Read More >>"> Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dialektika Sungguh Aku Tidak Butuh Reseptor Cahaya
MENU
About Us  

Can I turn back the time? Bagaikan palu godam yang menghantam, menyisakan lebam. Sial aku hanya bisa menyesal.

***

“Eh,lo! Tunggu!” seru Dhany saat Lisa berjalan tepat didepannya.

“Iya, ada apa?” Lisa merespon dengan pandangan menatap ke bawah.

“Kalo diajak ngomong, diliat muka orang yang ngajak ngomong. Nggak sopan banget!” ketus Dhany.

“Maaf, tapi kita bukan muhrim kita diwajibkan untuk saling menjaga pandangan antara laki-laki dengan perempuan.” 

“Ooooh, anak alim, tapi matanya diazab jadi buta sebelah. Hahaha.” ejek Dhany, menertawakan Lisa di depan teman-temannya.

“Belum tau dia, siapa Dhany.” Giselle yang berada di samping Dhany mengangkat dagu Lisa.  Persis di depan wajah Lisa, Giselle berkata, “Oh pantes situ orang buta sebelah makannya kalo lagi ngomong sama orang sok sok nunduk, lo jangan sok pinter, sok alim deh! Apalagi di depan Dhany! Anak pemilik sekolah ini! Ngerti?! Belum lagi bapaknya itu adalah kepala sekolah disini.”

Puas mereka nge-bully Lisa dengan harapan Lisa takut. Tapi, dengan tenang dan wibawanya Lisa menjawab, “Maaf, kita ini di Negara Indonesia. Negara demokrasi. Setiap orang bebas mengemukakan dan mengekpresikan pendapatnya. Disini juga bukan kalian yang membuat peraturan. Jadi,” omongan Lisa  terputus.

“Wah berani dia, Dan! Sikat, Dan!” seru Riko.

“Udahlah gausah diurusin perempuan miskin kayak dia, Yuk kita pergi aja!” muka Dhany merah menyala. Giselle dan Riko saling bertatapan mengiyakan Dhany.

Hari-hari berikutnya, Lisa selalu dipermalukan Dhany di depan semua teman-teman. Bodohnya, mereka semua yang awalnya sangat ramah dengan Lisa percaya dengan Dhany karena satu alasan, “Dhany adalah anak dari pemilik sekolah” Glek! Masih jaman ya yang begituan? Ckck.

Untungnya Lisa adalah sosok pribadi yang tegar walaupun Dhany sedemikian tega menyakiti hatinya. Lisa membalas perbuatan Dhany dengan cara mendo’akan Dhany agar menjadi sosok yang lebih baik.

Biasanya, tiada hari tanpa ejekan dari Dhany untuk Lisa. Tapi, sudah genap satu bulan ini Dhany tidak terlihat batang hidungnya di sekolah . Dalam sebulan itu tidak ada satupun warga sekolah yang mengetahui keadaan Dhany. Semua hanya bisa menerka-nerka tentang apa yang terjadi.  Hingga suatu hari, Lisa yang sedang menjalani hari-hari damainya tanpa ejekan Dhany tiba-tiba mendapati wajah sebelah kanannya panas. “Astaghfirullah.” rintihnya seraya memegangi pipi kanannya. Diambilnya kaca dari dalam tasnya. Merah. Pipi bagian kanannya lebih merah dari biasanya. Ditambah dengan bercak-bercak hitam yang menyeramkan. Lisa pun terburu-buru untuk segera pulang, namun Lisa tidak pulang ke rumah, melainkan pergi ke rumah om nya yang merupakan dokter kulit.

“Om, ini penyakit apa?” Lisa waswas.

“Kamu yang tabah ya, Lis. Ini penyakit sejenis kanker yang menyerang jaringan wajah. Disebabkan oleh keturunan gen, atau faktor lain dari luar. Om belum tahu banyak tentang penyakit ini. Penyakit langka, dan hanya bisa disembuhkan dengan operasi pengangkatan tumor yang peluang keberhasilannya kecil, hanya sekitar lima persen.Tapi, tidak pernah diketahui gejalanya karena memang itu penyakit langka. Belum ada obat yang pasti bisa menyembuhkan. Dan solusinya adalah Lisa harus operasi pengangkatan tumor dengan peluang keberhasilan hanya sekitar 5 persen. Om sarankan untuk menunda operasimu paling tidak selama 3 bulan mendatang bila kau mau, teralu berisiko apabila melaksanakan tindakan operasi saat ini, perbedaan peluang antara sembuh dengan kematian sangat tipis. Untuk sementara dokter bisa memberikan kamu sebuah krim untuk menyembunyikan bercak itu selama beberapa waktu, kau bisa gunakan sisa waktu itu untuk menjadi lebih baik.”

Langit seakan runtuh menimpanya, tubuhnya mendadak lemas. Dengan pesimis, Lisa meyakini dalam hati. Umurnya diprediksi dokter tidak akan lama lagi apabila dia tidak melakukan operasi. Oleh karena itu dia mengiyakan saran dokter untuk menunda operasinya dan menjadi pribadi yang bermanfaat pada sisa umurnya. Lisa pun memutuskan diri untuk mewakafkan diri sebagai relawan sosial.

Ketua relawan yang bernama Kak Syadri menerima dengan senang hati keinginan Lisa yang ingin mewakafkan dirinya untuk bermanfaat bagi sesama. “Ada tugas mulia nih lis, mungkin kamu bisa mencoba memulai langkah bermanfaatmu menjadi relawan dengan merawat seorang tuna netra.” Kak Syadri memulai percakapan, to the point.

“Aku merawat seorang tuna netra? Tapi aku pun juga seorang tuna netra sebelah kak, apakah Kak Syadri tidak salah memilih orang?”

“Dia sebaya dengan kamu. Buta karena matanya terkena serpihan kaca akibat kecelakaan kendaraan bermotor yang dialaminya. Aku percaya kamu pasti bisa membantu orang itu, kamu akan menjadi pribadi bermanfaat yang luar biasa” Kak Syadri melanjutkan.

“Ini alamatnya.” Kak Syadri menyodorkan selembar kertas berisikan alamat sebuah rumah. Lisa mengambil kertas itu kemudian menghafal rute.Tidak perlu lama mencari, Lisa pun sampai alamat tersebut. Sebuah rumah mewah merepresentasikan alamat pada kertas tersebut.

“Ya, ada yang bisa saya bantu, mba?” Tanya satpam di rumah tersebut, menyadari kehadiran Lisa.

“Saya dari relawan sosial,”

“Ohh.. Silahkan masuk, mba. tuan Dhany ada di dalam.” pak satpam langsung mempersilahkan Lisa masuk.

Lisa sempat berfikir bahwa Dhany yang dimaksud adalah Dhany teman sekolahnya yang sudah sebulan menghilang. “Tapi… Ah, nama Dhany kan banyak.” gumam Lisa pelan. kemudian bergegas mengikuti pak satpam masuk ke dalam rumah mewah tersebut.

Akhirnya, semua misteri ketidakmunculan Dhany selama ini terungkap. Ibu Dhany menceritakan kronologi jelasnya dari awal.

Hati Lisa semakin teriris melihat seorang ibu menangis dihadapannya. Lisa ingin membantu, tapi apa dia bisa? Lisa pun juga seorang tuna netra,selain itu Dhany pun sangat membenci Lisa. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat.

“Lisa siap membantu Dhany, tapi Lisa mohon, ibu merahasiakan identitas saya.”

“Loh? Untuk apa?”

“Emm… masalahnya panjang, bu.”

“Baiklah. Tapi apakah Lisa bersedia datang setiap hari untuk menolong Dhany?”

“Insya Allah. Saya usahakan. Ibu keberatan dengan permintaan Lisa tidak?”

“Tidak. Dengan senang hati, Lisa. Terima kasih banyak. Tante tidak tahu harus berbuat apa lagi. Bimbing Dhany ya nak agar dia antusias kembali terhadap kehidupannya.” Ibu Dhany terlihat sangat gembira. Harapan itu terlihat terpancar kembali dari senyum wajahnya.

Tok, tok, tok! “Dhany, ini ibu.” Ibu Dhany mengetok pintu kamar Dhany.

“Masuk aja, Bu.” sahut Dhany dari dalam kamar. Ibu Dhany masuk ke kamar Dhany diikuti Lisa dari belakang. “Ibu sama siapa?” Ternyata Dhany menyadari ada kehadiran orang lain.

“Ah iya, ini ada teman kamu.” jawab Ibu Dhany.

“Teman? Siapa?” Jawab Dhany ketus nan angkuh.

“Assalamu’alaikum.” Lisa mengucapkan salam. Dhany tidak menjawab salam tersebut, tidak ada senyuman terpancar dari wajah Dhany.

“Ibu sama Lis,” Ibu Dhany menghentikan ucapannya ketika Lisa menggelengkan kepalanya. Ibu Dhany teringat perjanjiannya dengan Lisa.

“Siapa, Bu?” Dhany mulai penasaran.

“Ah, ibu ke dapur dulu ya. Kamu ngobrol aja dulu sama dia.” Ibu Dhany bergegas meninggalkan kamar Dhany menuju dapur. Lisa memulai misi mulianya.

“Lo siapa?”

“Kamu nggak perlu tahu siapa aku. Tapi, yang perlu kamu tau, aku disini pengen jadi temen kamu.” Lisa membuka percakapannya dengan Dhany.

“Gue nggak butuh teman, mending lo pergi.” usir Dhany sinis. Lisa menjaga senyumnya.

“Indra kita nggak cuma mata. Ada telinga, hidung, kulit, sama lidah. Merasakan keindahan hidup itu nggak cuma dengan penglihatan. Tapi bisa juga dengan pendengaran, penciuman, dan perasaan.” Lisa menarik nafas panjang. Dhany menoleh ke arah sumber suara. Terdiam, sampai akhirnya ia mengangguk. Senyum Lisa lebih lebar kali ini.

“Lalu, tujuanmu mau menjadi teman seorang yang hanya merasakan kegelapan, kehampaan, dan kesepian apa?”

“Itulah untuk apa aku disini. Untuk menjadi cahaya dalam kegelapan. Aku bersedia menjadi temanmu. Bersedia menjadi matamu. Kamu tidak perlu mencari tahu siapa aku ini, aku melakukan ini ikhlas karena Allah.” kata Lisa mantap. Dhany tertegun dengan kalimat Lisa.

“Kapan aku bisa mengetahui namamu?” Tanya Dhany di sela-sela waktunya bersama Lisa. Sama seperti sebelumnya, Lisa akan bersikap bisu saat Dhany menanyakan identitasnya.

“Kenapa setiap aku menanyakan siapa namamu tidak pernah dijawab?” Dhany mulai merasa tidak nyaman dengan rahasia identitas Lisa.          

“Aku hanya tidak ingin kamu tidak menerimaku apabila kamu tahu siapa aku.”

“Kenapa? Apa kita punya masalah sebelumnya?”

“Ya.”

Dhany berfikir sejenak. Mengingat siapa saja perempuan yang pernah bermasalah dengannya. Semua kenangan sebelum peristiwa kecelakaan silam kini hanya menjadi sebuah potret buram penuh traumatis pasca kecelakaan. Dhany menjadi sulit mengingat potongan memori-memori masa lalu.

“Jangan dipaksa. Berbahaya. Sudah aku bilang, cepat atau lambat kamu pasti akan tahu.” Dhany menyerah. Lisa pun tersenyum lega tanpa sepengetahuan Dhany.

“Karena aku tidak mengetahui namamu, bolehkah aku memanggilmu peri cantik? Karena aku percaya, parasmu pasti secantik hatimu bagaikan seorang peri.” Dari pelupuk matanya jatuh perlahan beberapa bulir air mata yang secara tidak sengaja mengenai telapak tangan Dhany. Sebuah tangisan yang lembut. Lisa tidak menyangka orang seangkuh Dhany yang dahulu menyakitinya sedemikian tega dapat ia luluhkan dengan tindakan perhatian sederhana. Lisa terharu.

Hari-hari berikutnya kembali menjadi hari-hari yang normal bagi Dhany apabila peri cantiknya berada di sisinya. Termasuk hari ini, setelah 2 bulan ditemani peri cantiknya tiba-tiba datang kiriman dari seorang tukang pos yang dititipkan kepada satpam di rumah Dhany.

“Ini, ada surat dari Rumah Sakit Sinar Harapan.” Satpam itu menyodorkan sebuah amplop putih berukuran sedang. Ibu Dhany menerima amplop tersebut.

“Ada apa bu?” tanya Dhany.

“Tadi ada tukang pos. Nganterin surat dari pihak rumah sakit.”

“Surat apa, Bu?”

“Sebentar,” Ibu Dhany membaca surat tersebut dengan seksama.

“Masya Allah! Kamu akan segera melihat lagi nak!” seketika Ibu Dhany tiba-tiba menangis. Lisa segera menghampiri Ibu Dhany yang terduduk haru di sofa.

“Maksud ibu?” Dhany dan Lisa dipenuhi tanda tanya.

“Ada yang bersedia mendonorkan matanya untuk kamu.” Ibu Dhany menangis bahagia. Dhany segera melepas tongkat tuna netranya dan melakukan sujud syukur.

Sebelum keberangkatan Dhany untuk operasi mata, Lisa ingin membicarakan sesuatu dengan Ibu Dhany tanpa sepengetahuan Dhany.

“Tante, sebelumnya Lisa mau minta maaf.”

“Untuk apa sayang? Tumben kamu ngomongnya kayak gini. Mau kemana?"

“Ah, si tante. Enggak kok… Cuma….”

“Cuma apa?”

“Mungkin ini terakhir kali Lisa nemenin Dhany tante.”

“Loh? Kenapa? Apa sikap Dhany ada yang membuat kamu sakit hati?”     

“Engga, bukan begitu tante. Eumm gini, Dhany kan sebentar lagi bisa melihat kembali. Jadi, Lisa rasa tugas Lisa sudah selesai. Lisa juga mau fokus sama sekolah dulu tante. Sebentar lagi kan ujian juga.” jelas Lisa panjang lebar dengan perasaan bimbang.

“Baiklah kalau begitu. Tante tidak bisa memaksa, tetep jaga hubungan silaturahim kita ya.”

Lisa tertunduk. Pilu rasanya mengambil keputusan untuk kembali menjauhi Dhany. Ya, Lisa tidak ingin Dhany tau siapa dia yang sebenarnya. Entah kenapa. Prinsip itu melekat kuat dihatinya. Lisa mengambil sebuah kertas dari tasnya, menuliskan beberapa kalimat, menitipkannya lengkap dengan sepucuk amplop putih, lalu dititipkannya ke ibu Dhany.

“Eh iya, Lisa, kamu kalau kepanasan muka kamu makin merah ya?” Ibu Dhany mendapati pipi sebelah kanan Lisa terdapat bercak bercak merah kehitaman.

Setelah berkaca, Lisa baru menyadari kalau krim untuk menutupi bercaknya hanya bersifat sementara “Mungkin hanya alergi, Tante. Tidak apa-apa.” Lisa berbohong. Ibu Dhany mengangguk.

“Kalau begitu, Lisa pamit ya, Tante. Assalamu’alaikum.”

Lisa bergegas pulang ke rumah untuk segera menangis sejadi-jadinya. Cepat atau lambat ia pun harus segera mendapatkan tindakan operasi pengangkatan kanker yang menggerogoti parasnya. Sekalipun peluang operasinya untuk berhasil sangat mustahil.

Operasi yang dijalani Dhany tidak sepenuhnya berjalan lancar. Terdapat alasan yang entah mengapa menyebabkan mata Dhany yang berhasil berfungsi hanya satu. Namun itu bukanlah masalah bagi Dhany, dia tetap bersyukur mendapatkan kesempatan melihat kembali. Ia pun bertekad untuk membalas sebesar-besarnya kebaikan seorang yang mendonorkan mata baginya, dan juga ingin mencari tahu paras seorang peri cantiknya. Namun peri cantiknya tak kunjung tiba, Ia hanya melihat ibunya terisak kemudian ia menanyakan kemana gerangan peri cantiknya saat ini?

“Mengapa ibu malah menangis padahal Dhany kan sudah bisa melihat dunia kembali.” Gumam Dhany heran, Ibu Dhany hanya diam, dan memberikannya sepucuk surat. Dhany mengambil surat itu kemudian membacanya perlahan.

“Aku memaafkanmu, dan aku juga ingin minta maaf tidak bisa memberimu selamat bahwa kini kau bisa melihat dunia kembali. Berjanjilah untuk tidak mencari tahu siapa aku selepasmu operasi, aku baik-baik saja, aku hanya sedang memenuhi janjiku untuk selalu menjadi mata bagimu.”  –Peri Cantik –

Dhany membacakan sepucuk surat itu dari dalam lubuk hatinya. Dhany terhanyut memaknai pesan tersebut, hingga tak sadar meneteslah beberapa bulir air mata yang jatuh perlahan menuju genggaman jari jemarinya. Begitu lembut.

“Tidak lama setelah aku membaca surat darimu, aku menemukan jasadmu, aku melihat lubang pada beberapa ruang tubuhmu, perutmu hanya menyisakan ruang rusuk yang kosong, ginjal, hati, paru paru dan katup jantungmu kau donorkan kepada orang lain, begitupula dengan satu-satunya reseptor cahaya kepunyaanmu yang dahulu aku jadikan ejekan namun kini menjadi kepunyaanku yang paling aku syukuri. Betapa mulianya engkau peri cantik, bahkan di kehidupan setelah matimu kau masih bisa bermanfaat bagi orang lain.  Lisa aku begitu merindukan kematian dengan caramu.” Ujar Dhany sembari mengusap batu nisan peri cantiknya.

How do you feel about this chapter?

0 4 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear Groom
289      231     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
DEWS OF MOCCACINO ICE
5      5     0     
Short Story
Sacred Sins
789      532     8     
Fantasy
With fragmented dreams and a wounded faith, Aria Harper is enslaved. Living as a human mortal in the kingdom of Sevardoveth is no less than an indignation. All that is humane are tormented and exploited to their maximum capacities. This is especially the case for Aria, who is born one of the very few providers of a unique type of blood essential to sustain the immortality of the royal vampires of...
Ksatria Dunia Hitam
2      2     0     
Short Story
Dia yang ditemui bersimbah darah adalah seorang ksatria dunia hitam yang kebetulan dicintainya
Ojek Payung
2      2     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Mencari Virgo
289      225     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
KAMU MILIKKU
714      486     8     
Short Story
Apa yang tidak diucapkan, tidak berarti tidak berada dalam hati.
Iskanje
29      9     0     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
The Reason
123      29     0     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Kesempatan
96      2     0     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?