongan es batu saja. Ia duduk bersandar di kursi sambil mengusap-ngusap perut. Keningnya dipenuhi keringat, poni depannya terlihat sedikit basah. Di meja, banyak sekali tisu bekas bertebaran. Niat hati ingin terlihat anggun dan feminim lenyap sudah.
Bodo amat, lah. Yang penting gue kenyang.
Lalu bagaimana dengan Azka? Cowok itu menghabiskan makanannya lebih dulu dari pada Mika. Dan sekarang dia sedang sibuk dengan handphonenya. Membalas pesan masuk satu per satu.
Memang, sejak makan tadi, handphone Azka terus berbunyi tanpa henti. Banyak sekali notifikasi masuk hingga cowok itu merubah sound mode nya menjadi silent. Ngomong-ngomong soal handphone, Mika jadi teringat masalahnya yang belum terselesaikan dengan Azka.
"Password!" Ia menyodorkan handphonenya pada Azka. Cowok itu mendongak sebentar, menatap handphone Mika yang terulur padanya, lalu kembali mengetik pesan. "Kak!"
"Apa?" Azka mendongak lagi sambil menyimpan handphonenya di atas meja.
"Aku mau nelpon kakak aku. Takut dia nyariin." Mika memasang wajah memelas sambil memohon.
"Kalo dia nyariin, dia pasti nelpon atau sms." ucap Azka.
Mika menatap layar handphonenya. Iya, ya. Kok dia gak ada nelpon atau sms gue? Tumben. Biasanya dia bawel banget kalo gue pulang telat, apalagi gue gak ngasih kabar.
"Tapi nanti aku pasti dimarahin karena gak ngasih kabar."
"Gak bakal. Tenang aja." Ucap Azka santai. Ia mengambil beberapa helai tisu untuk mengelap sudut-sudut bibirnya.
"Tau dari mana kalo kakak aku gak bakal marah?"
"Karena gue udah sms dia pake hp lo. Bilang supaya dia gak usah jemput lo hari ini."
"Hah?" Kedua mata Mika melebar. "Seriusan?"
"Iya. Gue udah ngasih tau dia supaya dia gak usah khawatir, karena hari ini lo mau pulang sama gue." Jawab Azka santai. Santai sekali, meski lawan bicaranya jelas-jelas menampakkan ekspressi tidak suka.
"Kok gitu? Kenapa aku pulang sama kakak? " Kedua alis Mika nyaris bertautan, nampak tak habis pikir dengan keberanian Azka yang kelewat batas.
"Karena..." Jeda sejenak. Entah kalimat apa yang sedang Azka rangkai dalam kepalanya. "Emang lo gak mau pulang bareng gue?"
Itu bukan jawaban, dan Mika tidak butuh pertanyaan. Mika membuka mulutnya namun tak bersuara. Wajahnya nampak bingung. Pandangannya bergerak ke sana ke mari, menghindari tatapan Azka.
"Kenapa aku harus pulang sama kakak?" Mika hanya bisa mengulangi pertanyaan yang sama.
"Kan katanya lo suka sama gue. Jadi harusnya lo sekarang seneng, dong, bisa dianterin pulang sama orang yang lo suka? Atau lo emang udah gak suka lagi sama gue?"
Mika mendengus tanpa sadar. "Kenapa emangnya kalo aku suka atau udah gak suka lagi sama kak Azka? Terlepas dari keduanya, kak Azka tetep gak bisa seenaknya kayak gini, seenaknya ngatur aku harus pulang sama kak Azka sampe kakak berani sms ke abang tanpa ijin aku, bilang dia gak usah jemput aku segala. Gak sopan tau gak?"
Pipi Mika mendadak panas. Meski Mika mengaku kalau ia menyukai Azka, tapi tindakan Azka yang seperti ini tidak bisa dibenarkan. Azka bukan siapa-siapa Mika, pun sebaliknya. Salwa dan Riska saja tidak berani menghubungi Mike tanpa ijin, kecuali ada hal mendesak yang memaksa mereka menghubunginya.
Mendadak Mika berdiri. Ia bicara pada Azka namun pandangannya menatap ke arah lain. "Aku mau pulang!"
Azka ikut berdiri sambil memegangi tangan Mika agar gadis itu tidak pergi kemana-mana. "Mika gue gak ada maksud buat kayak gitu. Gue cuma becanda."
Mika tidak menjawab, dan pandangannya masih mengarah ke arah lain, enggan menatap Azka.
"Mika gue minta maaf. Gue cuma becanda tadi. Beneran. Kalo soal sms abang lo, gue ngaku gue salah. Sorry, ya."
"Becanda tetep harus tahu aturan. Jangan mentang-mentang aku suka sama kak Azka, kakak bisa seenaknya ngelakuin apapun yang kakak mau. Apalagi sampe ngisengin aku buat kesenangan kakak sendiri."
"Ngisengin lo? Iseng gimana maksudnya?" Tanya Azka tak mengerti.
"Iya, iseng. Kenapa kakak mendadak ngajak aku pulang bareng, trus makan berdua kayak gini kalo bukan karena iseng? Padahal di sekolah, ngobrol aja kita gak pernah."
"Aku tahu kakak playboy. Dan kakak tahu aku suka sama kakak. Meski pun aku suka sama kakak padahal aku tahu kakak playboy, kakak jangan pernah punya pikiran kalo aku rela buat kakak isengin. Kalo aku rela kakak mainin, kayak kakak main-main sama cewek lain."
"Kok jadi kayak gini," Azka berdecak sambil mengacak-ngacak rambut belakangnya. "Lo ngomong apa, sih?"
Mika tahu ia dan Azka sudah menjadi pusat perhatian. Persetan! Untuk kali ini, amarah telah memutus urat malunya, hingga Mika tidak peduli pada mereka.
Dalam keadaan genting begini, Azka tiba-tiba mengambil sweater nya. Lalu berjalan mengitari meja untuk mendekat pada Mika. Dari belakang, ia mencoba mengaitkan sweater miliknya di pinggang Mika.
"Kakak ngapain?" Tanya Mika sambil mencoba memberontak.
Satu porsi bakso rupanya berhasil menambah tenaga Azka, hingga dia bisa menahan Mika sampai ia selesai memasangkan sweater itu di pinggang Mika.
"Pantes sensi." Gumam Azka sambil berkacak pinggang.
"Apa?!"
"Enggak. Buruan pake tas nya. Mau pulang, kan?"
#
"Masih marah?" Tanya Azka saat Mika menyerahkan helm padanya. Azka hanya membawa satu helm sebenarnya. Dan dia malah memberikan helm itu pada Mika. Supaya aman katanya.
"Kan gue udah minta maaf. Becanda doang tadi. Gak ada maksud apa-apa, kok. Gue juga gak bakal lancang lagi kayak tadi, beneran."
"Oh, iya. Pegang helmya sebentar, deh." Azka menyerahkan kembali helmnya pada Mika. Ia melepaskan tas di punggungnya untuk diletakkan di depan. Mengambil buku catatan, dan merobek satu lembar kertas kosong yang belum terjamah pena hitam. Ia lalu mengambil pulpen untuk menulis sesuatu di sana.
Setelah selesai, Azka melipat kertas itu menjadi dua bagian. "Nih, ambil." Katanya sambil menyerahkan kertas itu pada Mika.
"Ini apa?"
"Password handphone lo. Tapi jangan dulu dibuka. Nanti di dalem bukanya." Azka memasukkan kembali buku dan pulpennya ke dalam tas. Kemudian mengambil helm di tangan Mika, untuk segera ia pasang di kepala.
"Gue pulang, yah. Jangan marah lagi tapi. Gue nyesel bener. Lain kali gak bakal becanda kayak gitu lagi."
Sebenarnya Mika merasa ada yang aneh dengan Azka hari ini. Cowok itu, bagaimana bisa dia bersikap seperti ini pada Mika? Bersikap sok akrab seolah keduanya sudah saling mengenal dalam waktu yang cukup lama.
"Gue pulang. Sekali lagi maaf, yah."
Kali ini Azka benar-benar pergi setelah berpamitan pada Mika untuk yang kedua kalinya. Motor Azka berangsur-angsur menghilang dari pandangan Mika. Saat sudah benar-benar tidak terlihat, Mika memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah.
Rumah ini terlihat kosong. Mika tidak melihat mbok Iyem atau Mike di sini. Mika duduk di sofa ruang tamu. Ia penasaran dengan kertas yang diberikan oleh Azka tadi.
Tanpa ragu, Mika membukanya.
Clue :
Nama pacarnya boboho.
Gue udah nyimpen nomor gue di kontak telepon. Kalo lo udah bisa buka kuncinya, telpon gue, oke ^^
"Maksudnya apaan ini? Kok malah main tebak-tebakan kayak gini?" Tanya Mika pada dirinya sendiri. "Tinggal bilang langsung apa susahnya, sih?"
"Eh, udah pulang?" Mika menoleh pada Mike yang baru saja keluar dari kamarnya sambil tersenyum. "Temennya mana?"
"Temen?"
"Iya. Tadi kan kata kamu, kamu dianterin pulang sama Azka, temen kamu di teater. Dia siapa? Pacar, ya?" Mike memasang wajah menggoda sambil duduk di sebelah Mika. "Kok gak bilang-bilang kalo punya pacar? Pantesan betah di teater."
"Apaan, sih!" Mika malah membuang muka.
"Eh jam berapa sekarang? Udah minum obat?"
Bukannya menjawab, Mika malah mengajukan pertanyaan pada Mike. "Bang, nama pacarnya boboho siapa?"
"Hah? Pacarnya boboho?" Mike mengulangi pertanyaan Mika, lalu menatap ke sembarang arah, berpikir sejenak.
Mike kembali menatap Mika, "Pacarnya boboho?" Tanya Mike sekali lagi.
"Iya, ih!" Jawab Mika. "Siapa?"
"Kamu! Hahaha." Tawa Mike tiba-tiba meledak.
"Bang yang serius, ih! Urgent, nih."
"Iya kan kamu pacarnya boboho." Jawab Mike di sela-sela tawanya.
Mika mendengus sebal. "Gak lucu!"
"Lah, siapa yang ngelucu? Abang tadi cuma keingetan aja, pas kamu bilang pacarnya boboho, di kepala abang cuma kamu."
"Kok aku?" Tanya Mika tak mengerti.
"Emang kenapa, sih? Kok tiba-tiba nanyain pacarnya boboho?"
Mika menyerahkan handphonenya yang terkunci pada Mike. "Handphone Mika dikunci sama orang yang nemuinnya. Pas Mika tanya passwordnya apa, dia malah ngasih clue. Password nya nama pacar boboho katanya."
"Dikunci?" Tanya Mike sambil mengambil handphone Mika. Dia mencoba mengetik nama pacar boboho seperti yang dikatakan Mika untuk membuka kunci layarnya. "Gak bisa." kata Mike setelah ia mencoba memasukan kata kunci 'Chau Mooi'.
"Kok gak bisa? Salah nama kali."
"Ohh tunggu bentar. Pacarnya boboho kan ada dua." Kata Mike.
"Satu lagi siapa?" Tanya Mika antusias.
"Kamu. Hahaha." Mike kembali tertawa.
"Abang, ih!" Mika memukul lengan Mike berkali-kali hingga Mike meringis kesakitan.
"Tuh kan bener!" Ujar Mike tak kalah antusias sambil menepuk pahanya sendiri. "Liat, udah bisa kebuka!" Mike menunjukkan layar handphone Mika yang sudah terbuka.
"Akhirnyaaaa. Passwordnya apa?" Mika segera merebut kembali handphonenya dari tangan Mike.
"Mika."
"Bang, ah, serius!"
"Sumpah!" Mike mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk huruf v. "Coba kamu matiin dulu layarnya, trus hidupin lagi, masukin nama kamu."
Mika menatap Mike dengan ragu.
"Cepetan!"
Sambil berdecak, Mika mencoba melakukan apa yang Mike katakan. Ia memasukkan namanya sebagai kata kunci sebagaimana perintah Mike.
"Gimana? Bener, kan?"
Mika ternganga, matanya mengerjap satu kali sebelum menjawab, "Bener, bang."
"Emang siapa sih yang ngunci handphone kamu? Tinggal bilang aja kalo password nya nama kamu, ini malah pake clue segala."
"Tapi kok dia tahu kamu pacarnya boboho? Dulu, kamu sering dibilang pacarnya boboho gara-gara waktu kecil badan kamu gendut trus rambut kamu di bob gitu kayak pacarnya boboho. Kalo sekarang, siapa yang punya pikiran kayak gitu juga? Kamu kan gak gendut lagi."
Tunggu, Mika membutuhkan waktu untuk mencerna seutuhnya ucapan Mike. Mika menarik nafas, lalu menghembuskannya secara perlahan. Mencoba membuat dirinya tenang agar otaknya dapat berjalan lancar. Mika ingat, satu-satu nya orang yang sering menyebutnya sebagai pacarnya boboho adalah Aska. Kakak kelasnya waktu SD dulu. "Aska?"
"Azka... Aska... Azka... As... ka?"
Lo, gak inget sama gue?
Coba perhatiin wajah gue baik-baik. Lo gak inget sesuatu gitu?
Yakin Mika suka sama gue cuma gara-gara gue dibilang mirip sama Bisma? Gak ada alesan lain?
Lo gak suka daun bawang, kan?
"Oh my…" Mika bangkit dari kursi secara tiba-tiba sembari menutup mulutnya. "Kak Azka itu... Aska?" Mika menatap Mike, seolah bertanya padanya. Padahal Mike tidak tahu apa-apa. "Dan dia udah tahu kalo Mika..."
"Apaan, sih? Aska siapa? Aska temen kamu itu?"
"Iya, Azka. Ya Tuhan, kok gue bego banget, sih." Mika menepuk keningnya sendiri. Meruntukki dirinya yang terlampau bodoh.
"Eee… ngomongnya di lanjut nanti aja, yah." Mike memegang kedua bahu Mika dari belakang, lalu perlahan mendorong tubuh Mika untuk mengarahkannya ke kamar. "Sekarang kamu mandi dulu."
Mika bergerak ke samping, melepaskan diri dari Mike, lalu berbalik menghadapnya. "Nanti, bang!" Kata Mika menolak untuk masuk kamar. "Ada urusan yang lebih penting dari mandi."
"Mandi juga penting, apalagi itu kamu lagi--"
"Sstttt!" Mika mendesis sambil menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. Menyuruh Mike untuk diam.
"Neng..."
Entah dari mana datangnya, Mbok Iyem tahu-tahu sudah berdiri di belakang Mika.
"Ada apa, mbok?" Tanya Mika.
Mbok Iyem menggerakkan tangannya, mengisyaratkan agar Mika mendekat padanya.
"Apaan?" Tanya Mika sembari mendekat pada Mbok Iyem. Mbok Iyem membisikkan sesuatu di telinga Mika. Mika yang mendengarnya segera membulatkan mata. "Masa, sih?" Tanya Mika tak percaya. Dan Mbok Iyem menjawabnya dengan anggukan kepala.
Mika menunduk, ia memutar rok yang di pakainya hingga posisinya menjadi terbalik. Ia hampir menjerit melihat noda merah seperti darah yang melingkar di bawah sana.
Mika langsung mendongak menatap Mike. Tepat pada saat itu, Mike membuang muka. Seolah tidah tahu apa-apa. Jadi ini alasan Mike menyuruhnya mandi?
Ini juga alasan kenapa Azka tiba-tiba memasangkan sweater coklat itu di pinggang Mika? Azka… melihat noda merah ini?
"Ya Tuhan." Punggung Mika nyaris menabrak dinding pintu kalau saja Mbok Iyem tidak menahannya. "Mbok." Mika menatap Mbok Iyem dengan sayu.
Mbok Iyem mengerjapkan kedua matanya, lalu mengajak Mika untuk masuk ke kamarnya. Mika menurut saja dengan pasrah.
"Mandinya yang bersih!" Mike berteriak begitu pintu kamar Mika di tutup. Ia menggeleng-geleng, lantas pergi menuju kamarnya kembali.
Ini menarik sih.
Comment on chapter Pos Ketan Legenda, Saksi Hening MerekaSedikit saran, mungkin bisa ditambah deskripsinya. Jadi, biar pembaca lebih bisa membayangkan situasi yang terjadi di dalam cerita :D