3
Los Angeles, California
Ceria memasuki sebuah restoran Italia mewah di wilayah Downtown. Dua minggu setelah berpisah di Nebraska dan tak pernah berhubungan lagi selain melalui telepon, pesan singkat, atau video call sesekali, Joshua mengajaknya makan siang bersama untuk merayakan ulang tahun Jamie yang ke-33.
Seorang pelayan laki-laki bertubuh ramping, berpenampilan rapi dengan kemeja dan rompi serta celana panjang hitam menghampiri Ceria dan menanyakan reservasinya. Setelah Ceria menjelaskan bahwa ia datang atas nama Joshua Pendleton, sang pelayan menunjukkan meja yang telah dipesan dan menawarkan diri untuk mengantar.
“Terima kasih, tapi tidak perlu repot. Saya akan ke sana sendiri.” Ceria tersenyum ramah dan melangkah meninggalkan pelayan itu.
“Hai, guys!” sapanya langsung begitu sampai ke meja yang dituju. “Maaf, aku terlambat,” lanjutnya seraya duduk di hadapan kedua rekannya.
Kedua pria yang tadinya tengah mengobrol sambil minum wine itu serentak menoleh dan tersenyum menyambut kedatangannya. “Aku senang kau mau menyempatkan diri untuk datang,” kata Joshua. “Kau sendirian saja? Theo tak datang bersamamu?”
“Ah, soal itu, Theo meminta maaf karena tidak bisa datang,” balas Ceria. “Dia ada pemotretan sampai nanti sore.” Ia menjelaskan, lalu menyadari bahwa Jamie menatapnya lekat. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya pada pria berambut pirang kecokelatan itu. “Apa ada yang salah denganku?”
Pria tampan berdarah Amerika-Irlandia-Denmark itu menyeringai. “Dua minggu tak bertemu, kau terlihat makin cantik.”
Ceria memutar bola matanya jengah. “Berhentilah merayu, dasar playboy,” desisnya. Kecuali kalau kau memang bersungguh-sungguh, imbuhnya dalam hati.
Senyum di wajah Jamie tak memudar. “Itu bukan rayuan, darling. Itu kenyataan.”
“Oke. Trims,” sahut Ceria akhirnya, pasrah. “Well,” Ceria memindai sekelilingnya, “sebenarnya aku masih tidak terbiasa makan siang di restoran mewah seperti ini.”
Meski sudah menjadi selebritas selama hampir tujuh tahun, tetap saja ia lebih menyukai gaya hidup sederhana seperti kebiasaannya sebelum memasuki dunia entertainment yang selalu identik dengan gaya hidup kelas atasnya.
Tak hanya masalah restoran mewah sebagai tempat makan, ia juga tak mewajibkan dirinya untuk selalu mengenakan pakaian atau sepatu bermerek. Selama itu nyaman dipakai, ia tak peduli merek apa, siapa desainernya, atau produksi mana. Dan sebaliknya, meskipun benda itu merek terkenal buatan desainer ternama dan harganya selangit, tapi jika menurutnya tak pantas ia kenakan atau rasanya tak nyaman, ia takkan mau memakainya. Mobil pun ia hanya punya tiga—yang sering dipakai hanya satu, Fiat kuning favoritnya. Tak seperti selebiritas lainnya—termasuk Theo dan dua pria di hadapannya kini—yang gemar mengoleksi mobil mewah hingga garasinya nyaris menyaingi showroom.
Makanya ia kerap menjadi bahan cibiran media karena tidak bersikap layaknya selebritas. Tapi ia tak peduli. Ia nyaman dengan dirinya yang seperti itu. “Tumben, sih kau merayakan ulang tahun dengan mengajak makan siang di restoran mewah seperti ini,” katanya sambil menatap heran si bocah yang berulang tahun, Jamie. “Biasanya kau menyewa kelab malam.”
“Jangan menatapku,” Jamie mengangkat kedua tangannya. “Ini ide Joshua. Katanya kau tak akan datang kalau aku mengadakan pesta di kelab malam.”
“Memang benar, kan?” timpal Joshua.
“Iya, sih,” gumam Ceria. Ia memang tak suka datang ke tempat gelap dan berisik seperti itu. Datang ke bar untuk sekadar duduk dan minum saja ia malas kalau tak bersama-sama kru The Hunters. “Tapi kenapa harus di restoran mewah? Kenapa tidak Pizza Hut atau Starbucks saja? Kau tahu, kan, aku tak terbiasa dengan hal mewah dan formal seperti ini.”
“Makanya biar kau terbiasa,” balas Joshua. “Sekali-sekali bersikap seperti selebritas tak akan membunuhmu.”
Ceria kembali memutar bola matanya. “Oke, terserah.” Kemudian beralih menatap Jamie. “Lalu, di mana Natasha?” tanyanya sambil menata hati menghadapi kemungkinan sebentar lagi wanita itu datang dan ia harus melihatnya bermesraan dengan pria pujaannya.
“Oh, dia baru akan pulang nanti malam. Sudah tiga hari dia melakukan pemotretan di Chicago,” jawab Jamie.
“Begitu ya,” gumam Ceria, diam-diam merasa lega. “So, bisakah kita pesan makanan sekarang? Aku sudah kelaparan.”
“Tentu,” balas Joshua. “Sebenarnya kami juga sudah lapar,” akunya. “Tapi karena menunggumu, kami tak pesan dulu.”
“Maaf.”
Joshua tak membalas. Tangannya terangkat untuk memanggil pelayan yang langsung mencatat pesanan mereka.
*
“Apa kau menyukainya?”
Ceria nyaris tersedak fettuccine ketika Jamie tiba-tiba menyodorkan sebuah cincin bertahtah berlian besar di hadapannya. “A-apa?”
“Apa kau menyukainya?” Jamie mengulang pertanyaannya. “Apa menurutmu bagus?”
“I-iya, bagus, tapi…” Cincin itu tak mungkin untukku, kan? batin Ceria. Meski terkejut, pikiran rasionalnya masih berjalan dengan baik.
“Apa menurutmu Natasha akan menyukainya?”
Tenggorokan Ceria serasa tersekat, tapi ia tetap berusaha, dan akhirnya bisa mengeluarkan suara, “Ya, kurasa.”
Cincin berlian, Natasha, itu artinya… oh, tidak! Jangan katakan…
Jamie tersenyum seraya menutup kotak kaca tempat cincin itu bertengger. “Kuharap Natasha menyukainya dan mengatakan ‘ya’.”
“Tunggu, apa maksudmu dia akan mengatakan ‘ya’?” tanya Joshua. “Apa kau akan…” Ini tidak mungkin seperti yang dipikirkannya, kan?
Jamie mengangguk. “Aku akan melamarnya saat makan malam romantis nanti malam.”
Dunia Ceria runtuh seketika. Meski telah memperkirakannya sejak ia melihat cincin itu tadi, tapi tetap saja setelah mendengar langsung dari mulut Jamie, dadanya seakan mau meledak. Mati-matian ia berusaha meredam perasaannya dan menahan air mata yang siap pecah kapan pun.
“Kau serius?” Joshua tampak tak percaya.
“Tentu saja,” balas Jamie tenang. “Kami sudah lama bersama. Kau tahu aku sangat mencintainya. Ini saat yang tepat untuk mengajaknya menikah.”
Joshua tak sependapat. Bagaimanapun, ia merasa kurang suka mendengar rencana sahabatnya. Ia tak setuju kalau Jamie sampai menikah dengan Natasha, karena satu: ia tahu Ceria mencintai Jamie dan ia lebih suka jika mereka bersama, dan dua: Jamie jelas sangat mencintai Natasha, tapi entah kenapa ia merasa Natasha tak benar-benar mencintai Jamie. “Kau yakin tak mau memikirkannya lagi?”
“Dude, aku sudah lama memikirkan hal ini. Dan, ya, tentu saja aku yakin.” Jamie tampak mantap dengan keputusannya.
Joshua diam. Meski tidak suka dan tidak setuju, tapi ia tak bisa berkata atau berbuat apa pun. Jamie sudah dewasa dan berhak membuat keputusan sendiri. Ia hanya berharap Jamie lebih cerdas dalam memilih pasangan hidup.
Jamie menyipitkan matanya menatap Joshua. “Josh, kau mendukungku, kan?” tanyanya, agak heran dengan reaksi temannya.
“Ehm… apa pun yang membuatmu bahagia,” balas Joshua sekenanya, sambil kembali menuangkan wine ke dalam gelas dan meneguknya.
“Guys, aku… permisi ke toilet dulu.” Ceria bangkit dan meraih tas tangannya, lalu berjalan cepat ke bagian belakang restoran. Ia sudah tidak tahan lagi. Sungai yang mendesak di pelupuk matanya hampir tak bisa dicegah untuk meluap. Tapi ia tak mau menangis di hadapan Jamie. Saat ini yang ada di otaknya hanya pergi secepatnya dari hadapan pria yang dicintainya itu. Ia bahkan lupa jika hadiah ulang tahun untuk Jamie masih tersimpan manis di dalam tasnya.
“Kenapa dia?” Jamie mengerutkan kening menatap kepergian Ceria. “Dia terlihat aneh.”
“Mungkin hanya kebanyakan minum,” sahut Joshua asal, meski sebenarnya ia tahu apa yang terjadi pada Ceria. Gadis itu pasti patah hati mendengar Jamie akan melamar Natasha. Mungkin saat ini ia sedang menangis di toilet.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian Joshua menerima pesan singkat dari Ceria: Josh, aku tak bisa kembali. Maaf, tapi aku tak sanggup. Katakan saja pada Jamie aku ada urusan mendadak dan harus pergi.
Joshua langsung mengetik balasan: Oke. Tenangkan dirimu dulu. Nanti kita bertemu.
“Siapa?” tanya Jamie sambil melongokkan kepalanya untuk melihat layar ponsel Joshua.
“Ceria,” jawab Joshua sambil buru-buru memasukkan ponsel ke dalam saku kemejanya. Tak memberi kesempatan untuk Jamie membaca pesan dari teman perempuannya. “Dia ada urusan mendadak, jadi langsung pergi.”
“Urusan apa?”
“Mana aku tahu.” Joshua mengedikkan bahu, berlagak tak acuh.
“Aneh sekali,” gumam Jamie. “Biasanya dia tak akan pergi begitu saja tanpa pamit.”
“Mungkin urusannya sangat mendesak.” Joshua kembali menggelontor tenggorokannya dengan alkohol. Ia benar-benar merasa tidak senang dengan rencana Jamie. Dan ia sangat butuh minum untuk memperbaiki mood-nya.
“Yeah, mungkin kau benar.”
Semangat terus authornya