Aku disambut senyum Papa dan Mama. Di ruang keluarga, orang tuaku duduk bersisian di sofa. Selagi aku membalas senyum kedua orang tuaku, si Tengil juga berlari, entah dari mana, lalu duduk pula di sisi Papa.
"Ada apa, Ma?"
Mama tersenyum, belum menjawab pertanyaanku. Satu telapak tangannya memberi isyarat agar aku duduk sesofa bersisian dengannya.
"Pesan Mama kok cuma kamu read, sih?" Mama balik bertanya padaku setelah bokongku nyaman duduk bersisian dengannya, "Kenapa enggak kamu balas?"
"Kan sudah aku balas, Ma." Sementara, bahu kananku merendah,menurunkan tas yang menyampir agar turun di lantai di sisi sofa.
"Kapan?" tanya Mama. "Enggak kamu langsung balas kan?"
Aku mengangguk sembari tersenyum setelah Mama tepat bertanya tanpa membutuhkan jawabanku lagi. "Maaf, Mah," kataku merayu. "Yang penting chat Mama tetap aku balas, kan."
Meski mencibir, Mama mengelus-elus rambutku. Lalu cibirannya berganti senyuman.
"Ada apa sih, Ngil?"
Adikku, si Tengil, malah menunjuk Papa.
Aku menarik tubuhku ke depan sembari menoleh untuk mencari wajah Papa. "Pa...?"
"Heeem...," sahut Papa sembari tersenyum. Kemudian dia mengecilkan suara televisi yang, tiga meter letaknya persis di depan sofa, seruangan dengan tempat bokong kami bersisian. Papa menarik bokongnya ke ujung sofa sehingga tubuhnya nyaman berputar. Seluruh tubuhnya yang agak gemuk menghadap padaku. "Kamu siap-siap ya, Sayang. Tiga bulan lagi kamu bakal berpisah sama Papa, Mama, juga...."
Aku cepat menukas, "Wah," dan spontan aku bangkit berdiri dan memeluk Papa. "Akhirnya...."
"Ih..., Kaka, cepet banget sih meluk Papa...," protes si Tengil, "..., namaku jadi enggak kesebut deh sama Papa." Tengil pasang mimik pura-pura marah; dua detik kemudian menjawil-jawil tangannya iseng mencubiti pipiku,
"Selamat, Kaka, selamat, Kaka, selamat Kaka." Dia terus mencubit, entah memberi selamat sekaligus gemas, tapi pastinya, ekspresi wajah Tengil kulihat gembira, segembira hatiku pada malam yang mengejutkan sambil berjibaku untuk menepis jentik jari si Tengil hingga akhirnya dia bosan mencubit dan mengucapkan selamat.
Begitu pula dengan Mama. Mama mengelus-elus punggungku, lembut, penuh rasa sayang yang terasa hangatnya menjalar melalui hangat telapak tangannya yang mengelus-elus punggung. "Iya..., cuma sementara...."
"Ya sudah," kata Papa seraya menarik tubuhnya, dan kembali bersandar pada punggung sofa, "bawa dulu tasmu ke kamar, gih." Hidung bangirku, yang kata Mama mirip sekali dengan hidung Papa, sekali dia jentik sembari tersenyum senang.
Aku menurut. Kuraih tas itu yang tergeletak di lantai di samping sofa, lalu aku berlari-lari kecil dengan gembira menuju kamar.
Kuempaskan tubuh di atas tempat tidur, merebah sembari gegulingan. Lalu aku mengajak langit-langit kamarku bergumam. Sejenak aku diam dan berpikir.
Kemudian, aku bangkit, dan cekatan turun dari tempat tidurku. Kucari-cari isi tas yang tadi kuletakkan di meja belajar. Setelah HP kudapat, segera aku membuka menu HP, dan bersiap mengirimkan pesan singkat via WA untuk J. Purnomo. Dia harus merasakan apa yang kurasakan saat ini. Kukabarkan berita gembira itu pada J. Kurang dari semenit, Shena ternyata juga mengirimkan chat: kita berdua diajak Asap nonton pas mereka manggung! Bersama dengan itu, J membalas chat dengan singkat: selamat, ya.
Kujawab chat singkat J: makasih, J.
Tempat tidurku kembali menjadi sasaran gembira hatiku. Bila hatiku gembira, lebih mudah aku terlelap.(°.°)
nice story author :)
Comment on chapter 1