"Arghhhh! Bajingan!" teriakku yang diakhirki dengan raungan tangisan.
Aku membekap kembali wajah dan mulutku dengan bantal sekuat-kuatnya lalu berteriak untuk kesekian kalinya demi meluapkan rasa kekecewaanku. Setelah sedikit terpuaskan, aku menuju lemari dan mengambil sebuah kardus berukuran sedang yang ku simpan di atas lemari. Kulemparkan kardus tersebut ke lantai yang membuat beberapa barang keluar dari kardus.
Semua pemberian Arkha yang kemarin sempat kurusak dan kubereskan kembali ke dalam sebuah kardus, sekarang sudah tidak ada tempat lagi untuk menyimpan benda-benda tersebut di kamarku. Aku melempar barang-barang tersebut dan membuatnya lebih buruk dari sebelumnya.
Sebuah ketukan di sela-sela tangisku tidak menghentikan aktivitasku saat ini. Itu pasti Uwa Risa. Aku malah semakin menangis kencang karena terbayang wajah Uwa Risa yang sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri menjadi sedih saat melihat keponakan satu-satunya ini sedang menangisi orang yang sudah mematahkan hatinya.
Aku tidak ingin Uwa Risa melihat kondisiku yang sedang kacau ini, aku yakin itu semakin membuat hatinya sedih. Uwa Risa akan merasa bersalah kepada Papah karena gagal membuatku terus tersenyum setelah kepergiannya.
"Sayang, boleh masuk?" tanya Uwa Risa dengan nada keibuannya yang begitu menyentuh hatiku.
"Aku lagi pengen sendiri dulu, Uwa," jawabku dengan nada yang sedikit parau.
"Everything will be okay?"
Aku membekap mulutku agar tidak terdengar tangis yang semakin menjadi. "Maybe, I wish."
"Uwa ada di ruang tengah. Kapan pun kamu butuh cerita, Uwa akan selalu ada untuk kamu. Uwa juga udah bikinin puding kesukaan kamu, bahkan semua masakan hari ini itu kesukaan kamu semua. Tumis kangkung, udang goreng krispy, kerupuk, sambal terasi, bahkan Uwa juga udah bikin zuppa soup."
"Makasih, Wa."
"Selalu inget, dunia gak akan runtuh hanya karena kamu kehilangan cowok yang udah nyakitin kamu. Lagipula, kamu masih punya kehidupan lain yang harus dijalanin bahkan ada kehidupan yang sudah menunggu kamu untuk dijalani." Setelah ucapan itu, terdengar suara langkah Uwa yang semakin menjauh dari kamarku.
Aku pun membuka pintu kamar dan mengejar Uwa yang sudah berada di ujung tangga lantai bawah. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung memeluk Uwa dari belakang dan menangis di pelukannya.
***
Suhu dingin yang menelusup pori-pori kulitku malah semakin membuatku ingin terus bergerak di dalam air. Mencari secercah cahaya dari kegelapan di dasar kolam renang yang menghangatkan. Namun ilusi yang selalu muncul hanyalah sosok Arkha. Aku memunculkan kepalaku ke permukaan kolam renang untuk mengambil napas dan panggilan seseorang dari arah samping membuat urung niatku untuk kembali menyelam.
Aku menoleh ke arahnya sejenak, sosok Nadiyya ternyata masih setia mematung di pinggir kolam renang. "Kiara, udahan renangnya. Lo mau sakit gara-gara tengah malem gini masih di air?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku untuk pertanyaan dari Nadiyya yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku pun melanjutkan aktivitas renangku dan mengabaikan sosok Nadiyya yang tengah menunggu responku.
"Heh, lo gak inget apa kata Mba Liana? Kalau lo diputusin sama cowok karena dia milih cewek lain, seharusnya lo bersyukur udah dikasih liat dia itu gimana. Angkat wajah lo dan terus maju ke depan. Kasih liat ke orang yang udah ninggalin lo, kalau lo bisa bahagia tanpa dia, karena itu pembalasan dendam yang terbaik."
Ucapan Nadiyya mampu membuatku menghentikan gerakan renangku dan kini aku berbalik arah untuk menuju ke arahnya.
"Sumber bahagia gue saat ini ya ada di dia."
"Halah! Bushit! Kalau dia sumber bahagia lo, sekarang lo gak bakal nangis bawang bombay sampai mata bengkak dan renang di tengah malem kayak gini. Jangan seolah-olah poros lo cuman di dia doang. Inget itu irrational belief."
"Gue sadar itu semua, Nad. Sadar sepenuhnya. Tapi apa ya, gue tetep.."
"Lo tetep sakit hati karena dia lebih milih Nira dibanding lo. Soalnya, lo menganggap ini itu kayak sebuah permainan," potong Nadiyya.
"Nad... Kemarin dia ngemis-ngemis ke gue buat minta balikan tapi malah sekarang dia yang mutusin gue. Katanya keputusan kan ada di gue, kok malah dia yang mutusin. Ini tuh kayak dia nerbangin lo gitu aja, terus tiba-tiba dilepas di udara tanpa adanya parasut sama sekali. Terus dia pakai ngirim lagu Drive yang Melepasmu juga."
"Haduh alay banget sih masih jaman apa pake lagu-lagu segala. Lagian kan dia juga berhak mutusin sesuatu. Dia juga punya pilihan itu, begitu pun juga lo. Setiap manusia kan punya hak milih."
Aku termenung sejenak lalu menatap Nadiyya. "Boleh gak sih kita doain yang buruk-buruk ke orang lain karena kita sakit hati banget?"
Nadiyya menggelengkan kepala, "Doain yang terbaik buat lu aja, gak usah doain yang buruk ke orang lain. Minta dilapangin hatinya buat nerima ini semua." Kemudian ia mengulurkan tangan kepadaku. "Ayo, kita naik ke atas."
"Satu lintasan lagi?" tawarku.
"Oke, gue tungguin."
***
Aku masih mengeringkan rambutku dengan hairdryer di ruang tengah apartemen Nadiyya. Sementara si empunya sedang berada di dapur untuk membuat segelas kopi dan coklat panas.
"Ra, sorry kalau tadi gue udah keras sama lo. Gue cuman gak tahan aja ngeliat lo lemah karena bajingan itu. Karena sebenernya lo udah ditunjukin jalan yang terbaik buat dihindarin dari pengaruh buruknya," tutur Nadiyya dengan membawa dua gelas di kedua tangannya.
"Emang kayaknya gue perlu dikerasin biar sadar sama realita."
"Semester 4 kemarin, gue pernah daftar konseling di UPT LBK. Konselor gue ngasih suatu pandangan baru ke gue. Lo jawab pertanyaan-pertanyaan gue ya nanti."
Pembukaan topik baru dari Nadiyya membuatku menghentikan hairdryer dan memilih untuk fokus padanya. "Kok gue gak pernah tau, Nad? Terus pertanyaan apa tuh?"
"Ra, lo mau gak punya kue ulang tahun pernikahan yang ke-50?"
Sesuatu setruman baru saja menyambar hati ini yang malah membuatku sedikit tertegun untuk menjawab pertanyaan Nadiyya. "Mau, Nad."
"Lo mau ga mencapainya sama orang yang sekarang sama lo, sama orang yang lo cinta banget yaitu Arkha. Bisa ga lo berjuang sama dia yang sekarang?"
Perlahan, aku kembali meneteskan air mata. "Mau juga, tapi sayangnya dia gak bisa berjuang."
"Coba, sebelum dimulai ambil kertas selembar dan pulpen."
Aku pun menuju ke kamar untuk merobek kertas dan mengambil pulpen lalu kembali menuju tempat semula. "Ini udah."
"Lo udah berapa lama sama dia?" tanya Nadiyya lagi.
"2 tahun 3 bulan."
"Kita tarik garis lurus ya. Di ujung kiri sini start-nya. Sekarang lo berada di sini sama Arkha. Ya sekitar 3 cm dari titik awal. Ujung kanan itu kita ibaratin ulang tahun pernikahan ke-50."
Nadiyya menjelaskanku tentang apa yang sekarang digambarnya. "Terus?"
"Jaraknya masih jauh kan menuju ulang tahun pernikahan ke-50?"
Aku melihat garis lurus itu dan kembali melihat titik di sisi kiri. "Iyaaa..."
"Masih ada banyak hal yang akan lu lalui nantinya. Akan ada banyak rintangan juga. Lo sanggup ga sama orang yang kayak dia? Buat ngebangun semuanya, merjuangin semuanya dengan dia yang kayak gitu."
Aku semakin tak kuasa untuk menangis kembali di hadapan Nadiyya. "Sanggup aja. Tapi... dengan dia gak bisa komitmen hanya dengan satu wanita... sepertinya enggak sanggup. Dia juga gak bisa merjuangin, buktinya tadi dia milih relain dan milih yg lain. Dia ngerti cara treat seorang wanita itu seperti apa, tapi dia gak ngerti nilai suatu hubungan itu seperti apa," ucapku yang terbata-bata karena sudah bercampur dengan sesak emosi menangis.
"Nah, belum lagi nanti kalo lu udah punya anak sama dia dengan kebiasaannya yang belum berubah. Kebiasaan tanda kutip ya yang pernah lo ceritain tentang buruknya dia ya."
Pikiranku langsung terbayang-bayang sifat buruk Arkha yang sebelumnya aku berharap aku bisa mengubah sifatnya namun ternyata hanya wacana saja. "Nadiyya...."
"Gunakan waktu yang masih tersisa buat puas-puasin masa terpuruk lo dan healing with your self. Tapi, abis itu lo harus bangkit dan lebih kuat dari sebelumnya," ucap Nadiyya sembari menepuk pundakku.
Seketika aku menjadi sadar akan tentang satu hal yang kupikir sebelumnya hanya sebuah omong kosong. "Nad, bener ya apa kata orang-orang di luar sana, sepinter apapun cewek kalau udah ada masalah cinta dan pakai hati bakal jadi bodoh," ucapku dengan senyum miris sembari terus melihat garis-garis yang di buat Nadiyya di kertas tadi.
***
Yg ini sudah memenuhi syarat untuk dikirim ke publisher. Coba aja thor kirim naskah nya kalo di acc kan royaltinya lumayan bisa untuk jajan. Tinggal revisi dikit trus masukin chapter pengungkapan kenapa Sean Dead udadeh selese. Tapi yg Cerita author yg baru jangan di stop. Itu juga menarik ko
Comment on chapter Cold Boy