Read More >>"> Help Me to Run Away (Bab 2 Kupon Persetujuan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Help Me to Run Away
MENU
About Us  

Mata Tisya yang semula terpejam, tiba-tiba terbuka. Lantas dia bangun dan melirik ke atas bufet kecil di samping kiri ranjang. Kedua maniknya langsung membulat lebar. Jam berbentuk kepala Hello Kitty itu sudah menunjukkan jam tujuh lewat dua puluh lima menit. Lima menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Dengan tergesa-gesa dia turun dari ranjang, segera masuk ke kamar mandi. Tisya hanya membasuh muka dan gosok gigi saja. Tidak sempat untuk mandi. Dia sudah sangat terlambat. Semuanya gara-gara dia bergadang tadi malam, memikirkan sikap Sarah Irawan yang seolah tak punya urat malu.

Seperti dugaanya, saat Tisya tiba di SMA Binus International, gerbang sekolah itu sudah tertutup. Juga tidak terlihat lalu-lalang siswa di koridor kelas maupun lapangan. KBM—Kegiatan Belajar Mengajar—pasti sudah dimulai.

“Woi, yang kucir kuda!”

Kepala Tisya spontan menoleh ke kiri dimana sumber suara berasal. Alisnya sedikit mengernyit mendapati cowok berambut undercut yang sedang memandangnya.

“Sini!” suruhnya dengan melambai-lambai tangan.

Tisya melangkah ragu-ragu mendekati cowok itu.

“Lo telat juga?”

Tisya mengangguk pelan. “Ya.”

“Lo Tisya, anaknya Sarah Irawan, kan?”

Mendengar nama itu, raut muka Tisya seketika berubah masam. Dia memang selalu nggak suka jika nama Sarah Irawan disebut-sebut di depannya. “Memangnya kenapa?”

“Pengen tahu aja. Nama lo terkenal banget sih di sekolah.”

Suara dengusan kontan keluar dari mulut Tisya. Dia yakin apa yang dimaksud laki-laki itu bukanlah hal yang baik. Karena memang begitulah fakta yang ada selama ini. Bak nama sang Mama akan menimbulkan masalah untuknya.

Kemudian cowok itu membalikkan badan, berniat menuju area belakang sekolah. Namun baru tiga langkah dia berjalan, kepalanya tiba-tiba menoleh ke belakang. “Lo ikut masuk nggak?” tanyanya.

“I-Iya,” jawab Tisya tergagap, sedikit bimbang.

Tisya segera menyusul cowok itu hingga berhenti di tembok setinggi tubuh mereka. Bisa dilihatnya jejak-jejak sepatu yang tertinggal di susunan batu bata tersebut. Tepat di depan Tisya, ada sebuah bangku kayu yang seolah memang sengaja diletakkan di sana. Tisya yakin kalau bangku itu digunakan sebagai tumpuan pijakan.

“Lo duluan!”

“Hah!” Tisya gagal paham.

“Lo duluan yang manjat. Gue jaga dari belakang.”

“Tapi....” Tisya memperhatikan roknya.

“Kenapa?” Dia mengikuti arah pandangan Tisya. “Lo takut gue lihat CD lo?”

Tisya nggak menyahut. Pertanyaan cowok itu nggak perlu jawaban. Sudah jelas.

“Gue bukan cowok omes kok. Lo tenang aja. Lagian gue nggak minat sama papan talenan seperti lo,” tukasnya dengan melirik cemooh dan cengiran lebar.

“Tapi....”

Cowok itu kini menaikkan sebelah alisnya. “Apa lagi?”

“Memangnya nggak akan ada guru yang jaga di sebelah?“ Tisya mengamati saksama tembok menjulang yang ada dihadapannya.

“Gue sudah sering manjat tembok ini dan tidak sekalipun gue pernah terpergok. Di sini termasuk kawasan yang jarang didatangi guru,” jelasnya. Kemudian dia sedikit mendorong bahu Tisya agar menapaki bangku. “Buruan naik! Kalo nggak, gue tinggalin lo.”

Tisya tertatih-tatih memanjat tembok bata tersebut. Cukup sulit. Dia juga mendengar cowok berambut undercut itu sekali-kali merintih. Beberapa kali kaki Tisya memang nggak sengaja menendang atau memijak kasar bahunya. Dan setelah usaha yang penuh perjuangan, Tisya akhirnya bisa menginjak kakinya di kawasan dalam sekolah. Tapi dia buru-buru bersembunyi di balik lemari buku yang sudah rusak dan sengaja dibiarkan tergeletak di sana. Sosok tambun yang terkenal sebagai salah satu guru tergalak SBI—singkatan dari SMA Binus International—datang mendekat.

Dari tempat persembunyian ini, dia bisa melihat bagaimana Pak Yanto memergoki cowok itu yang hendak turun. Dia juga menyaksikan bagaimana kuping cowok itu dipilin. Sebenarnya Tisya ingin keluar, ingin mendekati kedua sosok berbeda usia itu, mengungkapkan kalau dia juga terlambat. Dia merasa nggak tega, tapi terpaksa diurungkan. Seseorang yang membungkam mulutnya dari belakang memaksa Tisya untuk tetap bergeming.

“Syuttt! Jangan bersuara!” bisik sosok itu.

 Kepala Tisya mau tak mau mengangguk pelan. Ekor matanya kemudian melirik ke belakang. Pupil matanya langsung membesar. Benaknya sekarang bertanya-tanya. Kenapa cowok itu ada di sini, di jam KBM seperti ini? Apa dia juga terlambat seperti dirinya? Atau dia ingin bolos?

Lima menit berselang, setelah Pak Yanto menggiring cowok itu menjauh dari area belakang sekolah, telapak tangan yang tadi menutup mulut Tisya mulai menjauh. Tisya segera membalikkan badan hingga wajahnya dan sang pelaku pembungkaman saling berhadap-hadapan.

“Kok lo bisa di sini?” tanya Tisya.

“Sebaiknya kita pergi dari sini. Mungkin Pak Yanto akan dateng lagi.”

“Lo telat juga, Mal?” tambah Tisya lagi. Dia masih penasaran dengan keberadaan sang juara umum SMA Binus International itu.

Gamal tidak menjawab, justru menarik tangan Tisya agar mengikutinya. Dia membawa Tisya menuju UKS. Tidak ada siapa-siapa di ruangan putih tersebut. Entah ke mana perginya Buk Galih yang menjadi dokter jaga di sana. Kemudian Gamal mengambil tas Tisya dan meletakkan di dalam lemari yang menyimpan obat-obatan.

“Setelah istirahat nanti, lo bisa ngambil tas lo di sini. Sekarang kita masuk kelas,” perintah Gamal sebelum keluar dari ruang UKS.

Tisya segera menyusul langkah Gamal tanpa berkomentar apa-apa. Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungan gadis itu. Beberapa menit lalu dia baru saja ditolong untuk memasuki kawasan dalam sekolah. Kini dia ditolong lagi untuk masuk ke dalam kelas tanpa dicurigai. Guru-guru pasti nggak akan bertanya macam-macam kepada Tisya. Citra Gamal sebagai anak teladan akan membantunya. Tisya benar-benar sangat bersyukur meskipun rasa bersalah menyelip di hatinya. Seharusnya dia nggak meninggalkan cowok berambut undercut itu dengan Pak Yanto. Dia pasti sedang mendapat hukuman sekarang.

^_^

Tepat setelah Buk Aisyah keluar dari kelas, Tisya segera bangkit dari bangku. Dia berjalan menuju Gamal yang sedang memasukkan buku-buku ke dalam tas. Dia ingin mengucapkan terima kasih. Dia belum sempat dilakukannya pagi tadi.

“Mal!” panggil Tisya seraya mendekati meja Gamal.

Gamal mendongak. “Kenapa?”

Thanks ya untuk kejadian pagi tadi.”

“Sama-sama,” jawab Gamal sambil kembali memasukkan buku-bukunya.

Sesungguhnya masih ada yang ingin Tisya ungkapkan. Dia masih penasaran dengan keberadaan Gamal di belakang sekolah tadi. Tapi melihat bagaimana sikap antipati Gamal, dia terpaksa membatalkannya. Dan sekali lagi Tisya mengucapkan terima kasih sebelum berniat menjauh. Ah, hampir saja lupa.

Dia kembali memposisikan tubuhnya menghadap Gamal. Ada yang ingin Tisya tanyakan. Lagian pertanyaan ini nggak ada sangkut-paut dengan diri Gamal. Laki-laki itu pasti akan menjawabnya. Apalagi menurut pandangan Tisya, Gamal mungkin mengenalnya.

“Lo kenal nggak sama cowok yang telat tadi?” Tisya buru-buru menambahi ketika melihat raut Gamal yang tampak berpikir. “Cowok yang pagi tadi dimarahi Pak Yanto di belakang sekolah.”

“Nggak,” jawab Gamal cepat.

“Serius?” Kata itu keluar begitu saja dari mulut Tisya.

Entah kenapa jawaban Gamal terdengar ganjil di telinganya. Sedangkan Gamal lantas memberikan tatapan tajam. Dia terlihat nggak suka dengan ucapan Tisya. Melihat respon nggak bersahabat dari laki-laki di depannya, Tisya buru-buru berpamitan untuk mengambil tasnya di UKS. Tisya sempat menoleh ke tempat Gamal sebentar sebelum keluar dari kelas. Cowok yang memiliki alis tebal itu masih menatapnya dengan tajam, membuat bulu roma Tisya sedikit bergidik.

Masih seperti pagi tadi, ruang UKS ini tampak lenggang, masih tidak ada siapa-siapa. Tisya menghela napas lega. Untunglah Buk Galih masih belum menempati singgasananya. Dia tidak perlu mengarang atau menjelaskan mengenai keberadaan tasnya di dalam lemari.

“Ngapain lo di sini?”

Tisya kontan tersentak. Tas selempang yang baru saja diambilnya langsung terjatuh ke lantai keramik. Ditolehkan kepalanya dengan ragu-ragu. Untuk kedua kalinya, Tisya menghela napas lega. “Ngambil tas gue. Lo sendiri ngapain di sini?”

“Bogan. Bobok ganteng.”

Tisya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Buk Galih ke mana?”

“Nggak tahu.”

Hening. Suasana di ruangan berukuran 5 m x 5 m ini sekonyong-konyong sunyi. Cowok berambut undercut itu tampak memejamkan mata. Mungkin hendak melanjutkan tidurnya yang sedikit terganggu. Sementara Tisya terlihat sedang memindai postur anak laki-laki itu. Bila diperhatikan, wajahnya termasuk di atas rata-rata dengan alis tebal dan rahang yang tegas. Tubuhnya juga tinggi. Mungkin sekitar 170-an. Hanya saja penampilannya sedikit urakan. Baju seragamnya tidak masuk ke dalam celana. Dia juga nggak memakai dasi.

“Nama lo siapa?” Hingga detik ini, Tisya memang belum mengetahui namanya.

“Alex Samuel. Terserah lo mau manggil gue apa,” sahutnya tanpa membuka mata.

Tisya sedikit memindai mimik Alex sebelum kembali berujar, “Gue minta maaf untuk kejadian pagi tadi. Nggak seharusnya gue ninggalin lo padahal lo sudah mau nolongin gue.”

Alex mendadak bangun. “Lo ada kertas kosong dan pulpen?”

“HAH?!” Alis Tisya spontan mengernyit.

“Lo ada kertas kosong dan pulpen nggak?” ulang Alex lagi.

“Ada.” Tisya membuka tasnya, kemudian mengambil sebuah buku tulis yang diambilnya secara acak dan sebuah pena yang ada di dalam kotak pensil.

Setelah menerimanya, Alex lantas sedikit menyobek kertas yang ada di belakang buku sebelum menulis sesuatu. “Baca!” perintahnya sambil menyodorkan sobekan itu.  

Tisya membaca dengan saksama, lalu dahinya mengerut.

Gue setuju.

Tertanda, Sarah Irawan.

“Ini maksudnya apa?” tanya Tisya dengan dahi yang kian mengerut tajam.

“Itu kupon persetujuan.” Melihat reaksi kebingungan Tisya yang masih tampak di wajah gadis itu, Alex kembali menambahi, ”Maaf bukanlah mengambil dan memberi, tapi meminta dan menerima. Jadi gue bisa menerima atau nggak permintaan maaf lo. Dan gue memutuskan akan memaafkan lo kalo lo setuju akan melakukan apapun yang gue minta suatu hari nanti. Anggaplah kupon ini sebagai surat perjanjian.”

“Tapi—“

“Gue yang akan megang kupon ini,” potong Alex sambil menarik sobekan itu dan memasukkan ke dalam saku bajunya.

“Tapi gue—“

“Sedang apa kalian berdua di sini?” Ucapan Tisya kembali terpotong. Bukan karena Alex, tapi kedatangan Buk Galih yang masuk ke dalam UKS dan menghampiri mereka.

Alex cengar-cengir, “Kalo saya, kayak biasalah Buk. Numpang tidur.”

Buk Galih geleng-geleng kepala. Lalu dia menoleh ke Tisya. “Kalau kamu?”

“Saya—“

“Dia mau minta obat maag, Buk,” jawab Alex.

“Kalo gitu, kamu duduk dulu di kursi sana,” suruh Buk Galih dengan menunjukkan kursi plastik di depan mejanya. “Biar Ibuk cari obatnya dulu,” sambungnya seraya mendekati lemari.

“Baik Buk,” sahut Tisya yang mau tak mau berjalan menuju dekat pintu dimana kursi itu diletakkan, padahal masih banyak yang  ingin dia bicarakan mengenai permintaan maafnya dan kupon perjanjian sepihak tersebut. [ ]

How do you feel about this chapter?

1 1 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • Irayanami

    Sad...

    Comment on chapter Prolog
  • DanielAdrian98

    Nice story!!!

    Comment on chapter Prolog
  • Amanda94

    Bagus kak ?

    Comment on chapter Bab 2 Kupon Persetujuan
  • Evoctaviani

    Next ya kak

    Comment on chapter Bab 1 Gara-gara Mama
  • dede_pratiwi

    ditunggu kelanjutannya :)

    Comment on chapter Prolog
  • FebriEfrizal

    Kasihan jadi Tisya Mang bnyak artis yang kyk Sarah

    Comment on chapter Prolog
  • alsaeida

    Terima kasih Kak @DanielAdrian98

    Comment on chapter Prolog
  • DanielAdrian98

    Lanjut Kak ???????????? Suka banget

    Comment on chapter Prolog
  • alsaeida

    @Amanda94 Terima kasih sudah membaca. Mohon reviewnya ya :)

    Comment on chapter Prolog
  • Amanda94

    Ini kayaknya cerita dark romance remaja ya ????

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Kenangan Masa Muda
68      17     0     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
Frekuensi Cinta
3      3     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
She's (Not) Afraid
19      3     0     
Romance
Ada banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siapa pun. Lalu, kehadiran Val membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Kyla dan Val dipertemukan ketika luka terjarak oleh waktu. Namun, kehadiran Sega mengembalikan semua masalah yang tak terselesaikan ke tempat semula. Dan ketika kebohongan ikut b...
BALTIC (Lost in Adventure)
26      7     0     
Romance
Traveling ke Eropa bagian Barat? Itu bukan lagi keinginan Sava yang belum terwujud. Mendapatkan beasiswa dan berhasil kuliah master di London? Itu keinginan Sava yang sudah menjadi kenyataan. Memiliki keluarga yang sangat menyanyanginya? Jangan ditanya, dia sudah dapatkan itu sejak kecil. Di usianya ke 25 tahun, ada dua keinginannya yang belum terkabul. 1. Menjelajah negara - negara Balti...
Simbiosis Mutualisme
4      4     0     
Romance
Jika boleh diibaratkan, Billie bukanlah kobaran api yang tengah menyala-nyala, melainkan sebuah ruang hampa yang tersembunyi di sekitar perapian. Billie adalah si pemberi racun tanpa penawar, perusak makna dan pembangkang rasa.
Power Of Bias
0      0     0     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Ingatan
75      10     0     
Romance
Kisah ini dimulai dari seorang gadis perempuan yang menemui takdirnya. Ia kecelakaan sebelum sempat bertemu seseorang. Hidupnya terombang-ambing diantara dua waktu. Jiwanya mencari sedang raganya terbujur kaku. Hingga suatu hari elektrokardiogram itu berbunyi sangat nyaring bentuknya sudah menjadi garis yang lurus. Beralih dari cerita tersebut, di masa depan seorang laki-laki berseragam SMA menj...
Si Cabai Nakal
4      4     0     
Short Story
Kira-kira, kenapa ya disebutnya si Cabai Nakal? Apakah ini berkisah tentang seonggok cabai?
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
73      22     0     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Meta(for)Mosis
96      15     0     
Romance
"Kenalilah makna sejati dalam dirimu sendiri dan engkau tidak akan binasa. Akal budi adalah cakrawala dan mercusuar adalah kebenaranmu...." penggalan kata yang dilontarkan oleh Kahlil Gibran, menjadi moto hidup Meta, gadis yang mencari jati dirinya. Meta terkenal sebagai gadis yang baik, berprestasi, dan berasal dari kalangan menengah keatas. Namun beberapa hal mengubahnya menjadi buru...