Shena akan marah tidak, ya, kalau aku batal menemaninya melihat pementasan Asap?
Papa dan Mama, terutama Mama, bisa kupastikan tidak akan mengizinkanku menemani Shena jika mereka tahu aku menonton Asap. Asap itu grup musik beranggotakan cowok. Lima cowok yang, berbeda dengan J. Purnomo, aku sendiri heran, sebab hanya J yang bisa sedikit—hanya-baru-sedikit—membuat sikap orang tuaku menjadi agak longgar, dan tidak menganggap J sebagai virus yang mematikan.
Di atas tempat tidur kamarku, aku duduk bersila, gelisah dan masih terus berpikir keras. Ketelanjuran ini bisa saja kuselesaikan dengan ucapan maaf pada Shena, tapi aku tahu bagaimana rasanya kecewa, di-PHP. Dan bisa pula aku menyelesaikannya dengan cara berbohong pada Mama dan Papa. Aku dan Shena menonton Asap, tapi aku minta tolong Shena datang ke rumah dan mengajakku ke luar rumah untuk membeli buku untuk tugas sekolah di toko buku atau apalah, padahal tidak. Meski biasanya, Pak Mul yang akan mengantarkanku ke luar bersama Shena, aku harus berbohong lagi kepada Pak Mul supaya rencanaku dan Shena untuk menonton Asap berhasil. Yang namanya berbohong bisa saja direka-reka. Dan jika.... Ah, makin bertumpuk kebohonganku untuk menutupi kebohonganku yang pertama.
Pak Mul selalu mengantarkanku ke mana pun. Ke mana pun! Aku berenang; ada Pak Mul. Aku ke sekolah; Pak Mul mengantar-jemputku. Aku ke toko buku, belajar kelompok, ke, ke, ke, ke; selalu ada Pak Mul. Bagaimana jika..., Pak Mul kubuat.... Aha!
Sedang aku tersenyum sendiri setelah mendapatkan setengah jalan keluar supaya Minggu malam bisa ke luar dari rumah, Shena meneleponku. Dia menanyakan itu, apa lagi? Namun tetap kujawab: masih ada waktu, Shen, tenang.... Sebenarnya hati dan pikiranku tidak tenang sebab baru setengah jalan keluar yang kudapat. Itu pun belum kulaksanakan.
Cuaca malam makin dingin sesudah Shena memutus pembicaraan via HP. Aku merebah dan menarik selimut tempat tidur sambil menunggu rasa kantuk datang.(°.°)